Senin, 07 November 2016

Tidak ada sistim Kholifah dalam Islam

Khilafah bukan dari Rasulullah, tapi lahir dari rahim Politik
Gaung Suara Khilafah yang di dengungkan oleh HT (Hizbut-Tahrir) akhir-akhir ini semakin menjadikan Kita miris, bendera-baliho yang bertulisakan penolakan terhadap Pancasila dan maraknya event HTI dan muktamarnya dalam rangka menuntut pembubaran Negara Kesatuan Republik Indonesia dan beralih menjadi bagian dari Wilayah pemerintahan Khilafah oleh mereka semakin di sambut baik oleh masyarakat yg minus pengetahuan dan tidak cerdas dalam menerima informasi serta memahami situasi.

Konsep pemerintahan Khilafah yang mereka sebut sebagai satu-satunya sistem pemerintahan wahyu (islam) ternyata sama sekali tidak pernah di singgung atau di anjurkan oleh alquran dan al-hadits. Hal ini kita bisa buktikan sendiri tak satupun ayat atau hadits yang memerintahkan terhadap pemeluk islam untuk memberlakukan pemerintahan Khilafah.

Lalu, darimanakah dasar HT (Hizbut-Tahrir) meyakini bahwa Khilafah adalah satu-satunya konsep pemerintahan Wahyu (islam) yg wajib di berlakukan oleh umat islam?.

Untuk memahami Tentang Khilafah, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu asal munculnya pemerintahan tersebut.

Pemerintahan Khilafah muncul hasil keterpaksaan dari memanasnya suhu politik pasca Mangkatnya Kanjeng Nabi Muhammad saww, menghadap keharibaan Kekasihnya.

Kewafatan Kanjeng Nabi Saww, menjadikan suasana tanah Hijaz (Makkah-Madinah) gaduh, masing-masing dari para pemuka Quraisy dan Anshar saling merasa paling berhak mengganti posisi Rasul saww (khalifah), Muhajirin Vs Anshar yang mengadakan perundingan meja bundar di saqifah Bani Sa'idah hampir berakhir ricuh, kemudian Sayidina Abu Bakar bersama Sayidina Umar ra menengahi dan singkat cerita perundingan( ijtima') di saqifah Bani Sa'idah menghasilkan konsensus berupa pembaiatan pertama Abu Bakar ra sah menjadi Khalifah(pengganti) Rasul Saww.

Kemudian pembaitan kedua atas Abu Bakar ra di lakukan di mesjid sebagai pembaitan Umum.

Rupanya, hasil Konsensus di Saqifah dengan di Baiatnya Abu Bakar ra sebagai Pengganti Rasul Saww, menjadikan sebagian kaum muslim di dalam Tanah Hijaz maupun di wilayah lain tidak setuju, akhirnya banyak suku yang membangkang, ada yang murtad, ada juga yang menolak zakat, bahkan ada yang mengaku sebagai Nabi.

Suku(qabilah) yang menolak zakat di prakarsai oleh Abs dan Zubyan.

Wilayah-wilayah yang kembali murtad adalah, Bahrain, Amman, Nujair, dan wilayah-wilayah kecil lainnya. Dan diantara nabi palsu ketika itu adalah Tuliahah yang mengaku mendapat Wahyu dari Allah Swt, diantara wahyu yang diterimanya adalah :

والحمام والیمام، والصرد والصوام، قد صمن قبلکم باعوام، لیتلغنا ملکنا العراق والشام

Demi burung dara dan burung tekukur, demi burung pemangsa yang kelaparan, yang sudah diburu beberapa tahun sebelummu, raja kita pasti dapat mengalahkan Irak dan Syam / Syuriah

( kok isi wahyunya persis sama dengan target ISIS ya...)

Alasan Kemurtadan, penolakan membayar zakat dan pengakuan sebagai nabi, yang dilakukan mereka adalah sebagai bentuk penolakan dan pembangkangan terhadap ke Khalifahan Abu Bakar ra, mereka menginginkan pimilihan ke khalifahan dilakukan dengan cara pemilihan umum ( انتخاب العام ), bukan dengan cara perundingan para pemuka.

Genap pada umur 63 th, Abu Bakar ra mengalami sakit keras, para sahabat berkumpul dan Abu Bakar bertanya kepada mereka ; " Apakah kalian akan menerima orang yang akan saya calonkan sebagai pengganti saya?. Saya bersumpah bahwa, saya melakukan yg terbaik dalam hal ini, dan saya memilih umar Ibnul Khattab sebagai pengganti saya." Para sahabat menjawab : " Kami mendengarnya dan kami akan menta'atinya ". Akhirnya Abu Bakar ra meninggal, masa kemipinannya cukup singkat hanya berlangsung dua tahun tiga bulan.

Kemudian Umar ra mengganti posisi Abu Bakar ra sebagai khalifah kedua dengan penunjukkan oleh Abu Bakar. Dimasa kemimpinan Umar ra, banyak sekali amir-amir ( gubernur) yang mendadak kaya raya, akhirnya Umar ra meresufle sebagian dari mereka, dan Abu Hurairah ra adalah salah satu orang yang di angkat menjadi gubernur Bahrain, dan ternyata, belum lama Abu Hurairah ra menjabat sebagai Gubernur Bahrain, tiba-tiba kekayaan Abu Hurairah meningkat pesat, hingga membuat Umar ra Geram, akhirnya Abu Hurairah di panggil menghadap Umar ra, dan Umarpun Mengambil semua kekayaan Abu Hurairah lalu di masukkan ke Baitul Maal.

Di penghujung sakitnya Sayidina Umar ra, imbas terkena belati (Peroz) Abu Lu'luah, Umar membentuk team Formatur / Team Ahwa (Ahlul Halli wal-'aqdi) yang terdiri atas enam orang sahabat terkemuka untuk membentuk penggantinya sebagai khalifah diantara anggota team.
Enam sahabat yang yang menjadi anggota formatur (team Ahwa) adalah, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin 'Auf dan Sa'ad bin Abi Waqash. Untuk menghindari deadlock dalam pemilihan, Umar ra mengangkat putranya, Abdullah bin Umar, sebagai anggota formatur dengan disertai hak pilih tanpa berhak untuk dipilih. Pada saat pemilihan, Thalhah sedang tidak berada di Madinah dan baru kembali ke Madinah setelah proses pemilihan selesai. Dewan Formatur akhirnya berhasil mengangkat Utsman bin Affan sebagai Pengganti Khalifah Umar ra. ( inilah Sistem Ahwa yang di ambil oleh NU untuk mencetuskan ketua Dewan Syura).

Ke-Khalifahan pada era Sayidina Utsman lebih perah lagi di banding dua khalifah sebelumnya, pasalnya, Utsman ra terkesan Nepotisme, diantara sikap Utsman ra yang lebih cenderung memilih keluarganya untuk menduduki kursi-kursi basah adalah :
1).Perluasan wilayah kekuasaan.
Mu'awiyah- yg pada era Umar ra - di angkat menjadi wali Damaskus, wilayah kekuasaan Muawiyah di perluas pada era Utsman ra menjadi 5 wilayah : Damaskus, Himsh, Palestina, Yordania dan Libanon.
2). Promosi jabatan kepada keluarga. Marwan bin hakam ( Saudra sepupuh Utsman ra) diangkat menjadi skretaris Jenderal Negara yang menyebabkan negara di kendalikan oleh satu keluarga.
3). Pemecatan wali atau amir (Gubernur) yg berprestasi di ganti dengan keluarga dan kerabat dekatnya.

Tindakan khalifah Utsman yang menyebabkan terkumpulnya seluruh kekuasaannya di tangan keluarganya menimbulkan reaksi keras dari masyarakat, terlebih dari mereka yang dipecat jabatannya tanpa alasan yang jelas. Disamping itu, tindakan bawahan khalifah Utsman dinilai oleh Masyarakat telah banyak menyimpang dari ajaran islam. Walid bin Uqbah pernah shalat subuh 4 rakaat disebabkan dalam kedaan mabuk.
Sayidina Utsman ra tdk dapat mengatasi ambisi keluarga hingga pelanggaran tidak dpt diatasi.
Tanah fadak yang pernah disengketan oleh Sayidah Fatimah ra dengan khalifah Abu Bakar ra, dimasukkan menjadi milik pribadi oleh marwan bin Hakam.

Reaksi masyarakat terhadap khalifah Utsman berupa protes atas prilaku pejabat pemerintah di daerah; dan akhirnya protes terbesar datang dari Mesir yang menuntut pemecatan Abdullah bin Abi Syarh sebagai wali Mesir, setelah di nasihati Thalhah dan Aisyah serta desakan Ali bin Abi Thalib ra, akhirnya Utsman memecat Abdillah bin Abi Syarh.
Setelah tuntutan protesnya di penuhi oleh Utsman ra, penduduk Mesir yang berjumlah 700 beserta Muhammad bin Abi Bakar(putra Khalifah pertama), kembali ke Mesir, ditengah perjalanan mereka mendapati seorang budak yg mencurigakan yang ternyata membawa surat rahasia berstempel khalifah. Surat tersebut ditujukan kepada Abdullah bin Abi Syarh yg berisi perintah agar memenggal kepala Muhammad bin Abi Bakar sesampainya di Mesir.

Muhammad bin Abi Bakar beserta romongan akhirnya kembali ke Madinah untuk melakukan konfirmasi kepada Khalifah tentang surat yang dibawa oleh Budak. Berdasarkan penelitian terhadap tulisan tangan surat yang di bawa budak, diduga kuat bahwa surat tersebut berasal dari Marwan bin Hakam. Muhammad bin Abi Bakar meminta kepada khalifah Utsman agar Marwan diserahkan kepada mereka, akan tetapi Utsman menolak permintaan tersebut, karena khawatir marwan akan dibunuh. Situasi menjadi tegang dan tidak terkendali dan pengawalan terhadap khalifah menjadi tak berdaya, karena banyaknya penduduk Mesir yg melakukan protes. Akhirnya, Utsman bin Affan ra wafat terbunuh pada tanggal 18 Dzulhijjah 35 H. dalam usia 82 th, dan pembunuhannya tidak diketahui secara pasti.

Setelah kewafatan Utsman ra, Ali ra di baiat menjadi khalifah ke 4, awalnya Ali ra menolak pengangkatan tersebut, akan tetapi karena kursi kekhalifahan kosong, akhirnya Ali ra rela di Baiat menjadi Khalifah.

Pada era kekahlifahan Ali ra, tidak kalah memanasnya dengan Suhu politik pada masa 3 khalifah sebelumnya, dari muali perang Jamal (Kubu Ali ra vs Aisyah ra), perang Shiffin ( Kubu Ali ra Vs Mu'awiyah ) sampai pada pembunuhan Ali ra oleh Golongan khawarij ( Abdurrahman bin Muljam). Suhu politik yang luar memanas dari para pemuka Quraisy di era ke khalifahan Ali ra mampu menyayat hati kaum muslim.

Dari paparan singkat diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa, selain tidak ada anjuran Nash (baik alquran maupun Hadits) yang mengharuskan utk memberlakukan Khilafah sebagai sistem pemerintahan, juga Khilafah lahir dari rahim politik pasca Mangkatnya kanjeng Nabi Saww(sama sekali bukan lahir dari wahyu).

Jadi yang terpenting itu bukan harus memakai khilafah sebagai sistem pemerintahannya, melainkan sistem yang dimana umat islam bisa hidup sentausa dan bisa tenang menjalankan agamanya. Konsep pemerintahannya ya terserah mau menggunakan konsep apa.

Makanya imam Al-Syafi'i pernah berkata :

لاسیاسه الا ماوافق الشرع

Tidak ada politik yang baik kecuali ia sesuai dengan Syari'at.

Jadi bentuk pemerintahan itu bukan harus khilafah. Bentuk pancasilapun jika sesuai standard Syari'at maka hal itu dikatan sebagai pemerintahan yang baik.

Jika memang Khilafah adalah sistem pemerintahan yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasulnya, lalu, kenapa dari khalifah pertama sampai khalifah ke 4 proses cara terpilihnya tidak sama?. Kenapa Allah dan Rasulnya tidak mengatur proses pemilihannya?.

Dan jika bangsa indonesia menuruti keinginan Hizbut-tahrir dan Salahfi Wahabi, untuk merubah pancasila beralih ke sistem Khilafah, lalu siapakah di dunia ini orang yang layak bakal kami Baiat sebagai Khalifahnya?

Dari Sunny-kah, syiahkah atau dari wahabi?.. Dan sistem Khalifah manakah dari 4 khalifah diatas yang hendak di contoh oleh Khalifah produk Hizbut-tahrir dan Wahabi skarang ini?. Abu Bakar kah, Umar kah, Utsman kah atau Ali?.

Kalau Khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut-tahrir adalah baik, kenapa Hizbut-tahrir tidak laku di Negerinya sendiri(palestina)?. Kenapa malah lakunya di Inggris?.

Sebenarnya yang diperjuangkan kalian itu Khilafah apa Khilapet?.

Satu pertanyaan lagi, Jika memang pancasila adalah dasar pemerintahan Thoghut, lalu kenapa kalian masih menginjakkan kakinya disini? Kenapa kalian masih nyari makan disini?

Minggu, 06 November 2016

Wahabi anti bid'ah tapi suka berbuat bid'ah

ANTI BIDAH BERBUAT BIDAH.
WAHABI AHLUL BIDAH SALING MENUDUH BIDAH SESAMA ULAMA WAHABI
Berikut ini adalah sebuah fakta kerancuan ulama ulama wahabi Dalam membuat pernyataan dan tanpa sadar satu sama lain saling tuding sebagai ahlul bidah.
.
Sungguh suatu keanehan dan makin terkuaknya ajaran ajaran wahabi ini adalah bukti bahwa golongan wahabi adalah golongan tidak jelas.
.
Dan sungguh suatu kebodohan dari mereka mereka yang tertarik masuk golongan ini tanpa teliti lebih dahulu dan tanpa sadar di jebak oleh pemahaman yg mengarah kepada SUBHAT.
.
LIHAT FAKTA SBB :
.
1. Utsaimin Dinilai Bid’ah (Sesat) Oleh Albani Karena Mensunnahkan Azan Jum’at 2
Kali al-Albani dalam kitabnya al-Ajwibah al-Nafi’ah, menilai
azan sayyidina Utsman ini
sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan.
.
Al-’Utsaimin sendiri,
sangat marah sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung al-Albani dengan sangat keras & menilainya tidak memiliki pengetahuan agama
sama sekali: “ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jumaat yang pertama adalah bid’ah, kerana tidak dikenal pada masa Rasul , & kita harus membatasi pada azan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya
sunahnya Utsman R.A adalah sunah yang harus diikuti
apabila tidak menyalahi sunah Rasul & tidak di tentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui &
lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (al-
Albani). Beliau (Utsman R.A)
termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh pentunjuk,
& diperintahkan oleh Rasullah
untuk diikuti”. Sumber: al-‘Utsaimin, Syarh al-’Aqidah al-Wasîthiyyah (Riyadl: Dar al-Tsurayya, 2003) hal 638.
.
2. Bin Baz Di Nilai Bid’ah (Sesat) Oleh Utsaimin Karena Membolehkan Berdoa Menghadap Kubur Nabi
Para ulama Wahhabi Salafy khususnya Utsaimin dalam
salah satu kitabnya melarang
berdoa menghadap kubur Nabi , akan tetapi hal ini ditolak oleh Bin Baz Dalam salah satu fatwa Bin Baz dikutip Pertanyaan no.624: ”Apakah dilarang ketika berdoa untuk mayit dengan menghadap ke kuburannya?”
Jawaban:” Tidak dilarang !! Bahkan mendoakan mayit
dengan menghadap kiblat atau
menghadap kuburnya itu terserah. Karena Nabi Muhammad pernah pada suatu hari setelah prosesi pemakaman beliau berdiri diatas kuburnya
& bersabda:“Mohonkanlah
ampunan untuk saudara kalian ini, & mintakanlah ketetapan imannya, karena dia sekarang
sedang di tanyai. Dalam kejadian ini Nabi tidak mengatakan:“Menghadaplah kalian ke arah kiblat!. Oleh sebab itu, maka semuanya boleh, entah
itu menghadap kiblat atau
menghadap kuburan.
.
3. Utsaimin, Bin Baz & Ibnu Taimiyah Di Nilai Bid’ah
(Sesat) Oleh Albani Karena
Mensunnahkan Tarawih 20 Rakaat Albani & hampir seluruh jamaah Wahhabi/Salafy
membid’ahkan perkara sholat tarawih 20 rokaat, sunnahnya 11 rakaat, tapi anggapan bid’ah ini
di tepis oleh sesama ulama Salafy sendiri. Albani :“(Jumlah) rakaat) adalah 11 rakaat, & kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11 rakaat
sampai beliau wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22).Derajat
hadits 20 rakaat : “Maudlu”.
(Sumbet : Silsilah Hadits Dla’if wal Maudlu” &”Shalat Tarawih” &
“Irwaul Ghalil”- Syekh Albani).
.
Bin Baz, :“Di antara hal yang hukumnya tidak diketahui
oleh sebagian orang adalah
anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh kurang dari 20 rakaat..
.
Demikian pula anggapan sebagian orang bahwa shalat
tarawih itu tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Kedua anggapan ini adalah anggapan yang tidak pada tempatnya bahkan keduanya adalah anggapan yang menyelisihi banyak dalil…
.
Nabi tidak menentukan
jumlah rakaat tertentu untuk shalat malam di bulan
Ramadhan maupun di luar Ramadhan..”
.
Utsaimin juga mensunnahkan akan tarawih berjumlah lebih
dari 20 rakaat.
.
Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam
yang melebihi 11 rakaat,
haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling?
.
Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat. Karena jika dia
berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak
mendapatkan pahala qiyamul
lailnya & Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang shalat
bersama imam sampai imam itu
selesai dari shalatnya maka ditulis untuknya pahala shalat
lailnya” (HR. Abu Dawud No.
1375, Tirmidzi No. 706).
.
Cat: Jika anda ke Mekkah (masjidil Haram) -Madinah
(Masjid Nabawi) & hampir seluruh masjid di Saudi melaksanakan tarawih berjumlah 20 rakaat,mungkinkah mereka pelaku bid’ah?
.
4. Ibnu Taimiyah Di Nilai Melakukan Bid’ah (Sesat) Oleh
Albani, Utsaimin, Bin Baz,
Dll Karena Menganjurkan Maulid Nabi Bin Baz, Albani, Utsaimin & hampir mayoritas ulama akhir
dari golongan Wahhabi –
Salafy menyatakan bid’ahnya Maulid Nabi.
Pernyataan ini justru dibantah oleh Ibnu Taimiyah, seperti berikut ini Ibnu Taymiyah berkata : “Adapun mengagungkan maulid & menjadikannya acara rutin,
itu dikerjakan oleh sebagian manusia, & mereka mendapat
pahala yang besar karena tujuan
baik & pengagungannya terhadap Rasulullah ”. [Sumber : kitab
Iqtidha’ Shirathil Mustaqim :
297]. [Sumber : kitab Majmu’ Fatawa 23: 134].
.
5. Bin Baz & Albani Di Nilai Bid’ah (Sesat) Oleh Utsaimin &
Ibnu Taimiyah, Karena
Membolehkan Berdoa Setelah Sholat Fardhu Albani menghasankan hadits berdoa setelah sholat fardhu “Doa manakah yang paling didengar? Rasulullah menjawab: “Doa pada sepertiga malam terakhir, & setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi, No. 3499. Syaikh Al Albani menghasankan hadts ini, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, No. 3499)
.
Pendapat Bin Baz: Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/168,
Syaikh Ibnu Baz menjelaskan
bahwa berdo’a tanpa mengangkat tangan & tidak bareng-bareng (jama’i), maka tidaklah mengapa. Hal ini dibolehkan karena terdapat dalil bahwa Nabi berdo’a sebelum atau sesudah salam. Begitu juga untuk shalat sunnah boleh
berdo’a setelahnya karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan hal ini walaupun dengan mengangkat tangan karena mengangkat tangan adalah salah satu sebab terkabulnya do’a.
.
Bantahan Utsaimin & Ibnu Taimiyah Do’a setelah salam
tidak termasuk petunjuk
(ajaran) Nabi (bid’ah). Karena berfirman,“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
berdzikirlah pada Allah.” (QS. An
Nisa’ [4] : 103)
.
Bagi mereka yang disyariatkan setelah shalat adalah membaca dzikir-dzikir ma’tsur,bukan berdoa. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Imam Asy Syathibi & Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
6. Ibnu Taimiyah Di Nilai Bid’ah Oleh Albani, Utsaimin, Bin
Baz, Dll Karena Telah Membagi Makna Bid’ah Menjadi Dua Hasanah Dan Bid’ah
Sayyi’ah Sudah Umum apabila ulama-ulama wahhabi menganggap bahwa bid’ah itu sesat.
.
Hal ini justru bertolak belakang dengan pendapat Ibnu Taimiyah: “dari sini dapat diketahui kesesatan orang-orang yang membuat cara atau keyakinan baru, & mereka berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut padahal mereka tahu bahwa rasulullah tidak menyebutkan nya, & apa saja yang menyalahi nash itu dinamakan dengan bidah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin,sedangkansesuatu / pandanganyang tiada menyalahi nash terkadang tidak dinamakan bida’h,berkatalah imam syafii’ rahimahullah “bidah terbagi dua
yang pertama bidah yang menyalahi alquran, sunnah, ijma’ & atsar sebagian sahabat rasulullah maka ini disebut sebagai bidah dhalalah, kedua bidah yang tiada menyalahi hal
tersebut diatas maka ini kadang–kadang disebut sebagai
bidah hasanah berdasarkan perkataan umar ‘ inilah sebaik2
bidah’
.
pernyataan imam syafii’ ini atau seumpamanya telah
diriwayatkan oleh albaihaqi dengan sanad yang sahih di dalam kitab madkhal” ( sumber : majmu’ fatawa juz’ 20 hal 163)
.
Dan akhirnya Utsaimin membagi bid’ah menjadi dua bagian pula, tetapi sayangnya Utsaimin tidak mengikuti pendapat ulama Salaf, Utsaimin membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah dunia & bid’ah akhirat.
.
7. Utsaimin & bin baz di nilai bid’ah oleh albani karena
mensunnahkan bersedekap
setelah ruku’ Syeikh Utsaimin:
.
“Bersedekap adalah Sunnah. Inilah yang dirajihkan. sunnahnya adalah meletakkan tangan kanan di atas hasta tangan kiri, karena keumuman hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang shahih dari riwayat al Bukhari, berbunyi:
.
“Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan
tangan kanannya di atas hasta
tangan kirinya dalam shalat.” Apabila kamu melihat kepada
keumumunan hadits ini, yaitu &
tidak menyatakan dalam berdiri, maka jelas bagimu bahwa
berdiri setelah ruku’ disyari’atkan
bersedekap----ringkas------. Demikian inilah yang
benar, [sumber : Syarhul Mumti’ (3/146)]
Bin Baz : Beliau berdalil dengan banyak hadits, salah satunya dibawah ini :
.
Di dalam sunan Annasa’i dengan sanad yang shohih disebutkan bahwa Nabi jika berdiri didalam shalatnya, ia menggenggam tangan kiri nya dengan tangan kanan nya (bersedekap).Hadits ini menurut beliau umum yg
mencakup semuanya. Artinya, kata “berdiri”
.
ini bermakna;Berdiri yang sebelum ruku’.Berdiri yang
sesudah ruku’.Tidak adanya hadits yang menceritakan Nabi atau para Sahabat yang melepaskan tangannya disaat berdiri setelah ruku’
.
itu berarti hadits diatas sudah mencakup semuanya, yakni
mereka menyedekapkan
tangannya disaat berdiri dari ruku’ nya itu.
.
Bantahan Syeikh Albani :”Saya tidak ragu lagi menyatakan,
bahwa bersedekap ketika berdiri I’tidal adalah perbuatan bid’ah yang sesat, sebab sama sekali tidak tersebut dalam hadits sholat. Seandainya perbuatan semacam itu benar,niscaya akan ada riwayat yang sampai kepada kami walaupun hanya satu hadits. Padahal sangat banyak hadits-hadits tentang sholat. Juga tidak ada satupun ulama salaf yang mengukuhkan pendapat itu dalam perbuatannya atau tidak pula diriwayatkan dari seorang
ahli haditspun mengenai bersedekap ini sepanjang pengetahuan saya.(Sumber : Sifah ash-Shalah 139)
.
8. Syaikh Abdul Aziz Ali Syaikh & Sebagian Rakyat Saudi Di Nilai Tasyabbuh & Bid’ah (Sesat) Oleh Karena Merayakan Maulid Saudi
Dikutip dari media lokal Saudi okaz.com.sa., Jumat (23/9).
Mufti Umum Kerajaan Saudi, Syeikh Abdul Aziz Ali As Syaikh Ketua Hai’ah KibarAl Ulama ini menyatakan,“Wajib menjadikan hari ini sebagai hari untuk bersyukur & merenung mengenai nikmat Allah serta memperbanyak syukur atas kenikmatan aman kepada
Allah.”
.
Mufti merujuk kapada perkataan Raja Abdullah agar menjadikan perayaan hari nasional ini dengan ekspresi yang mencerminkan sifat anak bangsa
yang memiliki akhlak baik. Mufti
juga memberi nasihat kepada para pemuda untuk konsisten dengan adab Islam & memperbanyak syukur di hari ini, & menegaskan bahwa
cinta tanah air tidak hanya sebatas dengan perkataan, namun juga dengan perbuatan.
.
Syeikh Abdul Aziz bin Baz & Al Lajnah Ad Daimah dalam
fatwa no. 9402, yang menilai bahwa perayaan hari nasional merupakan bentuk tasyabuh terhadap orang kafir &
termasuk bid’ah (Sesat).
.
Sebagaimana diketahui bahwa yaum al wathani, yang diperingati pada tanggal 23
September dirayakan untuk memperingati penyatuan
kerajaan di bawah kepemimpinan Raja Abdul Aziz.
.
9. Albani Di Nilai Bid’ah (Sesat) Oleh Ulama Salafy Lain Karena Membolehkan Bertawasul Kepada Nabi Muhammad & Orang Soleh.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Al-Imam Ahmad membolehkan bertawassul dengan (perantaraan) Rasul saja. Ada pula yang membolehkandengan selainnya, seperti Al-Imaam Asy-Syaukaaniy dimana tawassul boleh dilakukan dengan (perantaraan) beliau & yang lainnya dari kalangan para nabi & orang-orang shaalih” (Sumber : At-Tawassul, hal. 42;Maktabah Al-Ma’aarif, Cet.1/1421 H)
.
10. Albani Di Nilai Bid’ah (Sesat) Oleh Bin Baz & UtsaiminKarena Membolehkan Sholat Sunnah Ba’da Ashar Syekh Al-Albani :
.
Shalat ba’diyah asar itu adalah Sunnah (sumbet : silsilah al-Ahadits ash- Shahihah juz 6 halaman 1013-1014).
.
Bin Baz Shalat ba’diyah asar itu Haram (Sumber : Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutranawwiyah Syaihk bin Baz Juz 11 Hal. 286).
.
Bantahan Ustaimin kepada Albani “Shalat asar itu tidak
memiliki rawatib baik qobliyah
maupun ba’diyah
.
11. Albani Di Nilai Bid’ah Oleh Bin Baz & Utsaimin Karena
Mensyari’atkan Membaca
Samiallahu Liman Hamidah Di Dalam Sholat Hukum membaca sami’allahu liman hamidah albani berkata :disyari’atkan bagi
makmum & imam membacanya (sumber : al khtiyar alfiqhiyah hal 125).
bin baz & ustaimin berkata
:”makmum tidak boleh membacanya “bid’ah” (sumber : fatawa bin baz juz 11 hal 10/ fatwa ustaimin juz 13 hal 167)
.
12. Bin Baz, Utsaimin di nilai bid’ah karena mengamalkan
hadits dhoif Bab Mengadzankan Bayi yang baru lahir, Bin Baz, & Tim Fatwa Saudi menghasankan
hadits Adzan di telinga Bayi yang baru lahir, sementara banyak para Salafy mendhoifkan & membid’ahkannya
.
13.Bab membaca Surat Alkahfi di malam Jum’at.
.
Bin Baz Pertanyaan, “Apa hukum membaca surat al Kahfi
pada malam Jumat?”
Jawaban Ibnu Baz, “Mengenai membaca surat al Kahfi
pada hari Jumat terdapat sejumlah hadits yang tidak bebas dari kelemahan. Namun sebagian
ulama menilai bahwa hadits-hadits tersebut sebagiannya menguatkan sebagian yang lain
sehingga bisa dijadikan sebagai dalil. Terdapat riwayat shahih --
-Diringkas…..
Simpulannya,
membaca surat al Kahfi pada hari Jumat adalah hal yang baik dalam rangka meneladani
shahabat Abu Said al Khudri.--
Diringkas-- Dengan demikian jelaslah bahwa membaca
surat al Kahfi pada malam Jumat
adalah hal yang tidak dituntunkan” [sumber : Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawiah 25/196-197].
.
Bantahan Umar al-Muqbil “guru kami yang mulia, telah
jelas bagiku dari kajianku,
sesungguhnya tidak wujud apa-apa hadith Sahih atau Thabit berkenaan fadhilat membaca
surah al-Kahfi pada hari Jumaat, kesemua hadith-hadith
adalah cacat atau dhaif, & tambahan lafaz (hari Jumaat) adalah Munkar,
.
14. Masih banyak lagi yang tidak bisa kami tampilkan
untuk lebih meringkas isi rangkuman Inikah yang mereka maksud dengan slogan “Kembali ke Al-Qur’an & Sunnah” ?
.
ataukah sesungguhnya “kembali ke pendapat ulama2 mereka (Wahhabi) sendiri yang berbeda- beda pendapat ??
.
Bagaiman ini ya wahabi jika ulama kalian sendiri tidak akur bahkan saling tuduh AHLUL BIDAH ?
.
Lantas dimana letaknya kalian bersih dari bidah sedangkan ulama kalian sendiri ternyata berbuat bidah ?
.
Ulama kalian tidak bisa menjadi rujukan umat kerena satu sama lain tidak akur tetapi lucunya kalian mengandalkan mereka semua !
.
TOBAT SAJA.SESUNGGUHNYA AJAL TDK MENUNGGUH DATANGNYA TAUBAT !
.
Kalian terjebak oleh pemahaman ulama yang kacau !

Agama wahabi al cingkrangi

KENALI AGAMA MODERN WAHABIYUN AL CINGKRANG
Berikut data umum agama dalam agama manhaj saraf al wahabiyah.
....
NABI NABIAN :
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
.
AHLI AHLIAN FIQIH :
SYAIKH USMAIN
SYAIKH BIN BAZ
.
AHLI AHLIAN AKIDAH :
SYAIKH IBNU TAYMIYAH
.
AHLI AHLIAN HADITS :
SYAIKH ALBANI
.
AHLI AHLIAN DAKWAH :
ALU SYAIK DAN TIM
.
SPONSOR NYIAR NYIAR :
ZAKIR NAIK.
FIRANDA
KHALID BASAMALAH
REZA BASAMALAH
ABDUL KADIR JAWAZ.. DLL..
.
PENGIKUT :
BARISAN DAUROH
BARISAN MISYAR,POLIGAMI
BARISAN CADAR
BARISAN NGELES
BARISAN PROVOKATOR
BARISAN REKRUT AKHWAT
BARISAN TERIAK SYIAH
BARISAN TERIAK BIDAH,SYRIK.
BARISAN COPAS
BARISAN NYUNAH
BARISAN MANGAP MANGAP.
.
MEDIA TAQIYAH :
TV/ RADIO RUJAK
TV AL INSAN
TV YUFID DLL
.
SITES TAQIYAH
Muslim. or.id
Muslimah. or.id.
Manhaj. or.id
Firanda. com
Salafi. or.id
Rumaisho. com
Dll...
.
KITAB TAQIYAH
kitab kitab DAUR ULANG
kitab kitab SERVICE ulama AHLI (diatas )
.
PENAMAAN BUNGLON TAQIYAH :
Salafi
Ahlu sunnah
Manha salaf
Al ghuroba
.
MOTTO TAQIYAH :
Tegar diatas sunnah
Sesuai pemahaman salafus nyoleh ( ulama ahli diatas )
Sesuai quran dan hadits shoheh cap albani.
.
AKTIPITAS TAQIYAH :
Membujuk orang diam diam
Membujuk akhwat
.
Bergerombol di agamanya saja
.
Menolak org ngintip,kritik masuk grombolanya.
.
Yg akhwat tdk boleh kontak dgn yg bukan makrom di luar grombolan.kalo dlm grombolan boleh,curhat curhatan boleh apalagi mo poligami dan misyar
.
Menyebar tuduhan bidah,syirik,kafir..dan kopasan.kalo ada yg kritik bilang " Agama bukan untuk di perdebatkan"
.
Kalo ada yg bikin tulisan ktitik mereka.. eh malah mereka yg marah dan debat.
.
Yang menyerang agama wahabi WAJIB DI TUDUH SYIAH dgn motto: hanya syiah yg menolak dakwah nyunah.
.
SYARAT MASUK AGAMA WAHABI :
.
Taubat nanyuhah !
.
Ikut Dauroh mingguan.
.
Dilarang nyiar nyiar,kopas diluar agama wahabi
.
Nggak perlu ngaji dulu,yang bodoh ntar di ajarin nyunah.
.
Akhwat kalo bisa cadaran.
.
Di larang unjuk muka jeleknya di fb wa.bbm..dll..
.
Harus pinter teriak syiah laknatullah
.
Yg betina mesti Mau poligami dan misyar.
.
Yg laki mesti potong celana,jenggotan..itemin jidat.
.
Sholat mesti kayak yahudi sidekap tinggi diatas dada.jgn lupa kalo tahyat jari mesti goyang senggol sebab Tuhanya muter muter pindah tempat.
.
Tuhan wajib disembah tuhan berhala,bersemayam di langit.punya kaki.tangan.jari.kaki.wajah.rambut kriting tinggi seperti nabi adam.Allahu shugro bukan Allahu Akbar.
.
YANG MINAT SILAHKAN LAPOR SAMA TANDUK SYETAN NAJD LEWAT NGUSTADZ DAUROH.

.
DEMIKKIAN AGAMA BARU DUL MANGAP SESUAI PEMAHAMAN NYARAFUN BOLEH.

Sabtu, 05 November 2016

Dauroh wahabi mirip kebaktian nasrani di hari minggu



Bukti WAHABROOT Tasyabuh SAMA kebaktian
( HARI INI / Minggu)
_______________________
Kitab Ke 3 dari Kitab jamius sahih Imam muslim halaman 6
Dimana rasul mengingatkan Hari minggu kebiasaan NASRANI ( DAUROH / APA KEBAKTIAN
Sih ????  breeeeeettt )
 

Bab tentang Petunjuk umat ini pada hari Jumat
 

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kita adalah umat terakhir, tetapi kita umat yang lebih dahulu pada hari kiamat nanti. Karena setiap umat diberi kitab sebelum kita, sedangkan kita diberi kitab sesudah mereka. Kemudian hari ini (hari Jumat), hari yang telah ditentukan Allah untuk kita, Allah telah memberi petunjuk kepada kita pada hari tersebut, maka umat lain mengikuti kita, besok (hari Sabtu) umat Yahudi dan lusa (hari Minggu ) umat Kristen.
 

(Shahih Muslim Kitab Ke 3 dari Kitab jamius sahih Imam muslim halaman 6 )

Al Albani berani memvonis Nabi Muhammad SAW telah tersesat



Kebodohan dan Kesesatan dalam tafsir Ro'yu Al Albani sang Muhaddits Palsu yang berani memvonis Nabi Muhammad SAW telah tersesat
Copas dari status Hasan Baroom
Mungkin sebagian kaum Salafi-Wahhabi ingin marah-marah saat membaca status ini dikarenakan isinya menyoroti sepak terjang tokoh sesat yang mereka banggakan,saya maklumi karena mereka hanya menggunakan emosi dan fanatisme buta tak menggunakan akal dan hati nurani dalam membaca tulisan ini,namun bagaimanapun juga kebenaran tetaplah kebenaran harus disampaikan meskipun pahit

Dalam:
- Kitab: "FATAWA AL-ALBANI".
- Karya: Nashiruddin Al-Albani.
- Halaman: 432.
→ Nashiruddin Al-Albani telah menghukum Atas Baginda Nabi Muhammad Saw sebagai Sesat dan Sesat dari Kebenaran.

Mari kita lihat pada teks Fatwa Nasiruddin Al-Albani Al-Wahabi yang menghukum Baginda Nabi Muhammad Saw sebagai Sesat:
” Saya katakan kepada mereka yang bertawassul dengan Wali dan orang Shalih bahwa,
Saya tidak Segan sama sekali menamakan dan menghukum mereka sebagai SESAT dari Kebenaran,
Tidak ada Masaalah untuk menghukum mereka sebagai Sesat dari kebenaran dan ini Sejalan dengan Penghukuman Allah

Ke atas Nabi Muhammad sebagai Sesat dari Kebenaran Sebelum Nuzulwahyu (Ad-Dhuha ayat 7)″.
● Dalam Fatwa tsb Al-Albani mencantumkan Surat Ad-Dhuha Ayat 7,
● Didalam Tafsir Ibnu Katsir tentang Ayat tsb, Beliau mengatakan:
"Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

ﻭَﻭَﺟَﺪَﻙَ ﺿَﺎﻟًّﺎ ﻓَﻬَﺪﻯ ﻛَﻘَﻮْﻟِﻪِ : ﻭَﻛَﺬﻟِﻚَ ﺃَﻭْﺣَﻴْﻨﺎ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺭُﻭﺣﺎً ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻧﺎ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺖَ ﺗَﺪْﺭِﻱ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻜِﺘﺎﺏُ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺈِﻳﻤﺎﻥُ ﻭَﻟﻜِﻦْ ﺟَﻌَﻠْﻨﺎﻩُ ﻧُﻮﺭﺍً ﻧَﻬْﺪِﻱ ﺑِﻪِ ﻣَﻦْ ﻧَﺸﺎﺀُ ﻣِﻦْ ﻋِﺒﺎﺩِﻧﺎ


Dan demikianlah Kami wahyukan kepada wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu,
Tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (Asy-Syura: 52),
Hingga akhir ayat.

Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa Makna yang dimaksud ialah sesungguhnya Nabi Saw, Pernah tersesat di lereng-lereng pegunungan Mekah saat Beliau Masih Kecil, kemudian ia dapat pulang kembali ke rumahnya.
Menurut pendapat yang lain: Sesungguhnya Beliau pernah tersesat bersama pamannya di tengah jalan menuju ke negeri Syam.
Saat itu Nabi Saw, mengendarai unta di malam yang gelap,
Lalu datanglah iblis yang menyesatkannya dari jalur jalannya. Maka datanglah Malaikat Jibril yang langsung meniup iblis hingga terpental jauh sampai ke negeri Habsyah.
Kemudian Jibril meluruskan kembali kendaraan Nabi Saw, Ke jalur yang dituju.
Keduanya diriwayatkan oleh Al-Bagawi.

◎ Nah..!!, Sekarang bagaimana Al-Albani Ahli Hadas tsb, mempergunakan firman Allah pada Bukan Tempatnya.

Amat jelas dan Gamblang Al-Albani Menghukum Sesat terhadap umat Islam yang Bertawassul dan Menymakan Penghukuman Sesat tsb dengan Penghukuman Allah terhadap Nabi Muhammad Saw Sebagai sesat dari kebenaran seperti yang didakwa oleh Al-Albani.

Jumat, 04 November 2016

Rasulullah pernah sholat sambil menggendong anak kecil

Bolehkan Membawa Anak Kecil Ke Masjid?
Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)

Larangan Membawa Anak Kecil Ke Masjid Hukumnya Anak Kecil Satu Shap Pada Sholat Larangan Anak Kecil Ke Masjid Hukum Islam Membawa Anak Anak Dibawah Umur 5 Tahun Anak Kecil Belum Sunat
Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)

Pertama, Anak yang sudah mencapai usia tamyiz
Jika anak sudah mencapai usia tamyiz, disyariatkan bagi walinya untuk memerintahkan anak agar datang ke masjid. Karena orang tua diperintahkan untuk menyuruh anaknya agar melakukan shalat setelah menginjak usia tamyiz. Berdasarkan hadis dari Sabrah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين. وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها

“Perintahkanlah anak untuk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, dan jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tidak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi)

Hadis ini menunjukkan dua hal penting:
a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat untuk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat untuk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, dan mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat dan rukun shalat. Ini berlaku, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan.
b. Hadis ini menunjukkan diziinkannya seorang anak untuk masuk masjid. Karena masjid merupakan tempat pelaksanaan shalat. Si pengurus anak, hendaknya membiasakan anak tersebut untuk sering ke masjid, menghadiri shalat jamaah, agar menimbulkan rasa cinta pada ibadah dan ketergantungan hati pada masjid.
Kedua, anak yang belum tamyiz

Ada banyak hadis yang menunjukkan bolehnya mengajak anak yang belum tamyiz ke masjid. Diantara dalil tersebut adalah
1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن ربيعة بن عبد شمس، فإذا سجد وضعها وإذا قام حملها

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”

Dalam lafadz yang lain:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يؤم الناس، وأمامة بنت أبي العاص على عاتقه

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami jamaah, sementara Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di gendongan beliau” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini memberikan 2 pelajaran penting
a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, dan boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.
b. Pakaian bayi dan badannya itu suci, selama tidak diketahui adanya najis. Anggapan bahwa orang yang hendak shalat tidak boleh menyentuh atau menggendong bayi, karena dimungkinkan ada najis di pakaiannya adalah anggapan yang tidak berdasar. Prinsip “ada kemungkinan” hanyalah sebatas keraguan yang tidak meyakinkan.
2. Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya, hingga Umar datang memanggil beliau:

نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ

Wahai Rasulullah, para wanita dan anak-anak telah tidur. (HR. Bukhari)

Ada dua kesimpulan penting dari hadis ini:
a. Bolehnya mengajak anak ke masjid dan mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita dan anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dengan makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tidak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diantara ulama yang memahami bahwa tidurnya wanita dan anak-anak ini di masjid adalah Imam al-Bukhari. Hadis ini, beliau letakkan di bawah judul bab: tentang wudhunya anak kecil,… dan keterlibatan mereka dalam shalat jamaah, hari raya, shalat jenazah, dan shaf mereka. Ini menunjukkan bahwa Al Bukhari memahami dari hadis ini, anak-anak tersebut hadir di masjid.
b. Lafadz ‘shibyan’ (arab: الصبيان ) pada hadis di atas, bentuknya jamak definitif (ada alif lam), sehingga mencakup umum, semua anak, baik besar maupun kecil.

Catatan:
Pertama, tidak boleh memindah anak kecil yang sudah menempati shaf
Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tidak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah
a. Hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن يقيم الرجل أخاه من مقعده ويجلس فيه

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini merupakan larangan tegas untuk menyuruh orang pindah dari tempatnya, kemudian dia menduduki tempat tersebut. Dan anak yang sudah tamyiz masuk dalam hukum ini.
Al-Qurthubi mengatakan:
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak untuk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak untuk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tidak boleh menghalangi dirinya untuk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)
b. Mengizinkan mereka untuk tetap berada di shaf akan memberikan motivasi kepada mereka untuk tetap shalat dan datang ke masjid.

Berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa anak kecil harus berada di belakang shaf orang dewasa. Anggapan semacam ini tidak sesuai denan kebiasaan para sahabat. Karena andaikan penataan shaf anak kecil harus selalu di belakang shaf orang dewasa, tentunya akan dinukil banyak riwayat dari sahabat dan menjadi satu hal yang dikenal banyak orang, sebagaimana posisi shaf wanita yang selalu di belakang. (Hasyiyah Ibn Qosim untuk ar-Raudhul Murbi’, 2/341)

Adapun, adanya beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang memposisikan anak kecil di belakang maka dipahami dengan dua kemungkinan, pertama, itu merupakan pendapat pribadi beliau, atau kedua, karena anak itu tidak paham shalat yang baik, sehingga bergurau ketika shalat. (al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam karya Ibnul Mulaqin, 2/533)

Bagaimana dengan hadis dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

ليلني منكم أولو الأحلام والنهى، ثم الذين يلونـهم، ثم الذين يلونـهم

“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)

Hadis ini tidaklah melarang untuk menempati shaf pertama dan memposisikan mereka di shaf belakang. Hadis hanya menganjurkan agar para ‘ulul ahlam wan nuha‘ yaitu orang yang lebih pandai (dalam agama) untuk menempati shaf awal, berada di belakang imam. Sehingga bisa mengingatkan imam ketika lupa atau menggantikan posisi jika dia batal. Andaikan maksud hadis adalah melarang anak kecil untuk berada di depan, seharusnya lafadzkan: “Tidak boleh berada di belakangku kecuali ….” (as-Syarhul Mumthi’, 3/10)
Kedua, hadis dhaif yang melarang anak ke masjid

Sebagian orang yang berpendapat bahwa anak-anak tidak boleh masuk masjid, berdalil dengan hadis:

جنبوا مساجدكم صبيانكم

“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”
Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah dan at-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir dari jalur al-Harits bin Nabhan, dari Utbah bin Abi Said, dari Makhul, dari Watsilah bin al-Asqa’ radliallahu ‘anhu. Perawi yang bernama Harits statusnya sangat lemah. Berikut keterangan ulama tentang perowi ini:
Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”
Nasa’i dan Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”
Ibnu Main memberikan komentar untuk orang ini dengan mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tidak ditulis.”

Demikian beberapa keterangan yang disampaikan ad-Dzahabi dalam al-Mizan (1/444). Hadis ini memiliki beberapa jalur lain, namun tidak ada satupun yang shahih. Keterangan selengkapnya ada di Nashbur Rayah (2/491).
Ketiga, dibolehkan membuat shaf dengan anak kecil
Seseorang tidak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya untuk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud)
Bagaimana jika membuat shaf bersama anak kecil, apakah sudah bisa dinyatakan telah keluar dari larangan hadis Wabishah di atas?

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Akan tetapi pendapat yang kuat, dibolehkan untuk membuat shaf dengan anak kecil. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau menceritakan:

أن جدته مليكة – رضي الله عنها – دعت رسول الله صلى الله عليه وسلم لطعام صنعته، فأكل منه، فقال: قوموا فلأصل بكم ، فقمت إلى حصير لنا قد اسودّ من طول ما لبث فنضحته بماء، فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم واليتيم معي، والعجوز من ورائنا، فصلى بنا ركعتين

Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian untuk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, dan aku perciki dengan air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), dan wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini dalil bolehnya orang yang sudah baligh membuat shaf dengan anak kecil. Karena Anas bin Malik radliallahu ‘anhu shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang anak yatim. Sementara anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya dan dia belum baligh.
Allahu a’lam.

Keutamaan atau Hikmah Angkat Tangan dalam sholat bagi Imam Syafi'i

Segala sesuatu ada tempatnya? Kurang. Yang pas, segala sesuatu ada tempat dan waktunya. Segala sesuatu itu juga berlaku buat tindakan mengangkat tangan dalam sembahyang. Angkat tangan menjadi sunah tersendiri. Jangan sampai salah waktu. Salah-salah bisa menjadi makruh.

Angkat tangan dalam sembahyang disunahkan di empat waktu.
Pertama, saat takbiratul ihram.
Kedua, bila hendak turun untuk ruku'.
Ketiga, ketika i'itdal (berdiri tegak usai ruku').
Keempat, bila berdiri kembali setelah duduk tasyahud awal.
Tindakan angkat tangan yang disunahkan itu bukan tanpa alasan. Ulama menyatakan sejumlah hikmah angkat tangan. Salah satunya dapat membuka hijab Allah. Perihal ini dicantumkan Syekh Nawawi Banten dalam Kasyifatus Saja berikut ini.

وحكمة رفع اليدين فى الصلاة كما قال الشافعى رحم الله تعالى تعظيمه تعالى حيث جمع بين اعتقاد القلب ونطق اللسان المترجم عنه وعمل الأركان. وقيل الإشارة الى طرح ما سواه تعالى والإقبال بكليته على صلاته. وقيل الإشارة الى رفع الحجاب بين العبد وبين ربه. وقيل غير ذلك

Hikmah mengangkat tangan dalam sembahyang seperti dikatakan Imam Syafi'i RA ialah praktik menakzimkan Allah SWT karena dengan angkat tangan seseorang menyatukan sekaligus keyakinan hati, ucapan yang mengungkapkan isi hati, dan tindakan anggota badannya.
Syekh Nawawi Banten melanjutkan, sedangkan ulama lain mengatakan hikmah angkat tangan menjadi isyarat untuk menghalau segala selain Allah dari hati dan menghayati sembahyang secara total.
Sementara ulama lain berpendapat, angkat tangan bertujuan menguak hijab(membuka tutup) antara Allah dan hamba-Nya. Bahkan, ada hikmah lainnya.

Mengeraskan baca bismillah di dalam shalat

ﻭﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ اﻟﺨﻼﻓﻴﺎﺕ ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻲ ﻋﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺎﻝ اﺟﺘﻤﻊ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺠﻬﺮ ﺑﺒﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ

ﻭﻧﻘﻞ اﻟﺨﻄﻴﺐ ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺼﻠﻲ ﺧﻠﻒ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺠﻬﺮ " ﺑﺒﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ " ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ اﻟﺼﻼﺓ ﺧﻠﻒ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺠﻬﺮ (اي بسم الله الرحمن الرحيم ).(كتاب ألمجموع إمام نووى)


SUJUD DAN BACAAN SUJUD

1. Ukuran sempurnanya ruku, sujud & i’tidal

حَدَّثَنَا بَدَلُ بْنُ الْمُحَبَّرِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْحَكَمُ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مَا خَلَا الْقِيَامَ وَالْقُعُودَ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ (رواه البخاري)

Badal bin Al Muhabbar berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Al Hakam] dari [Ibnu Abu Laila] dari [Al Bara’] berkata : “Rukuk Nabi sujudnya, duduk antara dua sujud, dan ketika mengangkat kepala dari rukuk, tidaklah berbeda antara berdiri (i’tidal) dan duduknya melainkan semuanya sama (dalam thu’maninah).” (HR. Bukhari)

2. Bacaan ruku dan sujud

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي (رواه البخاري)

Artinya :
Hafsh bin ‘Umar berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Manshur] dari [Abu Adl Dluha] dari [Masruq] dari [‘Aisyah] ia berkata : “Nabi membaca do’a dalam rukuk dan sujudnya dengan bacaan: “Subhaanakallaahumma rabbanaa wa bihamdikal-llaahummaghfirlii (Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku).” (HR. Bukhari).

Dalam hadits lain dalam bacaan sujud yaitu :

سُبْحاَنَ رَبِّيَ الْأَعْلَى 3x

(HR Para penyusun kitab Sunan dan imam Ahmad lihat Shohih At Tirmidzi: 1/83).

3. Keutamaan membaca rabbana walakalhamdu

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُجْمِرِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ (رواه البخاري)

Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Nu’aim bin ‘Abdullah Al Mujmir dari Ali bin Yahya bin Khallad Az Zuraqi dari Bapaknya dari Rifa’ah bin Rafi’ Az Zuraqi berkata, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) ‘. Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca; ‘RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah) “Selesai shalat beliau bertanya: “Siapa orang yang membaca kalimat tadi?” Orang itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut.” (HR. Bukhari).

4. Anggota sujud

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍأُمِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءٍ وَلَا يَكُفَّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا الْجَبْهَةِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ (رواه البخاري)

Qabishah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru bin Dinar dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas: “Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh anggota sujud; muka, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua kaki tidak boleh terhalang oleh rambut atau pakaian.” (HR. Bukhari)

5. Sujud dengan menempelkan hidung

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ (رواه البخاري)

Mu’alla bin Asad berkata, telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Abdullah bin Thawus dari Bapaknya dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi bersabda: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud); kening -beliau lantas memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian (sehingga menghalangi anggota sujud).” (HR. Bukhari)

6. Tidak boleh menempelkan sikut ke tanah ketika sujud

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ (رواه البخاري)

Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] berkata, Aku mendengar Qatadah dari Anas bin Malik dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau bersabda:“Seimbanglah kalian salam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya.” (HR. Bukhari).

Bangun dari sujud pertama

Setelah sujud pertama dimana dalam setiap raka'at ada dua sujud, maka kemudian bangun untuk melakukan duduk diantara dua sujud. Dalam bangun dari sujud ini disertai dengan takbir dan kadang mengangkat tangan.(Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim).
"Nabi bangkit dari sujudnya seraya bertakbir" (Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).

Inilah Permintaan Rasulullah SAW dalam Doa Qunutnya

Rasulullah SAW tidak meninggalkan doa Qunut pada shalat Subuh dan shalat Witir pada paruh kedua Ramadhan. Dalam doa Qunut, Rasulullah SAW memohon petunjuk, ampunan, dan keselamatan kepada Allah SWT.

Berikut ini doa Qunut yang dibaca Rasulullah SAW.

اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّ مَاقَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَاِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ فَلَكَ الحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Allâhummahdinî fîman hadait, wa ‘âfinî fîman ‘âfait, wa tawallanî fîman tawallait, wa bârik lî fîmâ a‘thait, wa qinî syarramâ qadhait. Fa innaka taqdhî wa lâ yuqdhâ ‘alaik, wa innahû lâ yadzillu man wâlait, wa lâ ya‘izzu man ‘âdait. Tabârakta rabbanâ wa ta‘âlait. Fa lakal hamdu ‘alâmâ qadhait. Astaghfiruka wa atûbu ilaik.
Artinya, “Ya Allah, kumpulkan aku bersama orang-orang yang menerima petunjuk-Mu, selamatkan diriku ke dalam kelompok orang yang Kau lindungi dari bala dunia dan akhirat, sertakan daku bersama mereka yang Kau pelihara dari dosa, turunkan berkah-Mu untukku dalam semua anugerah-Mu, jauhkan diriku dari dampak buruk yang Kau gariskan. Karena sungguh Engkau yang memutuskan, bukan menerima putusan. Sungguh tiada hina orang yang Kaubimbing. Dan tiada mulia orang yang Kaumusuhi.
Hai Tuhan kami, Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi. Segala puji bagi-Mu atas segala putusan-Mu. Aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu.”

Doa Qunut Rasulullah SAW ini dikutip oleh Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya Marâqil ‘Ubûdiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah. Ia menganjurkan orang yang shalat Subuh mengakhiri doa Qunutnya dengan shalawat untuk Rasulullah SAW.

Sebenarnya doa Qunut itu bisa berbentuk istighfar dan pujian kepada Allah SWT. Itu sudah cukup. Tetapi doa Qunut yang utama adalah lafal doa Qunut Rasulullah SAW di atas. Demikian disebutkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkâr-nya seperti dilansir Syekh M Nawawi Banten.

Wallahu A'lam.

Ayat Qur'an dijadikan bahan kampanye


screenshot_2016-10-08-07-58-16-1

Terkait heboh soal video Ahok yang dipotong kemudian diplintir, saya sudah menjelaskan bahwa berbeda antara “dibohongi Almaidah” seperti kesimpulan tukang fitnah denhan “dibohongi pake Almaidah 51” seperti yang diucapkan Ahok. Bisa dilihat di postingan saya sebelumnya.

Namun kemudian para sapi-sapian ini ternyata masih ngeyel. Mereka bertanya, jadi kalau ada pendakwah menggunakan Almaidah 51 dianggap pembohong? Atau ada juga yang tanya, kalau begitu Ahok menuduh Almaidah bohong?

Rada susah memang untuk menjelaskan pada sapi-sapian, tapi tetap harus dijelaskan. Ahok itu mengatakan bahwa ada sekelompok orang yang membodohi, membohongi serta menakut-nakuti dengan Almaidah 51 dan ancaman neraka jika memilih Ahok. Kelompok ini memang ada, mereka sudah demo ratusan orang kok. Kalau mau ngeles bilang tidak tau, ya itulah ciri sapi-sapian.

Apakah Almaidahnya kemudian dianggap salah atau bohong? Tidak. Tapi cara mereka menggunakannya lah yang salah. Ini sama saja seperti ajakan jihad bom bunuh diri, atau menyerang polisi karena dianggap thogut, anda pikir semua ajakan itu dari mana? Alquran! Ayat-ayat sucinya dijadikan alat untuk membodohi dan membohongi sebagian orang agar mau jadi jihadis, berjihad di jalan Allah. Padahal mereka dibohongi dan hanya jadi teroris.

Anda pikir anggota ISIS itu sadar dirinya adalah teroris? Tidak. Mereka justru sedang berpikir membela agama Islam. Mengapa mereka sampai jadi seperti itu? Karena mereka dibohongi dan dibodohi pakai Alquran. Sampai di sini apakah kita sepakat bahwa Alquran memang bisa dijadikan alat untuk membodohi orang lain? Saya yakin mayoritas pembaca seword.com akan setuju. Namun pembaca sapi-sapian pasti masih ngeyel, sebab sejatinya mayoritas mereka tidak mempermasalahkan ISIS atau bahkan diam-diam mendukungnya.

Jika diingat-ingat dalam catatan perjalanan politik serta sosial budaya Indonesia, sebenarnya soal Alquran dijadikan alat provokasi dan membohongi masyarakat sudah terjadi sejak lama.
Dulu pada tahun 2000 an, saat itu saya masih SD, namun sudah mendengar perdebatan soal politik. Saya ingat betul bahwa ada kampanye negatif di Madura tentang mencoblos partai. Kalau tidak pilih lambang Ka’bah berarti dosa atau tidak menghargai kesuciannya. Sementara kalau pilih banteng berarti musyrik karena memilih hewan.
Padahal lambang Ka’bah dalam partai politik Indonesia hanyalah lambang PPP. Tidak ada urusan dengan agama.

Lalu yang paling saya ingat adalah perdebatan soal ayat Alquran. Saat itu ayah terkekeh mendengar temannya yang bertanya soal larangan memilih Golkar karena lambangnya pohon beringin. Ayat yang dipergunakan untuk membodohi saat itu adalah Albaqarah: 35 tentang nabi Adam yang dilarang mendekati pohon khuldi.
“Wala taqroba hadihi sajaroh fakunna minaddolimin”
Artinya jangan dekati pohon ini karena akan membuatmu masuk dalam kategori orang zalim.
Soal ka’bah PPP dan pohon Golkar tersebut saya tidak tau siapa yang memulainya. Saat itu saya masih terlalu kecil untuk mencari tau atau menganalisa. Saya hanya mendengar perdebatan tersebut dan ingat betul sampai sekarang.

Di luar soal politik dan kekuasaan, ada juga sekelompok orang yang menggunakan Alquran untuk membodohi dan membohongi orang banyak.

Yang terbaru adalah Dimas Kanjeng. Pada Pilpres 2014 lalu orang ini ambil bagian dalam mendukung Prabowo sebagai Capres. Bahkan ketua jurkamnas Prabowo-Hatta, Mahfud, mendatangi padepokannya.
Orang kepercayaan Dimas Kanjeng, Marwah Daud, merupakan politisi kawakan yang pada Pilpres 2014 lalu juga ambil bagian dalam mendukung Prabowo.
Namun kini Dimas Kanjeng terjerat kasus pembunuhan pengikutnya. Dari sinilah kemudian terungkap bahwa Dimas Kanjeng memiliki banyak pengikut, yang kemudian disebut santri. Dimas Kanjeng disebut memiliki keahlian menggandakan uang.
Marwah Daud dengan segala dalil Alquran membela Dimas Kanjeng dan menyebutnya memiliki karomah.
Sampai di sini, jika ada orang yang bertanya apakah Quran bisa dipakai untuk membodohi atau membohongi orang lain? Bisa. Lihatlah Marwah Daud dan Dimas Kanjeng. Apa kalian kemudian mau menyalahkan saya dan menganggap saya menghina atau melecehkan Alquran jika saya sebut begitu?
Oke lanjut. Selain itu ada banyak orang yang modusnya menjadi guru spiritual seperti Eyang Subur, Gatot Brajamusti, sampai batu Ponari. Semua melecehkan Islam. Ajaran-ajaran Islam digunakan untuk membodohi dan membohongi orang lain. Orang dipaksa bayar mahal untuk sesuatu yang tidak jelas, alasannya konsultasi spiritual. Pesta sabu sampai seks bebas dengan alasan ritual.
Sekali lagi saya tanya, apakah yang seperti itu tidak bisa disebut membodohi pakai ajaran Islam? Apakah orang seperti saya yang setuju menyebut mereka membodohi lantas dianggap otomatis menyebut ajaran Islam salah? Tidak

Jadi buat sapi-sapian dan yang sekampretan dengannya, pernyataan Quran dipakai untuk membodohi atau membohongi orang bukanlah hal baru. Selama ini sudah sering terjadi. Dan jika saya setuju dengan kalimat “dibohongi pakai Quran” bukan berarti saya menafikan Quran atau tidak percaya. Logikanya jangan dibolak balik dan campur aduk.

Ahok tidak salah mengatakan bahwa “dibohongi pake Almaidah 51,” sebab memang kita semua dibohongi dan ditakut-takuti neraka. Sebab memilih Ahok memang tidak dosa, sebelumnya sudah saya tulis di sini: http://seword.com/politik/milih-ahok-tak-dosa-malah-haram-pilih-anies-atau-agus/
Atau dalam versi tafsir almisbah juga saya bahas di sini: http://seword.com/sosbud/almaidah-51-tidak-melarang-kita-memilih-ahok/

Selain itu, selama ini kita juga biasa saja menerima pemimpin non muslim. Dari perusahaan sampai pimpinan daerah, banyak non muslim. Dan Almaidah 51 tidak pernah digunakan untuk menakut-nakuti orang.
Ada banyak pimpinan daerah non muslim, baik yang sukses memimpin atau hanya diusung. Semua partai melebur, termasuk partai yang menyatakan partai Islam seperti PKB, PPP, sampai PKS. Mereka mengusung pemimpin nonmuslim dan biasa saja. Tapi mengapa ketika Ahok maju sebagai Cagub Jakarta dan kebetulan tidak didukung partai-partai islam tersebut, barulah kemudian muncul larangan haram dan sebagainya.
Jika memang memilih pimpinan nonmuslim haram, sebaiknya mari kita ajukan revisi UU. Supaya jelas dan selesai. Atau mari kita sepakati bahwa tidak haram memilih pemimpin nonmuslim. Tapi kalian para sapi-sapian kan tidak mau. Kalian hanya ingin menolak Ahok, bukan menegakkan ajaran agama Islam.
Quran dan ajaran Islam kalian jadikan tameng agar calon kalian bisa menang dan orang tidak memilih lawannya (Ahok). Tuhan kalian ajak kampanye. Di masjid-masjid oknum ustad kalian juga dijadikan ajang berkampanye, berkhutbah soal pemimpin kafir. Saat saya mengecam kalian, lalu saya disebut tidak beriman, syiah, kafir, dan seterusnya? Hahaha setan!

Terakhir, beranikah kalian sapi-sapian untuk bertarung secara sehat tanpa melibatkan SARA? ga usah sok imut paling beriman atau paling kenal Tuhan dengan mengatakan “ini ajaran Islam.” Wes ga usah pura-pura bego, kalian yang sekarang bicara lantang soal Almaidah 51 adalah orang-orang yang sama pada Pilpres 2014 lalu, mengharamkan memilih Jokowi-JK. Menuduh Jokowi Cina, kafir dan sebagainya. Kalian gunakan Islam, Qur’an dan Tuhan untuk menakut-nakuti, membohongi serta membodohi masyarakat agar tidak memilih calon pemimpin yang tidak kalian suka. Masih mau ngeyel “ini soal ajaran Islam?” seng genah ae cuk!

Begitulah kura-kura.

Selasa, 01 November 2016

Bid’ah Hasanah dan Dalilnya

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Tulisan pada gambar ini adalah pemahaman bid'ah menurut Wahhabi, benarkah pemahaman mereka?

Tulisan pada gambar ini adalah pemahaman bid'ah menurut Wahhabi, benarkah pemahaman mereka?

Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.

Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ

(رواه مسلم)


“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).

Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

رواه مسلم


“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:

عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم


“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).

Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:

وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا»

رواه البخاري


“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).

Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.

Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ

رواه البخاري

“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رضي الله عنه وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ

رواه البخاري

“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).

Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.

Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.

Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ

الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩


“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).

Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”

Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.

Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.

Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.”

HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ


“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”

Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat.”

HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”

Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.

Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”

HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”

Saya menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”

HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”

Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”

HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”

Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.” Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.

Di Islamic Center Jakarta Utara

Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia.

Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.

Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.

Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.

Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.

Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.

Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:

قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ
الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤

“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).

Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.

Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain IS dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.

Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).

Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.

Semoga bermanfaat.