Senin, 31 Oktober 2016

Ibnu Taimiyah di kafirkan oleh wahabi






IBNU TAYMIYAH PUN TIDAK LUPUT DIKAFIRKAN DEWAN FATWA WAHABI.
Nurut wahabi kalo tentang ajaran bahwa Allah biasa saja memberikan kemampuan kepada sebagian hambanya, apabila berkata kepada sesuatu,
“jadilah kamu begini”, maka jadilah ia seperti yang dikehendakinya.” maka hukumnya syrik dan kafir nurut ulama wahabi
.
KITA LIHAT PENDAPAT IBNU TAIMIYAH
.
Ibnu Taimiyah, menulis fatwa dalam kitabnya Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 377.
.
isinya mengakui bahwa
bisa saja Allah memberi kekuasaan kepada para
wali untuk berkata kun fayakun.
.

ﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻷﺛﺮ : { ﻳﺎ ﻋﺒﺪﻱ ﺃﻧﺎ ﺃﻗﻮﻝ ﻟﻠﺸﻲﺀ ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ، ﺃﻃﻌﻨﻲ ﺃﺟﻌﻠﻚﺗﻘﻮﻝ ﻟﻠﺸﻲﺀ : ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ ، ﻳﺎ ﻋﺒﺪﻱ ﺃﻧﺎ ﺍﻟﺤﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻤﻮﺕ، ﺃﻃﻌﻨﻲﺃﺟﻌﻠﻚ ﺣﻴﺎ ﻻ ﺗﻤﻮﺕ ... : ﻓﻬﺬﻩ ﻏﺎﻳﺔ ﻟﻴﺲ ﻭﺭﺍﺀﻫﺎ ﻣﺮﻣﻰ، ﻛﻴﻒ ﻻ ﻭﻫﻮﺑﺎﻟﻠﻪ ﻳﺴﻤﻊ ﻭﺑﻪ ﻳﺒﺼﺮ ﻭﺑﻪ ﻳﺒﻄﺶ ﻭﺑﻪ ﻳﻤﺸﻲ ... ﺍﻟﺦ

.
“Benar-benar datang dalam atsar, (bahwa Allah berfirman): “Wahai hambaku, Aku berkata kepada sesuatu, jadilah kamu maka jadilah ia. Taatlah kamu kepada-Ku, aku akan menjadikamu berkata
kepada sesuatu, “Jadilah kamu, maka jadilah ia.”Wahai hambaku, Akulah Yang Maha Hidup yang
tidak akan mati. Taatlah kamu kepada-Ku, maka aku jadikan kamu orang yang hidup yang tidak akan mati.” …
.
Ini adalah tujuan puncak yang tidak ada lagi sesudahnya. Bagaimana tidak, ia mendengar dengan pertolongan Allah, melihat,menangkap dan berjalan hanya dengan pertolongan Allah.”
.
NAH BAGAIMANA PENDAPAT ULAMA WAHABI ?
.
Tim Tetap Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, dengan nomor fatwa 2808, juz 4 hal. 472, sebagai berfatwa berikut:
.

ﻧﺺ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ :

ﺳﻤﻌﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻘﻮﻝ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﻗﺪﺳﻴﺎ ﻋﺒﺎﺭﺗﻪ ﻋﺒﺪﻱ ﺃﻃﻌﻨﻲ ﺗﻜﻦ ﻋﺒﺪﺍًﺭﺑﺎﻧﻴﺎ، ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻠﺸﻲﺀ ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ ‏) ﻫﻞ ﻫﺬﺍ ﺣﺪﻳﺚ ﻗﺪﺳﻲ ﺻﺤﻴﺢﺃﻡﻏﻴﺮﺻﺤﻴﺢ؟؟

ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻢ ﻧﻌﺜﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺴﻨﺔ، ﻭﻣﻌﻨﺎﻩﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻣﻮﺿﻮﻉ، ﺇﺫﺍ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺰﻝ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻕ ﻣﻨﺰﻟﺔﺍﻟﺨﺎﻟﻘﺎﻟﻘﻮﻱ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺃﻭ ﻳﺠﻌﻠﻪ ﺷﺮﻳﻜﺎ ﻟﻪ، ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪﺷﺮﻳﻚ ﻓﻲ ﻣﻠﻜﻪ .

ﻭﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ ﺷﺮﻙ ﻭﻛﻔﺮ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻠﺸﻲﺀ : ﻛﻦﻓﻴﻜﻮﻥ، ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ : ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻣﺮﻩ ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺷﻴﺌﺎً ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻪ ﻛﻦﻓﻴﻜﻮﻥ .ﺍﻟﺮﺋﻴﺲﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺑﺎﺯﻧﺎﺋﺐ ﺭﺋﻴﺲ ﺍﻟﻠﺠﻨﺔﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻋﻔﻴﻔﻲﻋﻀﻮﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪﺑﻦﻋﺪﻧﺎﻥﻋﻀﻮﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻗﻌﻮﺩ

.
Teks fatwa: “Aku mendengar sebagian orang mengatakan hadits qudsi, yang teksnya:
.
“Hamba- Ku, taatlah kepada-Ku, kamu akan menjadi hamba yang rabbani, yang berkata kepada
sesuatu, “jadilah kamu”, maka jadilah ia (seperti yang dikehendakinya.” Apakah ini hadits qudsi yang shahih atau tidak shahih?
.
Jawab: “Hadits ini tidak kami temukan dalam kitab-kitab hadits, dan maknanya menunjukkan bahwa hadits tersebut palsu, karena
menempatkan hamba yang lemah dan sebagai makhluq pada [posisi Tuhan yang Maha Pencipta lagi Maha Kuat SWT, atau menjadikannya sebagai
sekutu bagi-Nya. Allah SWT Maha Suci dari memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya.
.
Meyakini hadits tersebut adalah SYIRIK DAN KUFUR. Karena hanya Allah-lah yang berkata kepada sesuatu, “jadilah kamu”, maka jadilah ia. ..
.
Tertanda
.
Ketua Tim :
Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz,
Wakil Ketua Abdurrazzaq Afifi,
.
anggota
Abdullah bin Adnan
dan Abdullah bin Qa’ud.”
.
NAH LHO ?
.
Sadar atau tidak sadar dewan fatwa ulama wahabi telah mengkafirkan pendapat Ibnu Taimiyah !!
.
Oh Wahabi.. betapa lucunya ulama kalian.Niat hati mau mengkafirkan orang lain,tidak taunya ulama andalan Akidah justru di kafirkan oleh dewan wahabi sendiri.
.
Mulut kalo asal mangap ya begitulah contohnya..mikir belakangan.

Sabtu, 29 Oktober 2016

Kerajaan saudi merencanakan Maulud nabi sebagai agenda kerajaan

Add caption


Cie cie yang katanya saudi menjadi panutan wahhabi,,, cie cie yang katanya maulid nabi bid'ah sesat,,, cie cie sekarang ulama' saudinya uda memberi fatwa bahwa memperingati maulid adalah perbuatan bagus (afdhol a'mal) dan mau mencanangkan maulid nabi untuk dirayakan,,, cie cie kebakaran jenggot dan celana cingkrangnya...

Kamis, 27 Oktober 2016

Tugas Iblis sebelum di usir dari syurga

Tugas Iblis sebelum di usir dari syurga
IBLIS La'natullohi 'alaihi
Sebelum dilaknat Allah, Azazil (iblis) adalah makhluq yang luar biasa dalam beribadah. Azazil termasuk pembesar para malaikat.
baca => http://www.piss-ktb.com/…/2771-lain-lain-siapakah-iblis-seb…

Simak track recordnya dan betapa iblis menjadi salah satu pembesar diantara malaikat ketika di syurga

فائدة : قال كعب الاخبار ان ابليس اللعين كان خازن الجنة اربعين الف سنة، ووعظ الملائكة عشرين الف سنة وسيد الكروبيين ثلاثين الف سنة، وسيد الروحانيين الف سنة، وطاف حول العرش اربعة عشر الف سنة.

Sebuah Faidah: Berkata Ka'ab Al-akhbar "Sesungguhnya Iblis al-la'in (ae mal'un) telah menjadi
- Penjaga surga selama 40.000 tahun
- Guru dan Penasihat Malaikat selama 20.000 tahun
- Pemimpin Malaikat Karubiyyin selama 30.000 tahun
- Pemimpin Malaikat Ruhaniyyin selama 1000 tahun
- Thowaf di Arsy selama 14.000 tahun
Sehingga tak heran kalau nama Azazil/Iblis sangat terkenal diantara pendduk langit, mulai dari langit pertama hingga langit ketujuh.

baca => http://arh789.blogspot.co.id/…/penghuni-bumi-sebelum-adam-d…
Wallohu a'lam
Sumber : Tafsir Showi, Jilid 1 Hal 22
-----------------------------------------------------------

SIAPAKAH IBLIS SEBENARNYA ?
PERTANYAAN :
Apakah bener iblis (izazea) itu guru nya para malaikat selama 40 thn..?

JAWABAN :
Nama Iblis dalam bahasa Suryani adalah 'Azazil, sedangkan dalam bahasa Arab namanya al-Harits. Mengenai apakah Iblis termasuk bangsa malaikat atau jin maka terdapat dua pandangan. Dulunya Iblis adalah pemimpin para malaikat di langit dunia, dan paling pandai.

ﺍﻟﺒﺪﺍﻳﺔ ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ - ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ - ﺝ - ١ ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ ٨٠ :

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ: ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻃﺮﻓﺔ ﻋﻴﻦ ﻗﻂ. ﻭﻗﺎﻝ ﺷﻬﺮ ﺑﻦ ﺣﻮﺷﺐ: ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻦ ﻓﻠﻤﺎ ﺃﻓﺴﺪﻭﺍ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺑﻌﺚ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺟﻨﺪﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻓﻘﺘﻠﻮﻫﻢ ﻭﺃﺟﻠﻮﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺟﺰﺍﺋﺮ ﺍﻟﺒﺤﺎﺭ ﻭﻛﺎﻥ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻣﻤﻦ ﺃﺳﺮ ﻓﺄﺧﺬﻭﻩ ﻣﻌﻬﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻜﺎﻥ ﻫﻨﺎﻙ .(1) ﻓﻠﻤﺎ ﺃﻣﺮﺕ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺑﺎﻟﺴﺠﻮﺩ ﺍﻣﺘﻨﻊ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻣﻨﻪ.

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺴﻴﺐ ﻭﺁﺧﺮﻭﻥ: ﻛﺎﻥ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﺭﺋﻴﺲ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺑﺎﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ. ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﻛﺎﻥ ﺍﺳﻤﻪ ﻋﺰﺍﺯﻳﻞ .(2)

(1) ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ :295 / 1 ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﻬﺪﻭﻱ: ﺇﻥ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺎﺗﻞ ﺍﻟﺠﻦ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻣﻊ ﺟﻨﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ. ﻭﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ: ﺍﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﺭﺋﻴﺲ ﻣﻼﺋﻜﺔ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺳﻠﻄﺎﻧﻬﺎ ﻭﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻷﺭﺽ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﺷﺪ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺍﺟﺘﻬﺎﺩﺍ ﻭﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﻋﻠﻤﺎ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺴﻮﺱ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﺍﻷﺭﺽ ﻓﺮﺃﻯ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﺑﺬﻟﻚ ﺷﺮﻓﺎ ﻭﻋﻈﻤﺔ.

(2) ﻛﺎﻥ ﺍﺳﻤﻪ ﺑﺎﻟﺴﺮﻳﺎﻧﻴﺔ ﻋﺰﺍﺯﻳﻞ ﻭﺑﺎﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ.


Kitab badai iz zuhur hal 37 karya syeh jalaluddin assuyuthi

قال وهب بن منبه أول من أفشى السلام آدم وفي بعض الأخبار ما أفشى السلام قوم الا أمنوا من العذاب والنقمة ثم قالت الملائكة إلهنا هل خلقت خلقا أفضل منا فقال الله تعالى أنا الذي خلقته بيدي وقلت له كن فكان ثم ان الله تعالى أمرالملائكة أن يسجدوا لآدم فكان أول من سجد جبرائيل ثم ميكائيل ثم اسرافيل ثم عزرائيل ثم الملائكة المقربون صلوات الله وسلامه عليهم أجمعين ثم ان الله تعالى أمرابليس بالسجود لآدم فأبى وامتنع من السجود فقال الله تعالى له(ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي) فقال أبليس أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين وأنا الذي عبدتك دهرا طويلا قبل أن تخلقه فقال الله تعالى لقد علمت من سابق علمي منك المعصية فلم تنفعك العبادة أخرج من رحمتي مذموما مدحورا لأملأن جهنم منك وممن تبعك فقال ابليس عند ذلك ربي أنظرني الى يوم يبعثون قال انك من المنظرين فعند ذلك تغير خلقته وصار شيطانا رجيما وكان أسمه عزازيل وكان كبار الملائكة ما ترك بقعة من السماء والأرض الا وله فيها ركعة وسجدة ولكن بعصيانه لم تنفعه عبادته وسمى ابليس لأنه أبلس من رحمة الله أي أيس


Wahhab bin munabbih berkata:
"pertama kali yang mengumandangkan salam adalah nabi adam dan disebagian kabar ada keterangan,tidaklah suatu kaum yang mengumandangkan salam kecuali mereka selamat dari siksa.
setelah itu malaikat bertanya,,ya TUHAN kami apakah engkau menciptakan mahluk yang lebih mulia dari pada kami?ALLOH menjawab,akulah yang menciptakannya lewat tanganku sendiri dan aku berucap,wujudlah,maka dia jadi wujud.
setelah itu ALLOH perintah pada para malaikat untuk sujud pada adam,dan yang pertama sujud adalah jibril,lalu mikail,lalu isrofil lalu izroil kemudian para malaikat muqorrobin sholawatulloh wasalamuhu ajma'in.kemudian ALLOH perintah pada iblis untuk sujud pada nabi adam tapi iblis membangkang dan enggan untuk bersujud.
ALLOH berfirman:
" apa yang membuatmu tidak mau bersujud pada mahluk yang aku ciptakan lewat tanganku sendiri?"
iblis menjawab:
"aku lebih mulia dari padanya,engkau menciptakanku dari api sedangkan ia engkau ciptakan dari tanah,dan AKU telah beribadah kepadamu dulu dari masa yang sangat lama sebelum ia engkau ciptakan."
ALLOH menjawab :
"dari dahulu aku telah mengetahui bahwa kamu akan durhaka padaku maka semua ibadah yang kamu lakukan tidak akan bermanfaat, mulai sekarang keluarlah dari rahmatku,sungguh aku akan memenuhi isi neraka jahannam darimu dan semua pengikutmu."
setelah itu iblis berkata:
" ya TUHAN tunggulah saya sampai hari kebangkitan."
ALLOH berfirman:
"sungguh kamu tergolong orang-orang yang menunggu."
setelah kejadian itu iblis wujudnya berubah menjadi syetan yang terkutuk,nama asli iblis adalah "azazil" yang jadi pembesar para malaikat,tiada suatu tempat dilangit maupun dibumi kecuali disitu ia melakukan sujud ibadah pada ALLOH,tapi karena durhaka maka semua ibadahnya menjadi sia-sia , dinamakan iblis karena ia telah ablas/bablas/ambles/putus dari rahmat ALLOH.

https://www.facebook.com/.../permalink/457841714238642/...


Ternyata Iblis Memiliki Keturunan (Berkembang Biak)

Dalam berbagai referensi kitab, Iblis dalam bahasa Suryani adalah 'Azazil, sedangkan dalam bahasa Arab namanya al-Harits. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa Iblis termasuk bangsa malaikat, tetapi sebagian mengatakan termasuk dari bangsa jin.

Dulunya Iblis adalah pemimpin para malaikat di langit dunia, dan paling pandai. Namun kedurhakaan kepada Allah SWT menjadikan iblis sebagai makhluk yang dilaknat. Ternyata Iblis pun termasuk makhluk Allah SWT yang berkembang biak. Ibnu Abbas ra, berkata:

قال ابن عباس رضى الله عنهما لما أهبط ابليس الى الأرض نكح نفسه بنفسه فباض أربع بيضات ففرق فى كل قطر من الأقطار بيضة فجميع من فى الارض من الشياطين من تلك البيضة

"Ketika iblis diturunkan di bumi, dia menikah dengan dirinya sendiri dan membuahkan empat telur yang terpisah.Disetiap sudut bumi diberi satu telur,jadi semua syetan yang ada dipenjuru bumi ini adalah dari telur-telur tersebut.”

Mujahid berkata :

وقال مجاهد انه نكح الحية التى دخل فى جوفها فى الجنة حين أهبطت الى الأرض فباضت الاربع بيضات

"Iblis itu menikah dengan ular yang membawanya ke surga ketika mereka diturunkan dibumi dan membuahkan empat telur".

Demikian pula dengan Jin, dijelaskan dalam kitab Sab'ah al-Kutub al-Mufidah (184).

وأما الجن فإنهم يأكلون ويشربون وينكحون ويتوالدون

"Jin, mereka makan, minum, menikah dan melahirkan"

Dalam keterangan yang lain juga dijelaskan.

وأخرج ابن أبي حاتم عن سفيان قال قال باض إبليس خمس بيضات فذريته من ذلك

"Sufyan berkata : Iblis bertelus sebanyak 5 telur dan keterunannya berasal dari telur tersebut".

وأما إبليس فإن الله - تعالى - خلق له في فخذه اليمنى ذكرا وفي اليسرى فرجا ; فهو ينكح هذا بهذا ، فيخرج له كل يوم عشر بيضات ، يخرج من كل بيضة سبعون شيطانا وشيطانة

"Sesungguhnya Allah ta'ala menciptakan dzakar pada paha kanannya iblis dan farji pada paha kirinya dan iblis menikahkan paha kanan dengan paha kiri maka keluarlah setiap hari sepuluh telur dan dari setiap telur keluar 70 setan lelaki dan setan perempuan".

Didalam kitab Tasir Imam al-Quthubi, Mujahid berkata :

وقال مجاهد : إن إبليس أدخل فرجه في فرج نفسه فباض خمس بيضات ; فهذا أصل ذريته . وقيل : إن الله - تعالى - خلق له في فخذه اليمنى ذكرا وفي اليسرى فرجا ; فهو ينكح هذا بهذا ، فيخرج له كل يوم عشر بيضات ، يخرج من كل بيضة سبعون شيطانا وشيطانة ، فهو يخرج وهو يطير ، وأعظمهم عند أبيهم منزلة أعظمهم في بني آدم فتنة

"Sesungguhnya iblis memasukkan farjinya ke farji dirinya sendiri kemudian mengeluarkan 5 telur, ini adalah asal keturunan iblis. Dikatakan bahwa sesungguhnya Allah ta'ala menciptakan dzakar pada paha kanannya iblis dan farji pada paha kirinya dan iblis menikahkan paha kanan dgn paha kiri maka keluarlah setiap hari sepuluh telur dan dari setiap telur keluar 70 setan lelaki dan setan perempuan"

Wallaahu A'lam .

Surat Al An'am ayat 55 - 59 dan tafsirnya










Rabu, 26 Oktober 2016

Macam-macam sunah

Sunnah Tidak Mesti Apa Yang Diperintah Oleh Rasul Saja, TAPI..Persetujuan Rasulullah Juga Termasuk Sunnah Rasul
Pada kesempatan kali ini, insya Allah kita akan membahas sesuatu yang menjadi sumber hukum kedua bagi umat Islam yang As-Sunnah. Materi kita kali ini disalin dari buku Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan buah karya Ustadz kami Abu ’Isa Abdullah bin Salam. Sebuah buku yang menjelaskan Kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillati At-Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Washabi al-‘Abdali al-Yamani yang insya Allah bermanfaat bagi umat Islam. Semoga Allah membalas kebaikan beliau. (admin)
Pengertian Sunnah
Sunnah memiliki banyak pengertian, tergantung dari kelompok mana yang memberikan pengertian tersebut.

Sunnah menurut istilah muhadditsin (para peneliti hadits) adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, persetujuan (atas perbuatan shahabat – pen.) dan sifat, baik fisik ataupun kepribadian dan perjalanan hidup, baik sebelum diutus (sebagai rasul) atau sesudahnya. (Lihat Qowa’idut-Tahdits karya Al-Qasimi hal. 64)

Sunnah menurut istilah ushuliyyun (ahli ushul), adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang tidak ada penyebutan secara langsung di dalam Al-Qur’an, namun hanya ada penyebutannya pada sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, baik hal itu sebagai penjelas Al-Qur’an atau tidak (membawa hukum baru-pen.). (Lihat Ushulul Ahkam karya Al-Amidi 1/169)

Sunnah menurut istilah fuqaha (ahli fikih), adalah sesuatu yang bukan wajib, bukan haram dan bukan makruh (sesuatu yang apabila dikerjakan karena taat mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa-pen.) (Lihat Syarhul Kaukab Al-Munir 2/160)

Sunnah menurut istilah kebanyakan ulama Salaf (ulama aqidah-pen.), adalah kesesuaian dengan al-Qur’an dan apa yang ada pada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya, baik di dalam urusan keyakinan atau amal ibadah (yang nampak). Lawan dari kata ”sunnah” dalam pengertian ini adalah kata ”bid’ah”.
Maka jika dikatakan, ”si fulan di atas sunnah”, artinya amalnya sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan jika dikatakan si fulan di dalam bid’ah artinya amalnya menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah atau salah satunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa As-Sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam baik berupa keyakinan, niatan, perkataan, dan perbuatan. (Lihat al-Hawamiyyah hal. 2 dan Kun Salafiyan hal. 25-26). Beliau juga menjelaskan di tempat yang lain bahwa yang dimaksud dengan ahli sunnah adalah mereka yang berpegang teguh dengan Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam serta kesepakatan sabiquunal awwalun (para shahabat –ed.) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Lihat Mauqif Ahli Sunnah)
Imam Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan, bahwa Ahlus Sunnah adalah Ahlul Haq, adapun yang selain mereka adalah Ahlul Bid’ah, mereka adalah para shahabat radliallahu ’anhum dan semua orang yang berjalan seperti jalan hidup mereka, di antaranya adalah para tabi’in terbaik, ashabul hadits (yang berkecimpung dalam dunia hadits-pen.) dna yang meneladani mereka dari kalangan ahli fikih dari generasi ke generasi sampai hari ini, termasuk orang awam yang meneladani mereka, baik di dunia belahan barat ataupun di belahan timur. (Lihat Mauqif Ahli Sunnah.)

Penulis matan Kitab Al-Qulul Mufid fii Adillati At-Tauhid berkata:
Sunnah terbagi menjadi empat:

Sunnah qauliyah (ucapan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam –pen.)
Sunnah fi’liyah (perbuatan Nabi shallallahu ’alihi wasallam –pen.)
Sunnah taqririyah (persetujuan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam terhadap perkataan atau perbuatan para shahabat –pen.)
Sunnah tarkiyah (sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan tujuan ibadah –pen.)

Olah karena itu kita berkata bahwa:
Apa saja yang dikatakan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam maka kita pun membenarkannya.
Apa saja yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam maka kita pun mengkutinya
Apa saja yang disetujui Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam maka kita pun menyetujuinya
Apa saja yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam maka kita pun meninggalkannya.
Apa bila belum ada dalil ketika itu baik, maka mulailah perbuatan bait tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,
”Katakanlah, ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ’Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 32)

Allah Ta’ala berfirman,
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Allah Ta’ala berfirman,
”… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah….” (QS. Al-Hasyr: 7)

Pembagian penulis Al-Qaul Al-Mufid di atas mengacu kepada pengertian Sunnah menurut muhaditsin atau para salaf, sebagaimana dapat kita pahami dari penjelasan pengertian sunnah di atas. Abdullah Al-Juda’i menjelaskan yang dimaksud dengan jenis-jenis sunnah tersebut sebagai berikut:
Sunnah Qauliyah

1. Sunnah qauliyah ada dua macam: yang jelas dan yang berupa makna dari sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam.

2. Sunnah Fi’liyah
Sunnah fi’liyah maksudnya adalah perbuatan-perbuatan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang menjadi syariat bagi umatnya. Hal itu bisa diketahui dari indikasi-indikasi yang menunjukkan hal tersebut. Karena pada kenyataannya perbuatan-perbuatan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam benyak jenisnya, yaitu:
Perbuatan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketaatan terhadap sesuatu yamg diperintahkan sebagaimana hal itu terjadi pada seluruh umatnya.
Perbuatan yang dilakukan semata-mata tuntutan sebagai manusia biasa (perkara jibliyah).
Perbuatan yang terjadi dalam rangka beribadah, namun ada dalil yang menunjukkan hal itu khusus untuk beliau.
Perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjelaskan sesuatu yang masih global yang ada di dalam Al-Qur’an.
Perbuatan yang dilakukan yang tidak termasuk salah satu dari yang telah disebutkan di atas, dan ini ada dua macam, sesuatu yang jelas maksudnya, yaitu dalam rangka ibadah dan sesuatu yang tidak jelas apakah dalam rangka ibadah atau tidak.

3. Sunnah Taqririyah
Sunnah taqririyah maksudnya adalah diamnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dan beliau tidak mengingkari perkataan atau perbuatan (shahabat, ed.) yang terjadi di hadapannya atau tidak.

4. Sunnah Tarkiyah
Sunnah tarkiyah, merupakan lawan dari perbuatan-perbatan beliau shallallahu ’alaihi wasallam. Dan ini ada beberapa macam:
Meninggalkan sesuatu yang haram.
Meninggalkan sesuatu yang tidak disukai dalam rangka pensyariatan.
Meninggalkan sesuatu yang tidak disukai karena tabiat beliau semata (tidak ada kaitannya dengan syariat-pen.)
Meninggalkan sesuatu demi kepentingan orang lain.
meninggalkan sesuatu karena khawatir diwajibkan bagi umatnya.
meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang bagi umatnya, karena beliau ingin sesuatu yang lebih sempurna.
Meninggalkan untuk membalas yang menganiaya, semata-mata untuk kepantingan pribadi, karena beliau memilih yang lebih baik di antara dua hal.
Meniggalkan sesuatu yang sesungguhnya dituntut untuk diwujudkan demi mencegah bahaya yang lebih besar. Selesai penjelasan Abdullah Al-Juda’i. (Lihat Taisir Ilmi Ushulil Fiqhi hal. 126-135)

Berdasarkan pembagian tersebut, masing-masing sunnah yang empat membawa konsekuensi hukum yang berbeda-beda.

Wallahu 'alam

Memulai perbuatan baik adalah sunah

PERHATIKAN BAIK BAIK.

1.DALIL HADITS SAHIH :

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

" Barangsiapa merintis dalam Islam sunnah.(perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka,
dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya dan juga dosa dari perbuatan orang yang melakukannya.setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka. (H. R. Imam Muslim)
.
HADITS DIATAS ADALAH KEBOLEHAN MERINTIS PERKARA BARU SEPANJANG ITU BERGUNA DAN BERPAHALA.
.
2.DALIL QURAN :








ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَىٰ آثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۖ فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah,padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi(mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untukmencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)


"Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik".(Q.S. al-Hadid: 27)

 
AYAT DIATAS ALLAH SENDIRI TDK MELARANG MERINTIS AMAL IBADAH BARU UNTUK KEBAIKAN.
PERTANYAAN SAYA ADALAH :
.
1.Darimana hukumnya Maulid sesat sedangkan maulid perbuatan baik dan mengingatkan kita tenang sejarah Rasulullah ? apa wahabu mau menghapus jejak sejarah Nabi dan diganti dgn sejarah muhammad bin abdul wahab ?
.
2.Darimana tahlilan adalah sesat sedangkan semua yg di lakukan adalah sholawat,zikir,m embaca ayat ayat suci dan mendoakan ahlul musibah ?
Apa otak wahabi cuma mikir makaaaaaan melulu ?




Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai z, Mewaspadai Wahabi)


Pengertian Bid’ah

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ


“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.

“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.

“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Macam-Macam Bid’ah

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).

Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah

Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.

Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ


5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.


Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)

“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)

“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ


Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.

“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).


Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.

Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.

“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.

Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.

Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:

1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:

A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.

B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.

C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.

2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.


Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah

1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)


Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .

Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)


Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.

Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.

==============================

2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.

Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ


“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.

Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.

Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.

==============================

3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.

Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ


“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.

Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!

===============================

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.

Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.


“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:

قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.


“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.


“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.

Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.

===============================

5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.

Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.

Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!

Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)


“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.

===============================

6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:

التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم


“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.

Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.

Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.

Kesimpulan

Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.

Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.

Wallahu 'alam bis showab

NU kini sedang menghadapi teror


UNTUK PARA ASWAJA termasuk NU kini sedang menghadapi teror dengan memakai cara Perang kebencian kepada ASWAJA secara keroyokan dengan cara Fitnah-Fitnah Pemburukan Nama Pribadi kpd tokoh Agama ASWAJA & NU oleh kaum:

1)-Islam kanan (Wahabi, HTI, LDI, HTI),
2)-Islam kiri (JIL) dan
3)-Islam'Abangan' (Ahmadiyah dan Syi’ah) .

Penting utk di ketahui Grup mereka itu ialah :
Afganistan dgn al-Qaedah-nya.
Inggris dgn Ahmadiyah-nya.
Saudi Arabia dgn wahabinya.
Iran dgn syi’ahnya.Pakistan dgn jamaah tabligh-nya .
Turki dgn Islam sekulernya. 
Siapapun mereka semua, KETURUNAN SIAPAPUN MEREKA DAN BERTITEL APAPUN MEREKA adalah satu Speises,

Rakyat Indonesia Pasti akan diadudomba agar Anti ASWAJA./NU dan lainnya sesama ASWAJA oleh Grup tsb. karena NU saja di Nusantara ini sudah mencapai lebih dari 100 juta orang. 
SANGAT DI PERLUKAN PERAN PARA ULAMA dan TOKOH AGAMA ISLAM serta PEMERINTAH INDONESIA dan APARATNYA, BAIK PARA DEWAN PUSAT /DAERAH , ABRI & POLISI.
 Supaya lebih WASPADA dan BERSATUPADU untuk mengatasi PROVOKASI PERANG KEBNCIAN INI yang memakai cara SOCK THERAPY melalui Masmedia dan DUNIAMAYA serta Da’wah berselubung topeng- topeng Agama supaya masyarakat NUSANTARA tetap sejuk dan damai serta Aman.

Nabi Muhammad bertawasul kepada para nabi




BAGINDA RASULULLAH SAW BERTAWASSUL
Diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam kitab Mu'jam Al Kabir dan Al-Ausath dalam Redaksi Hadist yang Panjang dari Anas,
Bahwa ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim (Ibu Sayyidina Ali) wafat,
Maka Rasulullah Turut Menggali Makam untuknya dan
Rasul Saw Masuk ke dalam Liang Lahadnya Sembari Merebahkan diri di dalam Liang tersebut dan Beliau Berdoa:


اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ اِغْفِرْ ِلأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

(رواه الطبراني في المعجم الكبير ٢٠٣٢٤)
(الاوسط ١٨٩)
(رواه ابو نعيم فى حلية الاولياء عن انس ٣ / ١٢١)

"Allah yang Maha Menghidupkan dan Mematikan.
Allah Maha Hidup Tidak Pernah Mati.
Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad,
Tuntunlah Hujjahnya (yakni untuk menjawab fitnah kubur),
dan Lapangkan/Luaskan Kuburnya,
DENGAN HAQ NABIMU (Nabi Saw) DAN PARA NABI SEBELUMKU.
Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Mengasihi"

~ (HR Al-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir No 20324)
~ (Al-Ausath No 189)
~ (Abu Nuaim dalam Hilyat Al-Auliya' III/121 dari Anas bin Malik)
————————

☆ Al-Faqih Habib Zain bin Ibrahim BinSumaith,
Di dalam Kitabnya: “Al-Ajwibah Al-Ghaaliyyah”,
Halaman 76,
Beliau Menyatakan tentang Hadits Tsb:
Lihatlah kepada Sabda Baginda :

وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي

“Dengan Haq Para Nabi SebelumKu“,
Maka itu adalah Dalil yang Jelas Bolehnya Bertawassul dengan Para Nabi Setelah Kewafatan Mereka,
Sesungguhnya Mereka itu Hidup di Alam Barzakh.
Dan Demikian Pula Pewaris Mereka yang Sempurna dari Kalangan Para Shiddiqin dan Auliya.
(Yakni Boleh Bertawassul dengan Mereka Semuanya,
Baik itu yang Masih Hidup Maupun yang Telah Wafat).

Ibnu Taimiyah plin-plan tentang neraka



★★ IBNU TAIMIYAH PLIN-PLAN, PENGANUTNYA
(wahabi talafi) PUYENG ★★
.
{ Bab: Neraka Punah dan Neraka Tidak Punah }
.
■ NERAKA AKAN PUNAH DAN SIKSAAN ORANG KAFIR DINERAKA AKAN BERAKHIR DAN USAI.
.
◎ Didalam.
~ Kitab: Ar-Radd ‘Ala Man Qala Bi Fana’ Al-Jannah Wa An-Naar.
~ Karya: Ibnu Taimiyah.
~ Halaman: 67, 71-72.
.
→ Pada Halaman 67, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
.
”Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa:
Di bekas tempat Neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka Pendapat bahwa:
Neraka akan Punah dikuatkan dengan Dalil dari al-Qur’an, Sunnah,
Dan perkataan para sahabat.
Sementara mereka yang mengatakan bahwa Neraka Kekal
Tanpa Penghabisan tidak memiliki Dalil baik dari al-Qur’an maupun Sunnah”
(Lihat ar-Radd ‘Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, h. 67).
(Atau lihat Scan kitab dibawah...!!)
.
● Pernyataan Ibnu Taimiyah tsb diatas,
diikuti oleh:
- Ibn Al-Qayyim.
Dalam Kitabnya: Hadi Al-Arwah Ila Bilad al-Afrah,
Halaman. 579 dan 582.
.
- Abd Al-Karim Al-Humaid, (Al-Wahabiyyah)
Dalam kitabnya: ”al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar”.
.
→ Di dalam kitab tsb:
Dia dengan sangat tegas dan gamblang sebagaimana judul buku tersebut Mengatakan bahwa:
"Neraka akan Punah, serta seluruh siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan Habis.
(Lihat al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar, h. 8, Riyadl, Saudi)
.
■ NERAKA TIDAK AKAN PUNAH DAN TETAP KEKAL.
.
◎ Didalam.
~ Kitab: Majmu' Fatawa.
~ Karya: Ibnu Taimiyah.
~ Juz: 18.
~ Halaman: 307.
.
Ibn Taimiyah berkata bahwa:
“Kaum Salaf dan para pemimpin Umat ini,
Serta Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Sepakat bahwa:
Ada beberapa ciptaan Allah, seperti Surga, Neraka, ‘Arasy,
dan lain-lain yang Tidak akan Pernah Berakhir keberadaannya sama sekali.
Tidak ada yang berpendapat bahwa setiap ciptaan Allah akan Binasa.
.
Kecuali beberapa filsuf dan Pelaku Bid’ah, seperti Al-Jahm ibn Shafwan, Kaum Mu’tazilah,
Dan beberapa pihak lain.
Pendapat ini keliru dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, dan kesepakatan kaum salaf dan para imam umat ini".
.
(Bukti scan kitab dibawah..!!)
.
○○○○○○○○○○○○○○○○○○○
.
● Coba Perhatikan...!!
.
~ Dalam Kitab: Ar-Radd ‘Ala Man Qala Bi Fana’ Al-Jannah Wa An-Naar.
Ibnu Taimiyah Mengatakan Neraka akan Musnah, dan Siksaan orang-orang kafir akan berakhir dan usai.
→ Dan Mereka yang mengatakan bahwa Neraka Kekal
Tanpa Penghabisan Tidak Memiliki Dalil baik dari al-Qur’an maupun Sunnah”
.
~ Didalam Kitab: Majmu' Fatawa.
Dia mengatakan Neraka Kekal,
→ Dan yang Mengatakan Tidak Kekal adalah Ahlu Bid'ah dan Bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunah, serta Ijma' Ulama.
.
¤ Saran Buat Penganut Wahabi Talafi....
Untuk Membeli Puyer Obat sakit kepala, agar tidak Puyeng
Mikirin Soko guru (Panutan) anda yang Plin-plan...!!!

Selasa, 25 Oktober 2016

Penggunaan Sayyidina dalam Shalat

Didalam Tahyat sholat bagusnya menambah lafal "Sayyidina" Ini pendapat Imam Romli didalam kitab syarah manhaj :

علي سيدنا محمد ص.م قال الشمس الرملي في شرح المنهاج الافضل الاتيان بلفظ السيادة لان فيها الاتيان بما امرنا وزيادة الاخبار بالواقع الذي هو ادب فهو افضل من تر كه


Berikut ini tanya - jawab tentang lafa sayyidina di dalam sholat

Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah.[1] Adapun lafaz shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد

(H.R. Bukhari [2] dan Ahmad [3])

Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan :
“Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.”[4]
Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya.[5] Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :
“Berkata pengarang kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”[6]
Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.[7]

Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :

1. Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
“Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun.”[8]

Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).[9]

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :
“Adapun sabda Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.[10]
Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.

2. Hadits Abu Sa’id, berkata :

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر

Artinya : Rasulullah SAW bersabda, Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.(H.R. Turmidzi)[11]
Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas
Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara lain :

1. Sabda Rasulullah SAW :

لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ

Artinya : Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.

Jawab kita :
Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ سَادَ – يَسُوْدُ “ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “ لاَ تُسَوِّدُوْنِي “ dan bukanlah dengan “ لاَ تُسَيِّدُونِي “ . Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :
”Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin.”[12]
Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.[13]

Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.

2. Sabda Rasulullah SAW,

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه

Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)[14]
Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan. Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”

Jawab kita :
Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya, ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain. Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan :
”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”[15]

Dengan demikian, hadits ini tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat

3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :

أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل

Artinya : Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)[16]
Jawab kita :
Memperhatikan ujung hadits ini yang berbunyi,
“ Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku”
Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :
“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”
Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :
“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.

4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد

(H.R. Bukhari)[17]

Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula Rasulullah SAW pernah bersabda :

صلوا كما رأيتموني أصلي

Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat

Jawab kita :
Menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.

Artinya : Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) [18]

Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.[19]

Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan zikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan “wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau dalam hadits Abu Daud[20] yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.[21]

Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah

حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Bukahri22[22] dan Syafi’i)[23]

Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”.

Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
a. Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
b. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah zikir dalam shalat seperti perkataan sayyidina dalam tasyahud.

5. Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.

Jawab kita :
Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab.[24]

Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan Rasulullah SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ: أَتُصَلِّي بِالنَّاسِ فَأُقِيمُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي الصَّلَاةِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ» قَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ؟ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ»

Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita." (H.R. Muslim[25] dan Bukhari[26])

Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas, maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud[27]

[1]. Ibrahim Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 188
[2]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[3] .Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 244, No. Hadits : 18158
[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[5] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[6] Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 181
[7] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[8] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[9] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 59, No. Hadits : 6079
[10] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 37
[11] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 308, No. Hadits 3148
[12] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[13] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[14]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 204, No. Hadits : 3445
[15] Badruddin al-‘Ainy al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary Syarah Shahih al-Bukhary, Maktabah Syamilah, Juz. XXIII, Hal. 441
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 153, No. Hadits : 12573
[17] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[18] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
[19] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
[20] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 367, No. Hadits : 937
[21] Badruddin al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251
[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631
[23] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235
[24] Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Hasyiah al-‘Ubady ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[25] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 316, No. Hadits : 421
[26] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 684
[27] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Dur al-Manzhud, Dar al-Minhaj, Hal. 133-134

Wallahu 'alam

Semoga bermanfaat.