Sesungguhnya
umatku tdk akan bersepakat pada kesesatan.. Oleh krn itu, apabila
kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (As
Sawad Al A’zham)..-HR. Ibnu Majah,
Abdullah bin Hamid, Ath Thabrani, dan Abu Nu’aim-Allah tdk akan
membiarkan ummatku dlm kesesatan selamanya.. Ikutilah As Sawad Al
A’zham.. Tangan (rahmah dan perlindungan) Allah bersama jamaah..
Barangsiapa menyendiri/menyempal, ia akan menyendiri/menyempal di dlm
neraka..- HR. Al-Hakim
ISLAM ADA BANYAK GOLONGAN, JADI BINGUNG, SAYA HARUS IKUT MANA ??
Mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,
Kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yg gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain,
hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.
memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib.
yaitu apa apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yg wajib.
demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,
karena kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dg madzhab syafii nya,
demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafiiyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.
kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu,
ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?,
maka amir berkata : “aku bermadzhabkan Maliki dan madzhab Maliki tak batal wudhu bila bersentuhan dengan wanita”,
maka zeyd berkata : “wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii!, karena madzhab maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii, yaitu mengusap,
dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii..”.
Demikian contoh kecil dari kesalahan orang yg mengatakan bermadzhab tidak wajib.
mengenai ucapan para Imam Imam itu adalah untuk kalangan para mujtahid, mereka yg sudah melewati derajat Al Hafidh, yaitu pakar hadits, yaitu yg telah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, maka selayaknya jangan sembarang mengekor saja, tapi lihat dulu sumber sumbernya yg benar, karena ia ahli dalam hadits, maksudnya adalah barangkali ada hal yg perlu dibenahi dari imam imam itu maka benahilah..
sebagaimana Imam Bukhari, ia hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya saat usianya belum mencapai 20 tahun, orang seperti ini mesti terjun untuk meneliti hadits, jangan ikut ikutan fatwa para Imam Imam lainnya karena ia mengerti tentang hukum hadits.
beda dengan sebagian kelompok konyol masa kini, mereka ada yg tak hafal satupun hadits disertai sanad dan hukum matannya, karena satu hadits pendek saja kalau disertai sanad dan hukum matannya bisa jadi dua halaman panjangnya, dan mereka wahabi itu tak hafal satupun hadits berikut sanad dan hukum matannya, mereka cuma nukil dari buku buku yg ada.
Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 (satu juta) hadits berikut sanad dan hukum matannya, dan ia adalah murid Imam Syafii.
anda bisa bayangkan Jika Imam Ahmad hafal 1 juta hadits namun ia hanya sempat menulis sekityar 20 ribu hadits saja, maka sekitar 980.000 hadits yg ada padanya sirna ditelan zaman,
Imam Bukhari hanya mampu menulis sekitar 7.000 hadits saja, lalu sekitar 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman,
maka yg tersisa adalah fatwa fatwa mereka pada murid murid mereka,
lalu kita akan ikut siapa?
akankah kita berpegang pada buku hadits yg ada di masa kini yg tidak mencapai 1% dari hadits yg ada dimasa lalu?, atau berpegang pada fatwa fatwa murid murid para imam itu yg telah lengkap menjawab seluruh cabang masalah..?
kita harus mengikuti siapa?
tentunya kita mengikuti para Imam itu karena tahu betul merekalah ahli hadits, kita tak tahu ratusan atau jutaan hadits itu karena sudah tidak ada.
kalau kita bandingkan maka pendapat para wahabi itu mereka ingin membuat madzhab baru dengan patokan 1% hadits yg ada, dan menjatuhkan fatwa para imam imam tsb?
albani tidak sampai ke derajat Alhafidh (hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya), ia hanya menukil nukil, dan ia sendiri tak punya sanad hadits, ia hanya baca dari sisa sisa hadits yg ada lalu berfatwa menentang para Imam Ahlussunnah waljamaah.
dibawah Imam Syafii ada ribuan AL Hafidh yg menelusuri fatwa Imam Syafii dan setuju, dibawah Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam imam lainnya pun demikian..
inilah hebatnya Imam Imam Ahlussunnah waljamaah, semua berasal dari satu rumpun, Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam Syafii, dan Imam Syafii adalah murid Imam Malik, dan Imam Malik adalah sezaman dengan Imam Hanafi, keduanya belajar dari Tabiin dan sahabat Rasul saw, dan para sahabat berguru pada Rasulullah saw.
demikian ribuan para Hafidhul Hadits dari generasi ke generasi hingga kini dalam satu rumpun besar ahlussunnah waljamaah.
muncullah sempalan pada akhir zaman ini yg menentang mereka, dan memisahkan diri dari Rumpun besar Ahlussunnah waljamaah dari 4 madzhab besar ini, dan Rasul saw bersabda : "Barangsiapa yg memisahkan diri dari Jamaah Muslimin sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia mati dalam kematian jahiliyyah" (Shahih Bukhari)
Hadits-Hadits Tentang Al Jama’ah
Untuk memahami makna Al Jama’ah, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Hadits-Hadits Tentang As Sawadul A’zham
Untuk memahami makna as sawaadul a’zham, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya:
Dalam riwayat lain:
Makna As Sawadul A’zham
As sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zham artinya besar, agung, banyak.
Sehingga as sawaadul a’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’i, kita telah dapati bahwa as sawaadul a’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari di atas: “…Dan makna Al Jama’ah adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)
Maka makna as sawaadul a’zham mencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna as sawaadul a’zham berikut ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata
Ayat tersebut berbunyi:
Pendapat Mayoritas - Assawadul A'zham -
IKUTILAH AHLI SYURA DAN PENDAPAT MAYORITAS KAUM MUSLIMIN
Akhir-akhir ini telah banyak kita lihat perbedaan pendapat dikalangan umat Islam semakin meluas tidak hanya dikalangan para Ulama, tetapi juga dikalangan intelektual islam. Parahnya lagi ranah yang seharusnya menjadi "Ikhtilaful Ulama" ini menjadi konsumsi umat yang notabene sama sekali tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam bidangnya. Perang pemikiran semakin berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman (antara umat islam dan islam sekuler/pembaharuan). Ini diperparah lagi dimana pemerintah sebagai (ulil amri) tidak memiliki sikap ketegasan dalam menetapkan berkenaan dengan perkara hukum itu tadi (karena negara tidak mengurus agama) sebuah pemikiran yang "absurd" menurut saya. Sebagaimana yang telah digambarkan oleh baginda nabi shallallahu'alaihiwasallam, "Barangsiapa yang hidup lama sesudahku maka akan kalian temukan perselisihan yang besar ditengah-tengah umat. Bila engkau temukan perselisihan itu maka kembalilah kepada Al quran dan Sunnahku". Hadist ini shahih dan jelas sekali keterangannya, namun ternyata tidak mudah untuk dijalankan.
Perkataan Nabi berkenaan kembalilah kepada Al Quran dan Sunnah begitu jelas dikemukakan oleh baginda Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Namun tidak semua orang diperkenankan melakukannya (istinbath langsung kepada Al Quran dan Hadist).
Timbul pertanyaan siapakah yang mampu mengambil hikmah atau istinbath hukum yang terkandung di dalam Al Quran dan Hadist itu tadi. Ijtihad siapa yang harus kita ikuti ? bahkan ada dikalangan umat islam ketika kita katakan ikutilah pendapat yang masyhur dikalangan (jumhur) ‘ulama, mereka mengatakan ulama siapa, na'uzubillah?. Lalu kita bertanya agama islam yang kita jalani selama ini dengan segala ketentuan (syari’at) nya ini apakah langsung datang dari pada baginda nabi?. Lalu apa makna hadist "al 'ulama warisatul anbiya"?.
Padahal ‘ulama itu sendiri adalah :
Umat islam kita saat ini telah berada pada degradasi iman, akhlaq dan islamnya. Inikah umat yang mampu membangun sebuah peradaban? inikah umat yang mampu menetapkan ijtihad Dinul Islam? umat yang terbaik?.
Di dunia ini hanya beberapa orang saja yang disebut sebagai ulama mufassirin dan muhaddistin yang memiliki kemampuan dan kapasitas keilmuan di bidangnya. Diantaranya adalah :
Fadhilah Syeikh DR.Wahbah Zuhaili (Syafi’iy),
Syeikh DR. Ramadhan Al Buthi (Syafi’iy),
Syeikh DR.Ali Jum'ah (Syafi’iy),
Syeikh DR.Yusuf Qardhawi (Kontemporer) dan
Allahyarham Maulana Syeikh DR.Muhammad Hasan Al Maliki Al Makki (Maliki/Syafi’iy).
Mereka adalah ulama mujtahidin namun mereka tetap bermazhab kepada ulama-ulama mu’tabarah. Perhatikan dari ke-5 ulama tadi sebagian besar bermazhab Syafi’iy. Bila kita ingin menggunakan pendapat sendiri maka bangunlah agama sendiri (Ahlul bid'ah).
Dalam menyikapi perbedaan pandangan ini saya tertarik untuk mencoba menarik benang merah dimana kita umat islam kita ini harus bersandar (dalam masalah aqidah, syariat dan mu’amalah). Ini muncul bermula adanya seorang tokoh ormas islam yang mengatakan, keputusan MUI bersifat "one man show" dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi (dalam penentuan isbath 1 Ramadhan dan 1 Syawwal). Pertanyaannya apakah kita ikuti demokrasi ataukah Ayat wal Hadits dalam penetapan masalah agama ?.
Berikut pendapat para ulama-ulama mutaqaddimin dalam menyikapi pendapat dikalangan umat :
(As Shamad Al A'zam) : Dalam kitab "At-Tariq Ila Jamaah Al-Muslimin", tulisan Husain bin Muhsin bin Ali Jabir menyatakan, syarat ahli majlis Syura adalah seperti berikut; [m.s : 60]
1- Adil [tidak buat dosa kecil dan besar]
2- Bertaqwa [tidak dikenal sebagai orang yang melakukan pengkhianatan kepada Allah dan umat].
3- Memiliki Ilmu tentang Al-Quran dan hadist dan yang berkaitan dengannya
4- Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang perkara yang diminta pandangan [Al-Mustasyar Fih ; المستشار فيه] ]
5- Kebijakan Luar Biasa.
6- Amanah dan benar.
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menerima pandangan mayoritas ketika berlaku perbedaan pendapat; Sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasallam ;
Dalam menafsirkan maksud “Sawadul A’zham”, Kitab As-Sindi menyatakan;
Imam As-Sayuti dalam menafsirkan “Sawadul A’zham”;
Al-Munawi pula berkata;
[Musnad Ahmad : 20331] Imam Al-Munawi menyebutkan tentang Jamaah:
Makna As Sawadul A’zham :
As Sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zam artinya besar, agung, banyak. Sehingga As Sawadul A’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’iy, kita telah dapati bahwa As Sawaadul A’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari : “…Dan makna Al Jama’ah adalah As Sawadul A’zam. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan Riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)
Dalam Hadist lain Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda :
“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa 'alaihisalam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)
Maka makna As Sawaadul A’zham mencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna As Sawaadul A’zham berikut ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata : “Berpeganglah kepada As Sawadul A’zam. Lalu ada yang bertanya, siapa As Sawadul A’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur:
Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)
Dalam ayat lain saya tambahkan Allah Ta'ala berfirman :
Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna As Sawadul A’zam adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata lain, pengikut kebenaran.
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H) berkata: “Berpeganglah pada As Sawadul A’zham. Orang-orang bertanya, siapa As Sawadul A’zhham itu? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang atau dua orang yang berilmu, yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti jalannya. Bukanlah As Sawaadul A’zham itu mayoritas kaum muslimin secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54)
Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama sezamannya, Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai As Sawaadul A’zham: Ada seorang yang bertanya, wahai Abu Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa As Sawadul A’zham itu? Beliau menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para pengikutinya. Kemudian beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang alim sejak 500 tahun yang lebih berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selain Muhammad bin Aslam” (Siyar ‘Alamin Nubala, 9/540)
Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H) ditanya as sawaadul a’zham: “Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul Mubarak, wahai Abu Abdirrahman siapa As Sawadul A’zam itu? Beliau menjawab, Abu Hamzah As Sakuni” (Hilyatul Aulia, 9/238)
Lihatlah Imam Al-Munawi membuat kesimpulan bahwasanya Al-Jamaah adalah suatu:
Ø Rukun-rukun agama
Ø As-Sawad Al-A’zam
Ø Ahlus-Sunnah
Maksudnya, berpegang dengan As-Sawad Al-A’zam berarti berpegang dengan Ahlus-Sunnah. Berpegang dengan Ahlus-Sunnah berarti berpegang teguh dengan rukun-rukun agama. Berpegang dengan rukun-rukun agama tersebutlah berarti berpegang teguh dengan Al-Jamaah.
Maka, bagaimana dapat berpegang dengan As-Sawad Al-A’zam? Imam Al-Munawi menyebutkan bahwasanya, kita perlu mengikut manhaj mereka dalam perkara-perkara :
Ø Aqidah
Ø Ushul (kaedah2 baik dalam fiqh atau aqidah)
Ø Fiqh.
Jadi, pegangan "mayoritas" ulama' adalah berkenaan dengan tiga bidang agama tersebut yaitu Kesepakatan dalam bidang Aqidah pada masalah2 Ushul (yang bersumberkan dalil2 qath'iy tsubut dan dilalah) dan kesepakatan dalam bidang Usul (Usul Aqidah atau Fiqh)
Syeikh Asy Syatibi berkata sebagai berikut yang bermaksud : "Fatwa-fatwa para mujtahid itu bagi para orang awam bagaikan dalil syariat bagi para mujtahidin. Adapun alasannya ialah ada atau tidak adanya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja. Karena mereka sedikit pun tidak mampu mengambil faedah darinya. Jadi, masalah meneliti istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut (Al Muwafaqat) .
Dan sungguh Allah Subhanhu wa ta'ala telah berfirman yang bermaksud :
Orang yang taqlid bukanlah orang yang ‘alim. Oleh kerana itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi, kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara'."
Wallahuwalyyuttaufiq Walhidayah Wassalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
demikian saudaraku yg kumuliakan.,
wallahu a'lam
ISLAM ADA BANYAK GOLONGAN, JADI BINGUNG, SAYA HARUS IKUT MANA ??
Mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,
Kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yg gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain,
hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.
memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib.
yaitu apa apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yg wajib.
demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,
karena kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dg madzhab syafii nya,
demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafiiyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.
kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu,
ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?,
maka amir berkata : “aku bermadzhabkan Maliki dan madzhab Maliki tak batal wudhu bila bersentuhan dengan wanita”,
maka zeyd berkata : “wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii!, karena madzhab maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii, yaitu mengusap,
dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii..”.
Demikian contoh kecil dari kesalahan orang yg mengatakan bermadzhab tidak wajib.
mengenai ucapan para Imam Imam itu adalah untuk kalangan para mujtahid, mereka yg sudah melewati derajat Al Hafidh, yaitu pakar hadits, yaitu yg telah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, maka selayaknya jangan sembarang mengekor saja, tapi lihat dulu sumber sumbernya yg benar, karena ia ahli dalam hadits, maksudnya adalah barangkali ada hal yg perlu dibenahi dari imam imam itu maka benahilah..
sebagaimana Imam Bukhari, ia hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya saat usianya belum mencapai 20 tahun, orang seperti ini mesti terjun untuk meneliti hadits, jangan ikut ikutan fatwa para Imam Imam lainnya karena ia mengerti tentang hukum hadits.
beda dengan sebagian kelompok konyol masa kini, mereka ada yg tak hafal satupun hadits disertai sanad dan hukum matannya, karena satu hadits pendek saja kalau disertai sanad dan hukum matannya bisa jadi dua halaman panjangnya, dan mereka wahabi itu tak hafal satupun hadits berikut sanad dan hukum matannya, mereka cuma nukil dari buku buku yg ada.
Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 (satu juta) hadits berikut sanad dan hukum matannya, dan ia adalah murid Imam Syafii.
anda bisa bayangkan Jika Imam Ahmad hafal 1 juta hadits namun ia hanya sempat menulis sekityar 20 ribu hadits saja, maka sekitar 980.000 hadits yg ada padanya sirna ditelan zaman,
Imam Bukhari hanya mampu menulis sekitar 7.000 hadits saja, lalu sekitar 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman,
maka yg tersisa adalah fatwa fatwa mereka pada murid murid mereka,
lalu kita akan ikut siapa?
akankah kita berpegang pada buku hadits yg ada di masa kini yg tidak mencapai 1% dari hadits yg ada dimasa lalu?, atau berpegang pada fatwa fatwa murid murid para imam itu yg telah lengkap menjawab seluruh cabang masalah..?
kita harus mengikuti siapa?
tentunya kita mengikuti para Imam itu karena tahu betul merekalah ahli hadits, kita tak tahu ratusan atau jutaan hadits itu karena sudah tidak ada.
kalau kita bandingkan maka pendapat para wahabi itu mereka ingin membuat madzhab baru dengan patokan 1% hadits yg ada, dan menjatuhkan fatwa para imam imam tsb?
albani tidak sampai ke derajat Alhafidh (hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya), ia hanya menukil nukil, dan ia sendiri tak punya sanad hadits, ia hanya baca dari sisa sisa hadits yg ada lalu berfatwa menentang para Imam Ahlussunnah waljamaah.
dibawah Imam Syafii ada ribuan AL Hafidh yg menelusuri fatwa Imam Syafii dan setuju, dibawah Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam imam lainnya pun demikian..
inilah hebatnya Imam Imam Ahlussunnah waljamaah, semua berasal dari satu rumpun, Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam Syafii, dan Imam Syafii adalah murid Imam Malik, dan Imam Malik adalah sezaman dengan Imam Hanafi, keduanya belajar dari Tabiin dan sahabat Rasul saw, dan para sahabat berguru pada Rasulullah saw.
demikian ribuan para Hafidhul Hadits dari generasi ke generasi hingga kini dalam satu rumpun besar ahlussunnah waljamaah.
muncullah sempalan pada akhir zaman ini yg menentang mereka, dan memisahkan diri dari Rumpun besar Ahlussunnah waljamaah dari 4 madzhab besar ini, dan Rasul saw bersabda : "Barangsiapa yg memisahkan diri dari Jamaah Muslimin sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia mati dalam kematian jahiliyyah" (Shahih Bukhari)
Hadits-Hadits Tentang Al Jama’ah
Untuk memahami makna Al Jama’ah, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن
“Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ستكون بعدي هنات وهنات، فمن رأيتموه فارق الجماعة، أو يريد أن يفرق أمر أمة محمد كائنا من كان فاقتلوه ؛ فإن يد الله مع الجماعة، و إن الشيطان مع من فارق الجماعة يركض
“Sepeninggalku akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah belah Al Jama’ah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah belah Al Jama’ah” (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir 4672, dishahihkan Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shahih 3621)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات ، إلا مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sejengkal saja lalu mati, ia mati sebagai bangkai Jahiliah” (HR. Bukhari no.7054,7143, Muslim no.1848, 1849)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
والذي لا إله غيره ! لا يحل دم رجل مسلم يشهد أن لا إله إلا الله ، وأني رسول الله ، إلا ثلاثة نفر : التارك الإسلام ، المفارق للجماعة أو الجماعة ( شك فيه أحمد ) . والثيب الزاني.والنفس بالنفس
“Demi Allah, darah seorang yang bersyahadat tidak lah halal kecuali karena tiga sebab: keluar dari Islam atau keluar dari Al Jama’ah, orang tua yang berzina dan membunuh” (HR. Muslim no.1676)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من مات مفارقا للجماعة فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari Al Jama’ah, maka ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya” (HR Bukhari dalam Tarikh Al Kabir 1/325)
Hadits-Hadits Tentang As Sawadul A’zham
Untuk memahami makna as sawaadul a’zham, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya:
إن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم فإنه من شذ شذ إلى النار
“Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Barangsiapa yang menyelisihinya akan terasing di neraka”
Dalam riwayat lain:
إن أمتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الاختلاف فعليكم بالسواد الأعظم يعني الحق وأهله
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul haq” (HR. Ibnu Majah 3950, hadits hasan dengan banyaknya jalan kecuali tambahan من شذ شذ إلى النار sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1331)
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ
“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)
Makna As Sawadul A’zham
As sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zham artinya besar, agung, banyak.
Sehingga as sawaadul a’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’i, kita telah dapati bahwa as sawaadul a’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari di atas: “…Dan makna Al Jama’ah adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)
Maka makna as sawaadul a’zham mencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna as sawaadul a’zham berikut ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata
عليكم بالسواد الأعظم قال فقال رجل ما السواد الأعظم فنادى أبو أمامة هذه الآية التي في سورة النور فإن تولوا فإنما عليه ما حمل وعليكم ما حملتم
“Berpeganglah kepada as sawadul a’zham. Lalu ada yang bertanya, siapa as sawadul a’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220)
Ayat tersebut berbunyi:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)
Pendapat Mayoritas - Assawadul A'zham -
IKUTILAH AHLI SYURA DAN PENDAPAT MAYORITAS KAUM MUSLIMIN
Akhir-akhir ini telah banyak kita lihat perbedaan pendapat dikalangan umat Islam semakin meluas tidak hanya dikalangan para Ulama, tetapi juga dikalangan intelektual islam. Parahnya lagi ranah yang seharusnya menjadi "Ikhtilaful Ulama" ini menjadi konsumsi umat yang notabene sama sekali tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam bidangnya. Perang pemikiran semakin berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman (antara umat islam dan islam sekuler/pembaharuan). Ini diperparah lagi dimana pemerintah sebagai (ulil amri) tidak memiliki sikap ketegasan dalam menetapkan berkenaan dengan perkara hukum itu tadi (karena negara tidak mengurus agama) sebuah pemikiran yang "absurd" menurut saya. Sebagaimana yang telah digambarkan oleh baginda nabi shallallahu'alaihiwasallam, "Barangsiapa yang hidup lama sesudahku maka akan kalian temukan perselisihan yang besar ditengah-tengah umat. Bila engkau temukan perselisihan itu maka kembalilah kepada Al quran dan Sunnahku". Hadist ini shahih dan jelas sekali keterangannya, namun ternyata tidak mudah untuk dijalankan.
Perkataan Nabi berkenaan kembalilah kepada Al Quran dan Sunnah begitu jelas dikemukakan oleh baginda Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Namun tidak semua orang diperkenankan melakukannya (istinbath langsung kepada Al Quran dan Hadist).
Timbul pertanyaan siapakah yang mampu mengambil hikmah atau istinbath hukum yang terkandung di dalam Al Quran dan Hadist itu tadi. Ijtihad siapa yang harus kita ikuti ? bahkan ada dikalangan umat islam ketika kita katakan ikutilah pendapat yang masyhur dikalangan (jumhur) ‘ulama, mereka mengatakan ulama siapa, na'uzubillah?. Lalu kita bertanya agama islam yang kita jalani selama ini dengan segala ketentuan (syari’at) nya ini apakah langsung datang dari pada baginda nabi?. Lalu apa makna hadist "al 'ulama warisatul anbiya"?.
Padahal ‘ulama itu sendiri adalah :
العارفون بالكتاب و السنة
Mereka yang ‘arif dengan Al Kitab dan As-sunnah (I’anatuth Thalibin : 3 : 157, Bab Waqaf)
Umat islam kita saat ini telah berada pada degradasi iman, akhlaq dan islamnya. Inikah umat yang mampu membangun sebuah peradaban? inikah umat yang mampu menetapkan ijtihad Dinul Islam? umat yang terbaik?.
Di dunia ini hanya beberapa orang saja yang disebut sebagai ulama mufassirin dan muhaddistin yang memiliki kemampuan dan kapasitas keilmuan di bidangnya. Diantaranya adalah :
Fadhilah Syeikh DR.Wahbah Zuhaili (Syafi’iy),
Syeikh DR. Ramadhan Al Buthi (Syafi’iy),
Syeikh DR.Ali Jum'ah (Syafi’iy),
Syeikh DR.Yusuf Qardhawi (Kontemporer) dan
Allahyarham Maulana Syeikh DR.Muhammad Hasan Al Maliki Al Makki (Maliki/Syafi’iy).
Mereka adalah ulama mujtahidin namun mereka tetap bermazhab kepada ulama-ulama mu’tabarah. Perhatikan dari ke-5 ulama tadi sebagian besar bermazhab Syafi’iy. Bila kita ingin menggunakan pendapat sendiri maka bangunlah agama sendiri (Ahlul bid'ah).
Dalam menyikapi perbedaan pandangan ini saya tertarik untuk mencoba menarik benang merah dimana kita umat islam kita ini harus bersandar (dalam masalah aqidah, syariat dan mu’amalah). Ini muncul bermula adanya seorang tokoh ormas islam yang mengatakan, keputusan MUI bersifat "one man show" dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi (dalam penentuan isbath 1 Ramadhan dan 1 Syawwal). Pertanyaannya apakah kita ikuti demokrasi ataukah Ayat wal Hadits dalam penetapan masalah agama ?.
Berikut pendapat para ulama-ulama mutaqaddimin dalam menyikapi pendapat dikalangan umat :
(As Shamad Al A'zam) : Dalam kitab "At-Tariq Ila Jamaah Al-Muslimin", tulisan Husain bin Muhsin bin Ali Jabir menyatakan, syarat ahli majlis Syura adalah seperti berikut; [m.s : 60]
1- Adil [tidak buat dosa kecil dan besar]
2- Bertaqwa [tidak dikenal sebagai orang yang melakukan pengkhianatan kepada Allah dan umat].
3- Memiliki Ilmu tentang Al-Quran dan hadist dan yang berkaitan dengannya
4- Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang perkara yang diminta pandangan [Al-Mustasyar Fih ; المستشار فيه] ]
5- Kebijakan Luar Biasa.
6- Amanah dan benar.
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menerima pandangan mayoritas ketika berlaku perbedaan pendapat; Sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasallam ;
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Maksudnya; “Sesungguhnya Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan. Sekiranya kamu lihat perselisihan, maka hendaklah kamu ambil “As-Sawad Al-‘Azam”” [Ibnu Majah : 3940]
Dalam menafsirkan maksud “Sawadul A’zham”, Kitab As-Sindi menyatakan;
أَيْ بِالْجَمَاعَةِ الْكَثِيرَة فَإِنَّ اِتِّفَاقهمْ أَقْرَب إِلَى الْإِجْمَاع
Maksudnya : “Jama’ah yang ramai. Karena, kesepakatan mereka itu lebih mendekati kepada ijma'” [Hasyiah As Sindi :3942]
Imam As-Sayuti dalam menafsirkan “Sawadul A’zham”;
أَيْ جَمَاعَة النَّاس وَمُعْظَمهمْ الَّذِينَ يَجْتَمِعُونَ عَلَى سُلُوك الْمَنْهَج الْمُسْتَقِيم وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي الْعَمَل بِقَوْلِ الْجُمْهُور
Maksudnya; “Ia adalah himpunan manusia dan kebanyakan yang mereka bersepakat atas melalui jalan yang betul. Hadis itu menunjukkan bahawa selayaknya beramal dengan perkataan mayoritas” [Hasyiah As-Sindi : 3940]
Al-Munawi pula berkata;
)فعليكم بالسواد الأعظم) من أهل الإسلام أي الزموا متابعة جماهير المسلمين فهو الحق الواجب والفرض الثابت الذي لا يجوز خلافه فمن خالف مات ميتة جاهلية
Maksudnya; “[hendaklah kamu ikut Sawadul A’zham dari ahli islam] yaitu, lazimnya mengikut pendapat mayoritas orang islam, karena ia adalah kebenaran yang wajib dan fardhu yang pasti, yang tidak boleh menyalahinya. Barangsiapa menyalahinya, lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” [Faidhul Qadir : 2/547] Pendapat ini, sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu'alaiwasallam ;
اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ مِنْ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى
Maksudnya; “dua lebih baik dari satu. Tiga lebih baik dari dua. Empat lagi baik dari tiga. Hendaklah kamu dengan jama’ah [mayoritas], karena Allah SWT tidak akan menghimpunkan umatku kecuali atas petunjuk”
[Musnad Ahmad : 20331] Imam Al-Munawi menyebutkan tentang Jamaah:
))وعليكم بالجماعة)) أي أركان الدين والسواد الأعظم من أهل السنة أي الزموا هديهم فيجب اتباع ما هم عليه من العقائد والقواعد وأحكام الدين
Maksudnya: “(Hendaklah kamu bersama dengan Al-Jamaah) yaitu berpegang dengan rukun-rukun agama dan As-Sawad Al-A’zam dari kalangan Ahlus-Sunnah. Yaitu, kamu ikutilah petunjuk mereka. Maka hendaklah seseorang itu mengikut apa yang mereka berpegang dengannya daripada Aqidah (Mazhab Aqidah), Qawa’id (Usul Aqidah dan Usul Fiqh) dan Hukum Agama (Mazhab Fiqh). [Al-Faidh Al-Qadir 3/101]
Makna As Sawadul A’zham :
As Sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zam artinya besar, agung, banyak. Sehingga As Sawadul A’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’iy, kita telah dapati bahwa As Sawaadul A’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari : “…Dan makna Al Jama’ah adalah As Sawadul A’zam. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan Riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)
Dalam Hadist lain Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda :
“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa 'alaihisalam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)
Maka makna As Sawaadul A’zham mencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna As Sawaadul A’zham berikut ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata : “Berpeganglah kepada As Sawadul A’zam. Lalu ada yang bertanya, siapa As Sawadul A’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220) Allah berfirman : “Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)
Dalam ayat lain saya tambahkan Allah Ta'ala berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Maksudnya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(An Nisa : 115)Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna As Sawadul A’zam adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata lain, pengikut kebenaran.
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H) berkata: “Berpeganglah pada As Sawadul A’zham. Orang-orang bertanya, siapa As Sawadul A’zhham itu? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang atau dua orang yang berilmu, yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti jalannya. Bukanlah As Sawaadul A’zham itu mayoritas kaum muslimin secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54)
Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama sezamannya, Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai As Sawaadul A’zham: Ada seorang yang bertanya, wahai Abu Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa As Sawadul A’zham itu? Beliau menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para pengikutinya. Kemudian beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang alim sejak 500 tahun yang lebih berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selain Muhammad bin Aslam” (Siyar ‘Alamin Nubala, 9/540)
Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H) ditanya as sawaadul a’zham: “Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul Mubarak, wahai Abu Abdirrahman siapa As Sawadul A’zam itu? Beliau menjawab, Abu Hamzah As Sakuni” (Hilyatul Aulia, 9/238)
Lihatlah Imam Al-Munawi membuat kesimpulan bahwasanya Al-Jamaah adalah suatu:
Ø Rukun-rukun agama
Ø As-Sawad Al-A’zam
Ø Ahlus-Sunnah
Maksudnya, berpegang dengan As-Sawad Al-A’zam berarti berpegang dengan Ahlus-Sunnah. Berpegang dengan Ahlus-Sunnah berarti berpegang teguh dengan rukun-rukun agama. Berpegang dengan rukun-rukun agama tersebutlah berarti berpegang teguh dengan Al-Jamaah.
Maka, bagaimana dapat berpegang dengan As-Sawad Al-A’zam? Imam Al-Munawi menyebutkan bahwasanya, kita perlu mengikut manhaj mereka dalam perkara-perkara :
Ø Aqidah
Ø Ushul (kaedah2 baik dalam fiqh atau aqidah)
Ø Fiqh.
Jadi, pegangan "mayoritas" ulama' adalah berkenaan dengan tiga bidang agama tersebut yaitu Kesepakatan dalam bidang Aqidah pada masalah2 Ushul (yang bersumberkan dalil2 qath'iy tsubut dan dilalah) dan kesepakatan dalam bidang Usul (Usul Aqidah atau Fiqh)
Syeikh Asy Syatibi berkata sebagai berikut yang bermaksud : "Fatwa-fatwa para mujtahid itu bagi para orang awam bagaikan dalil syariat bagi para mujtahidin. Adapun alasannya ialah ada atau tidak adanya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja. Karena mereka sedikit pun tidak mampu mengambil faedah darinya. Jadi, masalah meneliti istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut (Al Muwafaqat) .
Dan sungguh Allah Subhanhu wa ta'ala telah berfirman yang bermaksud :
... ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"(Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui) – (Surah An Nahl :43)
Orang yang taqlid bukanlah orang yang ‘alim. Oleh kerana itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi, kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara'."
Wallahuwalyyuttaufiq Walhidayah Wassalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
demikian saudaraku yg kumuliakan.,
wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar