Selasa, 20 Januari 2015

Ciri Khas Kaum Salafi Wahabi

Ciri Khas Kaum Salafi Wahabi: Berdalil Secara Serampangan
fitnah salafi wahabi
SALAFI WAHABI MENGGUNAKAN DALIL SECARA SERAMPANGAN SEHINGGA MENIMBULKAN FITNAH

Fitnah Islam – Pengertian Bid’ah | Setelah membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut tuduhan mereka tentang bid’ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman anti bid’ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah seperti memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil.

Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia.

Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin mengarahkan maknanya.

Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.

Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid’ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar kesan “salah” pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid’ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan.

Namun lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid’ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa begitu?

Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual). Mau tahu buktinya? Mari kita ambil beberapa contoh berikut ini:

salafi wahabi, dalil searmpangan
1. Dalil tentang tuduhan “menambah-nambahi agama” yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid’ah

” …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu …” (al Quran Surat Al-Maidah: 3)

Agama Islam memang sudah sempurna, siapa pun orang Islamnya tahu itu. Melakukan amal kebajikan adalah perkara yang diperintahkan di dalam agama, meski bentuk kebajikannya tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan menurut agama.

Bagi kaum Salafi & Wahabi, umat Islam yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya dituduh telah “menganggap agama Islam ini masih kurang” alias belum sempurna sehingga mereka tega “menambah-nambahi agama”, bahkan dengan begitu mereka dituduh telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama. Sungguh keji tuduhan ini!

Sesungguhnya, tidak seorang pun dari para ulama dan umat pelaku Maulid atau tahlilan itu berniat menambah-nambahi agama, apalagi sampai menuduh Rasulullah Saw. berkhianat. Sungguh hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak mereka, yang ada hanyalah pikiran-pikiran tentang mengupayakan peluang amal kebajikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan begitu diharapkan setiap orang yang ikut serta dalam acara-acara tersebut mendapatkan pahala, ampunan, rahmat, dan pengkabulan do’a dari Allah Swt.

Format acara yang memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau hanyalah suatu wadah yang dibuat secara kreatif untuk melaksanakan amalan-amalan yang sesungguhnya diperintahkan oleh Rasulullah Saw. sendiri, seperti: Bersilaturrahmi, berzikir, bershalawat, mendo’akan orang meninggal, bersedekah, mendengar nasihat atau ilmu, memupuk kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Saw., berdo’a, berbagi rezeki, dan memelihara keimanan serta ketakwaan.

Bisa dibayangkan, tanpa acara-acara kreatif seperti itu, apa jadinya keadaan umat Islam di zaman belakangan ini yang nota bene perhatiannya kepada akhirat sangat rendah; cintanya kepada dunia sudah menguasai pikirannya; ditambah lagi acara-acara dunia dan maksiat sudah dikemas jauh lebih kreatif dan menarik.

Kreasi kebajikan yang digagas oleh para ulama itu pun tidak pernah diklaim sebagai “tambahan atas kekurangan agama”, melainkan hanya sebagai kegiatan keagamaan yang ditradisikan sebagai adat atau budaya yang dilaksanakan dalam rangka syi’ar agama. Jadi tuduhan kaum Salafi & Wahabi adalah tuduhan berlebihan yang diada-adakan dan tidak ada kenyataannya, sedangkan ayat di atas hanyalah pernyataan dari Allah tentang kesempurnaan Islam, bukan berisi tuduhan menambah-nambahi agama!
2. Dalil tentang tuduhan “membuat-buat syari’at”

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? …”(al Quran Surat Asy-Syuuraa: 21).

Senada dengan tuduhan “menambah-nambahi agama”, ayat ini digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh pelaku Maulid, tahlilan, zikir berjama’ah, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain-lainnya sebagai “pembuat syari’at” yang “tidak diizinkan Allah”.

Ada tiga hal yang semestinya mereka sadari tentang tuduhan tersebut:

a. Para ulama tidak pernah menganggap bahwa amalan-amalan tersebut sebagai bagian dari ibadah mahdhah atau syari’at kecuali bila benar-benar ada dalil yang menunjukkannya, melainkan hanya sebagai adat atau kebiasaan baik yang mengandung maslahat. Di sinilah pangkalnya kenapa kaum Salafi & Wahabi menuduh demikian, karena mereka selalu menganggap amalan “berbau agama” sebagai “ibadah”, di mana ibadah tidak boleh dilakukan kecuali bila ada dalil yang memerintahkannya.

b. Ayat di atas jelas-jelas menyebut “sembahan-sembahan selain Allah” yang menunjukkan adanya indikasi “syirik”, dan memang ayat ini ditujukan oleh Allah untuk orang-orang musyrik Jahiliyah penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.

Adalah sangat keterlaluan bila para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan seperti Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh mempunyai “sembahan-sembahan selain Allah” yang telah mensyari’atkan kepada mereka amalan-amalan tersebut. Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi ini bisa dengan seenaknya menuduh saudaranya yang muslim sebagai orang-orang musyrik yang tidak mau menerima syari’at Allah lalu malah mengambil syari’at tuhan selain Allah, padahal mereka jelas-jelas mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji?

c. Kaum Salafi & Wahabi juga menuduh amalan-amalan tersebut sebagai amalan “yang tidak diizinkan Allah”. Pertanyaannya, dari mana mereka tahu bahwa amalan tersebut tidak diizinkan Allah, padahal ayat itu tidak menyebut perincian jenis atau macamnya? Tidak cukupkah mereka menipu umat dengan mengatasnamakan tuduhan mereka dengan firman Allah? Sungguh terlalu! Lagipula, para ulama tafsir sudah menjelaskan, bahwa “yang tidak diizinkan Allah” itu maksudnya adalah syirik (menyembah berhala atau menyembah selain Allah), mengingkari pembangkitan di hari Kiamat, atau keyakinan-keyakinan Jahiliyah lainnya.
3. Dalil tentang tuduhan “Beragama Tradisi” atau “Fanatik Terhadap Tokoh Bid’ah”

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (al Quran Surat Al-Baqarah: 170).

Ayat ini termasuk dalil pamungkas yang digunakan kaum Salafi & Wahabi untuk menyudutkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai pelaku bid’ah. Di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah hal. 84 disebutkan begini, “Bila mereka diajak untuk mengikuti Kitab al Quran dan Sunnah, dan diajak meninggalkan apa yang mereka kerjakan yang bertentangan dengan keduanya (al Quran dan as-Sunnah) mereka berdalil (berargumen) dengan madzhab-madzhab mereka dan dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek moyang mereka.”

Orang awam akan terhenyak mendengar ayat ini, lalu mereka akan membenarkan penjelasan kaum Salafi & Wahabi, kemudian mengikuti pendapat mereka. Padahal lagi-lagi mereka telah melakukan penipuan yang sangat fatal, yaitu:

a. Ayat tersebut di atas berbicara tentang orang-orang kafir atau musyrikin penyembah berhala yang tidak mau diajak untuk hanya menyembah kepada Allah dengan alasan mengikuti keyakinan para leluhur dan nenek moyang mereka dalam menyembah berhala. Keterangan seperti ini bisa didapat di dalam kitab tafsir yang mana saja, dan itu berarti para ulama tafsir tidak ada yang berbeda pendapat tentang maksud ayat ini. Hanya kaum Salafi & Wahabi yang mengarahkan maksud ayat itu kepada umat Islam yang mereka tuduh sebagai ahli bid’ah, padahal penafsiran mereka yang semacam inilah yang lebih pantas disebut bid’ah.

b. Kaum Salafi & Wahabi, dengan penafsiran ayat di atas, bukan hanya memfitnah orang-orang muslim yang dituduh melakukan bid’ah saja, tetapi juga sekaligus memfitnah guru-guru dan pendahulu mereka atau nenek moyang mereka yang muslim lagi shaleh yang mengajarkan amalan-amalan kebaikan seperti Maulid, tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya berdasarkan prinsip ajaran Islam. Para guru dan pendahulu yang alim dan shaleh itu mereka anggap sebagai orang-orang yang “tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk”, padahal ratusan bahkan ribuan jilid “kitab kuning” dalam berbagai cabang ilmu agama telah mereka hasilkan dan telah menjadi hantaran petunjuk bagi banyak orang dari zaman ke zaman.

Salahkah bila seorang muslim ditanya, “Kenapa kamu mengadakan tahlilan atau Maulid?” lalu ia menjawab, “Karena kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh guru-guru kami dan orang-orang tua kami sejak dahulu”, sedangkan yang mengikuti dan yang diikuti sama-sama muslim dan sama-sama memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam? Sungguh, hanya orang berpikiran picik saja yang menganggap sama antara orang muslim yang mengikuti jejak pendahulunya yang muslim dengan orang kafir atau musyrik yang mengikuti pendahulunya yang kafir atau musyrik juga.

c. Dengan mengajukan ayat di atas sebagai dalil, kaum Salafi & Wahabi seolah mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang mengikuti ” apa yang telah diturunkan Allah”, sedang selain mereka tidak. Seharusnya mereka bertanya, apakah Allah menurunkan perintah untuk menyamakan orang muslim dengan orang kafir atau musyrik? Mereka juga seharusnya bertanya, apakah mereka benar-benar tidak mengikuti guru-guru dan pendahulu mereka dalam keterlaluan sikap mereka itu??!

Bila ternyata Allah tidak menurunkan perintah-Nya untuk menyamakan muslim dengan kafir atau musyrik, dan bila sikap yang keterlaluan itu tidak pernah dicontohkan oleh para guru dan pendahulu mereka, maka ajaran siapakah yang mereka ikuti sehingga mereka merasa paling benar dan selain mereka dianggap salah atau sesat? Selama ini, sebagaimana sudah diketahui secara umum, tidak ada yang mengajarkan arogansi seperti itu dalam hal apapun selain iblis, saat ia berkata “Aku lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” (al Quran Surat Shaad: 76).
Bersambung ke Dalil 4, Salafi Wahabi Menuduh Umat Islam ‘Mendahului Allah dan Rasul-NYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar