Jumat, 30 Januari 2015

Kesesatan Hizbut Tahrir

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى وسلام على عباده الذين اصطفى وبعد
يقول الله تعالى : “بل نقذف بالحق على الباطل فيدمغه ” الآية
Sebagai pengamalan terhadap ayat ini kami akan menyebutkan penjelasan ringkas dan memadai bagi kaum muslimin tentang suatu kelompok yang telah merubah agama dan menyebarkan kebatilan-kebatilan yang dikenal dengan kelompok Hizbuttahrir, yang didirikan oleh seorang bernama Taqiyuddin an-Nabhani. Ia mengaku ahli ijtihad, ia berbicara tentang agama dengan kebodohan, mendustakan al Qur’an, hadits dan ijma’ baik dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin) maupun dalam masalahfuru’.
Berikut ini adalah sebagian kecil dari kesesatan-kesesatannya yang dibantah oleh orang yang memiliki hati yang jernih.
Allah ta’ala berfirman :
إنّا كلّ شىء خلقناه بقدر
Maknanya : “Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan segala sesuatu dengan Qadar”.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“إنّ الله صانع كل صانع وصنعته” رواه الحاكم والبيهقيّ
Maknanya: “Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya” (H.R. al Hakim dan al Bayhaqi)
Al Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Akbar berkata: “Tidak sesuatupun di dunia maupun di akhirat terjadi kecuali dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. Tentang perbuatan hamba, beliau berkata: “Dan dia itu seluruhnya (segala perbuatan manusia) dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. Inilah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi aqidah ini. Mereka menjadikan Allah tunduk dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh pimpinan mereka; Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, juz I, bagian pertama, hlm 71-72, sebagai berikut: “Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam qadla‘”.
Dalam buku yang sama ia berkata[1]: “Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan bagi kebaikan dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa kebenaran dan kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah“. Pendapat serupa juga ia ungkapkan dalam kitabnya berjudul Nizham al Islam[2].

2.Ahl al Haqq sepakat bahwa para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan yang sangat. Dari sini diketahui bahwa Allah ta’ala tidak akan memilih seseorang untuk predikat ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan hina (Radzalah), khianat, kebodohan, kebohongan dan kebebalan. Karena itu orang yang pernah terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak layak untuk menjadi nabi meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa besar juga dosa-dosa kecil yang mengandung unsur kehinaan, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya. Sedangkan dosa-dosa kecil yang tidak mengandung unsur kehinaan bisa saja seorang nabi. Inilah pendapat kebanyakan para ulama seperti dinyatakan oleh beberapa ulama dan ini yang ditegaskan oleh al Imam Abu al Hasan al Asy’ari –semoga Allah merahmatinya–. Sementara Hizbuttahrir menyalahi kesepakatan ini, mereka membolehkan seorang pencuri, penggali kubur (pencuri kafan mayit), seorang homo seks atau pelaku kehinaan-kehinaan lainnya yang biasa dilakukan oleh manusia untuk menjadi nabi.
Inilah di antara kesesatan Hizbuttahrir, seperti yang dikatakan pemimpin mereka, Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah[3]: “…hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka. Adapun sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari dosa (‘Ishmah) berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja“.

3.Rasulullah menekankan dalam beberapa haditsnya tentang pentingnya taat kepada seorang khalifah. Dalam salah satu haditsya Rasulullah bersabda:
“من كره من أميره شيئا فليصبر عليه فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان فمات عليه إلا مات ميتة جاهليّة ” رواه البخاري ومسلم عن ابن عبّاس
Maknanya: “Barang siapa membenci sesuatu dari amirnya hendak lah ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu kecuali matinya adalah mati Jahiliyyah” (H.R. Muslim)
Beliau juga bersabda:
“وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا” رواه البخاري ومسلم
Maknanya: “(kita diperintahkan juga agar) tidak memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya melakukan kekufuran yang jelas” (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Ulama Ahlussunnah juga telah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan dengan sebab ia berbuat maksiat, hanya saja ia tidak ditaati dalam kemaksiatan tersebut. Karena fitnah yang akan muncul akibat pelengserannya lebih besar dan berbahaya dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, Juz XII, h. 229:“Ahlussunnah sepakat bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya”. Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi ketetapan tersebut, mereka menjadikan seorang khalifah sebagai mainan bagaikan bola yang ada di tangan para pemain bola. Di antara pernyataan mereka dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa “Majlis asy-Syura memiliki hak untuk melengserkan seorang khalifah dengan suatu sebab atau tanpa sebab“. Statement ini disebarluaskan dalam selebaran yang mereka terbitkan dan dibagi-bagikan di kota Damaskus sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu. Selebaran tersebut ditulis oleh sebagian pengikut Taqiyyuddin an-Nabhani. Mereka juga menyatakan dalam buku mereka yang berjudul Dustur Hizbuttahrir, h. 66 dan asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II bagian ketiga halaman 107-108 tentang hal-hal/perkara yang dapat merubah status seorang khalifah sehingga menjadi bukan khalifah dan seketika itu wajib dilengserkan : “Perbuatan fasiq yang jelas (kefasikannya)” . An-Nabhani berkata dalam bukunya yang berjudul Nizham al Islam, hlm 79, sebagai berikut : “Dan jika seorang khalifah menyalahi syara’ atau tidak mampu melaksanakan urusan-urusan negara maka wajib dilengserkan seketika“.

4. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميته جاهليّة” رواه مسلم من حديث عبد الله بن عمر
Maknanya: “Barang siapa mencabut baiatnya untuk mentaati khalifah yang ada di hari kiamat ia tidak memiliki alasan yang diterima, dan barang siapa meninggal dalam keadaan demikian maka matinya adalah mati jahiliyah” (H.R. Muslim)
Maksud hadits ini bahwa orang yang membangkang terhadap khalifah yang sah dan tetap dalam keadaan seperti ini sampai mati maka matinya adalah mati jahiliyyah, yakni mati seperti matinya para penyembah berhala dari sisi besarnya maksiat tersebut bukan artinya mati dalam keadaan kafir dengan dalil riwayat yang lain dalam Shahih Muslim: “فمات عليه” ; yakni mati dalam keadaan membangkang terhadap seorang khalifah yang sah. Hizbuttahrir telah menyelewengkan hadits ini dan mereka telah mencampakan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim yang sanadnya lebih kuat dari hadits pertama:
فالزموا جماعة المسلمين وإمامهم”، قال حذيفة :”فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام” قال رسول الله :
“فاعتزل تلك الفرق كلّها”
Maknanya: “Hiduplah kalian menetap di dalam jama’ah umat Islam dan imam (khalifah) mereka“. Hudzaifah berkata : “Bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam (khalifah) ?”, Rasulullah bersabda : “Maka tinggalkanlah semua kelompok yang ada (yakni jangan ikut berperang di satu pihak melawan pihak yang lain seperti perang yang dulu terjadi antara Maroko dan Mauritania) !”. Rasulullah tidak mengatakan: “jika demikian halnya, maka kalian mati jahiliyyah”. Inilah salah satu kebathilan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya orang yang mati dengan tanpa membaiat seorang khalifah maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” (lihat buku mereka yang berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II bagian III hlm. 13 dan 29). Mereka juga menyebutkan dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah h. 4 sebagai berikut: “Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mewajibkan atas tiap muslim untuk melakukan baiat dan mensifati orang yang mati tanpa melakukan baiat bahwa ia mati dalam keadaan mati jahiliyah“. Mereka juga menyebutkan dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah hlm. 9 sebagai berikut : “Jadi semua kaum muslim berdosa besar karena tidak mendirikan khilafah bagi kaum muslimin dan apabila mereka sepakat atas hal ini maka dosa tersebut berlaku bagi masing-masing individu umat Islam di seluruh penjuru dunia“. Disebutkan juga pada bagian lain dari buku al Khilafah hlm. 3 dan buku asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz III hlm. 15 sebagai berikut : ”Dan tempo yang diberikan bagi kaum muslimin dalam menegakkan khilafah adalah dua malam, maka tidak halal bagi seseorang tidur dalam dua malam tersebut tanpa melakukan baiat“. Mereka juga berkata dalam buku mereka berjudul ad-Daulah al Islamiyyah hlm. 179: “Dan apabila kaum muslimin tidak memiliki khalifah di masa tiga hari, mereka berdosa semua sehingga mereka menegakkan khalifah“. Mereka juga berkata dalam buku yang lain Mudzakkirah Hizbittahrir ila al Muslimin fi Lubnan, h. 4: “Dan kaum muslimin di Lebanon seperti halnya di seluruh negara Islam, semuanya berdosa kepada Allah, apabila mereka tidak mengembalikan Islam kepada kehidupan dan mengangkat seorang khalifah yang dapat mengurus urusan mereka“.
Dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan Hizbuttahrir bahwa “orang yang mati di masa ini dan tidak membaiat seorang khalifah maka matinya mati jahiliyyah”. Pernyataan Hizbuttahrir ini mencakup orang yang mati sekarang dan sebelum ini sejak terhentinya khilafah sekitar seratus tahun yang lalu. Ini adalah penisbatan bahwa umat sepakat dalam kesesatan dan ini adalah kezhaliman yang sangat besar dan penyelewengan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ibnu Umar tadi. Jadi menurut pernyataan Hizbuttahrir tersebut setiap orang yang mati mulai terhentinya khilafah hingga sekarang maka matinya adalah mati jahiliyyah, berarti mereka telah menjadikan kaum muslimin yang mati sejak waktu tersebut hingga sekarang sebagai mati jahiliyyah seperti matinya para penyembah berhala, ini jelas kedustaan yang sangat keji. Dan dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan Hizbuttahrir “لا شريعة إلا بدولة الخلافة” : “Tidak ada syari’at kecuali jika ada khilafah”, juga pernyataan sebagian Hizbuttahrir : “لا إسلام بلا خلافة” ; “Tidak ada Islam jika tidak ada khilafah”. Sedangkan Ahlussunnah menyatakan kesimpulan hukum berkaitan dengan masalah khilafah bahwa menegakkan khilafah hukumnya wajib, maka barang siapa tidak melakukannya padahal ia mampu maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah. Adapun rakyat sekarang ini jelas tidak mampu untuk mengangkat seorang khalifah sedangkan Allah ta’ala berfirman :
لا يكلّف الله نفسا إلاّ وسعها
Anehnya Hizbuttahrir yang sejak empat puluh tahun lalu selalu menyatakan kepada khalayak akan menegakkan khilafah ini hingga sekarang ternyata mereka tidak mampu menegakkannya, mereka tidak mampu melakukan hal itu sebagaimana yang lain. Adapun pentingnya masalah khilafah itu adalah hal yang diketahui oleh semua dan karya-karya para ulama dalam bidang aqidah dan fiqh penuh dengan penjelasan mengenai hal itu. Tapi yang sangat penting untuk diketahui bahwa khilafah bukanlah termasuk rukun Islam maupun rukun Iman, lalu bagaimana Hizbuttahrir berani mengatakan :
“لا إسلام بلا خلافة” atau mengatakan : “لا إسلام بلا خلافة” , ini adalah hal yang tidak benar dan tidak boleh dikatakan.

5. Nabi Shalallahu alayhi wassallam bersabda:
“والرجل زناها الخطا” رواه البخاري ومسلم وغيرهما
Maknanya: “Zina kaki adalah melangkah (untuk berbuat haram seperti zina)“ (H.R. al Bukhari dan Muslim dan lainnya). Al Imam an-Nawawi menuturkan dalam Syarh shahih Muslim bahwa berjalan untuk berzina adalah haram. Sedangkan Hizbuttahrir telah mendustakan Rasulullah Shalallahu alayhi wassallam dan menghalalkan yang haram . Mereka mengatakan ”tidaklah haram berjalan dengan tujuan untuk berzina dengan perempuan atau berbuat mesum dengan anak-anak (Liwath), yang tergolong maksiat hanyalah melakukan perbuatan zina dan Liwathnya saja“ . Selebaran tentang hal ini mereka bagi–bagikan di Tripoli-Syam tahun 1969. Dan hingga kini kebanyakan penduduk Tripoli masih menyebutkan hal ini, karena pernyataan tersebut menyebabkan kegoncangan, kerancuan dan bantahan dari penduduk Tripoli.

6. Islam menganjurkan ‘iffah (bersih dari segala perbuatan hina dan maksiat) dan kesucian diri, akhlak yang mulia, mengharamkan jabatan tangan antara laki-laki dengan perempuan ajnabi dan menyentuhnya . Nabi bersabda :
“واليد زناها البطش” رواه البخاري ومسلم وغيـرهما
Maknanya: “Zina tangan adalah menyentuh” (H.R al Bukhari, Muslim dan lainnya). Dan dalam riwayat Ahmad : “واليد زناها اللمس“ serta dalam riwayat Ibnu Hibban : “واليد زناؤها اللمس“ . Sementara Hizbuttahrir mengajak kepada perbuatan-perbuatan hina, mendustakan Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallamdan menghalalkan yang haram, di antaranya perkataan mereka tentang kebolehan ciuman laki-laki terhadap perempuan yang ajnabi ketika saat perpisahan atau datang dari suatu perjalanan. Demikian juga menyentuh, berjalan untuk berbuat maksiat dan semacamnya.
Mereka menyebutkan hal itu dalam selebaran mereka dalam bentuk soal jawab, 24 Rabiul Awwal 1390 H, sebagai berikut :
S : Bagaimana hukum ciuman dengan syahwat beserta dalilnya?
J : Dapat dipahami dari kumpulan jawaban yang lalu bahwa ciuman dengan syahwat adalah perkara yang mubah dan tidak haram….karena itu kita berterusterang kepada masyarakat bahwa mencium dilihat dari segi ciuman saja bukanlah perkara yang haram, karena ciuman tersebut mubah sebab ia masuk dalam keumuman dalil-dalil yang membolehkan perbuatan manusia yang biasa, maka perbuatan berjalan, menyentuh, mencium dengan menghisap, menggerakkan hidung, mencium, mengecup dua bibir dan yang semacamnya tergolong dalam perbuatan yang masuk dalam keumuman dalil…..makanya status hukum gambar (seperti gambar wanita telanjang) yang biasa tidaklah haram tetapi tergolong hal yang mubah tetapi negara kadang melarang beredarnya gambar seperti itu. Ciuman laki-laki kepada perempuan di jalanan baik dengan syahwat maupun tidak negara bisa saja melarangnya di dalam pergaulan umum. Karena negara bisa saja melarang dalam pergaulan dan kehidupan umum beberapa hal yang sebenarnya mubah. …. di antara para lelaki ada yang menyentuh baju perempuan dengan syahwat, sebagian ada yang melihat sandal perempuan dengan syahwat atau mendengar suara perempuan dari radio dengan syahwat lalu nafsunya bergojolak sehingga zakarnya bergerak dengan sebab mendengar suaranya secara langsung atau dari nyanyian atau dari suara–suara iklan atau dengan sampainya surat darinya ……maka perbuatan-perbuatan ini seluruhnya disertai dengan syahwat dan semuanya berkaitan dengan perempuan. Kesemuanya itu boleh, kerena masuk dalam keumuman dalil yang membolehkannya …….“. Demikian ajaran yang diikuti oleh Hizbuttahrir, Na’udzu billah min dzalika.
Mereka juga menyebutkan dalam selebaran yang lain (Tanya Jawab tertanggal 8 Muharram 1390 H) sebagai berikut :
“Barang siapa mencium orang yang tiba dari perjalanan, laki-laki atau perempuan atau berjabatan tangan dengan laki-laki atau perempuan dan dia melakukan itu bukan untuk berzina atau Liwath maka ciuman tersebut tidaklah haram, karenanya baik ciuman maupun jabatan tangan tersebut boleh“. Mereka juga mengatakan boleh bagi laki-laki menjabat tangan perempuan ajnabi dengan dalih bahwa Rasulullah –kata mereka- berjabatan tangan dengan perempuan dengan dalil hadits Ummi ‘Athiyyah ketika melakukan bai’at yang diriwayatkan al Bukhari, ia berkata :
فقبضت امرأة منا يدها
Maknanya: “Salah seorang di antara kita (perempuan-perempuan)menggenggam tangannya” .
Mereka mengatakan : ini berarti bahwa yang lain tidak menggenggam tangannya. Sementara Ahlul Haqq, Ahlussunnah menyatakan bahwa dalam hadits ini tidak ada penyebutan bahwa perempuan yang lain menjabat tangan Nabi Shalallahu ‘alayhi wasallam, jadi yang dikatakan oleh Hizbuttahrir adalah salah paham dan kebohongan terhadap Rasulullah. Jadi hadits ini bukanlah nash yang menjelaskan hukum bersentuhnya kulit dengan kulit, sebaliknya hadits ini menegaskan bahwa para wanita saat membaiat mereka memberi isyarat tanpa ada sentuh-menyentuh di situ sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari dalam shahih-nya di bab yang sama dengan hadits Ummi ‘Athiyyah. Hadits ini bersumber dari ‘Aisyah –semoga Allah meridlainya- ia mengatakan :
“كان النبـيّ يبايع النساء بالكلام”
Maknanya: “Nabi membaiat para wanita dengan berbicara” (H.R. al Bukhari)
‘Aisyah juga mengatakan:
“لا والله ما مسّت يده يد امرأة قطّ في المبايعة ، ما يبايعهن إلاّ بقوله قد بايعتك على ذلك”
Maknanya: “Tidak, demi Allah tidak pernah sekalipun tangan Nabi menyentuh tangan seorang perempuan ketika baiat, beliau tidak membaiat para wanita kecuali hanya dengan mengatakan : aku telah menerima baiat kalian atas hal-hal tersebut” (H.R. al Bukhari)
Lalu mereka berkata : “Cara melakukan bai’at adalah dengan berjabatan tangan atau melalui tulisan. Tidak ada bedanya antara kaum laki-laki dengan perempuan; Karena kaum wanita boleh berjabat tangan dengan khalifah ketika baiat sebagaimana orang laki-laki berjabatan tangan dengannya“.
(baca : buku al Khilafah, hlm. 22-23 dan buku mereka yang berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II, bagian 3, hlm. 22-23 dan Juz III, hlm. 107-108). Mereka berkata dalam selebaran lain (tertanggal 21 Jumadil Ula 1400 H / 7 April 1980) dengan judul : “Hukum Islam tentang jabatan tangan laki-laki dengan perempuan yang ajnabi“, setelah berbicara panjang lebar dikatakan sebagai berikut : “Apabila kita memperdalam penelitian tentang hadits-hadits yang dipahami oleh sebagian ahli fiqh sebagai hadits yang mengharamkan berjabatan tangan, maka akan kita temukan bahwa hadits-hadits tersebut tidak mengandung unsur pengharaman atau pelarangan“. Kemudian mereka mengakhiri tulisan dalam selebaran tersebut dengan mengatakan :
“Yang telah dikemukakan tentang kebolehan berjabat tangan (dengan lawan jenis) adalah sama halnya dengan mencium”
Pimpinan mereka juga berkata dalam buku berjudul an-Nizham al Ijtima’i fi al Islam, hlm. 57 sebagai berikut : “Sedangkan mengenai berjabat tangan, maka dibolehkan bagi laki-laki berjabatan tangan dengan perempuan dan perempuan berjabatan tangan dengan laki-laki dengan tanpa penghalang di antara keduanya“. Dan ini menyalahi kesepakatan para ahli fiqh. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“إنّي لا أصافح النساء”
Maknanya: “Aku tidak akan pernah menjabat tangan para wanita” (H.R. Ibnu Hibban)
Ibnu Manzhur dalam Lisan al ‘Arab mengatakan: “Baaya’ahu ‘alayhi mubaya’ah (membaiatnya): artinya berjanji kepadanya. Dalam hadits dinyatakan:
ألا تبايعونـي على الإسلام ;
tidakkah kalian berjanji kepadaku untuk berpegang teguh dengan Islam. Jadi baiat adalah perjanjian”. Jadi tidaklah disyaratkan untuk disebut baiat secara bahasa maupun istilah syara’ bahwa pasti bersentuhan antara kulit dengan kulit, tetap disebut baiat meskipun tanpa ada persentuhan antara kulit dengan kulit. Ketika para sahabat membaiat Nabi pada Bai’at ar-Ridlwan dengan berjabat tangan hanyalah untuk bertujuan ta’kid (menguatkan). Baiat kadang juga dilakukan dengan tulisan.

8. Di antara dalil Ahlussunnah tentang keharaman menyentuh perempuanajnabiyyah tanpa ha-il (penghalang) adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam :
َ”لأنْ يُطْعَنَ أحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ” (رَوَاهُ الطّبَرَانـي فِي المُعْجَم الكَبِيْرِ مِنْ حَدِيْثِ مِعْقَلٍ بْنِ يَسَارٍ وَحَسّنَهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ وَنُورُ الدّيْن الهَيْثَمِي وَالمُنْذِري وَغَيْرُهُمْ
Maknanya : “Bila (kepala) salah seorang dari kalian ditusuk dengan potongan besi maka hal itu benar-benar lebih baik baginya daripada memegang perempuan yang tidak halal baginya”. (H.R. ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadits ini hasan menurut Ibnu Hajar, Nuruddin al Haytsami, al Mundziri dan lainnya)
Pengertian al Mass dalam hadits ini adalah menyentuh dengan tangan dan semacamnya sebagaimana dipahami oleh perawi hadits ini, Ma’qil bin Yasar seperti dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf.
Sedangkan Hizbuttahrir menganggap hadits ath-Thabarani tersebut yang mengharamkan berjabatan tangan dengan perempuan ajnabiyyah termasuk khabar Ahad dan tidak bisa dipakai untuk menentukan suatu hukum.
Ini adalah bukti kebodohan mereka. Bantahan terhadap mereka adalah pernyataan para ulama ushul fiqh yang menegaskan bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segala masalah keagamaan seperti dinyatakan oleh al Imam al ushuli al mutabahhir Abu Ishaq asy-Syirazi. Beliau menyatakan dalam bukunya at-Tabshirah : “(Masalah) Wajib beramal dengan khabar ahad dalam pandangan syara’ “. Bahkan an-Nawawi dalam syarh shahih Muslim menukil kehujjahan khabar ahad ini dari mayoritas kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi-generasi setelah mereka dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul fiqh. Kemudian ia membantah golongan Qadariyyah Mu’tazilah yang tidak mewajibkan beramal dengan khabar ahad. Lalu an-Nawawi mengatakan : “Dan Syara’ telah mewajibkan beramal dengan khabar ahad”.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Hizbuttahrir sejalan dengan Mu’tazilah dan menyalahi Ahlussunnah. Yang aneh, Hizbuttahrir telah berpendapat demikian, tetapi dalam karangan-karangan mereka berdalil dengan hadits-hadits ahad yang sebagiannya adalah dla’if. Mereka juga mengutip cerita-cerita dan atsar dari buku-buku yang tidak bisa dijadikan rujukan dalam bidang hadits, tafsir. Bahkan mereka telah berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Dalam majalah mereka Al Wa’ie, edisi 98, Tahun IX Muharram 1416 H mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :
الساكت عن الحقّ شيطان أخرس
“Orang yang diam dan tidak menjelaskan kebenaran adalah setan yang bisu”.
Kita katakan kepada mereka : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda :
إنّ كذبا عليّ ليس ككذب على أحد
Maknanya : “Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah seperti berdusta atas siapapun”.
Pernyataan di atas adalah perkataan Abu ‘Ali ad-Daqqaq, seorang sufi besar seperti diriwayatkan oleh al Imam al Qusyairi dalam ar-Risalah dan bukan perkataan Rasulullah. Ini juga merupakan bukti akan kebodohan mereka bahkan dalam menukil hadits sekalipun. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati dan tidak tertipu oleh karangan-karangan mereka.

9 . Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda dalam sebuah Hadits yang mutawatir :
ورب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه”“
Maknanya : “Seringkali terjadi orang yang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih memahaminya darinya“
Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi dalam dua tingkatan :
Pertama : orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur’an dan hadits) dan berijtihad dan yang kedua : mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat Islam, ada di antara mereka yangmujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam asy-Syafi’i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid.
Sedangkan Hizbuttahrir, mereka menyalahi hadits dan membuka pintu fatwa dengan tanpa ilmu dan tidak mengetahui syarat-syarat ijtihad. Pernyataan-pernyataan Hizbuttahrir semacam ini banyak terdapat dalam buku-buku mereka. Mereka mendakwakan bahwa seseorang apabila sudah mampu beristinbath maka ia sudah menjadi Mujtahid, karena itulah ijtihad atauistinbath mungkin saja dilakukan oleh semua orang dan mudah diusahakan dan dicapai oleh siapa saja, apalagi pada masa kini telah tersedia di hadapan semua orang banyak buku tentang bahasa Arab dan buku-buku tentang syari’at Islam. Yang disebutkan ini adalah redaksi pernyataan mereka (lihat kitab at-Tafkir, h. 149). Pernyataan ini membuka pintu untuk berfatwa tanpa didasari oleh ilmu dan ajakan kepada kekacauan dalam urusan agama. Sedangkan yang disebut mujtahid adalah orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad dan diakui oleh para ulama lain bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Sementara pimpinan Hizbuttahrir, Taqiyyuddin an-Nabhani tidak pernah diakui oleh seorangpun di antara para ulama yang memiliki kredibilitas bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut atau bahkan hanya mendekati sekalipun. Jika demikian mana mungkin Taqiyyuddin menjadi seorang mujtahid ?!. Seseorang baru disebut mujtahid jika ia memiliki perbendaharaan yang cukup tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, mengetahui teks yang ‘Amm dan Khashsh, Muthlaq danMuqayyad, Mujmal dan Mubayyan, Nasikh dan Mansukh, mengetahui bahwa suatu hadits termasuk yang Mutawatir atau Ahad, Mursal atau Muttashil,‘Adalah para perawi hadits atau jarh, mengetahui pendapat-pendapat para ulama mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi-generasi setelahnya sehingga mengetahui ijma’ dan yang bukan, mengetahui qiyas yang Jaliyy, Khafiyy, Shahih dan Fasid, mengetahui bahasa Arab yang merupakan bahasa al Qur’an dengan baik, mengetahui prinsip-prinsip aqidah. Juga disyaratkan seseorang untuk dihitung sebagai mujtahid bahwa dia adalah seorang yang adil, cerdas dan hafal ayat-ayat dan hadits-hadits hukum.

10. Para Ulama Islam menjelaskan dalam banyak kitab tentang definisi Dar al Islam dan Dar al Kufr. Mayoritas Ulama mengatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin kemudian keadaannya berubah sehingga orang-orang kafir menguasainya, maka negeri tersebut tetap disebut negeri Islam (Dar al Islam ). Adapun menurut Abu Hanifah bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin kemudian orang-orang kafir menguasainya, maka negeri itu berubah jadi Dar Kufr dengan tiga syarat.
Adapun Hizbuttahrir menyalahi seluruh Ulama, mereka menyebutkan dalam salah satu buku mereka Kitab Hizbuttahrir, hlm. 17 pernyataan sebagai berikut : “Daerah-daerah yang kita tempati sekarang ini adalah Dar Kufr sebab hukum-hukum yang berlaku adalah hukum-hukum kekufuran. Kondisi ini menyerupai kota Mekkah, tempat diutusnya Rasulullah“.
Pada bagian yang lain kitab Hizbuttahrir, hlm. 32: “Dan di negeri-negeri kaum muslimin sekarang tidak ada satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan-urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung Dar Kufr meskipun penduduknya adalah kaum muslimin“.
Lihatlah wahai pembaca, bagaimana berani mereka menyelewengkan ajaran agama ini dan menjadikan semua negara yang dihuni oleh kaum muslimin sebagai Dar Kufr termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kaum muslim terbesar di dunia.
Referensi
[1] Ibid, Juz I, Bag. Pertama, hlm. 74
[2] Kitab bernama Nizham al Islam, hlm. 22
[3] Kitab bernama as-Sakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I, Bag. Pertama, hlm 120
[4] Catatan pages Aqidah Ahlussunnah

Kamis, 29 Januari 2015

“ SAYYIDINA “

ANJURAN MENGUCAPKAN LAFADH “ SAYYIDINA“ SEBAGAI BENTUK “BER’ADZAB”, BERSUNBER DARI AL-QUR’AN DAN AL-HADIST, JUGA PENDAPAT PARA ULAMA’ DIANTARANYA :

ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺫﻛﺮﺍﻟﺴﻴﺎﺩﺓ ﻷﻥ ﺍﻻﻓﻀﻞ ﺳﻠﻮﻙ ﺍﻻﺩﺏ.
Yang pertama menyebut “ Sayyid “ karena lebih utama dengan jalan sopan santun. ( al-Bajuri, Juz 1 halaman 156 ).

Juga tersebut dalam kitab ( Nailul Author bagi Asy syaukani, pada juz ke 2 halaman 302 ).

ﻭﺷﺘﻬﺮﺕ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻗﺒﻞ ﻣﺤﻤﺪ
(ﺣﺎ ﺷﻴﺔ ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ  ١ /  ٢٦٨)
Dan telah masyhur fatwa yang mengatakan bahwa baik sekali di tambah perkataan “ Sayyidina “ sebelum menyebut nama Nabi Muhammad.( Hasyiyah tuhfah 1 halaman 268 ).

ﺍﻻﻭﻟﻰ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺴﻴﺎﺩﺓ ﻷﻥ ﺍﻷﻓﻀﻞ ﺳﻠﻮﻙ ﺍﻷﺩﺏ
(إﻋﺎ ﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎ ﻟﺒﻴﻦ  ١ /  ١٦٩)
Dan adalah yang lebih baik mengucapkan “Sayyidina “ sebelum nama Nabi, karena yang afdhol adalah bersopan terhadap Nabi.
( I’anatut Tholoibin 1 halaman 169 )

ﻭﺍﻋﺘﻤﺪ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﻟﻤﺤﻠﻲ ﺃﻱ ﻓﻰ ﻏﻴﺮ ﺷﺮﺣﻪ ﺃﻥ ﺍﻷﻓﻀﺎﻝ ﺯﻳﺎﺩﺗﻬﺎ ﻭﺃﻃﺎﻝ ﻓﻰ ﺫﻟﻚ
ﻭﻗﺎﻝ : ﺍﻥ ﺣﺪﻳﺚ ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭ ﻧﻲ ﻓﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﺎﻃﻞ
(ﺣﺎ ﺷﻴﺔ ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ)
Dan memegang teguh Syaikh Jalaluddin al-Mahalli akan fatwa yang menyatakan bahwasanya yang lebih afdhol adalah menanmbahkan “ Sayyidina “ Fatwa ini, diuraikan panjang lebar oleh beliau, tetapi bukan dalam kitabnya Syarah Manhaj.
Adapun Hadist yang menyatakan “Janganlah kamu “ber Sayyididina“ kepadaku dalam sembahyang “ adalah hadist mungkar yang di buat-buat, ya’ni hadist maudhuk”.
( Hasyiyah Tuhfah 1 halaman 368).

PENGARANG DAN PENSYARAH KITAB MANHAJ, KARANGAN “ IMAM NAWAWI “ BEGINI :

ﻧﻌﻢ .! ﻻ ﻳﻀﺮ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻣﻴﻢ ﻓﻰ ﻋﻠﻴﻚ ﻭﻻ ﻳﺎﻧﺪﺍﺀ ﻗﺒﻞ ﺍﻳﻬﺎ ﻭﻻ ﻭﺣﺪﻩ ﻻﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ
ﺑﻌﺪ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ.ﻟﻮﺭﻭﺩﻫﺎ ﻓﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻭﻻ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻋﺒﺪﻩ ﻣﻊ ﺭﺳﻮ ﻟﻪ
ﻭﻻ ﺯﻳﺎﺩﺓ " ﺳﻴﺪﻧﺎ " ﻗﺒﻞ ﻣﺤﻤﺪ . ﻫﻨﺎ ﻭﻓﻰ ﺍﻟﺼﻼ ﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻻﺗﻴﺔ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺃﻓﻀﻞ ﻷﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻠﻮﻙ  ﺍﻷ ﺩﺏ ﺍﻣﺘﺜﺎﻝ ﺍﻷﻣﺮ.
Ya ! Tidak merusak (dalam tasyahhud ) menambah huruf “ mim “ pada” alaika “, begitu juga menambah “ wahdahu “ laa syariikalah “ sesudah “ asyhadu an laa Ilaaha Illallaah”, begitujuga menambah “ abduhuu sebelum lafadz “warosuuluh” begitu juga menambah “ Sayyidinaa “ sebelum nama Mukhammad
( DALAMTASYAHHUD ATAU DALAM SHOLAWAT ), tetapi membaca ”Sayyidinaa” lebih afdhol dan kita sudah menjalankan perintah Nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati Nabi.
( Qolyubi 1 halaman 167 ). Juga dijelaskan dalam kitab ( Sa’datut Durain halaman 11 ).

Jadi tidak benar tuduhan wahabi panambahan di dalamtahyat dikatakan bid’ah, “ sedangkan wahabi tidak sadar telah berbat bid’ah seperti taraweh membaca surat al-qur’an sampai khatam dalam satu bulan juga menetapkannya tidak ada perintah, juga do’a hatmil Qur’an yang di baca tak sedikitpun hadis yang menjelaskannya, juga bacaan “ robbanaa walakal hamdu yang dibaca keras belum ada conto secuilpun dari Nabi, jelas itu perbuatan bid’ah”.

Lihat dalam kumpulan fatwa ulama’ Wahabi ketika ditanya tentang hadist yang shaheh dalam bacaan Khatmol-Qur,an? apa jawa mereka,  “ Saya tidak mengetahui adanya dalil shaheh yang dapat dijadikan sandaran
untuk melakukan do’a Khatmil-Qur’an dalam sholat, baik dari sunnah Nabi ataupun sunnah sahabat. "Tappi kenapa dikerjakan”,
Tampaknya Wahabi ini ulama’nya saja “kuprul“ padahal hal ini sudah di jelaskan dalam kitab kumpulan fatwa Wahabi, seperti Ibnu Baz, Ustaimin, Abdullah al-Jibrin, Saleh bnu Fauzan
(Al-Bid’ah Wa al-Muhadzastat, 554 ).

Bahkan dalam kitab “ Dailami “ Yang bernama “ Musnadul Firdaus “ :

 (إﺫﺍ ﺻﻠﻴﺘﻢ ﻋﻠﻲ ﻓﺄﺣﺴﻨﻮﺍ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺎﻧﻜﻢ ﻻﺗﺪﺭﻭﻥ ﻟﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻳﻌﺮﺽ ﻋﻠﻲ)
ﺃﺧﺮﺟﻬﺎ اﻟﺪﻳﻠﻤﻲ ﻓﻰ ﻣﺴﻨﺪ ﺍﻟﻔﺮﺩﻭﺱ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺭ.ﺽ
 Apabila kamu bersholawat kepadaku, maka ucapkanlah dengan sebaik-baiknya karena kamu tidak tahu bahwa mungkin sholawat itu di hadapkan kepadaku.
( Hadist ini dirowikan Dailami dalam kitab Musnadul Firdaus --- Sa’adatut Durain --- Karangan Ismail bin Yusuf Nabhani ---halaman 57 ).

Juga firman Allah SWA. :

ﻻﺗﺠﻌﻠﻮﺍ ﺩﻋﺎﺀ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻛﺪﻋﺎﺀ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺑﻌﻀﺎ
( ﺍﻟﻨﻮﺭ ٩)
Jaganlah kamu memanggil Rosul sebagaimana panggilan sesama kamu ( An-Nur : 63 ).

Al-Imam Ahmad bin Hanbal Mengakui Bid’ah Hasanah

SALAF ASLI AL-IMAM MUJTAHID MUTLAQ AL-IMAM AHMAD BIN HANBAL PANUTAN AHLUSSUNNAH MENGAKUI BID'AH HASANAH, SALAF PALSU (IMITASI) KAUM NAJD SALAPI WAHHABI PANUTAN KAUM SAWAH MENGHARAMKAN BIDAH HASANAH.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal Mengakui Bid’ah Hasanah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan fatwa beliau kepada muridnya. Al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi meriwayatkan dalam kitab al-Mughni (1/838):

ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻔَﻀْﻞُ ﺑْﻦُ ﺯِﻳَﺎﺩٍ : ﺳَﺄَﻟْﺖُ ﺃَﺑَﺎ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ﺃَﺧْﺘِﻢُ
ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ؛ ﺃَﺟْﻌَﻠُﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﺃَﻭْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺮَﺍﻭِﻳْﺢِ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ
ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺮَﺍﻭِﻳْﺢِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻟَﻨَﺎ ﺩُﻋَﺎﺀٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﺛْﻨَﻴْﻦِ . ﻗُﻠْﺖُ :
ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺻْﻨَﻊُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﺫَﺍ ﻓَﺮَﻏْﺖَ ﻣِﻦْ ﺁﺧِﺮِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻓَﺎﺭْﻓَﻊْ
ﻳَﺪَﻳْﻚَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﺗَﺮْﻛَﻊَ ﻭَﺍﺩْﻉُ ﺑِﻨَﺎ ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻭَﺃَﻃِﻞِ
ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡَ. ﻗُﻠْﺖُ : ﺑِﻢَ ﺃَﺩْﻋُﻮْ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺑِﻤَﺎ ﺷِﺌْﺖَ. ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻔَﻌَﻠْﺖُ
ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَﻧِﻲْ ﻭَﻫُﻮَ ﺧَﻠْﻔِﻲْ ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻭَﻳَﺮْﻓَﻊُ ﻳَﺪَﻳْﻪِ. ﻗَﺎﻝَ
ﺣَﻨْﺒَﻞٌ : ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺃَﺣْﻤَﺪَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻓِﻲ ﺧَﺘْﻢِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ : ﺇِﺫَﺍ ﻓَﺮَﻏْﺖَ
ﻣِﻦْ ﻗِﺮَﺍﺀَﺓِ : ﻗُﻞْ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﺮَﺏِّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻓَﺎﺭْﻓَﻊْ ﻳَﺪَﻳْﻚَ ﻓِﻲ
ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮْﻉِ. ﻗُﻠْﺖُ : ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻱِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺗَﺬْﻫَﺐُ ﻓِﻲْ
ﻫَﺬَﺍ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﻫْﻞَ ﻣَﻜَّﺔَ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻮْﻧَﻪُ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺳُﻔْﻴَﺎﻥُ ﺑْﻦُ
ﻋُﻴَﻴْﻨَﺔَ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻪُ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﻜَّﺔَ. ﺍﻧﺘﻬﻰ . (ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ
ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﻲ، ﺍﻟﻤﻐﻨﻲ، 1/838 ).
“Al-Fadhl bin Ziyad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal: “Aku akan mengkhatamkan al-Qur’an, aku baca dalam shalat witir atau tarawih?” Ahmad menjawab: “Baca dalam tarawih sehingga kita dapat berdoa antara dua rakaat.” Aku bertanya: “Bagaimana caranya?” Ia menjawab: “Bila kamu selesai dari akhir al-Qur’an, angkatlah kedua tanganmu sebelum ruku’, berdoalah bersama kami dalam shalat, dan perpanjang berdirinya.” Aku bertanya: “Doa apa yang akan aku baca?” Ia menjawab:
“Semaumu.” Al-Fadhl berkata: “Lalu aku lakukan apa yang ia sarankan, sedangkan ia berdoa sambil berdiri di belakangku dan mengangkat kedua tangannya.”
Hanbal berkata: “Aku mendengar Ahmad berkata mengenai khatmil Qur’an: “Bila kamu selesai
membaca Qul a’udzu birabbinnas, maka angkatlah kedua tanganmu dalam doa sebelum
ruku’.” Lalu aku bertanya: “Apa dasar Anda dalam hal ini?” Ia menjawab: “Aku melihat
penduduk Mekah melakukannya, dan Sufyan bin ‘Uyainah melakukannya bersama mereka.” (Lihat
pula, Ibn al-Qayyim, Jala’ al-Afham, hal. 226).

Kesimpulan:

Dalam riwayat di atas ada beberapa anjuran dari Imam Ahmad bin Hanbal:
1) Anjuran mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat taraweh
2) Setelah khatam, dianjurkan membaca doa
3) Dibaca sebelum ruku’ shalat taraweh
4) Kedua tangan diangkat dan doanya baca yang panjang
5) Doa yang dibaca bebas
6) Demikian ini dasarnya bukan al-Qur’an, bukan hadits dan bukan pula amaliah sahabat
7) Dasarnya justru penduduk Mekkah melakukan demikian
8) Imam Sufyan bin ‘Uyainah, juga melakukan demikian
9) Berarti apa yang beliau fatwakan termasuk bid’ah hasanah
10) Berarti bid’ah hasanah memang ada

Di antara bid’ah hasanah al-Imam Ahmad bin Hanbal adalah mendoakan gurunya dalam shalat
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi berikut ini:

ﻗَﺎﻝَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ : ﺇِﻧِّﻲْ ﻷَﺩْﻋُﻮ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟِﻠﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ
ﻓِﻲْ ﺻَﻼَﺗِﻲْ ﻣُﻨْﺬُ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴْﻦَ ﺳَﻨَﺔً، ﺃَﻗُﻮْﻝُ : ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻲْ
ﻭَﻟِﻮَﺍﻟِﺪَﻱَّ ﻭَﻟِﻤُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﺇِﺩْﺭِﻳْﺲَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ. (ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، 2/254 ).
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).

Kesimpulan:

1) Tidak ada riwayat dari hadits maupun dari sahabat, mendoakan orang tua dan guru dalam sujud di dalam shalat
2) Imam Ahmad melakukannya selama 40 tahun, dengan redaksi doa susunan beliau sendiri
3) Amaliah beliau termasuk bid’ah hasanah.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal Mengakui Bid’ah  Hasanah 

ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻔَﻀْﻞُ ﺑْﻦُ ﺯِﻳَﺎﺩٍ : ﺳَﺄَﻟْﺖُ ﺃَﺑَﺎ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ﺃَﺧْﺘِﻢُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ؛ ﺃَﺟْﻌَﻠُﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﺃَﻭْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺮَﺍﻭِﻳْﺢِ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺮَﺍﻭِﻳْﺢِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻟَﻨَﺎ ﺩُﻋَﺎﺀٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﺛْﻨَﻴْﻦِ . ﻗُﻠْﺖُ : ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺻْﻨَﻊُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﺫَﺍ ﻓَﺮَﻏْﺖَ ﻣِﻦْ ﺁﺧِﺮِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻓَﺎﺭْﻓَﻊْ ﻳَﺪَﻳْﻚَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﺗَﺮْﻛَﻊَ ﻭَﺍﺩْﻉُ ﺑِﻨَﺎ ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻭَﺃَﻃِﻞِ
ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡَ. ﻗُﻠْﺖُ : ﺑِﻢَ ﺃَﺩْﻋُﻮْ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺑِﻤَﺎ ﺷِﺌْﺖَ. ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻔَﻌَﻠْﺖُ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَﻧِﻲْ ﻭَﻫُﻮَ ﺧَﻠْﻔِﻲْ ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻭَﻳَﺮْﻓَﻊُ ﻳَﺪَﻳْﻪِ. ﻗَﺎﻝَ ﺣَﻨْﺒَﻞٌ : ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺃَﺣْﻤَﺪَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻓِﻲ ﺧَﺘْﻢِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ : ﺇِﺫَﺍ ﻓَﺮَﻏْﺖَ ﻣِﻦْ ﻗِﺮَﺍﺀَﺓِ : ﻗُﻞْ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﺮَﺏِّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻓَﺎﺭْﻓَﻊْ ﻳَﺪَﻳْﻚَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮْﻉِ. ﻗُﻠْﺖُ : ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻱِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺗَﺬْﻫَﺐُ ﻓِﻲْ ﻫَﺬَﺍ؟
ﻗَﺎﻝَ : ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﻫْﻞَ ﻣَﻜَّﺔَ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻮْﻧَﻪُ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺳُﻔْﻴَﺎﻥُ ﺑْﻦُ ﻋُﻴَﻴْﻨَﺔَ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻪُ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﻜَّﺔَ. ﺍﻧﺘﻬﻰ
(ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﻲ، ﺍﻟﻤﻐﻨﻲ، 1/838 )

ﻗَﺎﻝَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ : ﺇِﻧِّﻲْ ﻷَﺩْﻋُﻮ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟِﻠﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻓِﻲْ ﺻَﻼَﺗِﻲْ ﻣُﻨْﺬُ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴْﻦَ ﺳَﻨَﺔً، ﺃَﻗُﻮْﻝُ : ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻲْ ﻭَﻟِﻮَﺍﻟِﺪَﻱَّ ﻭَﻟِﻤُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﺇِﺩْﺭِﻳْﺲَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ
(ﺍﻟﺤﺎﻓﻆﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، 2/254)

Selasa, 27 Januari 2015

Rukun Sholat dalam Katab Fathul Qaribul Mujib

Kitab Fathul Qaribul Mujibkarya Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi al-Syafi'i

Shalat merupakan hal yang utama didalam Islam sehingga semua orang yang telah bersyahadat (muslim) wajib melaksanakan shalat. Beragam kitab (buku) dikarang oleh ulama untuk memberikan kemudahan bagi umat Islam pada umumnya agar mudah memahami dan melaksanakan rukun Islam yang kedua tersebut.

Diantara kitab fiqh yang banyak dipelajari oleh umat Islam pada tingkat pemula dan lanjutan adalah kitab karya Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi al-Syafi'i yakni kitab Fathul Qaribul Mujib.
Kitab ini pada dasarnya merupakan kitab ringkasan dari fiqh shalat madzhab Syafi'i yang menyajikan pokok-pokok cara beribadah agar sesuai dengan Nabi Muhammad Saw.

 Berikut diantara penjelasan mengenai Rukun-Rukun Shalat yang penting diketahui oleh umat Islam yang termaktub dalam kitab Fathul Qarib :

فصل في ركان الصلاة


وتقدم معنى الصلاة لغة وشرعا احدها وهي قصدالشيء مقترنا بفعله ومحلها القلب. فان كانت الصلاة فرضا وجب نية الفرضية وقصض فعلها وتعيينها من صبح او ظهر مثلا. او كانت الصلاة نفلا ذات وقت كراتبة او ذات سبب كالاستسقاء وجب قصد فعله او تعيينه لا نية النفلية. والثاني عليه فان عجز عن القيام قعد كيف شاء وقعوده مفترشا افضل. والثالث تكبيرة الاحرام فيتعين علي القادر بالنطغق بها ان يكول : الله اكلبر. ويجب قرن النية بالتكبير وام النووي فاختار الاكتفاء بالمقارنة العرفية بحيث يعد عرفا انه مستحضر للصلاة. و الرابع قرائة الفاتحة او بدلها لمن لم يحفضها فرضا كانت الصلاة او نفلا. وبسمالله الرحمن الرحيم اية منها كاملة ومن اسقط من الفاتحة حرفا او تسديدة او ابدل حرفا منها بحرف لم تصح قراءته ولا صلاته ان تعمد والا وجب اعادة القراءة. ويجب ترتيبها بان يقرء ابتها على نضمها المعروف. ويجب ايضا موالاتها بان يصل بعض كلماتها ببعض من غير فصل الا بقدر التنفس. فان تخلل الذكر بين موالاتها قطعها الا ان يتعلق الذكر بمصلحة الصلاة كتئ مين المئ موم في اثناء فاتحة لقرائة امامه فانه لا يقطع  الموالاة. ومن جهل الفاتحة وتعذرت عليه لعدم معلم مثلا واحسن غيرها من القران وجب عليه سبع اياتمتوالية عوضا عن الفاتحة او متفرقة. فان عجز عن القران اتى بذكر بدلا بحيث لا ينقص عن حروفها. فان لم يحسن قرانا ولا ذكرا وقف قدر الفاتحة. وفي بعض النسخ وقرائة الفاتحة بعد بسم الله الرحمن الرحيموهي اية منها. والخامس الركوع واقل فرضه لقاءم قادر على الركوع معتدل الخلقة سليم يديه وركبتيه لو اراد وضعهما عليهما. فان لم يقدر على هدا الركوع انحنى مقدوره او مء بطرفه. واكمل الركوع تسوية الراكع ظهره وعنقه بحيث يصيران كصفيحة واحدة ونصب ساقيه واخذر كبتيه بيديه. والسادس التماءنينة والسبع الرفعز الثامن الطماءنينة اي الاعتدال, والتاسع السخود مرتين في كل ركعة, والعاشر الطماءنينة اي السجود, والحادي عشر الجلوس بين السجدتين في كل ركعة, الثاني عشر الطماءنينة اي الجلوس بين السدتين, والثالث عشر الجلوس الاخر اي الذي يعقبه السلام. والرابع عشر التشهد فيه اي الجلوس الاخر الخامس عشر اللاة علي النبي صل الله عليه وسلم فيه اي الجلوس الاخر. والسادس عشر التسليم الاولى, والسابع عشر, والثامن عشر ترتيب الاركان.


Rukun – rukun Sholat itu ada 17 :


1. Niat.


Yaitu hendak ingin melakukan suatu pekerjaan sambil dibarengi dengan waktu melakukan suatu pekerjaan itu. Sedangkan tempatnya niat itu dalam hati. Maka, bila niat sholat itu sholat fardhu, wajiblah berniat hendak berniat melakukan fardhunya sholat tersebut. Dan wajib pula bersengaja melakukannya dengan tegas lagi gamblang yaitu subuh atau dhuhur misalnya.

Contoh : saya niat sholat fardhu subuh 2 rakaat karena allah ( dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul ihrom ).

Atau sholatnya itu berupa sholt sunnah yang mempunyai waktu – waktu tertentu seperti sholat sunnah rowatib atau sholat yang mempunnyai sebab ( dikerjakan karena ada sesuatu), seperti sholat istisqo’ , maka wajib bersengaja melakukan dengan tegas dan jelas.

Contoh : saya niat sholat sunnah istisqo’ karena allah ( dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul ihrom ).

2. Berdiri pada waktu yang memungkinkannya untuk dapat melakukannya.


Maka jika seseorang tidak mampu berdiri, ia diperkenankan untuk sholat dalam keadaan duduk sesuka hatinya, sedangkan duduk yang lebih utama adalah duduk iftirosy bagi orang yang sholat duduk.

3. Takbiratul ihrom.


Maka, bagi orang yang mampu mengucapkan kalimat takbir, adalah wajib baginya untuk mengucapkan : “Allahu akbar”.

Dan tidak sah hukumya dalam selain kalimah diatas ( misal subhanallah, alhamdulillah, dst).

Dan wajib pula hukumnya sewaktu bertakbir bersama – sama niat melakukan sholat. Adapun imam Nawawi rahimahullah cenderung menganggap cukup tentang masalah penyertaan niat dalam sewaktu bertakbir dengan cara yang lazim dibenarkanan oleh kebanyakan orang.

4. Membaca Alfatihah.


Serta membaca basmalah yang mana ( menurut pandangan imam syafi’i rahimahullah )adalah bagian dari fatihah. Barang siapa menggugurkan satu tasydid atau satu huruf dari bacaan fatihah, atau mengganti satu huruf dari bacaan fatihah dengan huruf yang lain dengan kesengajaan, maka bacaanya tidaak dianggap sah, dan sholatnya juga tidak sah. Namun jika tidak sengaja, maka hukumnya wajib mengulang kembali bacaan fatihahnya. Barang siapa yang tidak mampu membaca fatihah ( dikarenakan baru masuk islam ), maka ia boleh membaca dzikir sebagai ganti dari bacaan fatihahnya, sekiranya dzikirnya itu tidak berkurang dari jumlah huruf – huruf dari surah alfatihah. Maka jika masih tidak mampu juga, maka hendaklah ia baca surah alfatihah semampunya saja. ( jika hanya mampu baca basmalah, maka cukup baginya, dengan catatan harus  cepat belajar fatihah ).

5. Ruku’.


Sedikit – dikitnya membungkuk dengan menyentuhkan ke – 2 telapak tangannya ke lututnya. ( Adapun yang paling afdhol adalah membentuk sudut 90o dan meluruskan tulang belakang dengan lehernya )

Maka, jika seseorang itu tidak mampu membungkukkan badannya seperti cara diatas, maka cukuplah baginya dengan membungkuk semampu dirinya.

6. Thuma’ninah dalam ruku’.


Yaitu berhenti dengan menenangkan diri, sewaktu dalam keadaan ruku’. Mushannif ( pengarang kitab ) menjadikan tuma’ninah sebagai rukun tersendiri dalam deretan rukun – rukun sholat. Hal ini sejalan dengan pendapat imam Nawawi sebagaimana tersebut dalam kitab at – tahqiq. Sedangkan selain mushannif menjadikannya sebagai suatu sifat yang mengikuti pada sederet beberapa rukun sholat. Adapun paling sedikitnya lama tuma’ninah itu adalah sekiranya membaca “ subhanallah “ dengan sangat pelan.

7. Bangun dari ruku’ ( I’tidal ).


Sebagaimana keadaan semula sebelum ruku’. Yaitu berdirinya bagi orang yang tidak mampu berdiri dan duduknya orang yang tidak mampu berdiri.

8. Tuma’ninah dalam i’tidal.


9. Sujud sebanyak 2 kali setiap rakaat.


Paling sedikit batasan sujud itu adalah menyentuhnya bagian kulit keningnya orang yang melakukan sholat pada tempat sujudnya ( tanpa ada penghalang kopiah atau mukenah ).

Dan yang paling sempurna dari sujud itu adalah bertakbir untuk melakukan sujud, hal itu dilakukan tanpa mengangkat ke – 2 tangannya dan meletakkan ke – 2 lututnya dahulu kemudian ke – 2 tangannya, kemudian kening dan hidungnya.

10.  Tuma’ninah sewaktu dalam keadaan sujud.


Dan tidak dianggap sempurna yaitu sekedar menyentuhkan kepalanya pada tempat sujud. tapi harus ditekan, yakni sekiranya apabila dibawah keningnya itu ada kapas, maka kapas itu terdapat tanda – tanda tindihan ( pipih ) dan begitu juga dengan ke – 2 tangannya. (bila umpamanya ada kapas juga di bawah telapaknya).

11.  Duduk diantara 2 sujud


pada tiap – tiap rakaat, baik sholat dalam keadaan berdiri atau duduk atau berbaring.

Barang siapa yang saking cepatnya duduknya, hingga posisi duduknya tidak tegak, namun mendekati sujudnya ( sehingga berkesan seperti tidak duduk ), maka tidak dianggap sah duduknya, sehingga sholatnya pun dianggap tidak sah.

12. Tuma’ninah dalam du duk diantara 2 sujud.


13. Duduk yang terakhir ( tawarruk ).


14.  Membaca doa tahiyyat akhir dalam duduk terakhir.


Paling sedikitnya do’a tahiyyat adalah : “ ATTAHIYYATUL MUBARAKATUS SHOLAWATUTH THOYYIBATU LILLAH, ASSALAMUA ALAIKA AYYUHANNABIYYU WARAHMATULLAHI WABARAKATUH, ASSLALAMU’ALAINA WA’ALA IBADILLAHIS SHOLIHIN, ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSULULLAH “ ( kehormatan , keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan hanya bagi allah, semoga salam sejahtera melimpah padamu wahai nabi dan rahmat Allah beserta keberkahan-Nya. Semoga selamatlah kami dan sekalian hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.dan aku bersaksi bahwa nabi muhammad adalah utusan Allah ).

15.  Membaca sholawat atas nabi Muhammad S.A.W sewaktu dalam duduk terakhir.


Paling sedikitnya adalah : “ ALLAHUMMA SHALLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD “. Sedangkan membaca sholawat atas keluarga nabi muhammad dan nabi ibrohim adalah sunnah.

16.  Mengucapkan salam yang pertama dalam duduk terakhir.


Paling sedikitnya adalah : “ ASSALMU’ALAYKUM “ sebanyak 1 kali. Adapun yang paling sempurna adalah : “ ASSALU’ALAYKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH “ sebanyak 2 kali, saat berpaling ke kanan dan ke kiri.

17.  Tartib ( berurutan ) sewaktu mengerjakan rukun – rukun sholat.

Ibnu Katsir pengikut Asy'ari

Ada segolongan kaum di zaman ini yang menganggap dirinya sebagai golongan yang paling benar dalam mengikuti ulama salaf. Mereka menganggap kelompok lain sebagai golongan sesat tanpa kecuali. Golongan Asyairah yang merupakan golongan mayoritas tak luput dari vonis sesat kaum wahabi salafi. Namun sangat di sayangkan ternyata tokoh-tokoh yang mereka agungkan juga pengikut Asyairah. Misalnya Imam Ibnu Katsir yang juga sempat menjadi murid Ibnu Taimiyah dengan tegas mengakui dirinya sebagai Mazhab Asy`ari.

Hal ini beliau ungkapkan sendiri ketika terjadi perdebatan antara beliau dengan murid Ibnu Taimiyah yang lain, Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ibnu Katsir berkata kepada Ibnu Qayyim “kamu membenci saya karena saya berpaham Asy`aari”. Ibnu Qayyim menjawabnya “Jikalau dari kepalamu hingga kakimu ada sehelai bulu maka tidak akan ada manusia yang akan percaya ucapanmu bahwa kamu Asy`ari sedangkan gurumu adalah Ibnu Taimiyah”.

Kisah ini di ceritakan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab beliau
Durar al-Kaminan Jilid 1 hal 65 :

 أنه وقع بينه وبين عماد الدين ابن كثير منازعة في تدريس الناس فقال له ابن كثير أنت تكرهني لأنني أشعري فقال له لو كان من رأسك إلى قدمك شعر ما صدقك الناس في قولك أنك أشعري وشيخك ابن تيمية

Hal ini beliau ungkapkan sendiri ketika terjadi perdebatan antara beliau dengan murid Ibnu Taimiyah yang lain, Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Ibnu Katsir berkata kepada Ibnu Qayyim “kamu membenci saya karena saya berpaham Asy`aari”. Ibnu Qayyim menjawabnya “Jikalau dari kepalamu hingga kakimu ada sehelai bulu maka tidak akan ada manusia yang akan percaya ucapanmu bahwa kamu Asy`ari sedangkan gurumu adalah Ibnu Taimiyah”. 

Imam ibnu katsir rahimahullah berkata :

"Saya seorang asy'ari walaupun salah seorang guru saya adalah ibnu taimiyyah".

Maksudnya : Ilmu yang sesuai dengan ahli AZWAJA

Tidak menafikan banyak juga ulama Ahlus sunnah yang mengambil ilmu dari Ibnu Tamiyah ...tetapi yang kami ingatkan adalah aqidah Ibnu Taimiyah....Ibnu Katsir berpaham Asy'ari..artinya dlam akidah beliau tidak mau taqlid kepada ibnu Taimiyah...Ibnu Taimiyah pembenci Asya'irah dan bahkan mengkafirkan ulama Asya'irah....taukah anda akan hal ini...

sekiranya aqidah2 Ibnu Taimiyah tersebut tidak di sebarkan pada saat ini, maka kami tidak akan mempersibuk diri menerangkan kesalahan aqidah beliau...

Ibnu katsir pengarang tafsir mu'tabar, yang di akui sejumlah ulama-ulama tafsi yang datang kemudian, termasuk Ahli tafsir Yg berasal dari Aceh yaitu Hasby Assiddiqqy!

Belum ada ulama dayah yang menerbitkan tafsir!
Terkecuali tafsir kauri!

Asy'ariyah adalah suatu paham yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari.

yuk kita lihat tanggapan ibnu katsir didalam Al-Ibanah, kitab terakhir yang ditulisnya.” (Muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah).

Ibnu Katsir menyatakan dalam muqadimah Kitab Al-Ibanah bahwa para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan memiliki tiga fase pemahaman:
Pertama ia di atas manhaj Mu’tazilah. Kemudian
fase kedua yaitu menetapkan sifat aqliyah yang tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan sifat-sifat Allah yang khabariyah.
Pada fase terakhir ia menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tanpa tasybih .

pertanyaannya:
kira-kira jika benar ibnu katsir berpaham asy'ariyah, maka paham pada fase keberapa yang diikuti oleh ibnu katsir.

Do'a tawassul kepada Nabi Muhammad SAW

Contoh D’OA TAWASSUL dari Al Musthafa, Nabi Muhammad Saw

do'a tawassul

Contoh do’a tawassul cukup banyak, baik yang dicontohkan oleh para Ulama, juga yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa berdo’a dengan do’a tawassul itu bukan perbuatan syirik sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum pengikut Madzhab Hawa Nafsu (baca: pengikut Wahabi).

Salah satu contohnya adalah do’a tawassul berikut ini:

اللهم إني أسألك و أتوجه إليك و أتوسل إليك بنبيك الأمين نبي الرحمة يآ محمد إني أتوسل بك إلى ربي لتقضى لي حاجتي…


( …sebutkan hajat… )

Kalau anda sudah pandai baca tulisan Arab kami sarankan harus baca dalam ejaan Arabnya, tetapi bagi anda yang belum pandai membaca tulisan Arab bisa menggunakan tulisan latin di bawah ini. Walaupun begitu, anda harus mencocokkan bunyi bacaannya dengan guru atau teman yang sudah pandai baca abjad Arab. Ini sangat penting agar anda tidak salah ucap kalimat yang nantinya bisa salah artinya….

Baiklah, ini tulisan latinnya: “Allahumma inniy as aluka wa atawajjahu ilaika wa atawassalu ilaika binabiyyikal amin nabiyur rahmah Ya Muhammad, inni atawassalu bika ila robbi lituqdho li hajati….” (… sebutkan hajat …).

Artinya: “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku bertawajjuh (menghadap) kepada-MU dan aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu yang terpercaya, nabi yang rahmat, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul dengan-mu kepada Tuhanku (Allah) supaya diterima hajatku ini .. (… nyatakan hajat…).

Contoh do’a tawassul tersebut berasal dari Hadits Nabi Muhammad Saw, diriwayatkan Imam At Tobaroniy dalam Mu’jam As Soghir dan beliau men-shahihkan hadits tentang do’a tawassul ini.

Maulud bid'ah yang paling Afdol

Imam Abu Syamah atau Abdurrahman bin Ismail bin Ibrahim bin Utsman



Imam Abu Syamah atau Abdurrahman bin Ismail bin Ibrahim bin Utsman merupakan salah seorang ulama besar, muhaddits dan muarrikh. Beliau termasuk salah satu guru Imam An-Nawawi.
Imam Abu Syamah bermadzhab Syafi'i dalam fiqh dan Asy'ariyah dalam aqidah. Lahir tahun 596 hijriyah di Damaskus dan wafat pada tahun 665 hijriyah, dimakamkan di Bab Kaisan.

Dalam usia yang masih dibawah 10 tahun, beliau sudah hafal al-Qur'an, bahkan hafal sekaligus menguasai semua ilmu qiraat, dan mensyarahkan hirzul amani imam syatibi pada masalah qiraat di umur 16 tahun, dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau yang tak terhingga, pada masalah lugat, fiqh, dan tarikh.

Keahlian beliau dalam ilmu Tarikh, membuat Imam Asy-Syathibi banyak menggunakan qaul (pendapat) beliau didalam kitab Siyar A'lamin Nubala'-nya. Banyak ulama yang mengatakan bahwa Imam Abu Syamah telah mendapat derajat mutjahid muthlaq.

Diantara fatwa beliau yang sangat terkenal sampai saat ini dan dimuat dalam banyak kitab-kitab ulama, adalah berkaitan dengan peringatan Maulid Nabi Saw. Beliau mengkategorikan peringatan Maulid Nabi sebagai sebuah bid'ah, tetapi bid'ah yang paling bagus (ahsan).

Diterangkan oleh Sayid Bakri bin Sayid M Syatho Dimyathi didalam kitabnya I‘anatuttholibin sebagai berikut:

قال الإمام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله ومن أحسن ما ابتدع فى زماننا ما يفعل فى كل عام فى اليوم الموافق ليوم مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور فان ذلك مع ما فيه من الإحسان الى الفقراء يشعر بمحبة النبي صلى الله عليه وسلم وتعظيمه وجلالته فى قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذى أرسله رحمة للعالمين صلى الله عليه وسلم

"Imam Abu Syamah (guru penulis) berkata, “Salah satu dari sekian banyak bid‘ah paling hasanah di zaman kita ialah kelaziman yang dibuat masyarakat setiap tahun dalam merayakan harlah Rasulullah SAW berupa sedekah, berbuat ma’ruf, dan bersolek diri atau merapikan desa serta menyatakan kegembiraan. Semua itu berikut perbuatan baik kepada orang-orang faqir, menunjukkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW, keagungan serta kebesaran beliau SAW di hati mereka yang merayakan maulid, dan bentuk syukur kepada Allah atas anugerah-Nya dalam menciptakan seorang Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam kepada rasul-Nya SAW.”

Selain memfatwa Maulid Nabi sebagai bid'ah yang paling bagus, Imam Abu Syamah juga menjelaskan amaliyah-amaliyah yang bisa dikerjakan dalam peringatan Maulid Nabi, misalnya bershadaqah, berbuat kebajikan, berhias, menyatakan kegembiraan, dan sebagainya.

Hakikat Bid'ah dan Maulud

Hakikat Sunah dan Bid'ah



Kitab Hakiqatus Sunnah wal Bid'ah atau al-Amr bil-Ittiba' wan Nahyu 'anil Ibtida' (Anjuran Mengikuti Nabi dan Larangan Berbuat Bid'ah)

 حقيقه السنة والبدعة = الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع


karya ulama Ahlussunnah wal Jama'ah ini penting diketahui untuk memahami hakikat sunnah dan bid'ah yang sebenarnya.

Kitab tersebut dikarang oleh Imam Abdurrahman bin Abu Bakr atau dikenal dengan Imam al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi (w 911 H). Didalam Maktabah Syamila, kitab tersebut telah di tahqiq oleh Dzib bin Mishri bin Nashir al-Qahthani.

Dalam kitab tersebut, dipaparkan mengenai ayat-ayat perintah Ittiba', larangan berbuat bid'ah, larangan berpecah belah, pengertian sunnah, pengertia bid'ah, macam-macam bid'ah, kapan suatu bid'ah dikatakan bagus,  dan sebagainya.

Pada bahasan "Macam-Macam Bid'ah", Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa terbagi menjadi 2 yaitu bid'ah yang baika dan bid'ah yang buruk dan mengutip pernyataan Imam As-Syafi'i rahimahulah. Berikut penjelasan al-Hafidz al-Suyuthi :

أنواع البدع

والحوادث تنقسم إلى: بدعة مستحسنة، وإلى بدع مستقبحة

Macam-macam bid'ah.
Perkara-perkara baru terbagi menjadi bid'ah yang dianggap baik dan bid'ah yang dianggap tercela.

قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه

Imam Syafi'i radhiallahu 'anhu telah berkata : Bid'ah ada dua : Yang pertama bid'ah mahmudah (terpuji), dan yang kedua bid'ah madzmumah (tercela). Bid'ah yang sesuai sunnah adalah bid'ah terpuji, dan bid'ah yang menyalahi sunnah adalah tercela. Imam Syafi’i berhujjah dengan perkataan sayidina Umar radhiallahu 'anhu : Bid'ah ni'mat adalah ini.

وقال الإمام الشافعي أيضاً رضي الله تعالى عنه: المحدثات في الأمور ضربان: أحدهما ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهي محدثة غير مذمومة.

Imam Syafi’i radhiallahu 'anhu telah berkata juga : Perkara-perkara baru di bagi menjadi 2 : Salah satu dari yang 2 adalah perkara baru yang menyalahi Al Qur'an atau Sunnah atau atsar atau ijma'. Maka hal ini adalah bid'ah sesat. Dan yang kedua, perkara baru yang merupakan sebagian dari kebaikan, di dalamnya tidak menyalahi salah satu dari ini (Al Qur'an, sunnah, atsar, ijma), maka yang demikian adalah perkara baru tidak tercela.

وقد قال عمر في قيام شهر رمضان نعمت البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن وإذا كانت فليس فيها ردّ لما مضى وقال بعضهم: وإنما كان ذلك لأن النبي (حثّ على قيام شهر رمضان وفعله هو (، واقتدى به بعض الصحابة ليلة بعد أخرى، فهي مشروعة في الأصل. وكذا قول الحسن في القصص: نعم البدعة؛ لأن الواعظ مشروع، ومتى استند المحدث إلى أصل مشروع لم يذم

Sungguh sayyidina Umar telah berkata di dalam qiyamu ramadhan, bid'ah nikmat adalah ini. Yakni, sesungguhnya yang demikian adalah perkara baru yang belum pernah ada, dan apabila ada, maka di dalamnya tidak lah tertolak bagi amalan-amalan yang sudah dilakukan. Dan sebagian ulama berkata : sesungguhnya terjadi yang demikan itu karena Nabi SAW diperintahkan mendirikan qiyamu ramadhan dan beliau mengerjakannya, lalu sebagian sahabat mengikuti pada suatu malam sesudah yang lain, maka yang demikian adalah yang disyari’atkan di dalam asalnya. Dan sebagaimana qoul Al Hasan di dalam kitab Al Qashash : Betul bid'ah, karena yang memerintahkan adalah yang disyariatkan, dan bilamana perkara baru bersandar pada asal yang disyari’atkan tidak lah tercela.

متى تكون البدعة حسنة؟

فالبدعة الحسنة متفق على جواز فعلها والاستحباب لها رجاء الثواب لمن حسنت نيته فيها، وهي كل مبتدع موافق لقواعد الشريعة غير مخالف لشيء، ولا يلزم من فعله محظور شرعي،

Kapan terjadinya bid'ah hasanah ? Bid'ah hasanah adalah yang disepakati kebolehan mengerjakannya dan dianjurkan (disunahkan), bagi nya harapan pahala bagi orang yang niatnya baik di dalamnya. Dan bid'ah hasanah adalah setiap bid'ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah, tidak menyalahi sedikit pun. Dan tidak lazim orang yang mengerjakan nya adalah yang dilarang syar'i.

Maulud dapat Pahala 

Dalam Kitab "Al Khowi Lil Fatawi Imam al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi"


Salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama'ah Imam al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi pernah ditanya mengenai peringatan Maulid Nabi yang dilakukan pada bulan Rabi'ul Awwal.

Pertanyaan itu termaktub dalam kitabnya berjudul al-Hawi lil-Fatawi atau dalam risalah Husnul Maqshid fi 'Amalil Maulid, yang juga dikutip oleh Syaikh al-Bakri Syatha' Ad-Dimyathi dalam kitab I'anatuth Thalibin 'ala Halli Alfadh Fathil Mu'in.

Berikut fatwa al-Hafidz al-Suyuthi :

فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ؟ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا؟ الْجَوَابُ: عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ - هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ

Sungguh telah datang pertanyaan mengenai (peringatan) Maulid Nabi pada bulan Rabi'ul Awwal, apa hukumnya dari sisi Syari'at? Apakah peringatan Maulid Nabi itu perkara yang terpuji atau tercela? Dan apakah orang yang melaksanakannya diberi pahala atau tidak?.

Jawab : Menurutku, asal amalan Maulid Nabi adalah berkumpulnya orang-orang dan membaca Al-Qur'an dan membaca riwayat yang menceritakan kisah Nabi Saw. serta apa-apa yang terjadi pada hari kelahirannya yang merupakan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah SWT, kemudian dihidangkan jamuan untuk mereka, tanpa ada tambahan lain. Yag demikian itu termasuk dari bid'ah hasanah yang diberi pahala orang-orang yang mengamalkannya karena didalamnya termasuk hal yang termasuk mengagungkan derajat Nabi Saw. dan menampakkan kebahagiaan dan rasa senang atas hari kelahiran Nabi yang mulia.

Stop menuduh Bid'ah Sebab bid’ah bukanlah hukum


Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam, sebagaimana perkara yang disebutkan oleh para Imam menegnai perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan)” maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, tidak semua perbuatan menjadi haram (berdosa) walaupun semisalnya dilakukan. Juga tidak bisa dijadikan “dalih” mengharamkan tahlilan, sama sekali tidak ada benang merahnya.

Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum
(status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidahkaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum :
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai“bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukumsunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.

Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :


قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات

“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”,

diantara bid’ah yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orangorang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya;
diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ;
diantara bid’ah yang mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan telah dijelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat”

Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :


قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي
عنه في آخر كتاب "القواعد": البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة، ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض
البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه
فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ
غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من
السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا
يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع
المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع المندوبة أمثلة منها
إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في عهد رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة والبسملة هذا آخر كلامه

“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-
Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan
mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah kaidah syari’ah, sehingga
1. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
3. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
1. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.

2. Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ahwajibah).

3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat rubath dan
madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya
adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain
sebagainya.

4. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf danlain sebagainya.

5. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan
perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan
setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “

Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ahyang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :



أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب , ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف يعني أنها محدثة « نعمت البدعة هذه » : فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini
termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk, dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan
(shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”, yakni perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya.
Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahaminya pun berbeda walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu samasama para ‘ulama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman mereka itu.

LANJUT MASALAH BID’AH

Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang” yang selalu di gembar-gemborkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulkan keresahan diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang sebenarnya bermuara pada perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya seperti kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya adalah tidak menerima penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi oleh keumuman nas atau masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah, Ijma’, Qiyas, Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya, sehingga menurut mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada nasnya (walaupun nas-nya umum).

Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap bahwa perkara tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa Rasulullah yang perlu di di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari sini kemudian muncul istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hudaa dan lain sebagainya. Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara perkara yang ada pasa masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam danyang tidak. Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Majmu’ juga menjelaskan :



قوله) صلى الله عليه وسلم " كل بدعة ضلالة " هذا من العام المخصوص لأن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء واللغات

“Sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian dari ‘amun makhshush, karena sesunggguhnya bid’ah adalah setiap perkara yang dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya, ulama juga berkata : bid’ah terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan contoh-contohnya dan telah aku jelaskan didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”.

Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu bid’atin dlalalah” sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan) oleh hadits-hadits lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish terhadapnya adalah sebagaimana yang telah beliau sebutkan penjelasannya didalam Syarh Shahih Imam Muslim :

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) merupakan takhsish terhadap sabda Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah perkara-perkara baru yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah menuturkan disana bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah”.

Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada hadits “man sanna fil Islam” sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk, karena mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu baru yang buruk didalam Islam. Adapun para sahabat Nabi sendiri, mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu yang baik Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudkan pada hadits yang masih umum tersebut adalah bid’ah madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.

Pendefinisian Bid’ah
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya,


أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
“setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya”

dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinisikan :

بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة

“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi hasanah dan qabihah”.

Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam
mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة

“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”.

Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-orang yang mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru yang
mereka lakukan walaupun kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. 95 Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari sudut pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama.

Senin, 26 Januari 2015

Ikutilah Al Qur’an dan Hadits dan Tinggalkan Ulama? Katanya

Ikuti saja Al Qur’an dan Hadits. Jangan main ikut ulama, sebab itu namanya Taqlid.Begitu kata seorang korban Radio Rujak…



Di Al Qur’an ada perintah Athi’ullahu wa athi’ur Rosul. Taatilah Allah dan Taatilah Rosul.
Nah saat ini Rosul telah tiada. Siapa yg kita taati? Jawabnya ya Ulama. Sebab Nabi berkata: Ulama itu adalah Pewaris Nabi.

“Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.

Memang ada ulama yang sesat, tapi Jumhur/Mayoritas Ulama, insya Allah lurus.

Firman Allah:
“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]

Allah meninggikan ulama dibanding orang2 awam. Pemahaman Ulama terhadap Al Qur’an dan Hadits atau masalah, itu lebih baik daripada pemahaman orang-orang awam:

” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).

Imam Ahmad berkata untuk jadi Imam Mazhab/Mujtahid, minimal Hafal Al Qur’an dan Hafal 1 juta hadits. Imam Malik bukan sekedar hafal hadits, tapi melihat langsung praktek ibadah anak2 dan cucu2 sahabat Nabi. Sementara sahabat langsung menerima Islam dari Nabi.

Bahkan ahli hadits terkemuka pun seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim yang lahir sekitar 100 tahun setelah wafatnya Imam Malik, dengan rendah hati mengikuti Mazhab Imam Syafi’ie. Mereka tidak berani berpegang langsung kepada Al Qur’an dan Hadits. Sebab ilmu yang mereka miliki tidak cukup untuk jadi Imam Mazhab. Jadi mereka sekedar jadi Imam Hadits.

Jadi bagaimana mungkin orang2 awam yg tidak hafal Al Qur’an dan cuma dengar Radio Rujak, dgn sombong berkata: Jangan ikuti ulama. Ikuti saja Al Qur’an dan Hadits secara langsung…

Kitab2 Kuning yg ditulis para ulama di 3 abad pertama Islam insya Allah mengacu pada Al Qur’an dan hadits:

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”

dalam lafazh lain disebutkan bahwa,

“Sebaik-baik zaman adalah zamanku (zaman para sahabat), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’in), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533 hadits ini adalah Mutawatir)

http://mediaislamraya.blogspot.com/2013/05/menghormati-dan-mengikuti-ulama-pewaris.html

Justru kita harus waspada pada orang2/paham yg lahir pada akhir zaman yang menyeru pada Al Qur’an dan Hadits tapi mengajak kita meninggalkan jumhur ulama untuk mengikuti pentolan2 mereka yg cuma firqoh/sempalan belaka:

“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Mereka baik dalam berkata tapi jelek dalam berbuat, mengajak untuk mengamalkan kitab Allah padahal mereka tidak menjalankannya sedikitpun.” (HR. Al-Hakim)

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2012/01/19/ciri-khawarij-tak-mengamalkan-al-quran-dan-membunuh-muslim/

Alih2 mengamalkan Al Qur’an dan Hadits, mereka justru menjauhkan kita pada ulama. Na’udzubillah min dzalik!

Sanad itu penting. Para Imam Mazhab seperti Imam Malik dan Imam Syafi’ie itu generasi tabi’in / tabi’it tabi’in. Sanad guru mereka itu bersambung ke Nabi. Nah yg tidak bermazhab itu umumnya 1100 tahun setelah wafatnya Nabi. Sanadnya tidak jelas.

Tauhid Wahabi Oplosan

TAUHID OPLOSAN(BID'AH) WAHABY
WAHABY MENGGELARI ORANG YANG DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA DENGAN GELAR “UMAT BERTAUHID RUBUBIYAH”
- orang kafir tetap di sebut kafir secara mutlak, tak ada satupun gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88

وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

وَقِيلِهِ يَارَبِّ إِنَّ هَؤُلَاء قَوْمٌ لَّا يُؤْمِنُونَ

فَاصْفَحْ عَنْهُمْ وَقُلْ سَلَامٌ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

86. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)1368.
87.Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,
88.dan (Allah mengetabui) ucapan Muhammad: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman (tidak bertauhid DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK!!)”.
89.Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: “Salam (selamat tinggal).” Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).
(QS. Az Zukhruf : 86-89)

Orang kafir menurut tauhid rububiyah wahaby sendiri tidak yakin 100% kerububiyahan Allah
MEREKA MASIH MENYAKINI BERHALA-BERHALA BISA MEMBERI MANFAAT!!! Mereka telah di nash kafir atau tidak ada iman oleh Allah dan rasulnya!, tak ada satupun gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88
Sedangkan “seorang kafir tidak mungkin muslim apalagi mu’min (beriman/bertauhid)“
dan “seorang mu’min itu pasti muslim, tetapi seorang muslim belum tentu mu’min” sesuai dengan firman Allah :
“Surat alHujurat : 14
Jadi , muslim = orang islam (secara hukum) sudah syhadatain
munafiq = muslim (secara hukum) yang bukan mu’min, dhahirnya muslim tapi aqidahnya belum betul
mu’min = orang yang iman betul dan kuat dan pasti muslim
kafir = bukan bukan muslim apalagi mu’min
‘Orang-orang Arab Badui berkata, “kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu … ”
kenapa wahaby menghukumi orang kafir sebagai “umat bertauhid/beriman rububiyah”????

Wahabi Ngajinya belajar dari cara Kristen

Dipukuk sampai memar


Tahukah anda..
fakta yang bisa kita temukan sangat jelas jika Kristen selalu menggunakan TERJEMAHAN quran apa adanya untuk menyerang Umat islam.
mereka tidak memahami makna sebenarnya bahkan tafsirnya quran sehingga pada akhirnya Islam ini menjadi cemohan kafir kristen..
nah metode cara kristen ini juga digunakan Oleh wahabi. mereka bicara quran juga apa adanya.. dengan alasan tak perlu takwil. bukankah kristen juga tak perlu takwil ??
Al hasil.. wahabi juga persis kayak kristen menyerang Umat islam baik dgn hadits maupun quran cukup dengan terjemhannya saja..apa adanya.
Tidak heran jika ayat yang seharusnya digunakan untuk kafir macam krsiten... karna kagak ngerti lantas mereka gunakan buat menyerang umat islam.. dan jadilah wahabi sebagai golongan berbaju islam pembela Kristen lebih lebih umat macam kristen mereka gelari Umat bertauhid mode on TRI TAUHID. yang sebenarnya ajaran Bidah dlolalah. ( cuma wahabi lupa kacang ama kulit ngatain orang ahlul bidah padahal golongannya sendiri terbentuk karna Bidah dlolalah)
Hukum Akal itu adalah hal hal yang masuk akal sehat,dipahami dengana bijaksana dan jelas tidak janggal. dan ketika janggal maka akal sehatnya belum bekerja dengan sempurna walaupun mengaku memiliki akal.
Allah mengkaruniai kita akal agar hidup ini tertata dengan baik dan bisa menggali pengetahuan dari Allah untuk kebaikan diri..sesama manusia dan untuk kebaikan akhrerat.
Hukum baik artinya bermanpaat. dan tidak merugikan orang lain.jika itu menjadikan orang lain resah dalam beramal ibadah maka belum disebut baik krn tidak bisa menciptakan ketenangan orang.
Hukum Nasehat artinya memeberikan hal yang mengandung Paedah,menyenangkan banyak orang,membuat dirinya larut dalam perenungan untuk kemudian lebih baik lagi beribadah.
akan tetapi jika nesehat itu pada intinya hanya menyerang orang.. maka itu bukan nasehat melainkan sedang mencaci maki orang lain dengan klaim klaim yang belum tentu benar.
Hukum Dakwah artinya memberikan tambahan pengetahuan yang tidak diketahuai atau belum diketahuai orang dengan cara yang santun. dan ketika orang bertanya maka pendakwah mesti bisa memberikan uraian lebih baik karna tingkat pengetahuan dam daya tangkap seseorang tidak sama. dalam konteks ini artinya pendakwah ilmunya sudah cukup mumpuni.
wahabi sering bicara DAKWAH TAUHID.. dan apakah disebut dakwah jika hanya mencaci maki amal ibadah orang ?? apakah disebut dakwah jika orang bertanya namun ia tidak bisa menjawabnya baik baik bahkan malahan berbalik mencaci maki yang bertanya atau ngelantur kesana kemari ?? jika tidak siap jadi pendakwah tauhid maka seharusnya tidak perlu memandang rendah orang lain apalagi menuduh yang bukan bukan krn diatas langit masih ada langit.ada jutaan orang yang jauh lebih mumpuni dan lebih pantas menjadi GURU namun tidak perlu merasa ahli dakwah macam kebanyakan wahabi yang baru modal dauroh seminggu sekali sudah merasa ahlinya..
saya sendiri mengakui betapa banyak ahli ulama jauh lebih mumpuni ketimbang saya. misalnya.. saya tidak pernah mampu mengalahkan pengetahuan guru saya.. dan itu artinya diatas saya masih ada ahlinya.
sungguh luar biasa jika kebanykan wahabi merasa jadi Ahlinya DAKWAH seolah olah pengatahuan agama ini sudah bertahun tahun ia gali padahal ketika orang bertanya hal yang ringan ringan saja.. lum mampu ia kaji.
Sikap kristen itu sama dgn cara wahabi.. baca quran dan hadits secara Tekstual untuk menyarang umat islam mereka merasa ahlinya..sehingga para pasturnya seperti tak punya cacat.. padahal kitab injilnya saja sudah tidak lagi aslinya.bahkan sepanjang yang saya ketahui, setiap pemimpin gereja punya kelompok sendiri sendiri sesuai ajaran pasturnya.dan jemaaahnya hanya percaya pastur tempat ia ibadah mingguan. dalam analisis saya..para pemimpin gereja ini satu sama lain berbeda memahami injil..karn tidak lagi aslinya.. sehingga banyak masing masing membuat statemen sendiri.
wahabi juga demikian.. masing masing ustadnya berbeda sudut pandang bahkan saling kafirkan antar sesam mereka sendiri.. contoh mudah misalnya wahabi Turots vs wahabi salafi vs aI Ikhwan..vs lDII.. vs Sururi dan lain lain padahal masih sama sama bau anak buahnya Muhammad bin abdul wahab sebagai makskot utama.
Coba anda pikir.. wahabi mana yang paling benar karna satu sama lain merasa paling benar juga ??
meraka sendiri sudah kacau eh mau berlomba lomba menjadi besar.. sementara dalam tubuh mereka sendiri sudah tidak benar. dan sungguh.. jika bicara akal sebagaimana saya katakan diatas.. maka dakwah mereka belum masuk Akal untuk diterapkan pada mayoritas umat karna mereka mendakwahi pecahan mereka sendiri belum beres..
Ini saja dulu..

Minggu, 25 Januari 2015

Ciri-ciri Wahabi

Sumber : https://m.facebook.com/profile.php?id=841921749192816&refid=52&__tn__=C

Link Juga:
SCAND KHAWARIJ WAHABI SALAFI-ISIS BUNUH ULAMA AHLU SUNAH
Di bawah ini Tokoh Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah yang Mengecam dan Menolak Ajaran Salafi Wahhabi (kaum sawah tanduk setan Najd)


Membedah Bid'ah Wahabi https://m.facebook.com/story.php

FIQH WAHABI
1. Menolak mengikuti madzhab imam-imam
yang empat; pada hakikatnya
mereka bermadzhab “TANPA MADZHAB”
2. Mencampuradukkan amalan empat
mazhab dan pendapat-pendapat lain
sehingga membawa kepada talfiq
[mengambil yang disukai] haram
3. Memandang amalan bertaqlid sebagai
bid’ah; mereka mengklaim dirinya berittiba’
4. Sering mengungkit dan
mempermasalahkan soal-soal khilafiyyah
5. Sering menggunakan dakwaan ijma’
ulama dalam masalah khilafiyyah
6. Menganggap apa yang mereka amalkan
adalah sunnah dan pendapat pihak lain
adalah Bid’ah
7. Sering menuduh orang yang bermadzhab
sebagai ta’assub [fanatik] mazhab
8. Salah faham makna bid‟ah yang
menyebabkan mereka mudah
membid‟ahkan orang lain
9. Mempromosikan madzhab fiqh baru yang
dinamakan sebagai Fiqh al-Taysir, Fiqh al-
Dalil, Fiqh Musoffa, dll [yang jelas keluar
daripada fiqh empat mazhab]
10. Sering mewar-warkan agar hukum
ahkam fiqh dipermudahkan dengan
menggunakan hadis “Yassiru wa la
tu’assiru, farrihu wa la tunaffiru”
11. Sering mengatakan bahwa fiqh empat
madzhab telah ketinggalan zaman
NAJIS
1. Sebagian mereka sering
mempermasalahkan dalil akan kedudukan
babi sebagai najis mughallazhah
2. Menyatakan bahwa bulu babi itu tidak
najis karena tidak ada darah yang mengalir.
WUDHU’
1. Tidak menerima konsep air musta’mal
2. Bersentuhan lelaki dan perempuan tidak
membatalkan wudhu’
3. Membasuh kedua belah telinga dengan
air basuhan rambut dan tidak dengan air
yang baru.
ADZAN
1. Adzan Juma’at sekali; adzan kedua ditolak
SHALAT
1. Mempromosikan “Sifat Shalat Nabi
Shollallohu ‘alaihi wa sallam‟, dengan alasan
kononnya shalat berdasarkan fiqh madzhab
adalah bukan sifat shalat Nabi yang benar
2. Menganggap melafazhkan kalimat
“usholli” sebagai bid’ah.
3. Berdiri dengan kedua kaki mengangkang.
4. Tidak membaca “Basmalah‟ secara jahar.
5. Menggangkat tangan sewaktu takbir
sejajar bahu atau di depan dada.
6. Meletakkan tangan di atas dada sewaktu
qiyam.
7. Menganggap perbedaan antara lelaki dan
perempuan dalam shalat sebagai perkara
bid‟ah (sebagian Wahabiyyah Indonesia
yang jahil).
8. Menganggap qunut Subuh sebagai bid’ah.
9. Menggangap penambahan “wa
bihamdihi” pada tasbih ruku’ dan sujud
adalah bid’ah.
10. Menganggap mengusap muka selepas
shalat sebagai bid’ah.
11. Shalat tarawih hanya 8 rakaat; mereka
juga mengatakan shalat tarawih itu
sebenarnya adalah shalat malam (shalatul-
lail) seperti pada malam-malam lainnya
12. Dzikir jahr di antara rakaat-rakaat shalat
tarawih dianggap bid’ah.
13. Tidak ada qadha’ bagi shalat yang
sengaja ditinggalkan.
14. Menganggap amalan bersalaman selepas
shalat adalah bid’ah.
15. Menggangap lafazh sayyidina (taswid)
dalam shalat sebagai bid’ah.
16. Menggerak-gerakkan jari sewaktu
tasyahud awal dan akhir.
17. Boleh jama’ dan qashar walaupun
kurang dari dua marhalah.
18. Memakai sarung atau celana setengah
betis untuk menghindari isbal.
19. Menolak shalat sunnat qabliyyah
sebelum Juma’at
20. Menjama’ shalat sepanjang semester
pengajian, karena mereka berada di
landasan Fisabilillah
DO’A, DZIKIR DAN BACAAN AL-QUR’AN
1. Menggangap do’a berjama’ah selepas
shalat sebagai bid’ah.
2. Menganggap dzikir dan wirid berjama’ah
sebagai bid’ah.
3. Mengatakan bahwa membaca
“Sodaqallahul ‘azhim” selepas bacaan al-
Qur’an adalah Bid’ah.
4. Menyatakan bahwa do’a, dzikir dan
shalawat yang tidak ada dalam al-Qur’an
dan Hadits sebagai bid’ah. Sebagai contoh
mereka menolak Dala’il al-Khairat, Shalawat
al-Syifa‟, al-Munjiyah, al-Fatih, Nur al-Anwar,
al-Taj, dll.
5. Menganggap amalan bacaan Yasin pada
malam Jum’at sebagai bid’ah yang haram.
6. Mengatakan bahwa sedekah atau pahala
tidak sampai kepada orang yang telah
wafat.
7. Mengganggap penggunaan tasbih adalah
bid’ah.
8. Mengganggap zikir dengan bilangan
tertentu seperti 1000 (seribu), 10,000
(sepuluh ribu), dll sebagai bid’ah.
9. Menolak amalan ruqiyyah syar’iyah dalam
pengobatan Islam seperti wafa‟, azimat, dll.
10. Menolak dzikir isim mufrad: Allah Allah.
11. Melihat bacaan Yasin pada malam nisfu
Sya’ban sebagai bid’ah yang haram.
12. Sering menafikan dan memperselisihkan
keistimewaan bulan Rajab dan Sya’ban.
13. Sering mengkritik keutamaan malam
Nisfu Sya’ban.
14. Mengangkat tangan sewaktu berdoa’
adalah bid’ah.
15. Mempermasalahkan kedudukan shalat
sunat tasbih.
SEKILAS TENTANG KITAB REKAYASA [JUZK FIL
HURUF WAL ASHWAT] YANG DINISBAHKAN
KEPADA IMAM NAWAWI
 
Kitab rekayasa tersebut dibuat seolah-olah
Imam Nawawi menulis ringkasan [ikhtishar]
dari dua kitab berbeda yakni kitab
GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM ”
ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺮﺍﻡ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﻜﻼﻡ ” katanya itu kitab
Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn
Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i, dan
dari kitabnya Imam Nawawi sendiri yakni
kitab at-TIBYAN FI ADABI HAMLATIL QURAN
“ ﺍﻟﺘﺒﻴﺎﻥ ﻓﻲ ﺁﺩﺍﺏ ﺣﻤﻠﺔ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ” sehinggah kitab
kebohongan itu terdiri dari dua bagian, dan
insyaallah akan kami jelaskan nanti mana
yang dari kitab GHAYATUL MARAM dan mana
yang dari at-TIBYAN.
Kitab kebohongan tersebut terdiri dari
Muqaddimah dan 18 [delapan belas] pasal,
yaitu:
PASAL: Tentang huruf dan apakah ia qadim
atau hadits.
PASAL: Tentang Kalam Allah.
PASAL: Tentang itsbat harf bagi Allah ta’ala.
PASAL: Tentang itsbat suara bagi Allah ta’ala.
PASAL: Tentang bahwa qiraah itu dibacakan
dan bahwa kitabah itu dituliskan.
PASAL: Tentang bahwa Kalam Allah itu
didengarkan.
PASAL: Tentang Hadits-hadits yang
menguatkan bahwa Kalam Allah itu
didengarkan.
PASAL: Tentang wajib hormati Al-Quran.
PASAL: Tentang haram Tafsir Al-Quran tanpa
ilmu.
PASAL: Tentang haram ragu dan jidal pada
Al-Quran dengan cara yang tidak benar.
PASAL: Tentang tidak dilarang kafir
mendengar Al-Quran dan dilarang
menyentuhnya.
PASAL: Tentang menulis Al-Quran pada
bejana lalu disirami air dan diberikan ke
orang sakit.
PASAL: Tentang menghias dinding dan pintu
dengan Al-Quran.
PASAL: Tentang sunnah menulis mushaf.
PASAL: Tentang tidak boleh menulis Al-Quran
dengan najis.
PASAL: Tentang wajib menjaga mushaf dan
menghormatinya.
PASAL: Tentang haram terhadap orang
berhadats menyentuh mushaf dan
membawanya.
PASAL: Tentang melarang anak-anak dan
orang gila membawa mushaf.
Dari dua bagian kitab rekayasa ini
disebutkan bahwa bagian pertama yaitu
tujuh Pasal awal mulai dari [PASAL: Tentang
huruf dan apakah ia qadim atau hadits.]
sampai akhir [PASAL: Tentang Hadits-hadits
yang menguatkan bahwa Kalam Allah itu
didengarkan.] itu diringkas dari kitab
GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM
karya Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad
Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i,
dan bagian kedua yaitu sebelas Pasal
selanjutnya mulai dari [PASAL: Tentang wajib
hormati Al-Quran.] sampai akhir [PASAL:
Tentang melarang anak-anak dan orang gila
membawa mushaf.] itu ringkasan dari kitab
Imam Nawawi sendiri yakni kitab at-TIBYAN
FI ADABI HAMLATIL QURAN.
Skenario yang hampir bisa dibilang
sempurna, mencampurkan yang haq
dengan yang batil, agar yang batil sekilas
terlihat haq, tapi Allah akan selalu menolong
para penolong Agama, cepat atau lambat
rekayasa, fitnah dan cerita dusta itu pasti
akan nampak juga pada
waktunya.Insyaallah


ALASAN MENOLAK DINISBAHKAN KITABREKAYASA [JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT]TERSEBUT
KEPADA IMAM NAWAWI1. Bahwa Syaikh Fakhruddin Abu AbbasAhmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawiasy-Syafi’i ini orang tidak dikenal [OTK]bahkan tidak pernah ada sama sekali dalamjajaran Ulama Syafi’iyyah dalam kitab manapun, bahkan lagi pentahqik kitab itu puntidak kenal dengan Abu Abbas al-Armawi ini,tidak mungkin orang yang dipuji setinggilangit oleh Imam Nawawi dalam kitab itutidak tercatat dalam sejarah, apalagi dalamperistiwa sebesar ini [seandainya itu benaradanya], tapi jangankan kehidupannya,kuburnya pun tidak ada, benar-benar initokoh fiktif belaka.2. Bahwa kitab rekayasa GHAYATUL MARAMFI MAS-ALATIL KALAM karya Abu Abbas al-Armawi tersebut tidak pernah ada samasekali, karena orang nya memang tidakpernah ada, bagaimana mungkin ImamNawawi meringkas kitab yang tidak pernahada itu.3. Bahwa Imam Nawawi tidak punya guruyang bernama Abu Abbas al-Armawi,bahkan dalam kitab rekayasa itu sendiri,pentahqik lupa menambah Abu Abbas al-Armawi dalam jajaran guru Imam Nawawi.4. Bahwa aqidah Ulama salaf bukan sepertitersebut dalam kitab rekayasa itu, tapiTafwidh ma’at Tanzih atau Takwil Ijmalitanpa Takyif, Tasybih dan Ta’thil, itu ManhajTaymiyyin yang belum ada masa ImamNawawi.5. Bahwa dalam kitab Biografi ImamNawawi tidak pernah ada sejarah bahwaImam Nawawi pernah menulis kitabrekayasa tersebut yakni [JUZK FIL HURUFWAL ASHWAT].6. Bahwa tidak disebutkan siapa penemukitab rekayasa itu dan kapan ditemukannya,tidak ada murid atau keluarga atau Ulamasemasa Imam Nawawi yang tau adanyakitab itu, dan baru ketahuan setelahratusan/ribuan tahun kemudian saat kitabitu ada ditangan pentahqik Wahabi yakniAbu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati, dankemungkinan besar inilah biang fitnah ini.7. Bahwa banyak pembesar Wahabi jugatidak percaya dengan keberadaan kitabrekayasa itu, hingga Imam Nawawi di capsesat karena beliau seorang Sufi beraqidahAsy’ari.8. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus“penemu” kitab rekayasa itu adalahpembenci Imam Nawawi dan anti Sufi jugaanti Asy’ari.9. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati adalah orang pikun hingga nampakkedustaannya yaitu salah menetapkantanggal dalam kitab rekayasa itu, dalamMuqaddimah ia sebutkan bahwa kitab ituselesai ditulis oleh Imam Nawawi padaKamis 3 Rabiul Akhir 676 H [ﻓﻲ ﺍﻟﺨﻤﻴﺲ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚﻣﻦ ﺷﻬﺮ ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻵﺧﺮ ﺳﻨﺔ 676 ﻫـ ] tapi pada akhirkitab ia sebutkan kitab itu selesai padaKamis 3 Rabiul Awwal 676 H [ ﺍﻟﺨﻤﻴﺲ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚﻣﻦ ﺷﻬﺮ ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻷﻭﻝ ﺳﻨﺔ ﺳﺖ ﻭﺳﺒﻌﻴﻦ ﻭﺳﺘﻤﺎﺋﺔ. [10. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati juga melakukan kesalahan ketikamentahqik mengubah ibarat dari dasar nya( ﻓﺮﻏﻨﺎ ﻣﻨﻪ ﺻﺒﻴﺤﺔ ﺍﻟﺨﻤﻴﺲ) menjadi (ﻓﺮﻏﻨﺎ ﻣﻦﻧﺴﺨﻪ ﺍﻟﺨﻤﻴﺲ).Sudah cukup alasan untuk tidak menerimapenisbahan kitab rekayasa tersebut kepadaImam Nawawi, tapi lebih layak kitab itudinisbahkan kepada Abu Fadhl Ahmad IbnuAli ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus“penemu” kitab itu.Semua fitnah Wahabi yang timbul di setiapmasa pasti telah dijawab oleh Ulama padamasa itu, karena memang sudah menjadikewajiban atas Ulama untuk terus menjagakemurnian Islam, dan kemuliaan Ulama AhluSunnah Waljama’ah, apalagi yang dicela olehWahabi adalah Ulama sekelas ImamNawawi, seorang pendekar Madzhab Syafi’i,kasus dan modus seperti ini bukan pertamakali terjadi tapi sudah terjadi sebelumnyadan akan terjadi setelahnya juga.Semoga Allah selalu menjaga kemurnianIslam dan para pejuang Islam dari fitnahberkedok Islam.Hasbunallah wa ni’mal wakil.
KITAB REKAYASA WAHABIKITAB REKAYASA WAHABI Berjudul“JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT”Bukan Kitab Buatan Imam NawawiDakwah Salafy Wahaby walaupun kita seringbertanya,
Kenapa Marah Di Sebut Wahaby ?yang sulit di terima oleh dunia Islam, kecualihanya sebagian kecil orang awam, sehinggamenghalalkan segala cara demi sebuahfaham yang mereka anggap benar,dakwahnya yang lebih pantas di sebutdengan fitnah terhadap Islam, Al-Quran,Hadits dan para Ulama Islam.Karena setiap sisi syari’at Islam yang tidaksepaham dengan pemahaman mereka selaluada cerita dusta dan fitnah terhadap Ulama,baik Salaf atau Khalaf, ketidaksiapan merekadalam menyikapi perbedaan atau dengankata yang lebih jelas WAHABY / SALAFY TIDAKMAMPU MENERIMA PERBEDAAN dan tidakcukup nya pendukung dakwah mereka,hingga memaksa mereka memutarbalikkanfakta dengan cerita dusta terhadap parapakar Ulama Islam separti Imam Mazhabempat, Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani, IbnuKatsir, Imam Baihaqqi, Imam Asy’ari, ImamNawawi, Ibnu Hajar al-Ashqalani,Shalahuddin al-Ayyubi dan masih banyaklagi, semoga Allah selalu menjaga ParaUlama Islam dari bermacam fitnah Wahaby.Adapun yang ingin kami sampaikan di siniadalah cerita dusta terhadap Imam Nawawi yang bernama lengkap Muhyiddin AbuZakaria Yahya bin Syaraf bin Marri asy-Syafi’ial-Asy’ari an-Nawawi, ada dua fitnah Wahabiterhadap Imam Nawawi yang salingbertolak-belakang, yaitu tuduhan sesat dantuduhan taubat. Dan sudah banyak yangMembongkar Kitab Rekayasa Wahabi YangDinisbahkan Kepada Imam NawawiPengarang Kitab Riyadhus Shalihin ini.1. Tuduhan sesat yang masyhur adalahmengenai kitab adzkar, dan tuduhan yangdilakukan oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab nya Liqa’ al-Bab al-Maftuh bahwa Imam Nawawi bukan AhlusSunnah Wal Jama’ah, tuduhan ini memangsudah lumrah, karena setiap yang tidaksama dengan mereka pasti dituduh sesat,lebih lagi karena Imam Nawawi adalahseorang Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari,fitnah ini telah dilemparkan oleh Wahabiterhadap semua Ulama Sufi dan beraqidahAsy’ari atau Maturidi, semua di cap sebagaiahlu bid’ah sesat, semoga Allah menolongsemua penolong Islam.2. Tuduhan bahwa Imam Nawawi telahbertaubat dari aqidah Asy’ari ke aqidahSalafy Wahaby, bukan Salafy murni, karenatidak ada takfiri antara Salaf dan Khalaf,fitnah ini bersumber dari sebuah rekayasapembenci Imam Nawawi lewat lembaran-lembaran kitab rekayasa yang dinisbahkankepada Imam Nawawi yang katanya “beliausempat bertaubat dari aqidah Asy’ari dankembali ke aqidah Salaf kira-kira dua bulansebelum beliau wafat, dan sempat menuliskitab tentang aqidah Ulama Salaf sertamencela Asya’irah.Akan tetapi kitabnya hilang dan yang tersisahanya satu Juzuk/Jilid yang membahastentang -KALAMULLAH HURUF dan SUARA-”sehingga jilid itu disebut “ ﺟﺰﺀ ﺍﻟﺤﺮﻭﻑﻭﺍﻷﺻﻮﺍﺕ” -JUZK HURUF WAL ASHWAT- atau -JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT- atau ﺟﺰﺀ ﻓﻴﻪﺫﻛﺮ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺮﻭﻑ ﻭ ﺍﻷﺻﻮﺍﺕ -JUZK FIHI DZIKRU I’TIQAD SALAF FIL HURUF WALASHWAT- dan kitab rekayasa itu di tahqikoleh pentahkiq Wahabi yaitu Abu FadhlAhmad Ibnu Ali ad-Dimyati, agarpenyamaran itu sempurna dan terkesanbenar adanya, serta menumbuhkan keragu-raguan pada pengikut Ahlu SunnahWaljama’ah yang beraqidah Asy’ari,Na’uzubillah min dzalik.
Banyak sekali kitab-kitab "ASWAJA" yang sengaja dipalsukan atau dirubah atau diselipkan pemahaman-pemah
an yang bukan Aslinya oleh oknum-oknum pembenci ISLAM, perusak ISLAM dari dalam dengan mengatasnamakan ISLAM.

untuk itu berhati-hati dan waspadailah sebelum membeli kitab dari karangan-karangan para ULAMA' "ASWAJA" dan hendaklah mengaji atau di ijazahkan dihadapan guru yaitu beliau para 'alim 'ulama' yang benar-benar bertaqwa kepada Alloh.

Karena hanya beliau-beliau yang bertaqwa kepada Alloh yang memegang dan membawa bendera pemahaman-pemahaman yang benar-benar haq dari beliau nabi yang sebagai warosatul an biya'.