Di antara adab terhadap al-Qur'an dan Hadis ialah tidak gegabah melakukan istidlal dan istinbath hukum. Harus hati-hati. Memutilasi ayat al-Qur'an dan hadis untuk kepentingan pribadi yang bersifat praktis--dengan mengabaikan pendapat mufassir--adalah seolah menggunakan keris pusaka untuk mengiris kedondong.
Karena keduanya merupakan "bahan baku", maka dibutuhkan para ahli yang mengolah intisari keduanya agar bisa disajikan kepada orang awam dengan praktis, aplikatif, dan tidak expired. Ulama adalah ahli dalam mengolah kedua "bahan baku" ini.
Karena itu, slogan manis "kembali ke al-Qur'an dan Assunnah" kurang tepat. Mengapa? Karena Ahlussunnah wal Jama'ah tidak pernah meninggalkan keduanya. Jadi, mengapa harus kembali?
Kalaupun slogan ini diperuntukkan untuk kaum awam, malah berbahaya. Sebab, butuh keilmuan "pilih tanding" yang ditunjang kredibilitas untuk menerapkan slogan "kembali ke al-Qur'an dan Assunnah" ini.
Oleh karena itulah, para ulama menyusun tafsir al-Qur'an dan puluhan kitab syarah hadis agar menjadi rambu-rambu dalam memahami al-Qur'an dan hadis. Dengan cara ini, kita sebenarnya kita diajarkan untuk tidak gampang comot dalil dan otak atik gathuk ayat dan sabda Baginda Rasulullah ShallAllah 'alaihi wasallam.
"Andaikata orang BODOH mau DIAM, niscaya nihillah perselisihan...."
(Sayyidina Ali KarramAllah Wajhah)
*WAllahu A'lam bisshawab*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar