Selasa, 04 Oktober 2016

Tawasul blog singa putih

Kupas Tuntas Masalah Tawassul

Mengapa Bertawassul?
Wasilah (=perantara) artinya sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada Allah SWT. Adapun tawassul sendiri berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :
يَااَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوااللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ
“Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan carilah jalan (wasilah/perantara)."
Ada beberapa macam wasilah. Orang-orang yang dekat dengan Allah bisa menjadi wasilah agar manusia juga semakin dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat dijadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengenai tawassul dengan sesama manusia, tidak ada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai tawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah para Nabi, para Rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in, para shuhada dan para ulama shalihin.
Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya:
لاَمَانَعَ لمِاَ اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِى لمِاَ مَنَعْتَ
Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.
Secara psikologis tawassul sangat membantu manusia dalam berdoa. Katakanlah bertawassul sama dengan meminta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT itu agar mereka ikut memohon kepada Allah SWT atas apa yang kita minta.
Tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh.
Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Wasilah (=perantara) artinya sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada Allah SWT. Adapun tawassul sendiri berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :
يَااَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوااللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ
“Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan carilah jalan (wasilah/perantara)."
<>
Ada beberapa macam wasilah. Orang-orang yang dekat dengan Allah bisa menjadi wasilah agar manusia juga semakin dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat dijadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengenai tawassul dengan sesama manusia, tidak ada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai tawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah para Nabi, para Rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in, para shuhada dan para ulama shalihin.
Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya:
لاَمَانَعَ لمِاَ اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِى لمِاَ مَنَعْتَ
Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.
Secara psikologis tawassul sangat membantu manusia dalam berdoa. Katakanlah bertawassul sama dengan meminta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT itu agar mereka ikut memohon kepada Allah SWT atas apa yang kita minta.
Tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh.
Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
Kupas Tuntas Masalah Tawassul
Banyak kita dapati orang bertanya-tanya tentang masalah tawassul. Masalah ini sebenarnya sudah dibahas secara tuntas oleh para ulama sejak dahulu dan diabadikan dalam kitab-kitab mereka. Namun sayangnya, di zaman ini banyak orang jahil berfatwa di sana-sini tanpa ilmu, bahkan tak sedikit yang mengkafirkan sesama muslim secara massal karena permasalahan yang sebenarnya tidak sampai level takfir. Lalu bagaimana sebenarnya?
Tulisan ini berusaha memaparkan penjelasan secara ringkas beserta dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah beserta nukilan-nukilan perkataan para ulama Ahlussunnah tentang masalah tawassul demi menyingkap kabut yang selama ini menyelimuti akal sebagian orang.

Apa itu tawassul?
Ini Link nya klick aja :
https://www.facebook.com/notes/forum-diskusi-hadits/kupas-tuntas-masalah-tawassul/261485490536952
Tawassul secara bahasa artinya mendekat (taqarrub) atau menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk mendekatkan diri ke sebuah tujuan tertentu. Secara istilah, tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah SWT untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Perantara itu disebut wasilah. (lihat: Lisanul 'Arab, Asasul Balaghoh dan Tartib Qamus Al Muhith: wa-sa-la)

Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 35)
 
 Kupas Tuntas Masalah Tawassul
Tawassul juga bisa bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara doa dari orang lain, misalnya kita mengatakan kepada seseorang, "Mohon doakan saya." Berarti kita sedang bertawassul kepada Allah dengan doa orang itu.

Tawassul juga bisa bermakna berdoa kepada Allah secara langsung dengan menyertakan wasilah dalam doa. Wasilah itu bisa berupa hal-hal berikut ini:

  1. Amal shalih, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Misalnya kita mengatakan, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan shalat, puasa dan haji yang aku lakukan, berikanlah aku kesembuhan."
  2. Nama-nama Allah yang indah (asmaul husna) dan sifat-sifatNya yang tinggi (shifatul ulya), misalnya, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nama-namaMu yang mulia dan indah dan dengan sifat-sifatMu yang agung dan tinggi, berikanlah kami hujan."
  3. Nama-nama para nabi dan orang-orang shalih terdahulu misalnya, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nabi-nabiMu yang Engkau muliakan dan orang-orang shalih yang Engkau cintai serta wali-waliMu yang Engkau istimewakan, berikanlah kami keselamatan."
  4. Arsy (kerajaan) Allah, misalnya, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan keagungan ArsyMu, berikanlah kami rezeki."

Mengapa harus bertawassul dan apa hukumnya?

Perlu diketahui bahwa bertawassul tidaklah wajib. Seandainya seseorang ingin berdoa kepada Allah secara langsung tanpa menjadikan sesuatu apapun sebagai perantara, maka hal itu tak mengapa. Namun, sebagai makhluk yang penuh dengan dosa dan kemaksiatan, kita membutuhkan perantara yang dapat mengantarkan kita kepada tujuan kita, Allah SWT. Perantara itu bisa berupa amal shalih atau doa orang shalih yang masih hidup, sehingga kita sering meminta doa dari orang-orang yang kita anggap shalih dengan harapan agar Allah berkenan mengabulkan doanya. Bukan karena kita tidak percaya diri dengan doa kita, tapi untuk lebih menguatkan doa itu agar lebih mudah diijabah oleh Allah. Hal ini lumrah dilakukan oleh setiap muslim.

Dalam ayat yang kita sebutkan di atas, Allah SWT memerintahkan kita untuk mencari perantara agar dapat mempermudah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Ibnu Taimiah menganggap bertawassul dengan keimanan dan amal shalih sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik ketika Rasulullah SAW masih hidup maupun setelah beliau wafat, karena menurutnya, seseorang tak dapat selamat dari api neraka kecuali dengan keimanan dan amal shalih. Oleh karena itu, bertawassul dengan kedua hal itu adalah wajib hukumnya. (Qa'idah Jalilah hal. 5, Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah)

Dalam Al Quran, Allah juga memuji hamba-hambaNya yang bertawassul kepadaNya.

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (QS. Al Israa': 57)

Sejak zaman Nabi SAW hingga berabad-abad setelahnya, umat Islam terbiasa dengan amalan yang dinamakan tawassul tersebut tanpa ada pengingkaran dari seorang pun. Mereka terbiasa mencari-cari wasilah (perantara) yang dianggap dapat mengantarkan doa mereka kepada Allah, misalnya dengan mendatangi orang shalih yang masih hidup untuk dimintai doa, atau yang sudah mati untuk mengambil berkah kuburannya, atau bisa juga menyertakan nama-nama orang shalih dalam doa mereka, misalnya, "Ya Allah, dengan kemuliaan Fulan, kabulkanlah doa kami."

Dalil Tawassul

Berikut ini dalil-dalil mengenai disyariatkannya tawassul.


Tawassul Dengan Nama Allah (Asmaul Husna)

Allah berfirman, "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al A'raaf: 180)

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk bertawassul dengan asmaul husna.

Dalam hadis riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan doa berikut ini:

يا حى يا قيوم برحمتك أستغيث

"Wahai Tuhan Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), dengan rahmatMu aku memohon pertolongan." (HR. Tirmidzi, Nasai, Ibnus Sunni, Hakim, Baihaqi dalam Syuabul Iman dan Dhiya'. Lihat: Al Jami' Al Kabir)

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah:

أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو أنزلته فى كتابك أو علمته أحدًا من خلقك أو استأثرت به فى علم الغيب عندك

"(Ya Allah), aku memohon kepadaMu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang dengannya Engkau namai diriMu sendiri, atau yang Engkau turunkan di dalam kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hambaMu, atau yang Engkau istimewakan dalam ilmu ghaib milikMu." (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Hakim dari Ibnu Mas'ud. Lihat: Al Jami' Al Kabir)

Dalam hadis riwayat Imran bin Hushain ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

من قرأ القرآن فليسأل الله به فإنه سيأتى أقوام يقرءون القرآن ويسألون به الناس

"Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta kepada manusia dengan Al Quran itu." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami' Al Kabir)

Tawassul Dengan Amal Shalih

Para ulama telah bersepakat (ijma') bahwa tawassul dengan amal shalih diperbolehkan. Bahkan para ahli tafsir telah menafsirkan kata "al-wasilah" dalam QS Al Maidah 35 dan Al Israa': 57 dengan amal shalih.

Dalam surat Al Fatihah ayat 5 dan 6 disebutkan amal shalih terlebih dahulu sebelum disebutkan doa:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,"

Ayat itu memberi isyarat bahwa sebelum berdoa sebaiknya seseorang beramal shalih telebih dahulu.

Serupa dengan ayat itu ada ayat-ayat berikut ini:

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka," (QS. Ali Imran: 16)

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)".

Dalam hadis riwayat Buraidah bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar seorang lelaki berdoa:

اللهم إنى أسألك بأنك أنت الله لا إله إلا أنت الأحد الصمد الذى لم يلد ولم يولد ولم يكن لك كفوا أحد

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan (kesaksian) bahwa Engkau adalah Allah, tiada tuhan selain Engkau, Tuhan Yang Tunggal dan segala sesuatu bergantung kepadaNya, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada satu pun yang setara denganNya."

Lalu Rasulullah SAW bersabda:

لقد سألت الله باسمه الأعظم الذى إذا سئل به أعطى وإذا دعى به أجاب

"Sungguh kau telah memohon kepada Allah dengan perantara namaNya yang paling agung, yang jika Dia diminta dengan nama itu Dia pasti memberi, dan jika dipanggil dengan nama itu Dia pasti menjawab."(HR. Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)

Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar tentang tiga orang yang terjebak dalam gua juga disebutkan tawassul dengan amal shalih. Hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

Rasulullah SAW bersabda: Ketika tiga orang pemuda sedang berjalan, tiba-tiba turunlah hujan lalu mereka pun berlindung di dalam sebuah gua yang terdapat di perut gunung. Sekonyong-konyong jatuhlah sebuah batu besar dari atas gunung menutupi mulut gua yang akhirnya mengurung mereka. Kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: Ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan untuk Allah, lalu mohonlah kepada Allah dengan amal tersebut agar Allah berkenan menggeser batu besar itu. Salah seorang dari mereka berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu aku mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia, seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil di mana akulah yang memelihara mereka. Setelah aku mengandangkan hewan-hewan ternakku, aku segera memerah susunya dan memulai dengan kedua orang tuaku terdahulu untuk aku minumkan sebelum anak-anakku. Suatu hari aku terlalu jauh mencari kayu (bakar) sehingga tidak dapat kembali kecuali pada sore hari di saat aku menemui kedua orang tuaku sudah lelap tertidur. Aku pun segera memerah susu seperti biasa lalu membawa susu perahan tersebut. Aku berdiri di dekat kepala kedua orang tuaku karena tidak ingin membangunkan keduanya dari tidur namun aku pun tidak ingin meminumkan anak-anakku sebelum mereka berdua padahal mereka menjerit-jerit kelaparan di bawah telapak kakiku. Dan begitulah keadaanku bersama mereka sampai terbit fajar. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukalah sedikit celahan untuk kami agar kami dapat melihat langit. Lalu Allah menciptakan sebuah celahan sehingga mereka dapat melihat langit. Yang lainnya kemudian berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu aku pernah mempunyai saudara seorang puteri paman yang sangat aku cintai, seperti cintanya seorang lelaki terhadap seorang wanita. Aku memohon kepadanya untuk menyerahkan dirinya tetapi ia menolak kecuali kalau aku memberikannya seratus dinar. Aku pun bersusah payah sampai berhasillah aku mengumpulkan seratus dinar yang segera aku berikan kepadanya. Ketika aku telah berada di antara kedua kakinya (selangkangan) ia berkata: Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah kamu merenggut keperawanan kecuali dengan pernikahan yang sah terlebih dahulu. Seketika itu aku pun beranjak meninggalkannya. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mencari keridaan-Mu, maka ciptakanlah sebuah celahan lagi untuk kami. Kemudian Allah pun membuat sebuah celahan lagi untuk mereka. Yang lainnya berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah enam belas ritel beras (padi). Ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya, ia berkata: Berikanlah upahku! Lalu aku pun menyerahkan upahnya yang sebesar enam belas ritel beras namun ia menolaknya. Kemudian aku terus menanami padinya itu sehingga aku dapat mengumpulkan beberapa ekor sapi berikut penggembalanya dari hasil padinya itu. Satu hari dia datang lagi kepadaku dan berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu menzalimi hakku! Aku pun menjawab: Hampirilah sapi-sapi itu berikut penggembalanya lalu ambillah semuanya! Dia berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu mengolok-olokku! Aku pun berkata lagi kepadanya: Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, ambillah sapi-sapi itu berikut penggembalanya! Lalu ia pun mengambilnya dan dibawa pergi. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit celahan lagi yang tersisa. Akhirnya Allah membukakan celahan yang tersisa itu.

Tawassul Dengan Nabi SAW

Tawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon kepada Nabi SAW agar mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada Allah dengan menyertakan nama beliau dalam doa. Adapun yang pertama, yaitu memohon doa dari Nabi SAW, hal itu sering dilakukan oleh para sahabat ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam Al Quran:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa': 64)

Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin Hunaif disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar mendoakan dirinya supaya diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai berikut:

اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبى الرحمة يا محمد إنى توجهت بك إلى ربى فى حاجتى هذه لتقضى لى اللهم فشفعه فى

"Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)

Hadis riwayat Anas bin Malik:

Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan. Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami". Kata Anas: Demi Allah, di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat berikutnya. Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah saw. sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah berkenan menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa: "Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan". Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (Shahih Muslim No.1493)

Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau Wafat

Para ulama bersepakat bahwa tawassul dengan Nabi SAW ketika beliau masih hidup adalah diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat. Mayoritas (jumhur) ulama membolehkannya, di antaranya adalah Malikiyah, Syafiiyah, Mutaakhirin Hanafiyah dan Mazhab Hambali, sedangkan sebagian Hanabilah tidak memperbolehkannya. Berikut ini rinciannya:

1. Pendapat Malikiyah

Al Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika ditanya oleh Abu Ja'far Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas, "Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah saya harus menghadap Rasulullah lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu berdoa?"

Imam Malik menjawab, "Mengapa kau memalingkan wajahmu darinya (Rasulullah) padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapakmu Adam AS kepada Allah pada hari Kiamat? Menghadaplah ke arahnya, lalu minta kepada Allah dengannya, Dia akan menjadikannya pemberi syafaat bagimu."

Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya, Fadhoil Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang tak ada masalah. Juga disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa melalui jalurnya dari para pembesar masyayikhnya yang terpercaya.

2. Pendapat Syafiiyah

Imam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW, "Kemudian orang yang berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah Nabi SAW lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat dengannya kepada Allah." (Al Majmu' 8/274)

Izzuddin bin Abdissalam berkata, "Sebaiknya hal ini hanya berlaku untuk Rasulullah SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam (manusia)."

As Subki berkata, "Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan meminta syafaat dengannya kepada Allah SWT."

Dalam I'anat at Thalibin disebutkan, "Aku telah datang kepadamu dengan beristighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku." (Lihat: Faidhul Qadir 2/134/135, I'anat at Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib Al Bugho)

3. Pendapat Hanabilah

Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, "Disunnahkan bagi yang memasuki masjid untuk mendahulukan kaki kanan… kemudian anda masuk ke kubur lalu berkata… "Aku telah mendatangimu dengan beristighfar dari dosa-dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Allah."

Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.

4. Pendapat Hanafiyah

Adapun Hanafiyah, para ulama Mutaakhirin mereka telah membolehkan bertawassul dengan Nabi SAW.

Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah kubur Rasulullah SAW, "…kemudian dia berkata pada posisinya: Assalamu'alaika ya rasulallah (salam bagimu wahai Rasulullah)… dan memohon kepada Allah hajatnya dengan bertawassul kepada Allah dengan Hadrat NabiNya SAW."

Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, "Kami datang dari negeri yang jauh… dan memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami… kemudia berkata: dengan memohon syafaat dengan NabiMu kepadamu."

Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath Thahawi terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, "Kami telah datang mendengar firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat dengan NabiMu kepadaMu."

5. Pendapat Imam Syaukani

Imam Syaukani berkata, "Dan bertawassul kepada Allah dengan para nabiNya dan orang-orang shalih." (Tuhfatu Adz Dzakirin karangan Syaukani 37)

6. Pendapat Ibnu Taimiah

Ibnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW tidak diperbolehkan, karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW mengandung 3 kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam, yaitu beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan menaatinya, ini hukumnya boleh. Kedua, tawassul dengan doa Nabi SAW, ini juga boleh sebagaimana Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW dan paman Nabi, maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul dalam arti bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak boleh.

Munaqasyah (Adu Argumentasi)

Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa' juz 1 hal. 432 hadis no. 963 disebutkan:

حدثنا عمرو بن علي قال حدثنا أبو قتيبة قال حدثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن درينار عن أبيه قال
 : سمعت ابن عمر يتمثل بشعر أبي طالب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وقال عمر بن حمزة حدثنا سالم عن أبيه ربما ذكرت قول الشاعر وأنا أنظر إلى وجه النبي صلى الله عليه و سلم يستسقي فما ينزل حتى يجيش كل ميزاب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وهو قول أبي طالب

Abdullah bin Dinar berkata, "Saya mendengar Ibnu Umar mempresentasikan syair Abu Thalib, 'Semoga awan putih disiramkan dengan pertolongan wajahnya. Untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi janda janda.'"

Dari sanad yang mu'allaq dari Ibnu Umar, ia berkata, "Sering saya mengingat perkataan seorang penyair sambil saya melihat wajah Rasulullah memohon hujan, dan beliau tidak turun sehingga tiap-tiap saluran (selokan) mengalir, 'Semoga awan putih disiramkan (dijadikan hujan dengan pertolongan) wajahnya, untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi para janda.' Syair itu adalah perkataan Abu Thalib."

Dari hadis di atas, jelas bahwa dahulu sebagian sahabat berdoa kepada Allah sambil membayangkan wajah Rasulullah SAW dengan harapan agar doanya dikabulkan. Ini adalah salah satu bentuk tawassul, yaitu dengan menjadikan bayangan wajah Rasulullah SAW sebagai perantara (wasilah) dikabulkannya doa.

Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa' juz 1 hal. 342 hadis no. 946 juga disebutkan:

حدثنا الحسن بن محمد قال حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري قال حدثني أبي عبد الله بن المثنى عن ثمامة بن عبد الله بن أنس عن أنس : أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه كان إذا قحطوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب . فقال اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال فيسقون

Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar bin Al Khatthab apabila terjadi kemarau panjang, dia selalu memohon hujan dengan wasilah (perantaraan) Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, "Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu selalu bertawassul dengan Nabi kami, kemudian Engkau turunkan hujan. Sesungguhnya kami sekarang bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan." Anas berkata, "Lalu mereka diberi hujan."

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari berkomentar:

ليس في قول عمر أنهم كانوا يتوسلون به دلالة على أنهم سألوه أن يستسقى لهم إذ يحتمل أن يكونوا في الحالين طلبوا السقيا من الله مستشفعين به صلى الله عليه و سلم وقال بن رشيد يحتمل أن يكون أراد بالترجمة الاستدلال بطريق الأولى لأنهم إذا كانوا يسألون الله به فيسقيهم فأحرى أن يقدموه للسؤال انتهى

"Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul (mengambil perantara) dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara. Ibnu Rusyaid berkata, "Mungkin yang dimaksud oleh penulis (Imam Bukhari) dalam menulis judulnya adalah beliau ingin berargumen dengan metode Al-Awla. Artinya, jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan." (Fathul Bari 2/495)

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa dahulu Umar bin Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, dengan harapan agar doanya mudah dikabulkan. Beliau menyebutkan nama Rasulullah kemudian Abbas dalam doanya. Ini juga merupakan salah satu bentuk tawassul, yaitu menyertakan nama orang shalih dalam doa.

Dalam hadis riwayat Anas disebutkan doa Nabi SAW untuk Fathimah binti Asad:

اغفر لأمى فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلى فإنك أرحم الراحمين

"Ampunilah dosa ibuku, Fathimah binti Asad, bimbinglah dia mengucapkan hujjahnya, luaskankah tempat masuknya, dengan perantara hak NabiMu dan para Nabi yang sebelumku, sesungguhnya Engkau Yang Paling Pemurah." (HR. Thabrani dan Abu Nuaim, di dalamnya terdapat perawi bernama Rauh bin Shalah, ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban, selebihnya perawinya adalah perawi shahih)

Dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 hal. 256 hadis no. 778 disebutkan:

حدثنا محمد بن سعيد بن يزيد بن إبراهيم التستري . حدثنا الفضل بن الموفق أبو الجهم . حدثنا فضيل بن مرزوق عن أبو سعيد الخدري قال  : - قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( من خرج من بيته إلى الصلاة فقال اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وأسألك بحق ممشاي هذا . فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة . وخرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك . فأسألك أن تعيذني من النار وأن تغفر لي ذنوبي . إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت - أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك )
في الزائد هذا إسناده مسلسل بالضعفاء . عطية وهو العوفي وفضيل بن مرزوق والفضل بن الموفق كلهم ضعفاء . لكن رواه ابن خزيمة في صحيحه من طريق فضيل بن مرزوق فهو صحيح عنده

Artinya:
"Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa keluar dari rumahnya menuju salat lalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku memintamu dengan perantara orang-orang yang meminta dan dengan perantara hewan-hewan ternak ini…dst."

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad juz 3 hal. 21 hadis no. 11172:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد أنا فضيل بن مرزوق عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري فقلت لفضيل رفعه قال أحسبه قد رفعه قال : من قال حين يخرج إلى الصلاة اللهم اني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك أسألك ان تنقذني من النار وان تغفر لي ذنوبي انه لا يغفر الذنوب الا أنت وكل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتى يفرغ من صلاته

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa salah seorang sahabat mulia, yaitu Abu Said Al Khudri bertawassul dengan manusia dan hewan-hewan ternak sebagai perantara dikabulkannya doa.

Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajari salah seorang sahabat yang buta untuk membaca doa berikut ini:

اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيي محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى الله أن يقضي حاجتي أو حاجتي إلى فلان أو حاجتي في كذا وكذا اللهم شفع في نبيي وشفعني في نفسي

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu dengan Nabiku Muhammad, Nabiyur Rahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Allah denganmu, supaya mengabulkan hajatku atau hajatku kepada Fulan atau hajatku dalam urusan ini dan itu…dst."

Hadis di atas diriwayatkan oleh:

  1. Imam Bukhari dalam Tarikh Kabirnya secara ringkas.
  2. Imam Tirmidzi dalam Jaminya lalu beliau berkomentar, "Ini adalah hadis shahih gharib yang tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini". Syaikh Albani juga menshahihkannya.
  3. Ibnu Majah dalam Bab Shalat Hajat dari Sunnah-Sunnahnya dan dishahihkan oleh Abu Ishaq. Syaikh Albani juga menshahihkannya.
  4. Imam Nasai dalam kitabnya, Amalul Yaumi wal Lailah.
  5. Imam Abu Nuaim dalam kitabnya, Ma'rifatus Shahabah.
  6. Imam Baihaqi dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah.
  7. dll.

Hadis ini dishahihkan oleh sejumlah huffazh yang setidaknya jumlah mereka mencapai 15 orang, sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari dalam kitabnya Muhiqqu At Taqawwul. Mereka adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thabrani, Abu Nuaim, Al Baihaqi, Al Mundziri, dll. Bagi yang ingin meneliti sanad hadis ini silahkan baca buku yang saya tunjukkan tersebut.

Dalam hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah mengajarkan doa yang berisi tawassul kepada beliau. Mengkhususkan doa tersebut untuk sebelum Rasulullah SAW meninggal merupakan pengkhususan tanpa dalil.

Dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis dari Abu Nuaim Al Asbahani dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah:

وأخرج أبو نعيم في الدلائل من طريق عطاء والضحاك عن ابن عباس قال : كانت يهود بني قريظة والنضير من قبل أن يبعث محمد صلى الله عليه و سلم يستفتحون الله يدعون على الذين كفروا ويقولون : اللهم إنا نستنصرك بحق النبي الأمي إلا نصرتنا عليهم فينصرون فلما جاءهم ما عرفوا يريد محمدا ولم يشكوا فيه كفروا به

Ibnu Abbas berkata: Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir sebelum diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah memohon kemenangan terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan, "Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu dengan (perantara) kemuliaan Nabi yang Ummi, menangkanlah kami terhadap mereka." Lalu mereka pun menang. Namun ketika orang yang mereka ketahui itu, yakni Muhammad, telah datang, mereka ingkar…"

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Hadis di atas juga menjadi dalil diperbolehkannya bertawassul dengan para nabi.

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis lain dari penulis yang sama dan kitab yang sama:

وأخرج أبو نعيم في الدلائل من طريق الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس قال : كان يهود أهل المدينة قبل قدوم النبي صلى الله عليه و سلم إذا قاتلوا من يليهم من مشركي العرب من أسد وغطفان وجهينة وعذرة يستفتحون عليهم ويستنصرون يدعون عليهم باسم نبي الله فيقولون : اللهم ربنا انصرنا عليهم باسم نبيك وبكتابك الذي تنزل عليه الذي وعدتنا إنك باعثه في آخر الزمان

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Mustadrak Al Hakim juz 2 hal 298 hadis no. 3042:

أخبرني الشيخ أبو بكر بن إسحاق أنبأ محمد بن أيوب ثنا يوسف بن موسى ثنا عبد الملك بن هارون بن عنترة عن أبيه عن جده عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : كانت يهود خيبر تقاتل غطفان فكلما التقوا هزمت يهود خيبر فعاذت اليهود بهذا الدعاء : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي الأمي الذي وعدتنا أن تخرجه لنا في آخر الزمان ألا نصرتنا عليهم قال : فكانوا إذا التقوا دعوا بهذا الدعاء فهزموا غطفان فلما بعث النبي صلى الله عليه و سلم كفروا به فأنزل الله و قد كانوا يستفتحون بك يا محمد على الكافرين [ ] أدت الضرورة إلى إخراجه في التفسير و هو غريب من حديثه
تعليق الذهبي قي التلخيص : لا ضرورة في ذلك أي لإخراجه فعبدالله متروك هالك

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 1 hal 461 hadis no. 411:

أخبرنا محمد بن عبد الله الحافظ قال : أخبرني أبو بكر بن إسحاق قال : أخبرنا محمد بن أيوب قال : أخبرنا يوسف بن موسى قال : أخبرنا عبد الملك بن هارون بن عنترة ، عن أبيه ، عن جده ، عن سعيد بن جبير ، عن ابن عباس قال : « كانت يهود خيبر تقاتل غطفان ، فكلما التقوا هزمت يهود خيبر ، فعاذت اليهود ، بهذا الدعاء ، فقالت : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي الأمي الذي وعدتنا أن تخرجه لنا في آخر الزمان إلا نصرتنا عليهم . قال : فكانوا إذا التقوا دعوا بهذا الدعاء ، فهزموا غطفان . فلما بعث النبي صلى الله عليه وسلم كفروا به ، فأنزل الله تبارك وتعالى : وكانوا من قبل يستفتحون (1) يعني بك يا محمد على الذين كفروا إلى قوله : فلعنة الله على الكافرين » وروي معناه أيضا ، عن عطية ، عن ابن عباس

Dalam kitab Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 8 hal. 91 hadis no. 2974 disebutkan:

أخبرنا أبو نصر بن قتادة ، وأبو بكر الفارسي قالا : أخبرنا أبو عمرو بن مطر ، أخبرنا أبو بكر بن علي الذهلي ، أخبرنا يحيى ، أخبرنا أبو معاوية ، عن الأعمش ، عن أبي صالح ، عن مالك قال : أصاب الناس قحط في زمان عمر بن الخطاب ؛ فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، استسق الله لأمتك فإنهم قد هلكوا ؛ فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم في المنام ؛ فقال ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مسقون . وقل له : عليك الكيس الكيس . فأتى الرجل عمر ، فأخبره ، فبكى عمر ثم قال : يا رب ما آلو إلا ما عجزت عنه

Malik Ad Dar berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan seorang lelaki ke kubur Nabi SAW lalu berdoa: "Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa." Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, "Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian..dst." lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, "Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya."

Al Hafizh Ibnu Katsir menshahihkan hadis ini dalam kitabnya, Al Bidayah wan Nihayah juz 7 hal. 105, beliau berkata:
وهذا إسناد صحيح.
"Sanad hadis ini shahih."

Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 6 hal. 236 hadis no. 32002:

حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك الدار قال وكان خازن عمر على الطعام قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا فأتي الرجل في المنام فقيل له إئت عمر فأقرئه السلام وأخبره أنكم مسقيون وقل له عليك الكيس عليك الكيس فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani juga menshahihkan hadis ini dalam Fathul Bari juz 2 hal. 495, beliau berkata:

وروى بن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري وكان خازن عمر قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله استسق لامتك فإنهم قد هلكوا فأتى الرجل في المنام فقيل له ائت عمر الحديث

"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar…dst."

Hadis ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Tarikh Kabir, secara ringkas.

Tawassul Salafus Shalih

Sebagian orang mengira bahwa tawassul tidak pernah dicontohkan oleh para salafus shalih. Berikut ini beberapa nukilan tentang tawassul salafus shalih.

Imam Syafii Bertabarruk di kuburan Imam Abu Hanifah

Dalam kitab Tarikh Baghdad karangan Al Khathib Al Baghdadi yang sangat populer itu, disebutkan dengan sanad shahih bahwa Imam Syafii sering datang ke kuburan Imam Abu Hanifah untuk mengambil berkahnya (tabarruk). Berikut ini teksnya:

وبالجانب الشرقي مقبرة الخيزران فيها قبر محمد بن إسحاق بن يسار صاحب السيرة وقبر أبي حنيفة النعمان بن ثابت إمام أصحاب الرأي أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي يقول اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى

"Di sebelah timur terdapat kuburan Al Khaizuran,  di dalamnya terdapat kuburan Muhammad bin Ishaq penulis Sirah, dan kuburan Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, Imamnya ahli ra'yi… Ali bin Maimun berkata: Saya pernah mendengar Asy Syafii berkata: Sungguh aku benar-benar mengambil berkah (tabarruk) dengan Abu Hanifah, aku datang ke kuburannya setiap hari, yakni sebagai peziarah, jika aku memiliki keinginan (hajat) aku shalat dua rakaat lalu mendatangi kuburannya dan memohon kepada Allah di situ. Tak lama kemudian biasanya dipenuhi hajatku." (Tarikh Baghdad 1/123)

Dalam kitab yang sama juga disebutkan:

باب: ما ذكر في مقابر بغداد المخصوصة بالعلماء والزهاد بالجانب الغربي في أعلا المدينة مقابر قريش دفن بها موسى بن جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب وجماعة من الأفاضل معه أخبرنا القاضي أبو محمد الحسن بن الحسين بن محمد بن رامين الإستراباذي قال أنبأنا أحمد بن جعفر بن حمدان القطيعي قال سمعت الحسن بن إبراهيم أبا علي الخلال يقول ما همني أمر فقصدت قبر موسى بن جعفر فتوسلت به الا سهل الله تعالى لي ما أحب

Bab: Berita tentang kuburan-kuburan Baghdad yang dikhususkan untuk para ulama dan ahli zuhud di sebelah Barat. Di puncak kota terdapat kuburan-kuburan Quraisy. Di dalamnya dimakamkan Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib dan sejumlah tokoh-tokoh pembesar bersamanya… Ahmad bin Ja'far bin Hamdan Al Qathi'I berkata: Aku pernah mendengar Al Hasan bin Ibrahim Abu Ali Al Khilal berkata: Tak pernah aku ditimpa kesusahan kemudian aku mendatangi kuburan Musa bin Ja'far lalu aku bertawassul dengannya kecuali Allah memudahkan apa yang aku inginkan." (Tarikh Baghdad 1/120)

Dalam Manasik Imam Ahmad riwayat Abu Bakr Al Maruzi juga disebutkan tawassul dengan Nabi SAW. Redaksi tawassul itu disebutkan oleh Abul Wafa' bin Aqil, salah seorang pembesar ulama mazhab Hambali secara panjang lebar dalam kitab Tadzkirohnya. Al Hafizh Abdul Ghaniy Al Maqdisi juga pernah mengusap kuburan Imam Ahmad demi memperoleh kesembuhannya. Dan masih banyak lagi bukti-bukti sejarah bahwa tawassul dengan orang mati sudah dipraktekkan oleh kaum muslimin sejak dahulu kala tanpa ada pengingkaran dari seorangpun. Apakah kita berani memvonis mereka semua kafir, syirik, penyembah berhala dan kubur?

Syubhat dan Jawabannya

Berikut ini syubhat-syubhat seputar tawassul beserta jawabannya.

Syubhat pertama: Tawassul dengan orang mati tidak boleh

Sebagian orang menuduh orang yang melakukan tawassul dengan orang mati sebagai penyembah berhala, musyrik, dan lain-lain. Mereka membedakan antara tawassul dengan orang yang masih hidup dengan yang sudah mati. Mereka lalu menakwilkan hadis-hadis yang secara jelas, tegas dan lugas menyebutkan bolehnya bertawassul dengan orang yang sudah mati. Sebenarnya mereka tak memiliki sandaran yang kuat kecuali hadis Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun mereka menafsirkannya dengan penafsiran yang kurang tepat dan menakwilkan teks tersebut dengan penakwilan yang tidak pada tempatnya.

Di antara penafsiran tersebut adalah, menganggap bahwa Umar bin Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, disebabkan Nabi telah meninggal dunia. Ini adalah penafsiran batil sebagaimana akan kita jelaskan nanti. Adapun penakwilan mereka adalah, menakwilkan perkataan Umar, "Dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami" dan "Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami", mereka menyisipkan tambahan kata yang tidak semestinya disisipkan, yaitu kata "doa" sehingga bunyi perkataan Umar menjadi, "Dahulu kami bertawassul dengan (doa) Nabi SAW" dan "Sekarang kami bertawassul dengan (doa) paman Nabi". Jadi, mereka menganggap bahwa Umar bertawassul dengan doa Nabi dan doa Abbas, bukan dengan zat mereka berdua.

Adapun penafsiran mereka bahwa Umar bertawassul dengan Abbas dikarenakan Nabi telah meninggal dunia, ini merupakan penafsiran yag tak berdasarkan dalil, karena kata "kunna" (dahulu kami selalu) bermakna "istimrar" (berkelanjutan), artinya dahulu mereka selalu bertawassul dengan Nabi, baik sebelum meninggal maupun setelah meniggal. Kemudian baru ketika datang musim paceklik (Tahun Ramadah), mereka memanggil paman Nabi untuk bertawassul dengan beliau, karena peristiwa tersebut terjadi pada Tahun Ramadah. Mengkhususkan makna "dahulu kami selalu" dengan "dahulu (sebelum mati) kami selalu" merupakan pengkhususan tanpa dalil. Jadi, tidak ada penunjukkan sama sekali bahwa tawassul yang dilakukan oleh para sahabat hanya ketika Nabi belum meninggal saja.

Hadis ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang yang lebih rendah kedudukannya (paman Nabi) di samping orang yang lebih tinggi kedudukannya (Nabi SAW). Namun kendatipun demikian, Umar tetap menyebutkan nama Rasulullah SAW dalam doanya, baru kemudian menyebutkan nama paman Nabi setelah itu. Itulah maksud perkataan Ibnu Rusyaid, "Jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan."

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah disebabkan oleh kedudukan Abbas di sisi Nabi, yaitu kedekatan hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga bertawassul dengannya sama dengan bertawassul dengan Nabi sendiri.

Adapun penakwilan bahwa yang dimaksud tawassul dengan Nabi dan Abbas di situ adalah tawassul dengan doa mereka, ini adalah penakwilan batil. Karena tawassul tidak selalu bermakna memohon doa. Memang adakalanya seseorang memohon doa kepada orang lain untuk dirinya, tapi ini bukan satu-satunya makna tawassul sebenarnya. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengomentari hadis di atas beliau berkata, "Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara."

Artinya, tawassul yang dilakukan oleh Umar adalah tawassul dengan zat Nabi dan zat paman Nabi, bukan dengan doa mereka. Mengkhususkan makna tawassul hanya dengan doa merupakan pengkhususan tanpa dalil.

Syubhat kedua: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik Ad Dar munkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya.

Jawabnya, memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada. Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.

Syubhat ketiga: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi.

Jawabnya, tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu disebut majhul. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Jika memang majhul, tidak mungkin Dua Hafizh itu berani menshahihkan sanadnya.

Syubhat keempat: Bertawassul dengan orang mati merupakan perbuatan orang musyrik sebagaimana disebutkan dalam QS Az Zumar: 3.

Jawabnya, mari kita baca tafsir ayat itu dengan cermat. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, "Sesungguhnya yang telah menggiring mereka (musyrikin) ke arah penyembahan berhala itu adalah karena mereka menjadikan berhala-berhala yang diukir serupa malaikat –menurut keyakinan mereka, sebagai sesembahan, mereka menyembah berhala-berhala itu sebagai bentuk penyembahan terhadap malaikat agar para malaikat itu dapat menolong mereka di sisi Allah nanti."

Pernyataan Ibnu Katsir di atas jelas menunjukkan bahwa sejak awal orang musyrik memang tidak menyembah Allah saja, melainkan juga menyembah malaikat yang diukir menjadi berhala-berhala itu. Inilah yang dinamakan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesembahan lain. Berbeda dengan tawassul, orang yang bertawassul memohon kepada Allah dengan menjadikan benda lain sebagai perantara. Oleh karena itu, Umar mengawali doanya dengan kata, "Ya Allah."

Lalu apakah masalah tawassul ini sampai pada level takfir?

Mari kita simak nasihat Ibnu Taimiah. Setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini beliau berkata:

وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ : إنَّ مَنْ قَالَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَقَدْ كَفَرَ وَلَا وَجْهَ لِتَكْفِيرِهِ فَإِنَّ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ خَفِيَّةٌ لَيْسَتْ أَدِلَّتُهَا جَلِيَّةً ظَاهِرَةً وَالْكُفْرُ إنَّمَا يَكُونُ بِإِنْكَارِ مَا عُلِمَ مِنْ الدِّينِ ضَرُورَةً أَوْ بِإِنْكَارِ الْأَحْكَامِ الْمُتَوَاتِرَةِ وَالْمُجْمَعِ عَلَيْهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ . وَاخْتِلَافُ النَّاسِ فِيمَا يُشْرَعُ مِنْ الدُّعَاءِ وَمَا لَا يُشْرَعُ كَاخْتِلَافِهِمْ هَلْ تُشْرَعُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ عِنْدَ الذَّبْحِ ؛ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ مَسَائِلِ السَّبِّ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ . وَأَمَّا مَنْ قَالَ : إنَّ مَنْ نَفَى التَّوَسُّلَ الَّذِي سَمَّاهُ اسْتِغَاثَةً بِغَيْرِهِ كَفَرَ وَتَكْفِيرُ مَنْ قَالَ بِقَوْلِ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ وَأَمْثَالِهِ فَأَظْهَرُ مِنْ أَنْ يَحْتَاجَ إلَى جَوَابٍ ؛ بَلْ الْمُكَفِّرُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ يَسْتَحِقُّ مِنْ غَلِيظِ الْعُقُوبَةِ وَالتَّعْزِيرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ أَمْثَالُهُ مِنْ الْمُفْتَرِينَ عَلَى الدِّينِ لَا سِيَّمَا مَعَ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ : كَافِرٌ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا }

"Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dalil-dalilnya tidak jelas dan terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara yang sudah maklum (diketahui) merupakan bagian dari agama secara pasti atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma') atau semisal itu." (Majmu' Fatawa 1/106)

Dari pernyataan Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa tindakan sebagian orang jahil yang mengkafirkan sesama muslim karena permasalahan semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Hal itu tak lain disebabkan oleh ketidakmampuan dirinya dalam mendatangkan argumentasi ilmiah yang mampu bertahan di panggung dialog dan diskusi. Akhirnya, mereka menggunakan senjata ampuh untuk melumpuhkan lawan diskusinya yaitu dengan menjatuhkan vonis kafir, stempel bid'ah, cap musyrik dan sebagainya.

Penutup

Demikianlah ringkasan penjelasan mengenai masalah tawassul. Bagi yang ingin memperdalam dan menelaah lebih lanjut mengenai masalah ini silahkan baca kitab Muhiqqu At Taqawwul fi Masalati At Tawassul karangan Syaikh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari (semoga Allah merahmati beliau). Kitab ini sudah dicetak, disebarluaskan dan dijual secara bebas di toko-toko buku di Timur Tengah. Penulisnya adalah salah seorang ulama yang hidup di zaman Kekhalifahan Turki Utsmani, seorang ahli hadis, fikih, ushul dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Anda juga bisa mendapatkan keterangan mengenai masalah ini dalam kitab Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait). Wallahu a'lamu bis showab.

Damaskus, 28 September 2010

Analisa Hadis Malik Ad Dar Tentang Tawassul

Naskah Hadis

حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك الدار قال وكان خازن عمر على الطعام قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا فأتي الرجل في المنام فقيل له إئت عمر فأقرئه السلام وأخبره أنكم مسقيون وقل له عليك الكيس عليك الكيس فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه

Telah mengabarkan kami Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad Dar ia berkata –ia dahulu adalah bendahara Umar untuk urusan logistik, ia berkata:

Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan seorang lelaki ke kuburan Nabi SAW lalu berdoa: "Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa." Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, "Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian bersikap bijaksana, hendaknya kalian bersikap bijaksana." Lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, "Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya."

Studi Sanad

Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (6/236 no. 32002), Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah (8/91 no. 2974) dan Al Khaliliy dalam Al Irsyad (1/313-314). Tentang riwayat Al Baihaqi, Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/105) berkata, “Sanad hadis ini shahih.” Sedangkan tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/495) berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar.” Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir (7/204 no. 1295) meriwayatkan dari Malik bin ‘Iyadh bagian akhir hadis ini, yaitu perkataan Umar, “Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.”

Kesimpulan Hukum

Para ulama bersepakat mengenai bolehnya bertawassul dengan Nabi SAW, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat berdasarkan atsar di atas dan hadis-hadis lainnya. Baca: "Kupas Tuntas Masalah Tawassul"

Syubhat Beserta Jawabannya

Berikut ini syubhat-syubhat yang beredar tentang hadis Malik Ad Dar beserta jawabannya.

Syubhat pertama: Di dalam riwayat tersebut terdapat perawi mudallis bernama Al A’masy dan dia meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal “an” (dari). Padahal, seorang mudallis tidak diterima hadisnya kecuali jika ia berkata “haddatsana” (ia telah memberitahu kami), “akhbarona” (ia telah mengabarkan kami) dan semisalnya, bukan “qola” (ia telah berkata) atau “an” (dari), karena kemungkinan ia mengambil hadis itu dari perawi dhaif sehingga dapat menjadikan hadis itu menjadi lemah sebagaimana telah maklum dalam Mustholahul Hadis.

Jawaban: Benar bahwa Al A’masy adalah seorang mudallis. Akan tetapi, tidak semua ‘an’anahnya ditolak. ‘An’anah Al A’masy dari Abu Shalih diterima dan dianggap muttashil oleh para ulama. Ini adalah satu kekhususan dan keistimewaan ‘an’anah Al A’masy dari Abu Shalih. Oleh karena itu, Imam Bukhari memasukkannya dalam Shahihnya.

Syubhat kedua: Tidak diketahui apakah Abu Shalih pernah mendengar hadis dari Malik Ad Dar atau tidak, karena Malik Ad Dar tidak diketahui kapan tahun wafatnya.

Jawaban: Pernyataan tersebut keliru, sebab penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar telah diketahui oleh para ahli hadis. Al Khalili berkata, “Dikatakan bahwasannya Abu Shalih As Sammaan telah mendengar hadis ini dari Malik Ad Dar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya.” (Al Irsyaad: 1/313). Pernyataan Al Khalili tersebut jelas menunjukkan bahwa penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar adalah ma’ruf dan tidak diragukan lagi. Yang diragukan adalah penyimakannya tentang hadis ini, bukan penyimakan secara umum dalam hadis-hadis lain. Perhatikan kata “hadis ini” dalam pernyataan Al Khalili di atas, kata tersebut mengkhususkan keumuman penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar dalam hadis-hadis lain. Lagipula, Abu Shalih bukan seorang mudallis yang suka mengecoh orang lain dengan kata “an” untuk hadis yang tidak ia dengar, sebagaimana kebiasaan para mudallisin.

Syubhat ketiga: Abu Shalih membawakannya dengan ‘an’anah, sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus (munqathi’).

Jawaban: Pernyataan itu juga keliru. Kemungkinan terputus itu sangat kecil bahkan mendekati nol, karena Abu Shalih bukan seorang mudallis. Riwayat ‘an’anah dipermasalahkan jika berasal dari perawi yang mudallis. Jadi ‘an’anah Abu Shalih diterima dan dianggap muttashil karena Abu Shalih tsiqoh. Imam Bukhari juga memasukkan ‘an’anah Abu Shalih ke dalam Shahihnya sebagaimana ‘an’anah Al A’masy dari Abu Shalih.

Syubhat keempat: Orang yang mendatangi kubur Nabi SAW itu tidak diketahui identitasnya (mubham).

Jawaban: Kemubhaman orang tersebut tidak berpengaruh apa-apa, karena yang menjadi hujjah adalah sikap (taqrir) Umar. Beliau tidak mengingkari perbuatan lelaki tersebut. Seandainya perbuatan itu keliru, pasti Umar sudah mengingkarinya.

Syubhat kelima: Malik Ad Dar bukan termasuk sahabat.

Jawaban: Tidak berpengaruh apakah dia sahabat atau bukan, karena yang menjadi hujjah adalah sikap Umar terhadap perbuatan orang yang menemuinya itu.

Syubhat keenam: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik Ad Dar mungkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya.

Jawabnya: Memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada atau mungkar. Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.

Syubhan ketujuh: Ibnu Hajar tidak menshahihkan sanad hadis itu secara keseluruhan, melainkan hanya sampai Abu Shalih saja.

Jawaban: Ini adalah sebuah kecerobohan dan tuduhan yang tidak benar terhadap Ibnu Hajar. Pernyataan Ibnu Hajar diselewengkan dari makna sebenarnya. Seandainya sanad itu hanya shahih sampai Abu Shalih saja, pasti pernyataan Ibnu Hajar adalah seperti ini, “… dengan sanad shahih sampai Abu Shalih,” bukan “… dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih.” Kata “dari riwayat” hanyalah penjelasan mengenai sumber riwayat itu, bukan pembatasan bahwa yang shahih hanya sampai Abu Shalih saja. Berbeda dengan kata “sampai” yang menunjukkan pembatasan. Hal itu maklum diketahui oleh siapapun yang pernah membaca Fathul Bari secara keseluruhan dan mengamati istilah-istilah yang digunakan oleh Ibnu Hajar di dalamnya.

Syubhat kedelapan: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi dan tidak diketahui kejujuran dan kekuatan hafalannya.

Jawabnya: Tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu disebut majhul. Ketidaktahuan bukan tanda ketiadaan mutlak. Ketidaktahuan seseorang dikalahkan oleh pengetahuan orang lain. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Mengenai kejujurannya, dua di antara Khulafaurrasyidin, yaitu Khalifah Umar dan Ustman, telah mempercayainya sebagai bendahara logistik. Sungguh keterlaluan jika ada orang yang meragukan sosok yang dipercaya oleh Khalifah kaum muslimin. Jika memang majhul, tidak mungkin Dua Hafizh itu berani menshahihkan sanadnya.

Syubhat kesembilan: Mendatangi kuburan Nabi SAW untuk bertawassul dengan beliau bertentangan dengan syariat Islam yang ma’ruf yang menganjurkan shalat istisqaa’ untuk meminta turunnya hujan.

Jawaban: Tidak ada seorang ulama pun yang menganggap bahwa perbuatan itu bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan sebaliknya, para ulama menilainya sebagai amalan yang mustahabb (dicintai).


Analisa: Hadis Utsman bin Hunaif Tentang Tawassul

Permasalahan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat menjadi perdebatan panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini. Jumhur ulama membolehkannya, Ibnu Taimiah melarang sebagian dan membolehkan sebagian, sedangkan Al Albani melarang seluruhnya. Masing-masing pendukung membela pendapatnya serta melemahkan pendapat lainnya.

Salah satu dalil yang membolehkan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif tentang seorang buta yang mendatangi Nabi SAW untuk minta didoakan, kemudian Nabi SAW mendoakan untuknya dan akhirnya ia bisa melihat. Dalam lafal doa tersebut terdapat tuntunan bertawassul dengan Nabi SAW. Dalil kedua lebih tegas lagi, hadis yang juga diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif setelah Nabi SAW wafat tentang seorang lelaki yang mendatangi Utsman bin Affan untuk suatu keperluan namun ia diabaikan, setelah itu ia mendatangi Utsman bin Hunaif (perawi hadis), kemudian oleh Utsman bin Hunaif, lelaki itu diberi saran untuk melakukan amalan yang dahulu diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada orang buta, lalu keinginan lelaki itu pun terkabul, hadis ini menjadi dalil terkuat bagi pendapat yang membolehkan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat, dengan alasan bahwa hadis itu diriwayatkan setelah Nabi SAW wafat dan yang meriwayatkannya adalah perawi yang sama dengan hadis pertama yang disepakati kesahihannya oleh kedua belah pihak. Namun, dalil kedua ini dipermasalahkan kesahihannya oleh Al Albani, kendatipun sejatinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, sebab hadis itu juga disahihkan oleh salah seorang perawinya sebagaimana akan kita bahas.

Berikut ini penjelasan mengenai kedua hadis di atas beserta takhrij dan statusnya. Semoga dengan penjelasan ini kita dapat melihat permasalahan ini dengan jernih, objektif dan jauh dari fanatisme kelompok tertentu. Selamat membaca.

Hadis ke-1

Naskah Hadis

Redaksi dalam Musnad Ahmad:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ وَإِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ ذَاكَ فَهُوَ خَيْرٌ فَقَالَ ادْعُهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ فَيُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ فَتَقْضِي لِي اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي فَقَالَ إِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ ذَلِكَ فَهُوَ أَفْضَلُ لِآخِرَتِكَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ قَالَ لَا بَلْ ادْعُ اللَّهَ لِي فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَأَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَأَنْ يَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ فَتَقْضِي وَتُشَفِّعُنِي فِيهِ وَتُشَفِّعُهُ فِيَّ قَالَ فَكَانَ يَقُولُ هَذَا مِرَارًا ثُمَّ قَالَ بَعْدُ أَحْسِبُ أَنَّ فِيهَا أَنْ تُشَفِّعَنِي فِيهِ قَالَ فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ
Redaksi dalam Sunan At Tirmidzi:

عن عثمان بن حنيف : أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال ادع الله أن يعافيني قال إن شئت دعوت وإن شئت صبرت فهو خير لك قال فادعه قال فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدعاء اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه لتقضي لي اللهم فشفعه في

قال هذا حديث حسن صحيح غريب لا نعرفه إلا من هذا الوجه من حديث أبي جعفر وهو الخطمي و عثمان بن حنيف هو أخو سهل بن حنيف

Redaksi dalam Sunan An-Nasai:

· عن عثمان بن حنيف : أن رجلا أعمى أتى النبي صلى الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إني رجل أعمى فادع الله أن يشفيني قال بل أدعك قال ادع الله لي مرتين أو ثلاثا قال توضأ ثم صل ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيي محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى الله أن يقضي حاجتي أو حاجتي إلى فلان أو حاجتي في كذا وكذا اللهم شفع في نبيي وشفعني في نفسي

عن عثمان بن حنيف : أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال ادع الله تعالى أن يعافيني قال إن شئت دعوت وإن شئت صبرت فهو خير لك قال فادعه فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدعاء اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضي لي اللهم شفعه في
عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه : أن أعمى أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله ادع الله أن يكشف لي عن بصري قال أو أدعك قال يا رسول إنه شق علي ذهاب بصري قال فانطلق فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيي محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك أن يكشف لي عن بصري شفعه في وشفعني في نفسي فرجع وقد كشف له عن بصره
Redaksi dalam Sunan Ibnu Majah:

عن عثمان بن حنيف : أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال ادع الله أن يعافيني . فقال إن شئت أخرت لك وهو خير وإن شئت دعوت فقال ادعه . فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه . ويصلي ركعتين . ويدعو بهذا الدعاء اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة . يا محمد إني قد توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه لتقضى . اللهم فشفعه في

Redaksi dalam Shahih Ibn Khuzaimah:

عن عثمان بن حنيف : أن رجلا ضرير أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : أدع الله أن يعافيني قال : إن شئت أخرت ذلك وهو خير وإن شئت دعوت قال أبو موسى قال : فادعه وقالا فأمره أن يتوضأ قال بندار : فيحسن وقالا : ويصلي ركعتين ويدعوا بهذا الدعاء : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضي لي اللهم شفعه في زاد أبو موسى : وشفعني فيه قال : ثم كأنه شك بعد في : وشفعني فيه

Redaksi dalam Mustadrak Al Hakim:

عن عثمان بن حنيف : أن رجلا ضريرا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : ادع الله أن يعافني فقال : إن شئت أخرت ذلك و هو خير و إن شئت دعوت قال : فادعه قال : فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه و يصلي ركعتين و يدعو بهذا الدعاء فيقول : اللهم إنس أسألك و أتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضى لي اللهم شفعه في و شفعني فيه هذا حديث صحيح على شرط الشيخين و لم يخرجاه
عن عثمان بن حنيف رضي الله عنه : أن رجلا ضريرا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : ادع الله تعالى أن يعافيني قال : إن شئت أخرت ذلك و إن شئت دعوت قال : فادعه قال فأمره أن يتوضأ فيحسن الوضوء و يصلي ركعتين و يدعو بهذا الدعاء اللهم أسألك و أتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه و سلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك في حاجتي هذه فتقضيها لي اللهم شفعه في و شفعني فيه هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه
عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه عثمان بن حنيف رضي الله عنه : أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال : يا رسول الله علمني دعاء أدعو به يرد الله علي بصري فقال له : قل اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبيك نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلى ربي اللهم شفعه في و شفعني في نفسي فدعا بهذا الدعاء فقام و قد أبصر تابعه شبيب بن سعيد الحبطي عن روح بن القاسم زيادات في المتن و الإسناد و القول فيه قول شبيب فإنه ثقة مأمون
عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه عثمان بن حنيف قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم و جاءه رجل ضرير فشكا إليه ذهاب بصره فقال : يا رسول الله ليس لي قائد و قد شق علي فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه و سلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك فيجلي لي عن بصري اللهم شفعه في و شفعني في نفسي قال عثمان فو الله ما تفرقنا و لا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل و كأنه لم يكن به ضر قط هذا حديث صحيح على شرط البخاري و لم يخرجاه و إنما قدمت حديث عون بن عمارة لأن من رسمنا أن نقدم العالي من الأسانيد

Redaksi dalam Ma’rifatus Shohabah Abu Nuaim:

عن عثمان بن حنيف ، أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ادع الله أن يعافيني ، فقال : « إن شئت دعوت لك ، وإن شئت أخرت ذلك فهو خير » فقال : ادعه ، فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ، ويصلي ركعتين ، ويدعو بهذا الدعاء : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة ، يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضى لي ، اللهم شفعه في « لفظ أحمد رواه روح بن عبادة ، وعثمان بن جبلة ، عن شعبة مثله حدثناه أحمد بن جعفر بن حمدان ، ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل ، حدثني أبي ، ثنا روح ، ثنا شعبة ، عن أبي جعفر المديني ، سمعت عمارة بن خزيمة بن ثابت ، يتحدث عن عثمان بن حنيف ، مثله ، وزاد قال : ففعل الرجل فبرأ ورواه حماد بن سلمة عن أبي جعفر الخطمي عن عمارة بن خزيمة مثله . ورواه روح بن القاسم ، عن أبي جعفر فخالف شعبة وحماد بن سلمة فقال : عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف ، عن عمه عثمان بن حنيف

Redaksi dalam Ad Da’awat Al Kabir Lil Baihaqi:

عن عثمان بن حنيف ، أن رجلا ضريرا أتى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا نبي الله ، ادع الله أن يعافيني ، فقال : « إن شئت أخرت ذلك فهو أفضل لأجرك ، وإن شئت دعوت لك » فقال : لا ، بل ادع الله لي ، فأمره أن يتوضأ وأن يصلي ركعتين ، وأن يدعو بهذا الدعاء : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة ، يا محمد ، إني أتوجه بك إلى ربي عز وجل في حاجتي هذه ، فتقضي لي وتشفعني فيه وتشفعه في ، قال : فكان يقول هذا مرارا ثم قال بعد : أحسب أن فيها وتشفعني فيه ، قال : ففعل الرجل فبرأ

Redaksi dalam Amalul Yaumi wal Lailah Ibnu Sunni:

عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف ، عن عمه عثمان بن حنيف رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وجاء إليه رجل ضرير ، فشكا إليه ذهاب بصره ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « ألا تصبر » ؟ قال : يا رسول الله ، ليس لي قائد ، وقد شق علي فقال النبي صلى الله عليه وسلم : « ايت الميضاة فتوضأ ، وصل ركعتين ، ثم قل : اللهم إني أسألك ، وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم ، يا نبي الرحمة ، يا محمد ، إني أتوجه بك إلى ربي عز وجل ، فتجلي عن بصري ، اللهم شفعه في وشفعني في نفسي » قال عثمان : وما تفرقنا ، ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل كأنه لم يكن ضريرا قط

Redaksi dalam Mu’jamus Shohabah Ibn Qani’:

عن عثمان بن حنيف ، أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ادع الله أن يعافيني ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : « إن صبرت فهو خير لك ، وإن شئت دعوت الله » قال : ادع الله ، فأمره أن يتوضأ ويصلي ركعتين ، ويدعو بهذا الدعاء : « اللهم أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة ، يا محمد ، إني قد توجهت إلى ربك بك في حاجتي هذه ، ليقضي لي ، اللهم شفعه » قال : فقام ، وقد أبصر حدثنا المعمري ، نا يونس بن عبد الأعلى ، نا ابن وهب ، نا شبيب بن سعيد ، عن روح بن القاسم ، عن أبي جعفر المدني ، عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف ، عن عمه عثمان بن حنيف قال : شهدت رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاه ضرير ، فقال له : « ائت الميضاة فتوضأ » ، ثم ذكر نحو هذا الحديث

Artinya (secara bebas)

Utsman bin Hunaif bercerita:

Seorang buta menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Doakan saya agar Allah menyembuhkan saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kau mau, aku akan berdoa untukmu, dan jika kau mau bersabar, itu lebih baik buatmu.” Ia berkata, “Doakanlah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudhu dan memperbagus wudhunya (lalu shalat dua rakaat) dan berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam, Nabi pembawa rahmat. (Ya Muhammad), sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu (Tuhanku), agar memenuhi keperluanku ini. Ya Allah, jadikanlah ia penolongku.” dst.

Takhrij Hadis

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al Hakim, Ibnus Sunni, Abu Nuaim dalam “Ma’rifatus Shohabah”, Al Baihaqi dalam “Dalailul Nubuwwah” dan “Ad Da’awat Al Kabir” dan lain-lain dengan lafal yang semakna dan berdekatan.

Status Hadis

Hadis ini dishahihkan oleh para huffazh yang jumlah mereka sekurang-kurangnya mencapai 15 orang, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Zahid Al Kautsari dalam kitabnya “Muhiqqu At Taqawwul fi Masalati At Tawassul”. Di antara mereka yang menshahihkannya adalah Imam At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thabrani, Abu Nuaim, Al Baihaqi, Al Mundziri, dll.

Pesan Hadis

Pertama, hadis ini merupakan salah satu bukti tanda kenabian Rasulullah SAW di mana beliau mengajari seorang buta untuk berdoa dengan doa yang dikabulkan oleh Allah SWT.

Kedua, hadis ini juga berisi anjuran berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi SAW.

Ketiga, hadis ini menunjukkan bahwa bertawassul dengan Nabi SAW. Kalimat “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam, Nabi pembawa rahmat. (Ya Muhammad), sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu (Tuhanku)” adalah redaksi yang sangat jelas menunjukkan tawassul dengan Nabi SAW.

Hadis ke-2

Naskah hadis:

Redaksi dalam Al Mu’jamus Shaghir Ath Thabrani:

عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه عثمان بن حنيف : أن رجلا كان يختلف إلى عثمان بن عفان رضي الله عنه في حاجة له فكان عثمان لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته فلقي عثمان بن حنيف فشكا ذلك إليه فقال له عثمان بن حنيف ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصلي فيه ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه و سلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك ربي جل وعز فيقضي لي حاجتي وتذكر حاجتك ورح إلي حتى أروح معك فانطلق الرجل فصنع ما قال له عثمان ثم أتى باب عثمان فجاء البواب حتى أخذ بيده فأدخله عثمان بن عفان فأجلسه معه على الطنفسة وقال حاجتك فذكر حاجته فقضاها له ثم قال له ما ذكرت حاجتك حتى كانت هذه الساعة وقال ما كانت لك من حاجة فأتنا ثم ان الرجل خرج من عنده فلقي عثمان بن حنيف فقال له جزاك الله خيرا ما كان ينظر في حاجتي ولا يلتفت إلي حتى كلمته في فقال عثمان بن حنيف والله ما كلمته ولكن شهدت رسول الله صلى الله عليه و سلم وأتاه ضرير فشكا عليه ذهاب بصره فقال له النبي صلى الله عليه وآله وسلم أفتصبر فقال يا رسول الله إنه ليس لي قائد وقد شق علي فقال له النبي صلى الله عليه و سلم إئت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم ادع بهذه الدعوات قال عثمان فوالله ما تفرقنا وطال بنا الحديث حتى دخل علينا الرجل كأنه لم يكن به ضرر قط لم يروه عن روح بن القاسم إلا شبيب بن سعيد أبو سعيد المكي وهو ثقة وهو الذي يحدث عن بن أحمد بن شبيب عن أبيه عن يونس بن يزيد الأبلي وقد روى هذا الحديث شعبة عن أبي جعفر الخطمي واسمه عمير بن يزيد وهو ثقة تفرد به عثمان بن عمر بن فارس بن شعبة والحديث صحيح وروى هذا الحديث عون بن عمارة عن روح بن القاسم عن محمد بن النكدر عن جابر رضي الله عنه وهم فيه عون بن عمارة والصواب حديث شبيب بن سعيد

Redaksi dalam Al Kabir:

عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه عثمان بن حنيف : أن رجلا كان يختلف إلى عثمان بن عفان رضي الله عنه في حاجة له فكان عثمان لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته فلقي ابن حنيف فشكى ذلك إليه فقال له عثمان بن حنيف : ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصل فيه ركعتين ثم قل : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه و سلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فتقضى لي حاجتي وتذكر حاجتك وروح حتى أروح معك فانطلق الرجل فصنع ما قال له ثم أتى باب عثمان بن عفان رضي الله عنه فجاء البواب حتى أخذ بيده فأدخله على عثمان بن عفان رضي الله عنه فأجلسه معه على الطنفسة فقال : حاجتك فذكر حاجته وقاضاها له ثم قال له : ما ذكرت حاجتك حتى كان الساعة وقال : ما كانت لك من حاجة فأذكرها ثم إن الرجل خرج من عنده فلقي عثمان بن حنيف فقال له : جزاك الله خيرا ما كان ينظر في حاجتي ولا يلتفت إلي حتى كلمته في فقال عثمان بن حنيف : والله ما كلمته ولكني شهدت رسول الله صلى الله عليه و سلم وأتاه ضرير فشكى إليه ذهاب بصره فقال له النبي صلى الله عليه و سلم : فتبصر فقال : يا رسول الله ليس لي قائد وقد شق علي فقال النبي صلى الله عليه و سلم : ائت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم ادع بهذه الدعوات قال ابن حنيف : فو الله ما تفرقنا وطال بن الحديث عن دخل علينا الرجل كأن لم يكن به ضر قط

Redaksi dalam Dalailun Nubuwwah Lil Baihaqi:

عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف أن رجلا كان يختلف إلى عثمان بن عفان رضي الله عنه في حاجته ، وكان عثمان لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته ، فلقي عثمان بن حنيف فشكى إليه ذلك ، فقال له عثمان بن حنيف : ائت الميضأة فتوضأ ، ثم ائت المسجد فصل ركعتين ، ثم قل : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة ، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فتقضي لي حاجتي ، واذكر حاجتك ، ثم رح حتى أرفع ، فانطلق الرجل وصنع ذلك ، ثم أتى باب عثمان بن عفان رضي الله عنه ، فجاء البواب ، فأخذ بيده فأدخله على عثمان ، فأجلسه معه على الطنفسة ، فقال : انظر ما كانت لك من حاجة ، ثم إن الرجل خرج من عنده فلقي عثمان بن حنيف ، فقال له : جزاك الله خيرا ما كان ينظر في حاجتي ولا يلتفت إلي حتى كلمته ، فقال عثمان بن حنيف : ما كلمته ولكني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه ضرير فشكى إليه ذهاب بصره فقال له النبي صلى الله عليه وسلم : " أوتصبر ؟ " ، فقال : يا رسول الله ، ليس لي قائد ، وقد شق علي " ، فقال : " ائت الميضأة فتوضأ ، وصل ركعتين ثم قل : اللهم ، إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك نبي الرحمة ، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فيجلي لي عن بصري ، اللهم شفعه في وشفعني في نفسي " قال عثمان : فوالله ما تفرقنا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل كأن لم يكن به ضرر ، وقد رواه أحمد بن شبيب ، عن سعيد ، عن أبيه أيضا بطوله . أخبرنا أبو علي الحسن بن أحمد بن إبراهيم بن شاذان ، أنبأنا عبد الله بن جعفر بن درستويه ، حدثنا يعقوب بن سفيان ، حدثنا أحمد بن شبيب بن سعيد ، فذكره بطوله . وهذه زيادة ألحقتها به في شهر رمضان سنة أربع وأربعين ، ورواه أيضا هشام الدستوائي ، عن أبي جعفر ، عن أبي أمامة بن سهل ، عن عمه وهو عثمان بن حنيف

Artinya (secara bebas)

Utsman bin Hunaif bercerita:

Seorang laki-laki berkali-kali datang kepada Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu untuk suatu keperluan [hajat] tetapi Utsman tidak menanggapinya dan tidak memperhatikan keperluannya. Kemudian orang tersebut menemui Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal itu kepadanya. Lalu Utsman bin Hunaif berkata, “Pergilah ke tempat wudhu dan berwudhulah, kemudian masuklah ke dalam masjid, kerjakan shalat dua raka’at, kemudian ucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu Tuhanku, agar memenuhi keperluanku.” Kemudian sebutkanlah hajat atau keperluanmu, datanglah kepadaku agar aku dapat pergi bersamamu.

Lalu orang tersebut melakukannya kemudian datang menghadap Utsman, ketika sampai di pintu Utsman penjaga pintu Utsman memegang tangannya dan membawanya masuk kepada Utsman bin ‘Affan, lalu ia dipersilakan duduk di samping Utsman. Utsman berkata, “Apa keperluanmu?” ia lalu menyebutkan keperluannya dan Utsman segera memenuhinya. Utsman berkata, “Aku tidak ingat engkau menyebutkan keperluanmu sampai saat ini,” kemudian Utsman berkata, “Kapan saja engkau memiliki keperluan maka segeralah sampaikan.”

Kemudian orang tersebut pergi meninggalkan tempat itu dan menemui Utsman bin Hunaif, ia berkata, “Semoga Allah SWT membalas kebaikanmu, ia awalnya tidak memperhatikan keperluanku dan tidak mempedulikan kedatanganku sampai engkau berbicara kepadanya tentangku.” Utsman bin Hunaif berkata, “Demi Allah, aku tidak berbicara kepadanya, hanya saja aku pernah menyaksikan seorang buta menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan kehilangan penglihatannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bersabarlah”. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penuntun yang dapat membantuku dan itu sungguh sangat menyulitkanku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Pergilah ke tempat wudhu, berwudhulah kemudian shalatlah dua rakaat kemudian berdoalah,” yaitu doa ini. Utsman bin Hunaif berkata, “Demi Allah, tidaklah kami berpisah dan berbicara lama sampai ia datang kepada kami dalam keadaan seolah-olah ia tidak pernah kehilangan penglihatan sama sekali sebelumnya.”

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ath Thabrani dalam Al Mu’jam As Shaghir (1/306 no 508, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama tahun 1405 H, tahqiq Muhammad Syakur Mahmud Al Haaj Amir; 1/183-184, Dar Al Kutub Al Imiyyah Beirut, cetakan tahun 1403 H) dan Al Mu’jam Al Kabir (9/30 no 8311, Maktabah Al Ulum wal Hikam Mousil, cetakan kedua tahun 1404 H, tahqiq Hamdiy bin Abdil Majid) dengan jalan dari Thahir bin Isa bin Qayras Al Mishri At Tamimi dari Asbagh bin Al Faraj dari Abdullah bin Wahb bin Muslim dari Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Al Qasim dari Abu Ja’far Al Khathmi Al Madini dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Dala’il An Nubuwah (6/167-168, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah Beirut dan Dar Ihya At Turats, tahqiq Dr. Abdul Mu’thi Qal’aji, cetakan pertama tahun 1408 H; 6/354 no hadis 2417, Maktabah Syamilah) bab “ma fi ta’limihi adh dharir ma kana fihi syifauhu hina lam yashbir wama zhoharo fi dzalika min atsari an nubuwwah” dengan jalan Ismail bin Syabib dari ayahnya Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Al Qasim dari Abu Ja’far Al Khathmi Al Madini dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif. Kemudian diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab yang sama dan Abdul Ghani Al Maqdisi dalam At Targhib fi Du’a no 61 dengan jalan dari Ahmad bin Syabib bin Sa’id dari ayahnya Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khathmi dari Abu Umamah bin Sahl dari Utsman bin Hunaif.

Status Hadis

Imam Ath Thabrani berkata setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini shahih.” Al Hafizh Al Mundziri menyepakatinya dalam “At Targhib wat Tarhib”, begitu juga Al Hafizh Al Haitsami dalam “Majma’ Az Zawaid”.

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya.

Berikut ini para perawi Ath Thabrani:

- Thahir bin Isa At Tamimi adalah guru Imam Thabrani yang tsiqat dimana Ath Thabrani sendiri telah menshahihkan hadisnya dalam Mu’jam As Shaghir. Ibnu Makula menyatakan ia tsiqat [Al Ikmal 1/296]

- Asbagh bin Faraj adalah seorang yang tsiqat. Ia adalah perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Al Ijli berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu ‘Ali bin Sakan berkata “tsiqat tsiqat” [At Tahdzib juz 1 no 657]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/107]

- Abdullah bin Wahb bin Muslim adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shalih al hadits, shaduq lebih saya sukai daripada Walid bin Muslim”. Abu Zur’ah menyatakan tsiqat. Al Ijli berkata “tsiqat”. As Saji berkata “shaduq tsiqat”. Al Khalili berkata “disepakati tsiqat”. [At Tahdzib juz 6 no 141]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah dan hafizh [At Taqrib 1/545]

- Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah perawi Bukhari dan Abu Dawud yang tsiqat. Ali bin Al Madini berkata: tsiqoh… dan kitabnya shahih.. Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Daraquthni menyatakan tsiqat. An-Nasai berkata “tidak ada masalah dengannya”. Ibnu Hibban juga memasukkannya dalam kitab Ats-tsiqot. Adz Dzuhli menyatakan tsiqat. Ath Thabrani menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 534]. Al Hakim berkata “tsiqat ma’mun” [Al Mustadrak no 1929]. Ibnu Hajar berkata “tidak ada masalah pada hadisnya jika yang meriwayatkan darinya adalah anaknya Ahmad tetapi tidak untuk riwayatnya dari Ibnu Wahb” [At Taqrib 1/411]. Dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat kecuali riwayatnya dari Ibnu Wahb [Tahrir At Taqrib no 2739]. Ibnu Adiy dalam kitabnya “Al Kamil” menyatakan tentang Syabib ini, “Ibnu Wahb telah meriwayatkan darinya (Syabib) hadis-hadis mungkar… Syabib telah meriwayatkan dari Yunus dari Az Zuhri naskah yang lurus (benar)… Syabib jika anaknya meriwayatkan darinya naskah Yunus dari Az Zuhri, maka hadisnya lurus (benar).”

- Rawh bin Qasim At Tamimi adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 557]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/305]

- Abu Ja’far Al Khathmi adalah Umair bin Yazid Al Anshari perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Numair, Al Ijli dan Ath Thabrani menyatakan “tsiqat” [At Tahdzib juz 8 no 628]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/756] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 5190]

- Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Diperselisihkan apakah ia sahabat atau bukan. Ia dinyatakan hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi tidak mendengar hadis darinya. Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat dan Abu Hatim berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 1 no 497]

Tidak diragukan lagi para perawi riwayat Ath Thabrani di atas adalah para perawi tsiqat.

Tetapi sanad tersebut mengandung illat (cacat) yaitu yang meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah Ibnu Wahb. Ibnu Ady mengatakan bahwa Ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Syabib hadis-hadis yang mungkar (Al Kamil Ibnu Ady 4/30). Tetapi pada hadis ini, perawi yang meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id At Tamimi tidak hanya Abdullah bin Wahb saja, tetapi juga kedua anaknya yaitu Ahmad bin Syabib bin Sa’id At Tamimi dan Ismail bin Syabib.

Ahmad bin Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah salah satu guru Bukhari yang tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 2/54-55 no 70]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 8 no 12050]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/36] tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 46]

Syaikh Al Albani menganggap bahwa riwayat Ahmad bin Syabib dari ayahnya dianggap shahih jika berasal dari Yunus bin Yazid dengan dalil perkataan Ibnu Adiy, “Syabib telah meriwayatkan dari Yunus dari Az Zuhri naskah yang lurus (benar)… Syabib jika anaknya meriwayatkan darinya naskah Yunus dari Az Zuhri, maka hadisnya lurus (benar).” Akan tetapi, perkataan Ibn Adiy ini bukanlah suatu persyaratan. Artinya, bukan berarti riwayat Ahmad bin Syabib dari ayahnya dari selain Yunus tidak shahih. Itu adalah mafhum yang tidak benar. Begitu juga jika riwayat anaknya (yaitu Ahmad) darinya shahih, bukan berarti selain dari anaknya tidak shahih. Kecuali Ibnu Wahb sebagaimana telah diterangkan di atas, ia mendapatkan catatan karena pernah meriwayatkan hadis-hadis mungkar. Apa-apa yang diriwayatkannya dari Syabib harus dicocokkan terlebih dahulu dengan riwayat-riwayat tsiqot lainnya. Jika sama, maka riwayatnya diterima, jika berbeda ditolak dan dianggap mungkar.

Namun sayangnya, hal ini tidak dipahami oleh Syaikh Al Albani. Anggapan Syaikh ini tidak benar sama sekali. Pernyataan Ibnu Adiy di atas bukanlah syarat sebagaimana tampak jelas dari redaksi pernyataannya di atas. Ibnu Adiy hanya mengomentari naskah milik Syabib yang berisi riwayat dari Yunus dari Az Zuhri, lalu mengatakan bahwa naskah itu benar, tanpa menyinggung riwayat-riwayatnya yang lain.

Jadi, anggapan mereka bahwa hadis Syabib bin Sa’id dianggap shahih jika pertama: yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Syabib dan kedua: Syabib meriwayatkan dari Yunus bin Yazid, adalah anggapan yang tidak ada dasarnya sama sekali. Syabib bin Sa’id telah mendapat predikat ta’dil dari para ulama terdahulu, tidak ada dari mereka ulama yang menta’dilkan Syabib mencacatkan hadisnya Syabib bin Sa’id atau membuat persyaratan-persyaratan aneh. Bahkan sebaliknya, pernyataan Imam Ath Athabrani bahwa hadis ini shahih menunjukkan bahwa tidak ada masalah dalam riwayat ini. Wallahu a’lam.


Dalam kitabnya, Al-Inshaf, Ali Al-Mardawi berkata:

يَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ على الصَّحِيحِ من الْمَذْهَبِ وَقِيلَ يُسْتَحَبُّ
قال الْإِمَامُ أَحْمَدُ للمروذي يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صلى اللَّهُ عليه وسلم في دُعَائِهِ

"Diperbolehkan bertawassul dengan orang shalih menurut ketetapan yang shahih dalam madzhab (hambali). Bahkan ada yang mengatakan dianjurkan."


Mengenai tawassul Imam Syafii yang diriwayatkan oleh Khathib Baghdadi, kisah itu telah masyhur di kalangan ulama tanpa ada pengingkaran sedikit pun baik dari sisi sanad maupun matan, hingga datang Ibnu Taimiyah pada akhir abad ke-7 yang menggugat keabsahan kisah itu, lalu diikuti oleh pengikutnya, Syaikh Albani.

Ala kulli haal, seperti dikatakan oleh Syeikh 'Ashfi Raihan, kisah itu hanyalah menjadi ibrah (pelajaran), bukan dalil. 


Tawasul dengan benda mati




اِذْهَبُوْا بِقَمِيْصِيْ هٰذَا فَاَلْقُوْهُ عَلٰى وَجْهِ اَبِيْ يَأْتِ بَصِيْرًا ۚ وَأْتُوْنِيْ بِاَهْلِكُمْ اَجْمَعِيْنَ
Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkan ke wajah ayahku, nanti dia akan melihat kembali; dan bawalah seluruh keluargamu kepadaku."
QS. Yusuf: Ayat 93

فَلَمَّاۤ اَنْ جَآءَ الْبَشِيْرُ اَلْقٰٮهُ عَلٰى وَجْهِهٖ فَارْتَدَّ بَصِيْرًا ؕ ۚ قَالَ اَلَمْ اَقُل لَّـكُمْ ۚ ۙ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diusapkannya (baju itu) ke wajahnya (Ya'qub), lalu dia dapat melihat kembali. Dia (Ya'qub) berkata, "Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.."
QS. Yusuf: Ayat 96
apakah yang ada dlm firman Allah ini, suatu sifat syirik

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar