Senin, 17 Oktober 2016

Meluruskan Sejumlah Tafsir Surat Al-Maidah 51

Allah SWT berfirman :

ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (Pemimpin kalian ); sebagian mereka adalah wali (Pemimpin yahudi &Nasrani) bagi sebagian yang lain. Barang siapa di anta­ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan merek a (Menjadi Kafir ) , Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al Maida :51 ).



Belakangan ini beredar kutipan kisah Sayyidina Umar bin Khattab, Khalifah kedua, dengan sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ari. Dialog yang dinukil dari Tafsir Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 51 dipakai sebagian pihak untuk menyerang kandidat tertentu dalam Pilkada DKI. Bagaimana sebenarnya kisah tersebut? Mari kita pelajari bersama, dan untuk sementara kita niatkan untuk mengaji saja, bukan membahas  Pilkada. Ini biar kajian kita menjadi obyektif.

Kisahnya sendiri dikutip oleh sejumlah kitab Tafsir, dengan perbedaan redaksi, perbedaan riwayat dan perbedaan konteks ayat ketika kisah ini diceritakan ulang. Begitu juga kita harus memahami pernyataan Khalifah Umar baik dalam konteks Usul al-Fiqh maupun dalam konteks Fiqh Siyasah. Mari kita bahas satu per satu.

Memahami background kisah

Pemahaman akan konteks akan membantu kita memahami teks. Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Islam mulai meluas merambah area di luar Hijaz. Abu Musa al-Asy’ari diangkat menjadi Gubernur di Bashrah, Iraq. Khalifah Umar meminta laporan berkala kepada para Gubernurnya. Maka diriwayatkan Abu Musa mengangkat seorang Kristen sebagai Katib (sekretaris).
Sekretaris yang tidak disebutkan namanya ini bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa selaku Gubernur. Abu Musa membawa Sekretarisnya ini memasuki Madinah, dan mereka menghadap Khalifah Umar. Umar takjub dengan kerapian catatan yang dibuat oleh sekretaris Abu Musa.
Datang pula laporan keuangan dari Syam. Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam itu di Masjid Nabawi. Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.” Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?” “Bukan, dia Nasrani,” jawab Abu Musa. Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”

Kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah 51. Kisah di atas dinukil dari Tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. Saya cek kitab Tafsir Ibn Abi Hatim dan menemukan kisah yang sama. Kisah tersebut juga dicantumkan dalam sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.
Perbedaan redaksi

Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubi, dimana di bagian akhir dialog ada perbedaan ucapan Umar. Imam al-Qurtubi juga mencantumkan kisah di atas bukan dalam QS al-Maidah:51 tapi dalam QS Ali Imran:118. Ini yang disampaikan Umar versi Tafsir al-Qurtubi: “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.
Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Razi, sebagaimana juga disebutkan dalam Kitab Tafsir Bahrul Muhit, al-Lubab fi Ulumil Kitab, Tafsir al-Naisaburi ada lanjutan dialognya: Abu Musa berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrah kecuali dibantu orang ini”. Khalifah Umar yang sedang murka, menjawab singkat: “Mati saja lah orang Kristen itu. Wassalam”.
Para ulama menafsirkan maksud perkataan Umar terakhir itu dengan makna: “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok dia meninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggap saja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusi urusan itu.”

Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.
Kenapa Khalifah Umar Marah?

Dialog di atas terjadi di Madinah. Di sini kunci kita memahami kemarahan Khalifah Umar. Abu Musa membawa sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam saja. Bahkan Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di Masjid. Barulah Abu Musa mengaku kepada Khalifah latar belakang sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalifah Umar saat memarahi Abu Musa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalifah Umar, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”.
Maksudnya adalah keharaman wilayah Madinah yang steril dari non Muslim karena Allah sudah jauhkan mereka, eh kok malah dibawa masuk oleh Abu Musa. Jadi ini bukan semata-mata persoalan Abu Musa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian wilayah Madinah. Pemahaman ini dikonfirmasi oleh Ibn Katsir dalam kitabnya yang lain yang berjudul Musnad al-Faruq.

Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah ketergantungan Abu Musa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantunga itu tampak dengan Abu Musa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yabng Kristen itu mendampingi dia memberi laporan kepada Khalifah.

Bagi sang Khalifah, rahasia negara menjadi beresiko ketika posisi strategis semacam itu dipercayakan kepada non-Muslim di masa saat Khalifah Umar sedang melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non-Muslim, seperti pembebasan Iraq dan Mesir. Inilah pula konteksnya ketika Khalifah Umar mengutip QS al-Maidah:51 dimana Allah melarang mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai awliya (sekutu/kawan akrab), yang menurut Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Nisa:144:

“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai ‘awliya’ mereka, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah "awliya" dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka."

Maka jelas ‘illat larangan yang dipahami Umar bin Khattab ada dalam kasus Abu Musa ini, yaitu ketergantungan Abu Musa kepada anak buahnya, posisi strategis dalam hal catatan keluar-masuk zakat-jizyah, serta potensi bocornya rahasia negara yang tengah melakukan ekspansi dakwah.
Yang menarik adalah Sa’id Hawa dalam al-Asas fi al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan, kondisi, dan lokasi serta zaman.”
Sahihkah riwayatnya?

Tidak satupun 9 kitab Hadis Utama yang meriwayatkan kisah di atas. Berarti kisah di atas itu bukan masuk kategori Hadits, tapi Atsar Sahabat. Kisahnya berhenti di Umar, bukan di Rasulullah SAW. Kisah ini justru dimuat di Kitab Tafsir. Pelacakan saya hanya satu kitab Hadits (di luar kutubut tis’ah) yang memuatnya yaitu Sunan al-Kubra lil Baihaqi.

Imam Baihaqi memasukkan dua riwayat yang berbeda mengenai kisah di atas (9/343 dan 10/216). Atsar ini dinyatakan sanadnya hasan melalui jalur Simak bin Harb oleh kitab Silsilah al-Atsar al-Shahihah. Sementara Al-albani mensahihkan Atsar ini dalam jalur yang lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Irwa al-Ghalil.

Dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah kisah mengenai jawaban Umar, “Mati sajalah si Kristen itu” disampaikan kepada Khalid bin Walid. Bukan berkenaan dengan Abu Musa. Namun ulama lain mengatakan itu Abu Musa. Dalam kitab Zahratut Tafsir, Abu Zahrah mengatakan kata-kata Umar “mati sajalah si Krsten itu” dilakukan dalam surat menyurat dengan Abu Musa, bukan dialog langsung. Demikianlah kesimpangsiuran kisah di atas, dengan berbagai redaksi dan riwayat yang berbeda. Tapi sekali lagi ini bukan Hadits Nabi. Ini merupakan Atsar sahabat.
Qaulus Shahabi atau keputusan Khalifah?

Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi. Abu Musa al-Asy’ari juga sahabat Nabi. Keduanya berbeda pandangan dalam hal ini. Pendapat keduanya dalam usul al-fiqh disebut sebagai qaulus shahabi. Singkatnya ini adalah ijtihad para sahabat Nabi yang tidak disandarkan kepada Nabi. Artinya murni pemahaman mereka sepeninggal Nabi SAW.

Para ulama usul al-fiqh ada yang menerima kehujjahan qaulus shahabi sebagai salah satu sumber hukum Islam, seperti pendapatnya Imam Malik, namun Imam Syafi’i (qaul jadid) dan para pengikut beliau seperti Imam al-Ghazali serta Imam al-Amidi menolak kehujjahan qaulus shahabi. Itu artinya, pendapat Khalifah Umar dan Abu Musa sama-sama sah dan bisa dipertimbangkan bagi mazhab Maliki, namun tidka mengapa pendapat keduanya ditolak menurut mazhab Syafi’i.

Itu kalau kita memahami dari sudut usul al-fiqh. Kalau kita melihatnya dari sudut Fiqh Siyasah, maka keputusan Umar lebih kuat karena ia memutuskan dalam posisi sebagai khalifah, dan suka atau tidak suka, sebagai Gubernur bawahan Khalifah, Abu Musa harus ikut keputusan Umar. Namun keputusan Khalifah itu tidak otomatis dianggap ijma’ (kesepakatan) karena jelas ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat.
Dengan kata lain, sikap Umar itu adalah kebijaksanaan beliau saat itu, yang seperti dicatat oleh sejarah, berbeda dengan kebijakan para Khalifah lainnya yang mengangkat non-Muslim sebagai pejabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyah, Khalifah al-Mu’tadhid, Khalifah al-Mu’tamid, dan Khalifah al-Muqtadir.

Seperti yang disinggung pengarang al-Asas fi tafsir al-Qur’an di atas, kondisi dan konteksnya berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Khalifah Umar. Boleh jadi begitu juga apa yang dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ م...
ibnukatsironline.com

Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.


 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
(QS. Ali Imran[3]: 118)

ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (Pemimpin kalian ); sebagian mereka adalah wali (Pemimpin yahudi &Nasrani) bagi sebagian yang lain. Barang siapa di anta­ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan merek a (Menjadi Kafir ) , Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al Maida :51 ).

Perhatikan ayat ini baik-baik, ayat ini scr jelas ditujukan kpd orang islam yg berhati Munafiq :

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا, الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا...

" Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. Yaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah ".
(QS. An-Nisa' ayat 138-139)
Ummat islam yg berhati dan bersikap MUNAFIQ Allah Swt menempatkan di dlm JAHANAM:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS An Nisaa’, 4: 145)
Yaa Robb lindungi Kami dari sifat MUNAFIQ,terimalah Taubat saudara kami yg berhati Munafiq yg membela Orang orang KAFIR musuhmu yg NYATA...Kembalikan mereka kejalan Keridho'an Mu Aamiin Allahumma Aamiin

HABIB ALI AL-JUFRI; SAYA MENCINTAI ORANG NASRANI BAHKAN YAHUDI!

Saya mencintai seorang Muslim, meskipun ia berselisih pendapat dengan saya dalam masalah agama, walaupun ia mengkafirkan saya, walaupun ia menghalalkan darahku, walaupun ia tampakkan kebencian di hadapan saya, saya tetap mencintainya. Saya benci akhlaknya, tapi saya mencintainya. Di dalam dirinya ada cahaya La Ilaha illallah. Dia dinisbatkan kepada Sayyidina Muhammad Saw. karena dia bagian dari ummatnya.

Begitupula, saya mencintai non-Muslim. Nasrani? Ya, saya mencintai orang Nasrani (Kristen). Bahkan lebih dari itu, saya mencintai (orang) Yahudi. Saya benci penjajah dengan jajahannya di sana, yakni Zionis. Yang menghalalkan tanah dan harga diri saya, dan saya siap memeranginya tapi hati saya menginginkan hidayah untuknya dan ingin ia kembali kepada kebenaran. Tapi tidak, saya tidak membenci Yahudi karena dia Yahudi (ke-Yahudiaannya). Dia membenciku, Allah mengajarkan saya (dalam al-Quran) bahwa ia (Yahudi) akan menjadi orang yang paling memusuhiku dan kenyataan menjadi saksinya. Tapi saya cinta kepada orang Nasrani, Yahudi, Budha, dan (bahkan) Atheis.

Saya benci kekafiran seorang kafir, tapi tidak benci kepada orangnya. Saya benci kemaksiatan pendosa, tapi saya tidak benci sosoknya. Saya siap mengekspos hal ini dan bertukar pikiran dengan para ulama dari golongan yang memandang ucapan saya tidak benar. Saya akan cium tangan mereka tapi saya berbeda pendapat dengan mereka dalam hal ini. Ini yang saya pelajari. Ini yang saya pelajari dari akhlak Rasulullah Saw. Ta’dzim terhadap karunia Allah Swt. atas seseorang (manusia, sebagaimana firmanNya):

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (QS. al-Isra’ ayat 70).
(Pernah terjadi) jenazah seorang Yahudi sedang lewat di hadapan Rasulullah Saw. Lalu beliau Saw. berdiri. (Salah seorang sahbat berkata): “Ya Rasullah, itu adalah jenazah seorang yahudi.”

أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟

Jawab Rasulullah Saw.: “Bukankah ia (juga) seorang manusia?” Sebagaimana dalam hadits shahih, beliau Saw. mengajarkan kepada kita adab yang tinggi ini.
Baik, apa makna dakwah jika kosong dari makna cinta? Dakwah adalah keinginan menyampaikan hidayah. Bukankah demikian? Hidayah untuk pendosa, hidayah untuk orang kafir agar masuk Islam. Lalu Anda ingin mengajarkan saya bahwa dakwah adalah secara rasio (dengan pemikiran) yang benar dan lurus secara ruh dan akal agar saya berkata, “Saya benci dan tidak suka kepadamu karena Allah dan saya mengajakmu untuk masuk Islam! Saya benci kepadamu dan marilah masuk Islam! Agama saya menyuruh saya membencimu dan saya nasihati Anda agar masuk ke agama ini yang telah menyuruh saya membencimu”. Bagaimana mungkin ini benar!?
Agama saya mengajarkan saya agar saya membenci kebatilan yang ada padamu, bukan membenci sosokmu. Pemahaman-pemahaman ini dulu di diri para (ulama) salaf kita adalah demikian. Itu hasil dari didikan, bahkan mereka tidak perlu menjadikannya kurikulum di kitab-kitab. Karena dulu mereka menjalaninya di dalam kehidupan mereka. Bahkan ketika mereka mengangkat senjata untuk menjalankan kewajiban jihad yang suci dalam peperangan menghadapi musuh yang menjajah. Dulu pandangan mereka dalam memerangi musuh adalah karena terdesak sebab didzalimi atau sebab tidak diberikannya hak orang-orang dalam Islam, karena mereka masuk Islam dengan kehendak mereka sendiri. Bersamaan dengan itu mereka mengharapkan hidayah untuk musuh, bukan perang.
Nabi Saw. pernah berdiri di hadapan seorang wanita yang memegang senjata bersama orang-orang kafir yang dzalim yang memerangi Muslimin. Lalu wanita itu ikut berperang dan terbunuh. Lalu Nabi Saw. berdiri di depan mayatnya setelah usai perang, dan beliau tersentuh serta kecewa. Nampak kekecewaan beliau Saw., lalu berkata:

ماَ كَانَ لِهَذِهِ أَنْ تُقَاتِلَ فَتُقْتَلُ

“Tidak seharusnya wanita ini ikut berperang lalu terbunuh.”
Rasulullah Saw. ajarkan makna ini. Beliau Saw. mengajari kita bahwa pada asalnya adalah keinginan kesejahteraan dan keselamatan untuk umat manusia, bukan peperangan. Dan bahwa perang adalah keadaan darurat untuk menjaga kehidupan dengan maknanya yang lebih besar. (*IBJ, ditranskrip dari video ceramah Habib Ali al-Jufri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar