“Membaca satu ayat dengan memikirkannya dan memahaminya lebih baik daripada membaca seluruh ayat sampai khatam tanpa mentadabburinya dan memahaminya. Ia juga lebihbermanfaat bagi hati dan lebih bisa diharapkan menambah keimanan dan membuat pembacanyadapat mengecap manisnya Al-Qur’an.”
Yasrah binti Dajajah menyatakan bahwa ia mendengar Abu Dzar bertutur, “Nabi pernah bangun (shalat malam) membaca satu ayat sampai pagi; beliau mengulang-ulanginya. Ayat tersebut adalah:
“Jika Engkau menyiksa mereka, Maka Sesungguhnya mereka adalah hamba- hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, Maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118)[2]
Hadits Nasai 1000
أَخْبَرَنَا نُوحُ بْنُ حَبِيبٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا قُدَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَتْنِي جَسْرَةُ بِنْتُ دَجَاجَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ أَبَا ذَرٍّ يَقُولُ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا أَصْبَحَ بِآيَةٍ وَالْآيَةُ { إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ }
Nabi Shalla Allahu 'alaihi wa sallam shalat hingga pagi dgn membaca ayat, In Tuadzibhum Fainnahum 'Ibaduk wa In Taghfirlahum Fainnaka Antal 'Azizul Hakim (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adl hamba-hamba Engkau, & jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana) (Qs. Al Maa'idah (5): I18)'. [HR. Nasai No.1000].Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan bahwa ada seseorang yang mendengar orang lain membaca surah Al-Ikhlash. Orang itu mengulang-ulangnya terus. Saat pagi tiba, laki-laki yang mendengar menghadap Rasulullah dan menceritakan hal itu sambil meremehkannya. Maka Rasulullah bersabda:
Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya surah Al-Ikhlash itu
sepadan dengan sepertiga Al-Qur’an.
Tentang mengulang-ulang satu ayat dalam shalat terdapat riwayat dari para salaf seperti yang dituls oleh Muhammad Syauman Ar-Ramli dalam bukunya “Tadabburul Qur’anil Karim”. Diantaranya adalah sebuah riwayat yang tertera dalam kitab Hilyatul Auliya’: diriwayatkan dari Ishaq, dari Ibrahim, dari Ahmad dia mendengar bahwa Abu Sulaiman berkata “Terkadang saya terus-menerus membaca satu ayat selama lima malam. Seandainya bukan karena saya tidak lagi merenungkannya, niscaya saya tidak akan berpindah ke ayat lain selamanya. Terkadang juga ada satu ayat Al-Qur’an yang menerbangkan akal. Mahasuci (zat) yang mengembalikannya lagi.”
Juga sebuah riwayat dari Abu Ali Al-Bashri dari Ma’mar, muazin kabilah Taimi, katanya, “Suatu malam Sulaiman mengerjakan shalat sunnah setelah shalat Isya’ di sebelahku. Kudengar ia membaca surah Al-Mulk. Saat sampai ke ayat:
“Ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat) sudah dekat, muka orang-orang kafir itu menjadi muram. dan dikatakan (kepada mereka) Inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya.” (Al-Mulk: 27)
Sulaiman mengulang-ulanginya sampai orang-orang yang berada di masjid tinggal sedikit dan pulang. Aku juga pulang dan meninggalkannya. Ketika azan Fajar dikumandangkan, Sulaiman masih ada di tempatnya. Aku berusaha mendengar bacaannya. Ternyata ia belum berpindah dari ayat:
“Ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat) sudah dekat, muka orang-orang kafir itu menjadi muram. dan dikatakan (kepada mereka) Inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya.” (Al-Mulk: 27)
Shafwan bin Sulaim mengisahkan bahwa Tamim Ad-Dari pernah mengerjakan shalat Isya’. Ketika membaca ayat:
“Muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat.” (Al-Mukminun: 104)
Tamim tidak meninggalkan ayat tersebut sampai terdengar azan Shubuh.
Wallahu A’lam bis Shawwab
Saya belum banyak hafal dari surat-surat Al-Qur’an karena saya masih belajar. Apakah dibolehkan saya mengulangi bacaan pada surat yang sama dalam shalat taraweh?
Alhamdulillah.
Tidak mengapa mengulangi surat yang sama pada shalat Taraweh atau di shalat-shalat lainnya. Dia membaca surat di rakaat pertama dan mengulangi surat yang sama di rakaat kedua. Dalil akan hal itu adalah keumuman firman Allah ta’ala:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَأُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ (سورة المزمل: 20)
"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.” (QS. Al-Muzammil: 20)وروى أبو داود (816) عَنْ مُعَاذِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَجُلا مِنْ جُهَيْنَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ : (إِذَا زُلْزِلَتْ الأَرْضُ) فِي الرَّكْعَتَيْنِ كِلْتَيْهِمَا . فَلا أَدْرِي أَنَسِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ قَرَأَ ذَلِكَ عَمْدًا ؟ حسنه الألباني في صحيح أبي داود
"Abu Dawud meriwayatkan, (dalam hadits no. 816) dari Muaz bin Abdullah Al-Juhani radhiallahu’anhu bahwa seseorang dari Juhainiyah memberitahukan bahwa dia mendengar Nabi sallallahu’alaihi wa sallam membaca di shalat Subuh surat ‘Idza Zulzilatil Ardu’ pada kedua rakaat. Saya tidak tahu apakah Rasulullah sallallahu’alaih wa sallam lupa ataukah dibaca dengan sengaja?" (HR: Abu Dawud)Abdul Azim Abadi berkomentar: ”Shahabat ragu akan pengulangan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam terhadap surat, apakah lupa? Karena kebiasaan dari bacaannya adalah membaca pada rakaat kedua dengan bacaan yang bukan di rakaat pertama. (Jika demikian), maka tidak disyariatkan kepada umatnya. Atau prilaku beliau sengaja untuk menjelaskan dibolehkannya (hal itu)? Maka, kejadian pengulangan tersebut menimbulkan keraguan, apakah hal itu disyariatkan atau tidak. Kalau suatu perkara berputar antara diajurkan dan tidak, maka prilaku beliau sallallahu’alaihi wa sallam lebih utama dipahami sebagai sesuatu yang disyariatkan. Karena asal dari prilakunya adalah untuk syariat, sementara lupa adalah keluar dari perkara asal. (Aunul Ma’bud, 3/23)
Bahkan tidak mengapa mengulang-ulang surat atau ayat yang sama pada satu rakaat.
روى النسائي (1010) وابن ماجه (1350) عن أَبي ذَرٍّ رضي الله عنه قال : قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِآيَةٍ حَتَّى أَصْبَحَ يُرَدِّدُهَا ، وَالآيَةُ : ( إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ) حسنه الألباني في صحيح النسائي
Diriwayatkan oleh Nasa’i (hadits, no. 1010) dan Ibnu Majah (hadits no, 1350) dari Abu Dzar radhiallahu ’anhu, dia berkata: ”Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melakukan shalat dan membaca ayat sampai pagi secara berulang-ulang. Ayat itu adalah;( إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ )
“Jikalau Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hambaMu. (akan tetapi) jikalau Engkau ampuni mereka. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” (HR: Imam Nasa’i)Diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no. 5014) dari Abu Said Al-Khudri bahwa seseorang mendengar seseorang membaca ‘Qul huwallahuAhad’ berulang-ulang. Ketika pagi hari dia datang kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, kemudian beliau ceritakan hal itu, dengan kesan seakan-akan meremehkannya. Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Demi jiwaku yang ada di tanganNya. Sesungguhnya ia (surat Al-Ahad) setara sepertiga Al-Qur’an.
Dalam redaksi lain, 'Seseorang berdiri (shalat) waktu zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dan membaca sejak malam ‘Qul huwallahu ahad’ tanpa ditambah, dan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menyetujui pengulangan surat yang sama.
Al-Hafidz rahimahullah berkata: “Pembacanya adalah Qatadah bin Nukman, Ahmad mengeluarkan dari jalan Abu Al-Haitsam dari Abu Said, dia berkata: “Qatadah bin An-Nukman menginap, dan beliau semalam penuh membaca ‘Qul huwallahu ahad’ tidak ditambah. (Al-hadits).
Ad-Daraqutni meriwayatkan dari jalan Ishaq bin At-Toyya’ dari Malik dalam hadits ini dengan redaksi: “Sesungguhnya saya mempunyai tetangga, malam hari berdiri (shalat) dia tidak membaca melainkan ‘Qul huwallahu ahad’.”
Bacaan Al-Qur’an Setelah Al-Fatihah Dalam Shalat
Para sahabat ijma (sepakat) bahwa disunnahkan membaca Al-Qur’an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama di semua shalat. Ibnu Sirin mengatakan,
لا اعلمهم يختلفون في هذا
“saya tidak mengetahui mereka (para sahabat) berbeda pendapat dalam masalah ini” (dinukil dari Sifat Shalat Nabi, 101).Diantara dalilnya adalah sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam dari sahabat Abu Qatadah,
انَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ، وَسُورَتَيْنِ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ وَيُسْمِعُ الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يَقْرَأُ فِي العَصْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ
“Nabi shallallahu’alaihi wasallam membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat zhuhur dan juga membaca dua surat yang panjang pada rakaat pertama dan pendek pada rakaat kedua dan terkadang hanya satu ayat. Beliau membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat ashar dan juga membaca dua surat dengan surat yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surat di rakaat pertama shalat subuh dan memperpendeknya di rakaat kedua” (HR Al-Bukhari 759, Muslim 451).Namun para ulama berbeda pendapat mengenai bacaan Al-Qur’an pada rakaat ketiga atau keempat. Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan membaca Al-Qur’an pada rakaat ketiga atau keempat, namun amalan ini tidak terlarang sebagaimana dilakukan oleh para salaf.
Surat-Surat Yang Jadi Kebiasaan Nabi
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, “Disyariatkan bagi imam, demikian juga munfarid (orang yang shalat sendirian), dalam kebanyakan yang ia lakukan dalam shalat shubuh membaca surat yang thiwal mufashal, dalam shalat maghrib membaca yang qisar mufashal, dan shalat yang lainnya membaca yang wasath mufashal” (Sifat Shalat Nabi, 103).
Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah,
ما رأَيْتُ أحَدًا أشبَهَ صلاةً برسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم مِن فلانٍ – كان بالمدينةِ – قال سُلَيمانُ : فصلَّيْتُ أنا وراءَه فكان يُطيلُ في الأُولَيَيْنِ مِن الظُّهرِ ويُخفِّفُ الأُخْريَيْنِ ويُخفِّفُ العصرَ ويقرَأُ في الأُولَيَيْنِ مِن المغرِبِ بقِصارِ المُفصَّلِ وفي العِشاءِ بوسَطِ المُفصَّلِ وفي الصُّبحِ بطِوالِ المُفصَّلِ
“Tidak pernah aku melihat orang yang shalatnya lebih mirip dengan shalat rasulullah shallallahu’alaihi wasallam selain Fulan (ketika itu di Madinah). Sulaiman berkata, ‘maka aku pun shalat di belakangnya, ia memperpanjang dua rakaat pertama dalam shalat zhuhur dan memperpendek sisanya. Ia juga memperpendek bacaan shalat ashar, dan pada shalat maghrib membaca surat-surat qishar mufashal, dan pada shalat Isya membaca yang wasath mufashal, dan pada shalat subuh membaca thiwal mufashal‘” (HR. Ibnu Hibban 1837).Para ulama berbeda pendapat mengenai istilah qisar mufashal, wasath mufashal, dan thiwal mufashal. Namun di antara pendapat yang bagus adalah yang diungkapkan oleh Ibnu Ma’in, yang dirajihkan oleh As Suyuthi dalam Al Itqan Fi Ulumil Qur’an (1/222):
فَطِوَالُهُ إِلَى عَمَّ وَأَوْسَاطُهُ مِنْهَا إِلَى الضُّحَى وَمِنْهَا إِلَى آخِرِ الْقُرْآنِ قِصَارُهُ
“thiwal mufashal adalah (Qaf) hingga ‘Amma (yatasaa’aluun), wasath mufashal adalah dari ‘Amma hingga Ad-Dhuha, dan dari Ad-Dhuha hingga akhir adalah qisar mufashal”. Namun di luar kaidah ini, ada beberapa surat yang biasa dibaca oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat-shalatnya, sehingga dianjurkan juga untuk mencontoh beliau dalam hal ini.Shalat Maghrib
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah membaca surat At-Thur, Al-A’raf, dan Al-Mursalat ketika shalat maghrib. Dari Jubair bin Math’am, ia berkata,
سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membaca surat At-Thuur pada shalat maghrib” (HR. Muslim 463).Dari Marwan bin Hakam, ia berkata,
أنَّ زيدَ بنَ ثابتٍ قالَ : ما لي أراكَ تقرأُ في المغربِ بقصارِ السُّورِ ؟ قد رأيتُ رسولَ اللهِ يقرأُ فيها بأطول الطُّوليينِ ! قلتُ : يا أبا عبدِ اللهِ ، ما أطولُ الطُّوليينِ؟ قالَ : الأعراف
“Zaid bin Tsabit bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau membaca surat yang pendek-pendek ketika shalat maghrib? Aku pernah melihat rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membaca surat yang paling panjang’. Marwan berkata, ‘wahai Abu Abdillah, apa yang engkau maksud surat yang paling panjang?’. Ia menjawab, Al A’raf” (HR. An Nasa-i 989, Sunan An Nasa-i).Dari Ibnu Abbas, ia berkata,
إن أم الفضل سمعته ، وهو يقرأ : { والمرسلات عرفا } . فقالت : يابني ، والله لقد ذكرتني بقراءتك هذه السورة ، أنها لآخر ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ بها في المغرب
“Bahwa Ummul Fadhl mendengarnya membaca surat wal mursalaati ‘urfaa. Kemudian Ummul Fadhl berkata, ‘wahai anakku, demi Allah engkau telah mengingatkan aku dengan bacaan surat ini bahwa ini adalah surat yang dibaca ketika shalat maghrib terakhir yang dilakukan rasulullah shallallahu’alaihi wasallam‘” (HR. Al Bukhari 763, Muslim 462).Shalat Shubuh
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah membaca surat Qaaf dan At-Takwir dalam shalat shubuh. Dari Quthbah bin Malik, ia berkata,
أنه صلى مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم الصبحَ . فقرأ في أولِ ركعةٍ: والنخلُ باسقاتٍ لها طلعٌ نضيدٌ. وربما قال: ق
“Ia pernah shalat shubuh bersama bersama nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pada rakaat pertama membaca ayat baasiqaatin lahaa thal’un nadhiid (surat Qaaf ayat 10)” (HR. Muslim 457).‘Amr bin Harits berkata,
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“aku mendengar nabi shallallahu’alaihi wasallam pada shalat shubuh membaca idzas syamsu kuwwirat (surat At Takwir)” (HR. An Nasa-i dalam Ash Shughra 941, dengan sanad hasan).Shalat Isya
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menyatakan, “Dimakruhkan memperpanjang bacaan surat pada shalat Isya’ sebagaimana larangan nabi shallallahu’alaihi wasallam terhadap Muadz” (Sifat Shalat Nabi, 104). Karena yang dianjurkan ketika shalat Isya adalah surat-surat wasath mufashal sebagaimana telah dijelaskan.
أنَّ مُعاذَ بنَ جبلٍ رضي الله عنه كان يُصلِّي معَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، ثم يأتي قَومَه فيُصلِّي بهمُ الصلاةَ، فقَرأ بهمُ البقرةَ، قال : فتجوَّز رجلٌ فصلَّى صلاةً خفيفةً، فبلَغ ذلك مُعاذًا فقال : إنه منافقٌ، فبلَغ ذلك الرجلَُ، فأَتَى النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال : يا رسولَ اللهِ، إنا قومٌ نعمَل بأيدينا، ونَسقي بنَواضِحنا، وإن مُعاذًا صلَّى بنا البارِحةَ، فقرَأ البقرةَ، فتجوَّزتُ، فزعَم أني منافقٌ، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( يا مُعاذُ، أفتَّانٌ أنت – ثلاثًا – اقرَأْ : { وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا} . و{ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى } . ونحوَها )
“Mu’adz bin Jabal radhiallahu’anhu pernah shalat bersama nabi shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian ia kembali kepada kaumnya dan shalat bersama mereka menjadi imam. Kemudian ia membaca surat Al-Baqarah. Kemudian seorang lelaki mangkir dari shalat dan ia shalat sendiri dengan shalat yang ringan. Hal ini terdengar oleh Mu’adz, sehingga ia pun berkata, ‘ia munafik‘. Perkataan Muadz ini pun terdengar oleh si lelaki tersebut. Maka ketika datang nabi shallallahu’alaihi wasallam ia bertanya, ‘wahai rasulullah, siang hari saya bekerja dengan tangan saya dan mengairi ladang dengan unta-unta saya. Kemarin Muadz shalat mengimami kami dan membaca Al Baqarah, sehingga saya mangkir dari shalat. Dan ia mengatakan saya munafik‘. Lalu nabi shallallahu’alaihi wasallam pun bersabda, ‘wahai Muadz, apakah engkau ingin menjadi pembuat fitnah?’ Sebanyak 3x. Bacalah was syamsi wad dhuhaaha (Asy Syams) dan sabbihisma rabbikal a’laa (Al A’laa) atau semisalnya’” (HR. Al Bukhari 6106, Muslim 465).Surat Asy-Syams dan Al-A’laa termasuk wasath mufashal.
Shalat Zhuhur dan Ashar
Dari Abu Sa’id Al Khudri,
كنا نحزرُ قيامَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الظهرِ والعصرِ . فحزرنا قيامَه في الركعتين الأوليين من الظهر قدرَ قراءةِ الم تنزيل – السجدة . وحزرنا قيامَه في الأخريين قدرَ النصفِ من ذلك وحزرنا قيامه في الركعتين الأوليين من العصرِ على قدرِ قيامِه في الأخريين من الظهرِ وفي الأخريين من العصرِ على النصفِ من ذلك . ولم يذكر أبو بكرٍ في روايته : الم تنزيل . وقال : قدر ثلاثين آيةً
“Kami mengira-ngira panjang shalat rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika shalat zhuhur dan ashar. Kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat zhuhur yaitu sekadar bacaan surat Alif laam miim tanzil (As Sajdah). Dan kami mengira-ngira dua rakaat terakhir beliau sekitar setengah dari itu. Dan kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat ashar itu seperti dua rakaat akhir beliau pada shalat zhuhur. Dan dua rakaat terakhir beliau pada shalat ashar itu sekitar setengahnya dari itu. Dalam riwayat Abu Bakar tidak disebutkan Alif laam miim tanzil, namun ia berkata: “sekitar 30 ayat” (HR. Muslim 452).Memperpendek Bacaan Dalam Keadaan Safar
Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi mengatakan, “anjuran surat-surat pada setiap shalat di atas dikecualikan dalam keadaan safar. Dalam keadaan safar, tidak perlu mengkhususkan diri dengan surat tertentu, bahkan yang disyariatkan adalah memperingan bacaan. Terdapat riwayat shahih (valid) dari nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau membaca mu’awwidzatain (qul a’udzubirabbinnas dan qul a’udzu birabbil falaq) dalam shalat shubuh, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dari ‘Uqbah bin Amir dan dishahihkan oleh Abu Hatim.
Terdapat riwayat shahih (valid) juga yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Ma’rur bin Suwaid dari ‘Umar bahwa ketika ‘Umar sedang safar berhaji, beliau shalat shubuh dengan membaca li iila fi quraisy.
Terdapat riwayat shahih (valid) juga dari Amr bin Maimun, bahwa ketika shalat dalam safar ia membaca qul yaa ayyuhal kafirun dan qul huwallahu ahad” (Sifat Shalat Nabi, 105).
Dan syaikh menyebutkan lagi beberapa atsar (perkataan sahabat nabi) serupa dari para sahabat.
Anjuran Menyesuaikan Kondisi Makmum
Dianjurkan bagi imam untuk menyesuaikan diri dengan kondisi makmum, jika terdapat orang yang lemah, orang sakit, atau anak-anak, dianjurkan untuk memperingan shalat.
إذا أمَّ أحدُكم الناسَ فليخفِّفْ . فإن فيهم الصغيرَ والكبيرَ والضعيفَ والمريضَ . فإذا صلَّى وحده فليصلِّ كيف شاء
“Jika salah seorang dari kalian menjadi imam bagi suatu kaum, maka permudahlah shalatnya. Karena di antara mereka ada anak kecil, orang tua, orang lemah dan orang sakit. Jika kalian shalat sendirian maka silakan shalat sebagaimana kalian mau” (HR. Al Bukhari 90, Muslim 467).Imam At-Tirmidzi setelah membawakan hadits ini dalam Sunan-nya beliau mengatakan, “ini adalah pendapat mayoritas ulama, mereka berpendapat hendaknya imam tidak memperpanjang shalat karena khawatir menimbulkan kesulitan bagi orang yang lemah, orang tua, dan orang yang sakit”.
Ketika menjelaskan hadits ini dalam Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri membawakan perkataan Ibnu ‘Abdil Barr yang bagus, beliau berkata, “Setiap imam dianjurkan memperingan shalatnya, ini adalah perkara yang disepakati para ulama. Dan yang dimaksud memperingan adalah mengurangi kesempurnaannya. Adapun jika sampai ada kekurangan dalam shalat, maka tidak boleh. Karena rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang orang yang shalatnya seperti burung gagak mematuk. Rasulullah juga pernah melihat orang yang shalatnya tidak sempurna rukuknya. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘ulangilah shalatmu! Karena engkau belum shalat‘. Kemudian beliau bersabda, ‘Allah tidak melihat kepada orang yang tidak meluruskan punggung ketika rukuk dan sujud‘”. Ibnu Abdil Barr juga mengatakan, “Saya tidak mengetahui khilaf (perbedaaan) di antara para ulama mengenai dianjurkannya memperingan shalat bagi siapa saja yang menjadi imam untuk kaummnya, selama memenuhi syarat yang kami jelaskan, yaitu tetap sempurna rukun shalatnya. Diriwayatkan dari Umar bin Khathab bahwa beliau berkata,”
لا تبغضوا الله إلى عباده ، يطول أحدكم في صلاته حتى يشق على من خلفه
“Allah tidak murka kepada para hamba-Nya jika mereka memanjangkan shalat mereka, kecuali jika itu mempersulit orang yang dibelakangnya (makmum)”.Mengulang Surat / Ayat Yang Sama
Mengulang bacaan atau surat yang sama pada rakaat yang berbeda
Misalnya pada rakaat pertama membaca surat Adh-Dhuha, lalu pada rakaat kedua juga membaca surat Adh-Dhuha. Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi menjelaskan, “Bukan termasuk sunnah mengulang bacaan Al-Qur’an yang sama di kedua rakaat, bahkan yang lebih utama adalah membaca bacaan yang berbeda antara rakaat pertama dan kedua. Dan terkadang dianjurkan pada rakaat kedua lebih pendek dari rakaat pertama”. (Sifat Shalat Nabi, 103).
Mengulang bacaan atau surat yang sama pada satu rakaat
Misalnya pada rakaat pertama membaca surat Al-Insyirah sebanyak dua kali. Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi menjelaskan, “Mengulang bacaan yang sama pada satu rakaat adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah, tidak pernah dilakukan oleh nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak pula oleh salah seorang dari sahabatnya. Dan Al-Qur’an itu tidak turun dengan cara berulang-ulang untuk ayat yang sama. Tidak ada bagian dari Al-Qur’an itu yang sia-sia. Telah diisyaratkan bahwa perbuatan ini menyelisihi sunnah oleh imam Asy- Syathibi dalam kitab Al-I’tisham” (Sifat Shalat Nabi, 109-110).
Mengulang ayat yang sama pada satu rakaat
Tidak terdapat hadits yang shahih (valid) dari nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau pernah mengulang ayat yang sama dalam satu rakaat, namun terdapat atsar (perbuatan sahabat nabi) yang menyatakan bahwa amalan ini dilakukan oleh sebagian sahabat nabi.
Memisah Bacaan Surat Dalam Dua Rakaat
Contoh memisah bacaan misalnya seseorang membaca surat An-Naba ayat 1–30 pada rakaat pertama, lalu pada rakaat kedua ia lanjutkan ayat 31–40. Ini berarti ia memisahkan bacaan surat An-Naba’ menjadi dua rakaat.
Yang sesuai sunnah adalah membaca satu surat atau satu bacaan untuk satu rakaat, tidak memisahkan satu surat atau satu bacaan menjadi dua rakaat. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لِكُلِّ سورةٌ حظُّها منَ الركوعِ والسجودِ
“setiap surat itu kadarnya seperti panjang rukuk dan sujud” (HR. Al-Baihaqi 3/10).dalam riwayat lain,
لكلِّ سورةٍ ركعةٌ
“setiap surat itu untuk satu raka’at”.Inilah yang diamalkan oleh rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan tidak ada riwayat yang shahih (valid) yang mengabarkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wasallam pernah memisah bacaan surat dalam dua rakaat. Yang demikian juga merupakan amalan yang diutamakan para salaf ridwanullah ‘alaihim ajma’in. Namun demikian, memang benar ada sebagian salaf yang pernah membagi bacaan surat dalam dua rakaat. Namun ini hanya pada kesempatan yang sedikit saja dan bukan dijadikan hal yang utama ataupun rutinitas.
Demikian semoga bermanfaat
**
Rujukan utama: Sifatu Shalatin Nabi, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi
Wallahu’alam.
MENGAPA DALAM MEMBACA AL QUR'AN HARUS SATU NAFAS ?
PERTANYAAN
assalamu 'alaikum warohmatullahi wabarokatuh...
malu bertanya sesat dijalan, banyak bertanya memalukan...
(biarin aja daripada sok tahu tapi memalukan (pake) banget)...
kenapa diwaktu membaca ayat al-qur'an dianjurkan satu nafas?
satu nafas yang aku maksud adalah ketika membaca satu ayat dan belom selesei udah kehabisan nafas maka harus mengulang satu atau dua kalimat yang menyambung.MONGGO...
JAWABAN
wa'alaikum salam
Mengapa dalam baca'an Alqur'an harus satu nafas. ini byk alasannya. diantaranya untuk membedakan waqof dan saktah. .... alasan yg lain untuk menjaga makna kalimah yg benar, .... == dlam ilmu tajwid ada istilah waqof...dan macam2 jumlanya.... ------------ di antara pengertian TARTIL adalah memahami hukum2 waqof. --------
قال الله في القرأن ~ ورتل القرأن ترتيلا ~ وقال علي كرم الله وجهه . الترتيل هو تجويد الحروف ومعرفة الوقوف ~ نهاية قول المفيد ص 150
Sahabat ALI berkata ; arti Tartil ialah tajwidul huruf dan mengerti kaedah Waqof.قال ابن الجزري في النشر ففي كلام علي رضي الله عنه دليل على وجوب تعلمه ومعرفته ~ نهاية القول المفيد ص 150
Imam ibnu Aj jazari berkata dalam kitab An nasr - ucapan sahabat Ali tadi sebagai dalil belajar dan mengetahui kaedah waqof -- kitab Nihayatul qaulil mufid. halmn 150.Dalil -- tentang keharusan ngerti waqof.
وروي أن الرجلين أتيا النبي صلى الله عليه وسلم فتشهدأحدهما فقال . من يطع الله ورسوله فقد رشد ومن يعصهما. فقال له النبي صلى الله عليه وسلم قم بئس الخطيب أنت فقل ~ ومن يعص الله ورسوله فقد غوى ~ ففي الخبر دليل واضح على كراهة القطع على المستبشع من اللفظ المتعلق بما بين حقيقته _ نهاية القول المفبد ص 151
Diriwayatkan...sesungguhnya ada dua lelaki mendatangi NABI salah satunya berkata -- من يطع الله ورسوله فقد رشد ومن يعصهما. dia berhenti .tidak melanjutkannya.- Maka NABI berkata -- berdirilah....sejelek - jeleknya orang berkata adalah kamu.....!! kemudian Nabi memerintahkan ..... katakanlah.. ومن يعص الله ورسوله فقد غوى - ini hadist sebagai dalil yang jelas atas dilarangnya Waqof atau berhenti pada kalimah yang ada kaitannya dengan yang lain ==== maksudnya bila waqot tidak pada tempatnya akan merusak maknanya === kitab Nihayatul qaulil mufid halamn, 151. = hadis ini juga di temukan pada kitab Haqqut tilawah halmn 73.Waqaf terbahagi kepada empat jenis seperti berikut:
1) Waqaf Ikhtibari (وقف اختبارى) : Ialah waqaf pada sesuatu kalimah kerana ingin menerangkan hukum kalimah itu dari sudut resamnya pada Mashaf menghendaki terputus atau bersambung, ditulis dengan Ta' Marbutoh atau Ta' Maftuhah, dan lain-lain lagi.== waqaf ini dibolehkan hanya dalam proses belajar mengajar, yang sebenarnya tidak boleh waqaf menurut kaidah ilmu tajwid
Sebagai contoh:
-Boleh waqaf pada kalimah فى dalam ayat (( إن الله يحكم بينكم فى ما هم فيه يختلفون )) surah al-Zumar ayat 3.
-Tetapi tidak boleh waqaf pada kalimah فى yang bersambung dengan kalimah ما pada ayat (( قالوا فيما كنتم )) surah al-Nisa' ayat 97. Ini kerana tulisan Resam Usmani sebegitu rupa.
Hukumnya : Harus, dengan cara mengulang kembali kalimah yang diwaqafkannya atau kalimah sebelumnya untuk menyempurnakan maksud dari ayat tersebut.
2) Waqaf Idhtirari (وقف اضطرارى) : Ialah waqaf ketika sebab terpaksa seperti kurang nafas, bersin dan sebagainya.
Hukumnya : Harus, bagi si pembaca yang waqaf kerana sebab terpaksa lalu apabila hilang sebab terpaksa itu mestilah mengulang kembali menyebut kalimah yang diwaqafkannya atau kalimah sebelumnya untuk menyempurnakan maksud ayat bacaannya itu.
3) Waqaf Intidzari ( وقف انتظارى ) : Ialah waqaf pada sesuatu kalimah dengan tujuan mencukupkan bentuk-bentuk qiraat yang ada dalam kalimah itu.karena diperselisihkan oleh ulama’ qiraat antara boleh dan tidak boleh waqaf. Untuk menghormati perbedaan pendapat itu, sambil menunggu adanya kesepakatan, sebaiknya waqaf pada kata itu, kemudian diulangi dari kata sebelumnya yang tidak merusak arti yang dimaksud oleh ayat, dan diteruskan samapi tanda waqaf berikuitnya.
Hukumnya : Harus, ini biasanya dilakukan oleh penuntut dalam bidang ilmu Qiraat. Mereka membaca satu ayat dengan berbagai bentuk qiraat sehingga tidak terjadi khilaf qiraat yang ada dalam ayat tersebut dengan memperhatikan petunjuk dari guru mereka (talaqi dan musyafahah). Jika ayat itu terlalu panjang sudah tentulah memerlukan kemahiran untuk waqaf pada kalimah yang sesuai, kemudian diulang dengan bentuk qiraat yang lain sehingga selesai. Kemudian barulah disambung dengan potongan rangkaikata ayat yang berbaki itu.
4) Waqaf Ikhtiyari (وقف اختيارى) : Ialah waqaf yang boleh dibuat pilihan dengan tanpa sebab-sebab yang telah disebut sebelum ini.
MENGAMBIL NAFAS DITENGAH-TENGAH KALIMAT
PERTANYAAN :
assalamu'alaikum..
Mau nanya afwan, ktika membaca alqur'an apkah tidk dperblhkan mengambil nafas ditengah2 kalimat?
Minta ibarohnya, syukron
JAWABAN :
و لا يجوز فى القران الا التلاوة كما انزل ) و تلقفه الخلق عن السلف فتصرفه و مده و الوقف و الوصل والقطع فيه على خلاف ما تقتضيه التلاوة و التجويد حرام او مكروه
Tidak diperkenankan dalam Al-Qur'an kecuali membacanya seperti apa yg telah ditur
unkan, yg telah diikuti oleh orang-orang sejak masa lalu. Maka membaca panjang, berhenti, menyambung dan memutuskannya berbeda dg tuntutan tajwid haram hukumnya. Atau setidaknya dimakruhkan.
Refrensi . Kitab Ahkamul fuqoha
======
dalam membaca qur'an memang tajwid harus dibaca
التجويد لا خلاف فى انه فرض كفاية و العمل به فرض عين على كل مسلم و مسلمة من المكلفين
هداية المستفيد ٥
Oleh karenanya, bila ia membacanya tanpa tajwid maka keharaman terjadi, semisal ia berhenti pada ayat yg dilarang berhenti .
Adapun memutus bacaan ditengah2 ayat karena nafas pendek, kmdian ia mengulang lg adalah sudah termasuk kedalam pembelajaran ilmu tajwid. Yakni bab waqof.
Sebagaimana yg sudah diketahui bhw wakof itu ada 4
1. wakof ikhtibary
2. Wakof ikhtidhory
3. Wakof intidhory
4. Wakof ikhtiary
======
PEMBAGIAN WAQAF
1. WAQAF IKHTIBARI (menguji atau mencoba).
Maksudnya adalah waqaf yang dilakukan untuk menguji qari’ atau menjelaskan agar diketahui cara waqaf dan ibtida’ yang sebenarnya. Waqaf ini dibolehkan hanya dalam proses belajar mengajar, yang sebenarnya tidak boleh waqaf menurut kaidah ilmu tajwid.
2. WAQAF IDHTHIRARI (terpaksa).
adalah waqaf yang dilakukan dalam keadaan terpaksa, mungkin karena kehabisan nafas, batuk atau bersin dan lain sebagainya. Apabila terjadi waqaf ini, hendaklah mengulang dari kata tempat berhenti atau kata
sebelumya yang tidak merusak arti yang dimaksud oleh ayat.
3. WAQAF INTIZHARI (menunggu).
Maksudnya adalah waqaf yang dilakukan pada kata yang diperselisihkan oleh ulama’ qiraat antara boleh dan
tidak boleh waqaf. Untuk menghormati perbedaan pendapat itu, sambil menunggu adanya kesepakatan,
sebaiknya waqaf pada kata itu, kemudian diulangi dari kata sebelumnya yang tidak merusak arti yang
dimaksud oleh ayat, dan diteruskan samapi tanda waqaf berikuitnya. Dengan demikian terwakili dua pendapat yang berbeda itu.
4. WAQAF IKHTIARI (pilihan).
Maksudnya adalah waqaf yang dilakukan pada kata yang dipilih, disengaja dan direncanakan, bukan karena ada sebab-sebab lain.
saya kutipkan dari al Mausu'atul Fiqhiyyah:
لا خلاف في أنّ الاشتغال بعلم التّجويد فرض كفاية
أمّا العمل به، فقد ذهب المتقدّمون من علماء القراءات والتّجويد إلى أنّ الأخذ بجميع أصول التّجويد واجب يأثم تاركه، سواء أكان متعلّقاً بحفظ الحروف
- ممّا يغيّر مبناها أو يفسد معناها - أم تعلّق بغير ذلك ممّا أورده العلماء في كتب التّجويد، كالإدغام ونحوه
قال محمّد بن الجزريّ في النّشر نقلاً عن الإمام نصر الشّيرازيّ: حسن الأداء فرض في القراءة، ويجب على القارئ أن يتلو القرآن حقّ تلاوته
وذهب المتأخّرون إلى التّفصيل بين ما هو واجب شرعيّ من مسائل التّجويد، وهو ما يؤدّي تركه إلى تغيير المبنى أو فساد المعنى، وبين ما هو واجب صناعيّ أي أوجبه أهل ذلك العلم لتمام إتقان القراءة، وهو ما ذكره العلماء في كتب التّجويد من مسائل ليست كذلك، كالإدغام والإخفاء إلخ. فهذا النّوع لا يأثم تاركه عندهم
قال الشّيخ عليّ القاريّ بعد بيانه أنّ مخارج الحروف وصفاتها، ومتعلّقاتها معتبرة في لغة العرب: فينبغي أن تراعى جميع قواعدهم وجوباً فيما يتغيّر به المبنى ويفسد المعنى، واستحباباً فيما يحسن به اللّفظ ويستحسن به النّطق حال الأداء. ثمّ قال عن اللّحن الخفيّ الّذي لا يعرفه إلاّ مهرة القرّاء: لا يتصوّر أن يكون فرض عين يترتّب العقاب على قارئه لما فيه من حرج عظيم
======dalam kitab Mizan Kubro 1/154:
ومن ذلك قول بعض أصحاب الشافعي إنه ينبغي القراءة بالإخفاء والإظهار والتفخيم والترقيق والإدغام ونحو ذلك مع قول بعضهم إن ذلك لا ينبغي في الصلاة لئلا يشغل العبد عن كمال الإقبال على مناجاة الله
Wallaahu A'lam
======
sebagai perbandingan tentang masalah waqof.
Imam Ibnul 'Aroby al Maliki dalam Ahkaamul Quran juz IV halaman 1983, cetakan Darul Ma'rifah, menerangkan:
المسألة الثانية جواز الوقف في القراءة في القرآن قبل تمام الكلام ، وليست المواقف التي تنز
ع بها القراء شرعا عن النبي صلى الله عليه وسلم مرويا ، وإنما أرادوا به تعليم الطلبة المعاني ، فإذا علموها وقفوا حيث شاءوا ; فأما الوقف عند انقطاع النفس فلا خلاف فيه ، ولا تعد ما قبله إذا اعتراك ذلك ، ولكن ابدأ من حيث وقف بك نفسك ، [ هذا رأيي فيه ، ولا دليل على ما قالوه بحال ، ولكني أعتمد الوقف على ] التمام ، كراهية الخروج عنهم ، وأطرق القول من عي
Wallaahu A'lam
فرع آخر: الوجه جواز تقطيع حروف القرآن في القراءة في التعليم للحاجة إلى ذلك انتهى
(حواشي الشرواني - ج 1 / ص 154
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar