Sabtu, 08 Oktober 2016

TABARRUK

HUKUM TABARRUK

Orang yang bisa diambil berkahnya ketika telah wafat

وكل من يتبرك بمشاهدته في حياته يتبرك بزيارته بعد وفاته

Setiap orang yang bisa diambil berkahnya dengan melihatnya ketika dia masih hidup, maka bisa diambil berkahnya dengan cara menziarahinya setelah dia wafat
(Imam Al Ghazzali)
 
Marilah kita sekarang meneliti dan membaca kutipan dibawah mengenai dalil-dalil Tabarruk yang telah kami singgung sebelumnya di atas. Ada golongan yang keliru dalam memahami tabarruk pada Rasulallah saw., bekas-bekas peninggalannya, ahlul baitnya dan para pewaris beliau yaitu para ulama dan para waliyullah. Mereka kemudian menganggap setiap orang yang menempuh jalan tersebut berbuat syirik dan sesat. Orang-orang seperti ini berpandangan sempit dan berpikiran pendek dalam menghadapi masalah-masalah tersebut.
Tabarruk berasal dari kata Barakah. Makna atau arti tabarruk ialah mengharapkan keberkahan dari Allah swt. dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan Allah swt.. Juga tabarruk ini mempunyai pengertian sama dengan tawassul/istighotsah, yang telah kami kemukakan tadi.
Terkadang Allah swt. menjadikan beberapa benda menjadi sumber berkah agar menjadi sebab untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Allah swt. juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua itu dapat menjadi sarana Allah swt memberkati orang untuk mencapai ke sembuhan dari penyakit, pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam peng- ampunan dosa dan lain sebagainya.
Tabarruk boleh dilakukan dengan barang-barang, tempat atau orang dengan syarat, sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah swt. Misalnya pribadi Rasulallah saw., pusaka-pusaka peninggalannya, makamnya dan sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan dengan pribadi para waliyullah, para ulama dan orang shalih lainnya, termasuk pusaka-pusaka peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakamannya atau lain- nya yang juga pernah mereka jamah atau mereka jadikan tempat untuk ber-ibadah dan berdzikir pada Allah swt.
Benda-benda pusaka atau tempat-tempat peninggalan mereka tersebut nilai kemuliaannya bukan karena benda atau ruangan tersebut tapi karena kaitan- nya dengan kemuliaan orang atau pribadi yang pernah memanfaatkan benda dan tempat tersebut dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) pada Allah swt. Sehingga pada benda atau tempat tersebut pernah turun rahmat Allah, di jamah atau didatangi malaikat Allah hingga menjadi sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan tenteram. Inilah keberkahan yang di minta oleh orang yang bertabarruk dari Allah swt.

Juga syarat lainnya bahwa orang yang bertabarruk harus mempunyai keyakinan penuh, bahwa sarana-sarana (benda atau ruangan) yang dijadikan tabarruk itu tidak dapat mendatangkan manfaat maupun madharat tanpa seizin Allah swt. Sebab semua manfaat dan madharat berada dalam kekuasaan Allah swt. sepenuhnya.

  • Berkah dan Tabarruk dalam al-Quran

Kita sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini bahwa Allah swt. adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta. Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Ia men- ciptakan dan mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang tidak tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di alam ini pun tidak tergantung kepada-Nya, termasuk dalam kelangsungan eksistensi dan hidupnya. Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.
Dalam al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’ sering akan kita jumpai. Sebagaimana dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan sebagainya, secara mendasar dan murni (esensial) berkah dan pemberian berkah hanya berasal milik dan hak priogresif Allah swt. semata. Oleh karenanya, kita jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt. memberikan berkah kepada makhluk-makhluk-Nya. Contoh ayat-ayat yang Allah swt. telah mem- berkati seseorang sehingga berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang di berkati tersebut:

 Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu…” (QS Hud: 48)
 Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman: “Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya..” (QS an-Naml: 8).
 Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman: “Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).

 Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman: “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).
Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:

 Allah swt. telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).
 Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS al-Isra’: 1).

 Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman: “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).
Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai contoh:

 Allah swt. telah memberikan berkah kepada al-Qur’an: “Dan Al-Qur’an itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).
 Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun: “Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya)…” (QS an-Nur: 35).
 Allah swt telah memberkahi air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).

 Allah swt telah memberkati waktu malam dimana al-Qur’an turun (lailatul Qadar): “ Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).
Setelah mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil berkah? Allah swt. dalam al-Qur’an menjelaskan hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:

 Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisahkan tentang pengambilan berkah Bani Israil terhadap Tabut (peti) yang didalamnya tersimpan barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman: “Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.
Menurut riwayat, ‘Peti’ itu adalah peti dimana nabi Musa waktu bayi telah di letakkan oleh ibunya ke sungai Nil dan mengikuti aliran sungai sehingga di temukan oleh istri Fira’un, untuk diasuh. Para Bani Israil mengambil peti itu sebagai obyek untuk mencari berkah (tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia, peti itu disimpan oleh washi (patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di dalamnya disimpan beberapa peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan dengan tanda-tanda kenabian Musa. Setelah sekian lama, Bani Israil tidak lagi mengindahkan peti tersebut, hingga menjadi bahan mainan anak-anak di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di tengah-tengah mereka, Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah mereka mulai melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu, maka Allah swt. menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit. Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda. Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt ketengah-tengah mereka. Allah swt. mengutus Tholut. Melalui dialah para malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka remehkan.
Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang (melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun firman Allah yang berbunyi ‘dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun’ berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).
Mengenai tabut itu Ibnu Katsir didalam kitab Tarikh-nya mengetengahkan keterangan yang ditulis oleh Ibnu Jarir sebagai berikut:
“Mereka yakni ummat yang disebut dalam ayat di atas setiap berperang melawan musuh selalu memperoleh kemenangan berkat tabut yang berisi Mitsaq (Taurat). Dengan tabut yang berisi sisa-sisa peninggalan keluarga Nabi Musa dan Nabi Harun itu Allah swt. menciptakan ketenangan bagi mereka dalam menghadapi musuh. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, bahwa tabut itu terbuat dari emas yang selalu dipergunakan untuk mencuci (membersihkan) hati para Nabi”. (Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid II hal. 8).
 Dalam Tafsir-nya Ibnu Katsir juga mengatakan, bahwa didalam tabut itu berisi tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua buah lembaran Taurat dan pakaian Nabi Harun. Sementara orang mengatakan didalam tabut itu terdapat sebuah tongkat dan sepasang terompah.(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal. 313).
 Al-Qurthubi mengatakan: “bahwa tabut itu diturunkan Allah kepada Nabi Adam as. dan disimpan turun-temurun hingga sampai ketangan Nabi Ya’qub as., kemudian pindah tangan kepada Bani Israil. Berkat tabut itu orang-orang Yahudi selalu menang dalam peperangan melawan musuh, tetapi setelah mereka berbuat durhaka kepada Allah, mereka dapat dikalahkan oleh kaum ‘Amaliqah dan tabut itu berhasil dirampas dari tangan mereka (kaum Yahudi)”. (Tafsir Al-Qurthubi jilid III/248).
Lihatlah, betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada Bani Israil itu telah memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu maka Allah swt menguji mereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin Allah swt.
Ummat yang disebut dalam ayat di atas selalu bertawassul atau bertabarruk dengan tabut yang mereka bawa kemana-mana dan selalu menang didalam setiap peperangan. Apa yang dilakukan oleh umat itu ternyata tidak dicela atau dipersalahkan oleh Allah swt.

Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi mulia seperti Nabi Ya’qub a.s. terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku (baju Nabi Yusuf) ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf: 93). Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Ya’qub) yang buta akibat selalu menangisi kepergian Yusuf pun akhirnya pulih penglihatannya karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat barakah yang dicurahkan oleh Allah swt. kepada baju/gamis Yusuf.
Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsir-nya menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu adalah baju warisan yang di hasilkan oleh Yusuf dari permohonan (do’a). Baju itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan. (Tafsir al-Kasyaf jilid 2 hal. 503).
Tentu sangat mudah bagi Allah swt. untuk mengembalikan penglihatan Nabi Ya’qub tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah di balik itu. Terkadang Allah swt. menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt. juga meng- inginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt., sehingga semua itu dapat menjadi ‘sarana’. Allah swt. memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam pengampunan dosa, dan lain sebagainya.

Jika para nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lalu bagaimana dengan benda-benda (seperti: mihrab dan mimbar....), tempat (seperti: rumah, masjid dan makam...), waktu (seperti: peringatan hari wafat, kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj..) dan mengenang ke utamaan (melalui bacaan kitab Burdah, Maulid Diba’, Barzanji ...) yang berkaitan langsung dengan pribadi agung seperti Rasulullah saw., penghulu para nabi dan rasul, makhluk Allah yang paling sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan dalam berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shohih? Pikirkanlah!

  • Dalil-dalil Tabarruk para Sahabat dari bekas air wudhu Nabi saw.:
– ...Urwah Al-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan pada kaumnya: “Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung pada kaisar Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan rajanya seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad saw. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka. Mereka usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah mereka berlomba melaksanakannya, bila ia hendak wudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia ber bicara mereka merendahkan suara dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakan nya”.(HR. Bukhori 3: 255)
Hadits yang semakna di atas, banyak diriwayatkan oleh para perawi dan penghafal hadits yaitu kisah kedatangan Urwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi saw., ia mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya–: “Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada selembar rambut pun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan; “Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu niscaya mereka bersegera (untuk melaksana- kannya). Jika beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadits panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).
– Thalq bin ‘Ali meriwayatkan: “Kami keluar (meninggalkan daerah) sebagai perutusan kepada Rasulallah saw. Setelah beliau saw. kami bai’at, kami shalat bersama beliau. Kemudian kepada beliau kami beritahukan bahwa kami masih mempunyai bi’ah (gereja atau kuil). Kepada beliau kami minta agar diberi sebagian dari sisa air wudhunya. Beliau lalu menyuruh orang mengambilkan air, kemudian berwudhu dan berkumur lalu menumpahkan bekas air kumurnya ke dalam sebuah tempat/wadah. Kepada kami beliau berkata: ‘Pulanglah, dan setibanya didaerah kalian hancurkanlah bi’ah kalian itu lalu siramlah tempat itu dengan air ini, kemudian bangunlah masjid di atasnya’. Kami katakan pada beliau bahwa daerah kami, amat jauh, dan air akan menguap habis karena (dalam perjalanan) udara sangat panas. Beliau memberi petunjuk: ‘Tambahkan saja air (kedalam wadah), air ini akan menjadi lebih baik’ “. (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Al-Misykat nr. 716).
Tidak ragu lagi bahwa dalam jiwa perutusan itu terdapat rahasia (semangat) yang amat kuat yang mendorong mereka minta air bekas wudhu Rasulallah saw. Padahal kota Madinah tidak pernah kekurangan air dan didaerah tempat tinggal orang itu sendiri banyak air. Mengapa mereka mau bersusah payah membawa sedikit air dari Madinah ke daerahnya yang menempuh jarak cukup jauh dan dalam keadaan terik matahari? Tidak lain adalah ber- tabarruk pada Rasulallah saw.dengan bekas air wudhu beliau.
– Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau ber ada di Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi. Orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barang siapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka akan mengguna- kannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang berada di tangan temannya”.
Dalam lafadh itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lalu beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau untuk dijadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadits ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).
– Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajah- nya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai temannya–: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh 
untuk mendapatkan air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadits ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).
I
bnu Hajar dalam mensyarahi/menerangkan makna hadits tersebut menyata- kan: “Apa yang dilakukan Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan bersendau gurau, atau untuk memberi berkah kepadanya. Hal itu sebagai- mana yang pernah beliau lakukan kepada anak-anak para Sahabat lainnya” (Fathul Bari jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata Yashihhu Sima’ as-Shoghir).
– Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengata- kan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur Badho’ah kemudian beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian beliau mencuci mukanya kembali, dan meludah ke dalam- nya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: ‘Mandikan dia dengan air sumur Bidho’ah’, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah lepas (sembuh)”. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).
– Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit yang tak kunjung sembuh, Rasulullah menjengukku. Rasulullah mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuh lah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 60/jilid 7 halaman 150/jilid 8 halaman 185 dan jilid 9 halaman 123).
 Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi ber-wudhu pada sebuah wadah, kemudian (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadits ke-35472).
– Sewaktu Rasulullah saw. datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuh dadanya. Kemudian Zuhair merasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Dia berkata: ‘Aku lantas mengusapkan punggungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau’ ”. (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadits ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2 halaman: 267).

Hadits-hadits di atas ini termasuk bukti yang cukup kuat dan terkenal, yang menunjukkan tabarruk kepada beliau saw. dan dengan petilasan (bekas) air wudhunya. Dengan petilasan air wudhu beliau saw. bisa menyembuhkan penyakit. Setelah membaca hadits-hadits di atas dan hadits lainnya, apakah orang masih egois dan fanatik kepada ulamanya, yang selalu menyangkal adanya barokah pada pribadi seseorang? Apakah perbuatan itu tidak ter- golong qhuluw (berlebih-lebihan)yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Ini juga harus dijawab dengan adil dan konsekwen dari golongan pengingkar!

  • Dalil Tabarruk anak-anak para Sahabat kepada Nabi saw.:

– Imam Muslim dalam kitab Shohih-nya jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Sholeh dalam mengambil berkah Rasulallah saw. untuk anak-anak mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 638 (detailnya pada: Huruf wau, bagian pertama, bab wau kaf, tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan: “Setiap bayi pada masa hidup Rasulullah di hukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu karena syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah terpenuhi”. Hingga dikatakan: ‘Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para penghuni Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak mereka supaya dapat dibelai (diusap) kepalanya oleh beliau yang kemudian beliau do’akan’ ”.

– Dari ummu Qais: “Suatu saat dia mendatangi Rasululah dengan membawa serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Rasulullah meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing di pakaian beliau. Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada pakaian) dan tidak mencucinya”. (Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 62 kitab al-Ghasl; Sunan an-Nasa’i jilid 1 hal.93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul at-Tho’am; Sunan at-Turmudzi jilid 1 hal. 104; Sunan Abu Dawud jilid 1 hal. 93 bab Baul as-Shobi Yushibus Tsaub; Sunan Ibnu Majah jilid 1 hal. 174).
Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits ini memberikan beberapa pengertian, penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’), memeluk anak bayi dan pemberian berkah dari pribadi yang memiliki kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran” (Fathul-Bari jilid 1 hal. 326 kitab al-Wudhu’ bab Baul as-Shobi hadits ke-223).
– Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dahulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi (kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“.(Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadits ke-223).
– Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang baru melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk dido’akan”. (Lht. Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim an-Naisaburi jilid 4 hal.479; Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 1 hal.5 dalam Khutbah kitab, bagian kedua).

– Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk dan dido’akannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada”. (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).

  • Tabarruk para Sahabat dari air dan sisa minum Nabi saw.:

– Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasulallah mengambil air pada sebuah tempat. Beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Beliau bersabda: ‘Minumlah kalian berdua dari (air) itu, dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian berdua’”.(Shohih al-Bukhari jilid 1 hal.55 kitab al-Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Naas).

Ibnu Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air– adalah untuk memberikan berkah kepadanya (air)”. (Fathul Bari jilid 1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas, dan atau jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).
Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku telah meminum (air) sementara aku dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasulallah): ’Kenapa kamu melaku kan hal itu’? Ia berkata: ‘Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya sedikit pun. Aku tidak mampu untuk menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya maka aku akan meminumnya’”. (Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 575 hadits ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 109).

  • Tabarruk para Sahabat dengan keringat, rambut dan kuku Nabi saw.:


– Nabi saw. tidur siang dirumah Ummu Sulaim, yang punya rumah menampung keringat beliau saw. pada sebuah botol. Ketika Nabi saw. ter bangun dan bertanya: ‘Apa yang engkau lakukan?’. ‘Ya Rasulallah kami mengharapkan berkahnya untuk anak-anak kami’. Nabi saw. menjawab; ‘Ashabti, Engkau benar’! (HR. Muslim 4:1815; Musnad Ahmad 3:221-226).
– Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghampar- kan tikar kulit untuk Nabi, kemudian beliau tidur di atas hamparan tersebut. Sewaktu beliau tertidur, ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat dan rambut Nabi dan diletakkan ke dalam botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi”. (Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14 kitab al-Isti’dzan).

Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebut- kan rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang shahih dari Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw. mencukur rambutnya di Mina Abu Thalhah meng- ambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Dia me- letakkannya ke dalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: ‘Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur di atas hamparan milikku sehingga keringat beliau mengalir (terkumpul)’ ”. (Kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).
 Abu Hurairah ra berkata bahwa seorang laki-laki menemui Nabi saw. berkata: “Ya Rasulallah, saya akan menikahkan anak perempuan saya, saya ingin sekali engkau membantu saya dengan apapun. Nabi saw. bersabda: ‘Aku tidak punya apa-apa’. Rasulallah saw.bersabda: ‘Tapi besok datanglah padaku bawa botol yang mulutnya lebar...’. Pada esok harinya ia datang lagi, Nabi saw. meletakkan kedua sikunya di atas botol dan keringat beliau saw. mengalir memenuhi botol itu’”. (Fath al Bari 6: 417, Sirah Dahlan 2:255, Al Bidayah Wa Al-Nihayah 6: 25).
Kita tidak tahu apa yang dilakukan sahabat dengan sebotol keringat itu. Mungkin digunakan sebagai minyak wangi –seperti Ummu Salamah– atau mewasiatkan pada ahli warisnya supaya botol (walau keringatnya sudah kering) dikuburkan bersama jasadnya (seperti Anas bin Malik). Ini tidak lain mengenang dan memuliakan Atsar (bekas) serta tabarruk yang berkaitan dengan orang yang dicintai! Kenyataan ini berarti menunjukkan bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meridhai perbuatan para sahabat tersebut. Beliau saw. juga sebagai contoh bagi umatnya, bila perbuatan tersebut sebagai pengkultusan atau berbau kesyirikan dan lain sebagainya, maka beliau saw. tidak akan mengizinkan dan melakukannya.
– ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Muwahhab menuturkan; “Keluargaku menyuruh aku datang kepada Ummul Mu’minin Ummu Salamah membawa air dalam sebuah mangkuk. Ia keluar membawa wadah air terbuat dari perak. Di dalamnya terdapat beberapa guntingan rambut Rasulallah saw. Ketika itu orang yang menderita sakit mata atau penyakit lainnya mengirim pesuruh kepadanya membawa wadah (makhdhabah), yang lazim digunakan untuk mencelupkan sesuatu. ‘Utsman bin Abdullah berkata lebih lanjut: ‘Aku mencoba melihat apa yang berada didalam genta, ternyata kulihat ada guntingan-guntingan rambut berwarna kemerah-merahan’ ”. (HR. Bukhori dalam kitabnya Al-Libas bab Mayudzkaru Fisy-Syaib).
Imam Al-‘Aini mengatakan, bahwa keterangan mengenai soal di atas tersebut sebagai berikut: “Ummu Salamah menyimpan sebagian dari guntingan rambut Rasulallah saw., yang berwarna kemerah-merahan, ditaruh dalam sebuah wadah seperti genta. Banyak orang diwaktu sakit bertabarruk pada rambut beliau saw. dan mengharap kesembuhan dari keberkahan rambut tersebut. Mereka mengambil sebagian dari rambut itu lalu dicelupkan ke dalam wadah berisi air, kemudian mereka meminumnya. Tidak lama kemudian penyakit mereka sembuh. Keluarga ‘Utsman mengambil sedikit air itu, ditaruh dalam sebuah wadah dari perak. Mereka lalu meminumnya dan ternyata penyakit yang mereka derita menjadi sembuh. Setelah itu mereka menyuruh ‘Ustman mencoba melihat dan ternyata dalam genta itu terdapat beberapa guntingan rambut berwarna kemerah-merahan”. (Lihat ‘Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhori jilid 17 hal. 79).
– Sewaktu Muawiyah akan wafat, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju, sarung dan selendang juga sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman 109)
– Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut dan kuku Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka letakkan rambut dan kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 5 halaman 406 tentang [tarjamah] Umar bin Abdul Aziz).

– Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik dan selembar rambut Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25 tentang [tarjamah] Anas bin Malik) 
– Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau di penjara. Lantas beliau berkata: “Ini adalah bagian rambut Nabi”. Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal hendaknya masing-masing rambut tadi diletakkan pada kedua belah matanya, sedang satu sisanya di letakkan pada lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat as-Shofwah jilid 2 halaman 357).
– Dari Abdullah bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke Ummu Salamah dengan membawa gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil seukuran tiga jari– dan terdapat di dalamnya sepotong rambut Nabi. Jika terdapat seseorang yang terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang lain) maka akan dikirim kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian kulihat dengan berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 hal. 207).
– Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnad-nya mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin yang menuturkan bahwa; ‘Ubaidah As-Salmani menyampaikan hadits tersebut kepadaku. Kemudian ia berkata: ‘Jika aku mempunyai se helai saja dari rambut beliau saw., itu lebih kusukai daripada semua perak dan emas serta apa saja yang berada di permukaan bumi dan dalam perutnya’.
– Riwayat yang disebut oleh Al-mala dalam As-Sirah: “Ketika Abu Thalhah membagikan beberapa helai rambut Rasulallah saw. kepada sejumlah orang sahabat, Khalid bin Al-Walid minta agar ia diberi rambut ubun-ubun beliau saw. Abu Thalhah memberi apa yang diminta oleh Khalid. Terbukti berkah rambut ubun-ubun beliau itu Khalid sering meraih kemenangan dalam ber bagai peperangan”. (‘Umdatul Qari Syarh Al-Bukhori, Jilid 8 hal. 230-231).
– Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang di pangkas rambutnya oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuni nya dan mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan disalah satu tangan mereka” (Kitab shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 hal.83; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 hal.591; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 hal. 68; Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303; Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadits ke-11955).
 Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju, lalu beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kuku yang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Ia (Abdulah bin Zaid) berkata: ‘Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau’ “. (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 4 hal. 630 hadits ke-16039; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 hal.68; Majma’ az-Zawa’id jilid 4 hal. 19).
– Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperang an .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya meletakkan (rambut tadi) di kelopak matanya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahir- Rahmanir Rahim”. (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadits-30136).
– Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: “Aku berkata kepada Ubaidah; ‘Kami memiliki rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas ataupun dari keluarga Anas’. Ia bekata: ‘Jika aku memiliki selembar rambut saja maka akan lebih kusukai daripada dunia beserta isinya’ ”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’ al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).
– Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan rambut itu?. Ia berkata: ‘Sesungguhnya sewaktu Rasulallah mencukur kepala beliau di haji maka orang-orang memisahkan rambutnya. Kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapat kannya’ ”. (Lihat: Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).

Jika rambut Rasulallah saw. seperti rambut kebanyakan orang, mengapa para tokoh Salaf Sholeh mengharapkannya, bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu meninggal dunia, untuk pengobatan dan lain sebagainya? Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah para tokoh Salaf Sholeh melakukan kesyirikan? Apakah riwayat-riwayat di atas dan berikut ini yang jelas berkaitan dengan Tawassul, Tabarruk semuanya dhoif/lemah, maudhu’, palsu walaupun diriwayatkan oleh pakar-pakar ulama hadits karena berlawanan dengan paham golongan pengingkar? Ini yang harus dijawab oleh golongan pengingkar secara adil dan konsekwen!

  • Dalil Tabarruk para Sahabat dari gelas, piring Nabi saw.:


 Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadits, beliau berkata: “Suatu hari aku mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau bersabda: ‘Berilah kami minum, wahai Saha!’. Kemudian aku keluarkan gelas ini dan kuberi minum mereka dengannya. (perawi berkata) Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan memberi kami minum dengan menggunakan gelas tersebut. Dia berkata: ’Kemudian Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun lantas memberikannya kepadanya’”. (Shohih al-Bukhari jilid 6 hal. 352 dalam kitab al-Asyrabah; Shohih al-Muslim jilid 6 hal.103 bab Ibahat an-Nabidz lam Yasytari wa lam Yashir Muskiran).
 Dari Anas: “Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: ‘Aku melihat gelas itu dan minum menggunakan gelas tersebut’ ”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 47 dalam bab Bad’ul Khalq).

 Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: ‘Engkau akan kuberi minum dengan menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi’”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).
 Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta kepada Nabi sebuah piring yang pernah dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Beliau memberikannya kepadanya. Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: ‘Keluarkan buatku piring Rasulullah. Aku keluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, selebihnya ia percikkan ke wajahnya’ ”. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971; Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202 dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).
Apa beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasulallah dengan gelas bekas bibir Rasulallah sehingga menyebabkan para sahabat mulia yang tergolong tokoh Salaf Sholeh merebutkannya? Apakah perbuatan itu tidak tergolong qhuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang ter- jerumus ke dalam kesyirikan? Apakah golongan pengingkar berani menyata- kan bahwa itu perbuatan tercela yang diajarkan oleh para sahabat yang tergolong tokoh para Salaf Sholeh? Mereka harus konsisten dengan pahamnya yang menyatakan bahwa perbuatan itu adalah syirik, yang me- niscayakan bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.


  • Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi saw.:

– Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan lantas mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan sisa-sisa (makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap bekas tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau makanan yang terdapat bawang merah dan bawang putih di dalamnya. Rasul saw. menolaknya, sehingga kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya kudatangi beliau dengan perasaan takut. Aku tanyakan: ‘ Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak mendapati bekas tanganmu’? Beliau saw. menjawab: ‘Aku mendapatkan bau pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat (maka menjauhinya), adapun kalian, makanlah darinya..’ ”. (Kitab al-Bidayah wa an-Niayah jilid 3 halaman 201; Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 halaman 144 dan Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 halaman 510)
– Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau mendapati di rumah tersebut terdapat Qirbah (tempat air dari kulit) yang ter gantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian beliau mengambilnya dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri. Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520 hadits ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)

– Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya, Ummu Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau mendapati Qirbah tergantung yang berisi air. Beliau saw. meminum darinya. Kemudian kupotong bibir Qirbah dan kuangkat, mengharap berkah dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243)
Pertanyaan yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh golongan pengingkar dengan jujur: Apakah perbuatan yang telah dikemuka- kan semua dalam bab tawassul dan tabarruk ini tergolong Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang tergolong Salaf Sholeh telah mengajarkan kepada kita kesyirikan? Beranikah golongan pengingkar menvonis para sahabat di atas tadi telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran golongan pengingkar hendak menumbuhkan dan menyebar- kan ajaran para Salaf Sholeh? Salaf Sholeh yang mana yang hendak mereka hidupkan ajarannya?, padahal segenap Salaf Sholeh membolehkan dan mengamalkan tawassul dan tabarruk! Pikirkanlah!!

  • Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan Nabi saw.:

Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syari’at Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para Salaf Sholeh telah bertabarruk kepada peninggalan Rasul saw., setelah wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadits-hadits di bawah ini:
 Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: “Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: ‘Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!’. Aku siram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman’. Beliau saw. memberikannya kepadaku. Selanjut- nya berkata Muhammad bin Jabir: ‘Ayahku berkata bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan’”. (Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)
Jika apa yang dimiliki Rasulallah sama dengan milik kebanyakan orang, mengapa dia meminta kain Rasulallah untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasulallah itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk kategori syirik, maka selayaknya golongan pengingkar tidak perlu mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh, tetapi peng- hidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Sholeh).
 Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: “Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Aku dengar Tsabit al-Banani berkata: ‘Itu adalah sandal Rasulallah’ ”. (Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa’ad 1/478)

Jika sandal Rasulallah sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.
 Dalam sebuah riwayat, Rasulallah bersabda: “Barangsiapa yang ber- sumpah di atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal 4/357 hadits ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasulallah saw., menurut lisan Rasulallah sendiri, dan para sahabat pun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasulallah saw. ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadits ke-46389).
Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid, mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdo’a” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulalllah).
Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebut- kan bahwa; “Beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lalu mengusapkannya ke mukanya”. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulallah dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Hibban halaman 9). Jika golongan pengingkar selalu menyatakan syirik buat pengambilan berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah dari mimbar Rasulallah, maka apakah layak kelompok ini mengaku sebagai ‘penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Sholeh’? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai ‘penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh?
Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadits saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke tekts aslinya.
Dalam beberapa riwayat dan hadits lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadits seperti yang membahas tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasulallah saw. (al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6); para sahabat meng ambil berkah dari cincin Rasulallah dengan meniru bentuknya (Shahih Bukhari 7/55; Shohih Muslim 3/1656; an-Nasa’i 8/196; Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadits ke-472); para sahabat yang mengambil berkah dari sarung Rasulallah dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan (Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16; Sunan Ibnu Majah 2/1177; Musnad Ahmad bin Hanbal 6/456 hadits ke-22318; Fathul Bari 3/144 tentang hadits 1277); Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang Rasulallah untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2/412; as-Sirah al-Halabiyah 3/242;Tarikh Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19); hadits Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Shohih Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur; Shohih Muslim 2/647; Musnad Ahmad 7/556 hadits ke-26752; Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadits ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764).

  • Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi saw.:

 Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa Rasulallah saw. juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Nafi’ berkata, ‘bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat itu’. Aku bertanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’)”. (Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)
Dari hadits di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunnah kannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Fathul Bari 1/469; menurut as-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; ‘Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi’. Pernyataan yang sama juga terdapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar).
Tetapi pada kenyataannya, mengapa para muthawwi’ (rohaniawan sekte Wahabi) berusaha menghalang-halangi para jama’ah haji yang ingin ber tabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasulallah saw. yang beliau pakai untuk beribadah dan shalat di sana, dengan alasan Rasulallah saw. dan Salaf Sholeh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?
 Ibnu Atsir berkata bahwa, ”Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw., sehingga nampak beliau berdiam di tempat (Rasulallah pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang Rasulallah pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi saw. (untuk berteduh) pun di singgahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati k keringan”. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, terjemah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi– juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 2/269 hadits ke-5968, Shohih Bukhari 3/140; Shohih Muslim 2/1981)

Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasulallah? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasulallah saw.? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Sholeh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah golongan pengingkar menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu? Ataukah mereka ini akan memutar balik makna riwayat-riwayat yang berkaitan Tawassul, Tabarruk sampai sesuai dengan pahamnya?
 Dari Anas bin Malik; “Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasulallah datang ke rumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasulallah) sebagai mushalla. Rasulallah pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air, kemudian Rasulallah melaksanakan shalat di atasnya yang di-ikuti oleh beberapa sahabat lainnya”. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).
 Dari Anas bin Malik; “Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lalu berkata kepada Nabi: ‘Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk makan dan shalat’. Dan (Anas) berkata: ‘Beliau saw. datang ke rumah sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau saw. melakukan shalat, kami pun mengikutinya’ ”. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756; dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)
 Suatu saat, datang Atban bin Malik salah seorang sahabat Rasulallah dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasulallah saw. kepada Rasulallah seraya berkata: ‘”Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan meng- genangi lembah yang membentang antara tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka ‘Wahai Rasulallah, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan me- laksanakan shalat di rumahku’. Rasululah saw bersabda kepadanya: ‘Aku akan melaksanakannya, insya-Allah’. Atban berkata: Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasulallah besama Abu Bakar. Kemudian Rasulallah meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; ‘Dibagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?’. Aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kami pun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”.(Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175; Shohih Muslim 1/445, 61& 62)
Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Mengenai komentar Al-Ulyani lihat dan baca halaman selanjutnya yaitu pada kalimat Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan di bab ini.

  • Dalil Tabarruk dari Pusara (Kuburan) Rasulallah saw.:
Pada kajian lalu telah kita sebutkan beberapa hadits yang menjelaskan bahwa para Salaf Sholeh telah melakukan pengambilan berkah dari peninggalan-peninggalan Rasulallah saw. seperti sandal, tongkat, baju, bahkan mereka selalu mengusap-usap mimbar Nabi saw. dan mengusapkan nya ke mukanya. Semua perbuatan itu jelas-jelas dilarang oleh para rohaniawan madzhab Wahabi (Muttauwi’) terhadap para jama’ah haji yang ingin melakukannya sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ter- hadap mimbar Rasulallah saw.
Kajian dan telaah kita berikut ini pada pembahasan; ‘Tabarruk terhadap Kuburan/Pusara’ yang jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi, pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang sering mengatakan penghidup ajaran para Salaf Sholeh (Salafi). Padahal kalau kita teliti paham mereka banyak yang bertentangan dengan ajaran Salaf Sholeh dan prinsip dasar Ahlusunah wal Jama’ah, termasuk masalah pembolehan tabarruk terhadap kuburan/makam Rasulullah saw. Kaum muslimin yang pernah berziarah ke makam suci Rasulullah akan dengan jelas mengetahui bagaimana perlakuan para rohaniawan madzhab Wahabi itu, ketika mereka hendak mengusap tempat-tempat yang para sahabat Rasul saw. mengamalkannya.
 Dawud bin Abi Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan bin Hakam datang ke Masjid (Nabawi). Dia melihat seorang lelaki telah meletakkan wajahnya di atas makam Rasul. Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan: ‘Sadarkah apa yang telah engkau lakukan?’. Kemudian lelaki itu menengok kearah Marwan (ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari ra) dan mengatakan: ‘Ya, aku bukan datang untuk seonggok batu, aku datang di sisi Rasulallah’. Aku pernah mendengar Rasulallah bersabda: ‘Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli) maka janganlah menangis untuk agama tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tangisilah’ ”. (Lihat: Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi Jilid: 4 Halaman: 560 Hadits ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404).
Juga riwayat semacam itu bisa dirujuk didalam kitab-kitab: Ibnu Hibban dalam shahihnya, Imam Ahmad (5:422), Tabarani didalam Mu`jam al-Kabir (4:189) dan didalam ‘Awsat’ disahkan oleh Haithami dalam al-Zawa'id (5:245), Al-Hakim dalam Mustadrak (4:515), Al-Dhahabi menshahihkan juga, al-Subki didalam Shifa' al-Siqam halaman 126, Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2:261f, Haithami dalam al-Zawa'id 4:2). Hadits di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan keshohihannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli hadits lain yang meragukannya.
Atas dasar hadits di atas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad haditsnya dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan makruh”. Nah, jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari perbuatan syirik sebagaimana yang ‘dihayal kan’ oleh madzhab Salafi (baca: Wahabi).

Hadits di atas itu jelas menunjukkan disamping ziarah kepada Rasulallah saw. juga pengambilan barokah dari makam Rasulallah saw. Ziarah kubur dengan tujuan pengambilan barokah semacam itu tidaklah mengapa, bukan tergolong syirik ataupun bid’ah sebagaimana yang dianggap oleh kaum Wahhabi. Bila tidak demikian mengapa Abu Ayyub ra. tidak cukup beri salam dan berdo’a kepada Allah swt. tanpa di iringi dengan menempelkan wajah- nya di atas pusara Nabi saw.?
Dalam konteks riwayat itu juga tidak jelas di sebutkan apa penyebab teguran Marwan terhadap Abu Ayyub. Ada banyak kemungkinan di sini. Yang jelas bukan karena syirik atau bid’ah, karena kalau benar semacam itu niscaya Marwan akan tetap bersikeras melarang perbuatan Abu Ayyub tersebut. Bila orang ingin menjalankan Amar makruf nahi munkar tidak perduli siapa yang berbuat (baik itu sahabat maupun bukan sahabat) harus dicegah perbuatan munkarnya. Lalu mengapa Marwan menghentikan tegurannya ketika melihat bahwa yang melakukannya adalah Abu Ayyub?
Adapun teguran Marwan jelas tidak bisa disamakan dengan teguran para muthowwi’ (rohaniawan Wahhabi) di sekitar tempat-tempat suci di Saudi Arabia. Karena muthowwik itu dengan jelas langsung menvonis syirik, bukan karena rasa khawatir syirik, tidak lain karena kesalahan mereka dalam memahami dan mempraktekkan kaidah Syadzudz Dzarai dan dalam menentukan tolak ukur antara Tauhid dan syirik.
Bila apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat besar Rasulallah itu tergolong perbuatan syirik (sebagaimana paham kaum Wahabi) maka mungkinkah seorang sahabat besar semacam beliau melaku- kan perbuatan syirik atau akan berbuat sesuatu yang berbau kekufuran atau kesyirikan? Sudah Tentu Tidak Mungkin! Beranikah golongan pengingkar menyatakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)?
 Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasa- an sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 halaman: 137; Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 hal. 208; Tahdzibul Kamal jilid: 4 hal. 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi jilid: 1 Halaman 358)
Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan golonganpengingkar bahwa yang telah wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.

 Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanan- nya di atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)
Apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di pusara Rasulallah? Mengapa ulama madzhab Wahabi menvonnis syirik kepada penziarah yang ingin mengusap teralis besi penutup pusara Rasulallah saw. dan kedua sahabatnya? Apakah mereka ini juga menganggap semua hadits yang telah dikemukakan itu dho’if, palsu, maudhu’ dan lain sebagainya, karena ber- lawanan dengan pahamnya?
 Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib kw. bahwa: “Sewaktu Rasulullah di- kebumikan, Siti Fatimah –puteri Rasul satu-satunya– bersimpuh disisi kuburan Rasulallah dan mengambil sedikit tanah makam Rasulallah kemudian diletakkan dimukanya dan sambil menangis ia pun membaca be- berapa bait syair….”. (al-Fatawa al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar jilid 2 hal.18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid 2 hal.340, Irsyad as-Sari jilid 3 hal. 352 dsb.nya)
Jika apa yang dilakukan Siti Fatimah tersebut adalah Syirik atau Bid’ah maka mengapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin khalifah Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan Bid’ah yang dilarang oleh beliau saw. (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah keluarga dan sahabat Rasulallah yang tergolong Salaf Sholeh, yang konon akan diikuti oleh kelompok Wahabi?
 Seorang Tabi’in bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk kepada kuburan Rasulallah). “Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para sahabatnya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Beliau langsung bangkit dan menuju pusara Rasulallah dan meletakkan dagunya di atas pusara Rasulallah kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang mempertanyakan perbuatannya. Beliau menjawab: ‘Setiap saat aku mendapat kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi’ ”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 2 Halaman: 444)
Atas dasar hadits-hadits tadi akhirnya as-Samhudi menyatakan dalam kitab Wafa’ al-Wafa’-nya (jilid: 1 Halaman: 544) bahwa; “Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in) sering mengambil tanah dari pusara Rasulallah. Aisyah (ummul mukminin) ra. membangunnya dan menutup pusara itu dengan terali. Dikatakan: ‘Ditutup olehnya (Aisyah) karena menghindari habisnya tanah pusara dan kerusakan bangunan di atasnya’ ”.
Masihkah golongan pengingkar yang mengatas namakan diri sebagai pengikut dan penghidup ajaran Salaf Sholeh itu hendak menuduh kaum muslimin yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan bid’ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kuburan adalah syirik maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasulallah atau pun orang awam biasa! Beranikah golongan ini menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun)?, sebagai mana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kuburan Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya?


  • Antar Para Sahabat pun Saling Bertabarruk:

Pertama-tama, kita akan melihat beberapa tekts tentang: apakah diperboleh- kan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan para manusia sholeh dan bertakwa pasca masa mereka? Kita di sini akan melihat beberapa tekts yang membuktikan bahwa para sahabat satu dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita tahu bahwa, menurut Ahlusunah wal Jama’ah, semua sahabat adalah Salaf Sholeh yang layak ditiru dan diikuti.
 Imam an-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (jilid 5 hal. 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khatab telah meminta do’a hujan melalui ‘Abbas (paman Rasulallah) sebagaimana yang telah kita kemukakan sebelumnya dengan menyatakan: ‘Ya Allah, Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau meng- anugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan bagi kami. Kemudian turun lah hujan’. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang shahih).
 Dalam kitab yang sama di atas, disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). ‘Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah’. Ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada disekitarnya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing”.
Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid 2 halaman 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunnah) untuk meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi”.
 Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi [tarjamah] Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.
 Sewaktu Umar bin Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan: ‘Aku ingin masuk menjadi bagian dari Rasulallah’.

 As-Samhudi dalam kitab “Wafa’ al-Wafa’” (jilid 2 hal. 448) menyatakan bahwa; ”Dahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang ber- hadapan dengan kuburan (Rasulallah, red). Disitu terdapat pintu Rasulallah yang didepannya terdapat jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah). Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah. Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: ‘Tiang tempat shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu, hingga hari ini’. Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan ‘Tempat para Pemimpin’ (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi Thalib, red)”.
 Dalam kitab yang sama di atas, as-Samhudi (pada jilid 2 hal. 450) menukil dari Muslim bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah binti Nabi saw. terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman berkata: Muslim telah berkata kepadaku: ‘Jangan engkau lupa untuk mengerjakan shalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib selalu melewatinya’ ”.
 Ibn Sa’ad dalam kitab ‘at-Thabaqoot al-Kubra’ (jilid 5 hal. 107) menukil riwayat yang menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang sedang menggali sumur. Ia berkata kepada Husein: ‘Aku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air dalam ember sedikit pun. Jika engkau berkenan untuk mendo’akan kami kepada Allah dengan berkah’. Husein berkata: ‘Berikan sedikit air yang kau punya’!. Kemudian diberikan kepadanya air lalu ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur dengan air tadi kemudian mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur menjadi memancar- kan air dengan melimpah” .
 Ibnu Hajar dalam kitab ‘as-Showa’iq al-Muhriqoh’ (halaman 310 pasal ke-3 tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: “Ketika ar-Ridho (salah seorang keturunan Rasulallah, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga men- ciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab ‘Nur al-Abshar’ halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)
Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah ber- tabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan dan ketaatan dibanding dengan yang lain. Ini sebagai bukti bahwa meng- ambil berkah dari orang-orang sholeh dan dianggap lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Sholeh telah melakukannya.
Dari kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua sahabat memiliki kemuliaan yang sama, terdapat perbedaan derajat ketakwaan dan keutama- an di antara mereka. Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang Sholeh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya, baik pribadi orang Sholeh itu, do’anya maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak sholeh dan takwa, obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi, maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita.
Dari riwayat-riwayat itu juga dapat kita ambil pelajaran untuk menjawab anggapan orang-orang seperti al-Jadi’ dalam kitabnya yang berjudul “At-Tabarruk; ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu” halaman: 261 dan as-Syatibi -dalam karyanya yang berjudul ‘al-I’tisham’ jilid 2 halaman: 9, dimana keduanya sepakat bahwa; ‘Tabarruk hanya diperbolehkan kepada diri dan peninggalan Rasulallah saja’. Hal itu karena mereka beralasan bahwa Rasulallah tidak pernah memerintahkannya. Selain itu, alasan lainnya adalah; ‘Tidak ada riwayat yang menjelaskan legalitas prilaku semacam ini’ (tabarruk kepada pribadi selain Nabi). Bahkan as-Syatibi menyatakan bahwa; ‘Barangsiapa yang melakukan hal itu maka tergolong bid’ah, sebagaimana tidak diper- bolehkannya mengawini perempuan lebih dari empat’.
Telah jelas riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa para Sahabat telah mengambil berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih utama dari sisi ketakwaan. Entahlah mengapa al-Jadi’ dan as-Syatibi tidak pernah menemukan riwayat-riwayat semacam itu?. Lagi pula, jika bertabarruk kepada sahabat adalah bid’ah, mengapa sahabat Umar telah bertabarruk kepada Abbas? Apakah khalifah Umar telah melakukan Bid’ah, karena melakukan satu perbuatan yang Rasulallah saw. tidak pernah memerintah- kan dan mencontohkannya? Beranikah orang menvonis sahabat seperti Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai ahli Bid’ah?
Walaupun Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkannya tetapi bukan berarti otomatis bertabarruk selain kepada beliau saw. itu sebagai amalan bid’ah, haram dan sebagainya. Mengapa justru al-Jadi dan as-Syatibi berani melarangnya?, sedangkan Rasulallah saw. sendiri tak pernah melarangnya!
Sekarang yang menjadi masalah adalah, jika tadi telah ditkemukakan bahwa selain peninggalan Nabi saw., peninggalan para Sahabat Nabi pun boleh untuk diambil berkahnya sewaktu masa hidup mereka, bagaimana dengan perkara tadi setelah kewafatan mereka? Dan yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; Bolehkah kita (kaum muslimin) mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi dan juga bukan Sahabat Nabi) namun dia tergolong orang Sholeh dan bertakwa? Apakah pengambilan berkah dari mereka hanya sebatas sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan untuk mengambil berkah dari jenazah (jasad orang yang telah mati) dan kuburan mereka? Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung sebelumnya bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari kuburan Rasulallah akan kita jelaskan berikut ini bahwa tidak hanya dibatasi pada orang Sholeh yang masih hidup saja, bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk ditabarruki, tidak seperti sangkaan golongan pengingkar yang dengan tegas menyatakannya sebagai perbuatan syirik.


  • Jenazah dan Kuburan/Pusara Ulama yang Diambil Berkah:
Setelah kita mengetahui pendapat (baca: fatwa) para ulama Ahlussunnah dari berbagai madzhab perihal legalitas mengambil berkah (tabarruk) dari berbagai peninggalan Nabi saw. setelah wafat beliau terkhusus pusara suci beliau saw. dan dari para manusia sholeh lainnya, kini kita akan melihat bagaimana kaum muslimin pun melanjutkan dan menerapkan syiar Islam ini kepada kuburan para sahabat Rasulallah saw. dan ulama mereka.
 Kuburan Bilal al-Habsyi –seorang sahabat besar dan muadzin Rasulallah– yang berada di Damaskus (Syiria) adalah salah satu dari manusia mulia kekasih Allah dan Rasul-Nya yang selalu diziarahi dan diambil berkah oleh banyak dari kaum muslimin. Bukan hanya kaum muslim awam saja yang mencari berkah darinya, namun para Waliyullah pun turut berdo’a dan mengambil berkah darinya. (Lihat: Rihlah bin Jubair halaman: 251)
 Kuburan Abu Ayyub al-Anshari (di Istanbul, Turki) juga termasuk yang di ambil berkahnya. Al-Hakim an-Naisaburi menjelaskan: “Mereka bertekad, menziarahi dan mencari berkah hujan jika ditimpa kekeringan.” (Lihat: al-Mustadrak ‘ala as-Shohihain jilid: 3 halaman: 518 atau Ibnu al-Jauzi dalam Shofwah al-Shofwah jilid: 1 halaman: 407)
 Makam sahabat besar Suhaib ar-Rumi juga termasuk yang dicari berkahnya. Bahkan as-Samhudi sendiri pernah mencoba tanah kuburannya untuk mengobati demam. Begitu juga dengan kuburan Hamzah bin Abdul Mutthalib –paman Nabi dan penghulu para syahid– dimana as-Samhudi menukil ucapan az-Zarkasyi yang menyatakan: “Tanah makam Hamzah di ambili oleh orang-orang untuk pengobatan”. (Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal. 69).
 Salah seorang sahabat Rasulallah saw. yang bernama Abu ‘Amr Sa’ad bin Muadz al-Anshari yang dalam kitab Siar A’lam an-Nubala jilid 1 halaman 279 disebutkan bahwa kematiannya menyebabkan ‘Arsy goncang kuburan- nya menjadi salah satu tempat pengambilan berkah. Disebutkan bahwa salah seorang telah mengambil tanah pekuburannya kemudian membawa- nya pergi. Setelah lama ternyata berubah menjadi misik. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ karya as-Samhudi jilid 1 halaman 115)
 Makam Umar bin Abdul Aziz salah seorang khalifah dari Bani Umayyah (wafat tahun 101 H) menjadi sasaran pencari berkah. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh adz-Dzahabi. (Tadzkirah al-Huffadz jilid 1 hal. 339).
 Pusara salah seorang cucu Rasulullah yang bernama Imam Ali bin Musa ar-Ridho yang kuburannya berada di Thus juga menjadi
obyek ziarah dan pencarian berkah. Abu Bakar Muhammad bin Muammal mengatakan: “Ketika kami keluar bersama Imam ahli Hadits Abu Bakar bin Khuzaimah beserta ‘Adilah Abi Ali ats-Tsaqofi yang disertai dengan beberapa orang syeikh kita yang ingin menziarahi Ali bin Musa ar-Ridho di kota Thus. Beliau mengatakan: ‘Aku melihat betapa penghormatan, kerendahan dan perendah- an dirinya –yaitu Ibnu Khuzaimah– terhadap kuburan itu hingga kami heran dibuatnya’ ”. (Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqolani jilid 7 hal. 339)

 Abdullah bin al-Haddani yang terbunuh (syahid) pada ‘hari Tarwiyah’ di tahun 183 H juga merupakan salah seorang yang kuburannya menjadi obyek pencarian berkah kaum muslimin.
Mereka mengambil tanah pekuburannya. Tanah itu ibarat misik yang kemudian mereka taburkan di baju mereka. (Lihat: Hilliyatul Auliya karya Abu Na’im al-Isbahani jilid: 2 halaman: 258 atau kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqoilani jilid: 5 halaman: 310)
 Kuburan Ma’ruf al-Karakhi pun termasuk yang dicari berkahnya oleh kaum muslimin. Ibnu al-Jauzi dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya terletak di Baghdad nampak menonjol dan diambil berkahnya. Ibrahim al-Harbi mengatakan: ‘Kuburan Ma’ruf adalah obat yang mujarab’ ”. (Lihat: Shofwah al-Shofwah Jilid: 2 Halaman: 324)
 Kuburan al-Khidr bin Nashr al-arbali (wafat tahun 567 H) seorang ahli fikih dari mazhab Syafi’i kuburannya dijadikan tempat pencarian berkah. Ibnu Katsir dalam menukil ungkapan Ibnu Khalkan mengatakan: “Kuburannya diziarahi, dan aku telah menziarahinya lebih dari sekali. Kulihat orang-orang mengerumuni kuburannya dan mencari berkah darinya”. (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 12 halaman: 353)
 Kuburan Nuruddin Mahmud bin Zanki (wafat tahun 569 H) –beliau adalah pejuang dan penguasa negeri Syam (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 306)- juga termasuk yang dicari berkahnya. Ibnu Katsir dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya berada di Damaskus yang selalu diziarahi, digelayuti jendelanya, diberi minyak wangi dan dicari berkahnya setiap saat” (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 353)
 Kuburan Imam al-Bukhari (pemilik kitab Shohih) pun tidak luput dari pencari berkah dari kaum muslimin. As-Subki dalam menjelaskan wafat beliau, menyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol. Sampai-sampai para penjaga tidak mampu menjaga kuburan tersebut. Kami telah melupakan diri kami sendiri, lantas kami menyerbu kuburan tersebut bersama-sama. Hingga sulit bagi kami untuk sampai ke kuburan tersebut.” (Lihat: Thobaqoot as-Syafi’iyah jilid: 2 halaman: 233 atau kitab Siar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi jilid: 12 halaman: 467)

Dan masih banyak lagi kuburan-kuburan lain yang menjadi pusat ziarah mau pun pencarian berkah yang terdapat di berbagai negara seperti; Irak, Syiria, Mesir, Pakistan, Yordania, Yaman, Iran, Indonesia, Malaysia, Singapore dan negara-negara lainnya. Kuburan-kuburan itu adalah pusara-pusara para kekasih Ilahi yang diperbolehkan bagi setiap muslim untuk menziarahinya dan mencari berkah darinya, berdasarkan syariat Islam yang diajarkan oleh Rasulallah melalui sahabat-sahabat mulia beliau yang menjadi sandaran kesepakatan ulama Ahlusunnah dalam memberikan fatwa legalitas ber- tabarruk. Jika hal tersebut tetap dinyatakan oleh golongan pengingkar sebagai perbuatan ghuluw, syirik, maka apa kata mereka ketika melihat kuburan dan jenazah Ahmad bin Hanbal yang diakui sebagai Imam hadits mereka dan jenazah Ibnu Taimiyah diperlakukan sama semacam itu oleh kelompok dari mereka sendiri?
Marilah kita lihat apa yang terjadi dengan kuburan Imam Ahmad bin Hanbal dan jenazah Ibnu Taimiyah:
Ibnu Hanbal: Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) nampak menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah dan tempat pencarian berkah. (Lihat: Mukhtashar Thabaqoot al-Hanabilah halaman: 14)
Ibnu Taimiyah: Ibnu Katsir mengisahkan: “Dalam menghantar (tasyi’) jenazahnya orang-orang berbondong-bondong hingga iringan jenazahnya memenuhi jalanan. Semua orang menyerbunya dari segala penjuru sehingga kerumunan kian bertambah ramai. Mereka melempar sapu tangan dan sorban mereka di atas keranda guna mengambil berkah. Kayu-kayu keranda jenazah banyak yang putus akibat terlampau banyak orang yang bergelayut- an. Mereka juga meminum air bekas memandikan jenazahnya untuk mencari keutamaan (tayammun)….mereka bersedia membeli sisa-sisa kayu bidara (sidir, bekas memandikan jenazah) dan membagi-baginya diantara mereka…dan bahkan dikatakan bahwa; ‘Benang yang diberi air raksa (zibaq) yang diletakkan pada jasadnya untuk menghalau kutu-kutu pun mereka beli dengan harga seratus lima puluh dirham”. (Lihat: al-Bidayah wa an-nihayah jilid: 14 hal. 136 atau pada kitab al-Kuna wa al-Alqob jilid: 1 halaman: 237)
Jika pencari berkah dari kuburan dan dari jenazah (orang mati) adalah syirik atau bid’ah, maka penziarah kubur Imam Ahmad bin Hanbal semuanya para ahli bid’ah dan kaum musyrik. Lebih kasihan lagi pengantar jenazah Ibnu Taimiyah, betapa tidak, karena para pengantar jenazahnya berebutan untuk mengambil barokah dari keranda, minum air bekas memandikan jenazah beliau dan lain sebagainya.


  • Mari kita rujuk lagi macam-macam bentuk riwayat lainnya yang berkaitan dengan Tabarruk
– Samiri, (pada zaman Nabi Musa as.) yang mengambil barakah dari tanah dimana Jibril as melaluinya. Ketika Samiri mengambil dan melemparkan tanah pada patung anak sapi yang dibuatnya, patung jadi bisa bersuara, karena berkah dari tanah bekas jejak malaikat Jibril as.tersebut. Firman Allah swt:
(Samiri menjawab): "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahui nya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku". (S Thaahaa [20] ayat 96)
Hampir semua ahli tafsir menginformasikan bahwa yang dmaksud dengan jejak Rasul dalam ayat di atas adalah jejak malaikat Jibril a.s.

 Begitu juga firman Allah swt. agar menjadikan tempat berdirinya Nabi Ibrahim as. waktu membangun Ka’bah sebagai tempat sholat: ..’Dan jadikan lah sebagian maqam (tempat berdiri) Ibrahim tempat sholat’. (Al-Baqarah:125). Disini menunjukan bahwa Allah swt. memuliakan Rasul-Nya Ibrahim as. dan menjadikan tempat berdirinya beliau sebagai tempat yang mulia yang dianjurkan manusia untuk melakukan sholat pada tempat tersebut dan pengambilan barokah.
Silahkan juga rujuk tentang riwayat para sahabat percaya bahwa rumah yang pernah dimasuki Rasulallah ada barakahnya. (Bukhari,jilid 5, Buku 58, nomer 159, Ahmad Musnad 3:98 #11947, Bukhari, jilid 7, Buku 71, Nomer 647, Malik in al-Muwatta; Buku 50 nomer 50:4:10, Abu Dawud, 41: 5206).
– Mu’adz Ibnu Jabal dan Bilal (ra) datang kemakam Nabi duduk menangis dan mengusapi mukanya dengan tanah itu. (Ibnu Majah 2:1320).
– Nabi memerintahkan para sahabat untuk mengambil berkah dari sumur di mana onta betina Nabi Sholeh minum disitu. (Bukhari, jilid 4, Buku 55, no 562).
Menurut riwayat sumur Nabi Sholeh a.s.ada dikota ‘Asir di Saudi Arabia dekat perbatasan Yaman. Banyak para sahabat waktu itu diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Mu’az bin Jabal, Abu Musa Al- Asy’ari (ra) diutus oleh Rasulallah saw. ke Yaman dan sahabat lainnya diutus untuk dakwah keluar kenegara-negara selain Hijaz (sekarang Saudi Arabia) misalnya Khalid bin Walid ke Najran, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif dan sebagainya.
Nah, kalau sumur yang ontanya Nabi Sholeh as pernah minum air disana berapa waktu silam sebelum zaman Nabi saw. saja masih bisa menjadikan barokah apalagi bekas-bekas peninggalan manusia yang mulia dan taqwa yakni Rasulallah saw. atau para sahabat dan para waliyullah yang mana mereka semua dimuliakan oleh Allah swt. Jadi penghormatan serta peng ambilan barokah dari tempat yang suci tidak sama dengan menyembahnya!
 Firman Allah swt. kepada Nabi Musa a.s.: “Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa“. (QS Thaahaa:12).
Allah swt. sendiri menyatakan lembah Thuwa adalah tempat yang suci sehingga Nabi Musa as. ditempat ini diperintahkan untuk menanggalkan terompahnya sebagai penghormatan (ta’dhim) pada tempat tersebut. Ini bukti bahwa ada tempat-tempat yang disucikan oleh Allah swt. Apa mungkin Allah swt. memerintahkan sesuatu yang berbau syirik? Sudah tentu tidak mungkin! Dengan demikian kita harus bisa membedakan antara ta’dhim/penghormatan dan ibadah!
 Khalifah Umar ra. ketika mengunjungi Ka’bah berkata pada Hajar Al-Aswad: ‘Kamu tidak bisa apa-apa, tapi saya menciummu untuk mengikuti Rasulallah saw.’ Atas ucapan Khalifah Umar ini khalifah Ali kw. berkata pada khalifah Umar sebagai berikut: ‘Rasulallah saw. berkata dihari pengadilan hajar Al-Aswad akan menjadi perantara (saksi) atas orang-orang’. (Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasai, Al-Baihaqi, At-Tabharani dan Al-Bukhari dalam kitab Risalahnya) dan khalifah Umar ra berterima kasih pada Amirul mukminin Ali bin Thalib kw.
Golongan Salafi/Wahabi menyebarkan versi hadits terakhir di atas ini dengan mengurangi dari riwayat aslinya. Mereka menceritakan hanya sampai kata-kata khalifah Umar ra. saja, dan membuang perkataan khalifah Ali kw. yang menyatakan bahwa Hajar al-Aswad akan menjadi wasilah atau perantara pada hari pengadilan nanti. Golongan ini tidak siap untuk mengambil pengajaran dari sebagian isi dari Al-Qur’an dan Sunnah karena berlawanan secara langsung dengan keyakinan literalisme mereka. Sayangnya ulama-ulama mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan atau menolak hadits-hadits yang telah kami kemukakan, supaya orang-orang tetap tidak tahu mengetahui hadits-hadits seperti itu. Sedangkan pengikut-pengikutnya hanya mengikuti apa yang diucapkan oleh para ulama mereka ini.
Mengenai hajar aswad Ibnu Hibban dalam kitab Shohih-nya mengatakan: “Bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Al-hajaru war ruknul yamaaniyyu yahutthul khataayaa hatthan’. Artinya: “Hajar aswad (batu hitam) dan rukun yamani menggugurkan dosa sebanyak-banyaknya”. (dinukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq jilid 5 cet.pertama hal. 152). Banyak riwayat lain mengenai hajar aswad ini.
 Diriwayatkan oleh Imam Muslim (Lihat kitab Al-Libas Wa Az-Zinah jilid 3, halam 140) sebagai berikut: “Asma binti Abubakar As-Shiddiq ra menuturkan, bahwa ia pernah mengeluarkan jubah thayalisah (yaitu pakaian kebesaran yang lazim dipakai oleh raja raja Persia), pada bagian dada dan dua lipatan yang membelahnya berlapiskan sutera mewah. Menurut Asma itu adalah jubah Rasulallah saw. yang dulu disimpan oleh Aisyah ra. Setelah Aisyah wafat jubah itu disimpan oleh Asma. Asma mengatakan, bahwa Nabi saw. semasa hidupnya pernah memakai jubah tersebut dan sekarang , kata Asma, jubah itu kami cuci dan kami manfaatkan untuk bertabarruk mohon kesembuhan bagi penderita sakit ”.
 Imam al-Bukhari dalam kitab shahih-nya menuliskan satu bab khusus tentang “Tentang baju besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas dan cincin Nabi, serta apapun yang dilakukan para khalifah pasca (wafat) beliau saw. dari barang-barang tersebut yang belum disebutkan; dari rambut, sandal dan nampan yang diambil berkahnya oleh para sahabat dan selainnya, pasca wafat beliau” (bab; Maa dzakara min Dir’un Nabi wa ‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi wa Maa Ista’mala al-Khulafa’ Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu, wa min Sya’rihi, wa Na’lihi wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum ba’da Wafatihi). Hanya Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab Shahih beliau, yang tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah) yang menjadi kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 46 di bab yang sama)
 Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan, bahwa ‘Asma binti Abubakar pada suatu hari mengeluarkan sehelai jubah, kemudian berkata kepada orang-orang yang hadir: ’Dahulu Rasulallah saw. memakai jubah ini. Jubah ini kami cuci dan airnya kami gunakan untuk menyembuhkan orang-orang sakit’.
 Ibnu Qusaith dan Al-‘Utbi dalam kitab ‘Thabaqat’ yang disusun oleh Ibnu Sa’ad mengatakan, bahwa para sahabat Nabi pada saat memasuki masjid Nabawi mengusapkan tangan pada mimbar Rasulallah saw. yang berdekat- an dengan makam beliau dengan maksud bertabarruk dan bertawassul. Mereka kemudian menghadap kiblat lalu berdo’a.
Dalam Thabaqat ini Ibnu Sa’ad Abdurrahman bin ‘Abdulqadir juga mengata- kan, “bahwa ia melihat ‘Abdullah bin ‘Umar Ibnul Khattab ra. bertabarruk dengan mengusapkan tangannya pada tempat duduk Rasulallah saw. yang berada di mimbar beliau, kemudian mengusapkan tangan itu pada wajah- nya”. Dalam riwayat yang lain lagi, Abdurrahman mengatakan; “bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar juga mengusapkan tangannya pada bagian mimbar yang dahulu sering dipegang oleh Rasulallah saw.”.
 Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Ibnu Umar pernah meletakkan tangannya pada tempat duduk di mimbar Rasulallah saw., kemudian ia mengusapkan tangannya ke wajah.

 Ibnu Taimiyah mengemukakan sebuah riwayat berasal dari Ahmad bin Hanbal, bahwa ia Imam Ahmad membolehkan orang mengusap mimbar dan rumanahnya (benda bulat dari kayu yang berada di atas mimbar (kuno), tempat berpegang pada saat orang sedang berkhutbah). Ibnu Taimiyah juga meriwayatkan bahwa “Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id salah seorang ulama Fiqih di Madinah semuanya pernah melaku- kan hal seperti itu”. (Lihat Iqtidha As-Shirathil Mustaqim, halaman 367).
 Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad al-Maqri (al-Maliki) –wafat tahun 1041 H– dalam kitab Fathu al-Muta’al bi Shifat an-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala menyatakan: “Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hanbal pada cetakan/bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tangan Khath bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid: 18 halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidh [penghapal/penjaga] yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidh lainnya yang menyatakan bahwa; ‘Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbar nya. Lalu beliau berfatwa: Hal itu tidak mengapa’”.
Ia (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata: “Aku tunjukkan hal itu kepada at-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyata- kan: ‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya’. Kemudian (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata lagi: ‘Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju as-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum air bekas cucian tadi’ “. (Lihat: Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 1 halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).
LIhat riwayat ini, Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad ber- fatwa membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasulallah saw.dan Imam Ahmad sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kalau memang ini bid'ah dan syirik mengapa Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah me- lakukan bid’ah atau syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal!”.
 Imam Ahmad bin Hanbal sendiri pernah juga bertabarruk dan Al-Hafidz membenarkannya. Hal itu dituturkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad (putera Imam Ahmad). ‘Saya pernah melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulallah saw. lalu dicium dengan mulutnya. Bahkan saya pernah melihatnya menempelkan rambut Rasulallah saw. pada matanya, kemudian mencelup kannya dalam air lalu diminumnya air itu bertabarruk mohon kesembuhan. Saya pernah juga melihat ayahku memegang piring Rasulallah saw., kemudian dicucinya lalu ia minum air yang berada dipiring itu. Saya pun pernah melihat ayahku minum air Zam-zam bertabarruk mohon kesembuh an, dan setelah itu ia mengusap-usap tangan dan mukanya dengan air tersebut’.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ini telah bertanya pada ayahnya mengenai orang yang menyentuh atau mengusap-usap rummanah mimbar Rasulallah saw. dan mengenai orang yang mengusap-usap atau mencium Hajar Al-Aswad (batu hitam yang terletak dipojok Ka’bah). Sebagai jawaban beberapa pertanyaan tersebut ayah beliau Imam Ahmad bin Hanbal berkata: ‘Saya berpendapat hal itu tidak ada salahnya!. Semoga Allah melindungi semua dan ayahmu dari pendapat kaum Khawarij dan dari berbagai bid’ah (Lihat Siyaru A’lami-Nubala’ jilid 11 hamalan 312).
 Dinukil dari Ibnu Jama’ah (as-Syafi’i) yang menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah menceritakan perihal ayahnya. Ia (Abdullah) meriwayatkan: 'Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menyentuh mimbar Rasulallah dan bertabarruk dengan mengusap-usap juga menciumnya. Dan melakukan kuburan sebagaimana hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah'. Beliau menjawab: “Tidak mengapa”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1414).
 Syeikh Ibnu Hajar berfatwa: “Sebagian menggali dasar hukum dari legalitas mencium Hajar Aswad dengan diperbolehkannya mencium segala yang memiliki potensi untuk diagungkan dari manusia ataupun selainnya (benda, red)” (Lihat: al-Wafa’ al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)
 Syeikh Ibrahim al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk bertabarruk maka tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Fiqh as-Syafi’i Jilid:1 Halaman: 276)
 Syeikh Muhibbuddin at-Thabari berfatwa: “Diperbolehkan mencium dan menyentuh kuburan. Itu merupakan perbuatan para ulama dan orang-orang sholeh” (Lihat: Asna al-Matholib jilid: 1 halaman: 331 atau sebagaimana yang dinukil dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1407)
 Syeikh ar-Ramli as-Syafi’i berfatwa: “Jika kuburan Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun dicium untuk tujuan tabarruk maka tidak mengapa” (Lihat: Kanzul Matholib karya al-Hamzawi halaman: 219)
 Syeikh Az-Zarqoni al-Maliki menfatwakan: “Mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Mawahib jilid: 8 halaman: 315).
 Syeikh al-Adwi al-Hamzawi al-Maliki menfatwakan: “Tiada keraguan lagi bahwa mencium kuburan mulia (Rasulallah) tidak akan dilakukan kecuali untuk bertabarruk. Hal itu lebih utama dalam pembolehannya dibanding dengan tabarruk untuk kuburan para kekasih Allah (awliya’)” (Lihat: Kanzul Matholib halaman: 20 dan Masyariq al-Anwar jilid: 1 halaman: 140).
 Syeikh Syihabuddin al-Khoffaji al-Hanafi menyatakan berkaitan dengan ungkapan yang mengatakan: ‘Dimakruhkan menyentuh, mencium dan menempelkan dada’. Beliau menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini (hukum makruhnya) tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan Thabari mengatakan bahwa; tidak mengapa mencium dan menyentuhnya” (Lihat: Syarh as-Syifa’ jilid: 3 halaman: 171 dan atau sebagaimana yang dinukil oleh Syamhudi dalam Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404)
 Imam Muslim mengetengahkan hadits dari Anas yang mengatakan: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kerumah kami, kemudian beliau tidur hingga berkeringat. Ibuku datang membawa sebuah botol (wadah) lalu mewadahi keringat beliau yang menetes. Setelah bangun tidur beliau saw. bertanya: ‘Hai Ummu Sulaim, Apakah yang telah engkau perbuat?’ Ibuku menjawab: ‘Keringat (anda) ini hendak kujadikan minyak wangi dan itu merupakan minyak wangi yang paling harum baunya’ “.
 Tabarruk pernah juga dilakukan oleh Rasulallah saw.dalam Isra’ yaitu dari Al-Baitul Haram ke Al-Baitul Maqdis. Ditengah perjalanan beliau turun dari Buraq yang dikendarainya kemudian menunaikan shalat dibeberapa tempat tertentu, seperti di Thur Sina, Di Baitul Laham (Betlehem, tempat kelahiran Nabi ‘Isa as.), dan lain-lain sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab hadits dan sirah (sejarah) Nabawiyyah.
 Tabarruk dengan petilasan/bekas orang-orang wali dan shalih itu juga di perkenankan oleh syariat. Imam Al-Hafidz Al’Iraqi dalam kitabnya yang berjudul Fathul Muta’al meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal mem- perbolehkan orang mencium makam Rasulallah saw., makam para waliyullah dan orang shalih lainnya, sebagai tabarruk. Ketika Ibnu Taimiyah melihat orang berbuat seperti itu, ia keheran-heranan. Selanjutnya Imam Al’Iraqi berkata padanya: “Apa anehnya? Bukankah kami telah meriwayat-kan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan minum air bekas cucian baju Imam Syafi’i? Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri juga meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan petilasan Imam Syafi’i.
 Dalam kitab Al-Hikayatul Mantsurah imam ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy mengatakan bahwa Imam Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita penyakit bisul lama tak dapat sembuh, ia ber- tabarruk dengan mengusapkan bisulnya pada makam Imam Ahmad bin Hanbal, dan ternyata segera sembuh.
 Al-Khatib dalam Tarikh-nya mengatakan, ketika tinggal di Iraq beberapa waktu lamanya Imam Syafi’i bertabarruk dengan ziarah kemakam Abu Hanifah.
Kita sayangkan, golongan pengingkar berwatak keras kepala, dan merasa paling benar sendiri, paling suci dan paling memahami syari’at Islam. Sayang sekali masih ada kelompok muslimin yang terpengaruh dan mengikuti ajaran-ajaran golongan ini. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. sehingga bisa menjalani agama Islam yang benar. Amin.
Contoh perbuatan tabarruk yang sampai sekarang bisa dilihat masyarakat muslimin yaitu mengusap dan mencium batu hitam (Hajr Al Aswad) dan minum air Zam-zam, berdo’a ditempat-tempat tertentu: di ‘Arafah, Mina, Muzdalifah (Masy’aril Haram) serta sholat di masjid-masjid tertentu dan sebagainya. Tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sebagai manasik ibadah haji, disitu kaum muslimin berdo’a, bersembah sujud kepada Allah swt. dan lain-lain.

  • Komentar Al-Ulyani al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” mengenai hadits Atban bin Malik & jawabannya

Walaupun runtutan artikel tabarruk sebelumnya sudah mampu menjawab beberapa problem yang dilontarkan oleh golongan pengingkar, namun kali ini, kita akan mengkonsentrasikan secara khusus dalam menjawab beberapa isu pengikut sekte Wahabi yang digunakan untuk pengkafiran (menuduh kaum muslim sebagai pelaku syirik dan bid’ah) kaum muslimin.

Untuk mempersingkat, kita akan ambil beberapa masalah (dibawah ini) yang sering mereka ungkapkan dengan menengok dari karya salah seorang misionaris madzhab Wahabi yang bernama Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani yang menolak, mengharamkan atau mensyirikkan Tabarruk dan jawaban dari golongan yang membolehkan Tabarruk.

  • Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

“Kondisi kaum Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan manusia, mereka menginginkan mendapat tambahan harta dan anggota kabilah, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan keduniawian. Dengan begitu melalui perminta berkah (tambahan) terhadap berhala-berhala yang mereka sembah, dengan mengharap tambahan kebaikan yang berlebih. Mereka meyakini bahwa patung-patung itu adalah para pemberi berkah. Anehnya, walau orang yang meyakini bahwa berkah itu datangnya dari Allah pun masih meyakini bahwa patung-patung itu adalah sarana yang mampu menentramkan dan penghubung antara mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan yang mereka inginkan, akhirnya mereka mengambil berhala itu sebagai sarana. Hal ini sesuai dengan ayat: “…kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah denga sedekat-dekatnya…” (QS az-Zumar: 3) dari sini jelas sekali bahwa, tabarruk (mengharap berkah) selain dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum musyrik zaman Jahiliyah. (Lihat: kitab Tabarruk Masyru’ halaman 53)


  • Jawabannya:

Selain telah kita singgung –dalam kajian terdahulu– bahwa, beberapa nabi Allah yang mengajak umat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah. Begitu juga ternyata Nabi kita (Muhammad saw) –yang sebagai penghulu para nabi dan rasul bahkan paling mulianya makhluk Allah yang pernah Dia ciptakan– pun telah membiarkan orang mengambil berkah darinya. Jika mencari berkah (tabarruk) adalah haram–karena syirik– maka tentunya para nabi di setiap zaman adalah orang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain. Namun kenapa justru mereka malah melakukannya? Lagi pula, apa yang di-isukan oleh kelompok Wahabi di atas tadi, selain tidak sesuai dengan al-Qur’an, Hadits dan bukti sejarah dari Salaf Sholeh hingga para imam madzhab, juga jauh dari logika pemahaman ayat itu (az-Zumar:3) sendiri. Beberapa alasan berikut ini:
Pertama: Semua orang tahu bahwa setiap prilaku pertama kali dinilai oleh Islam dilihat dari niatnya. Dengan kata lain, hal primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan kembali kepada niat. Bukankah Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Setiap perbuatan kembali kepada niatnya…” (Hadits Muttafaq Alaihi). Tentu, niat seorang musyrik dengan niat seorang muslim akan berbeda dan tidak bisa disamakan.

Kedua: Dalam ayat itu (Az-Zumar:3) disebutkan: “kami tidak menyembah mereka melainkan...” di situ terdapat kata “Menyembah” yang meniscayakan bahwa kaum musyrik Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah dalam masalah penyembah an. Dan tentu essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan itu (sifat ketuhanan), mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah. Bukankah dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah telah
memerintahkan para malaikat dan jin untuk bersujud di hadapan dan untuk nabi Adam? Bukankah nabi Ya’qub beserta anak-anaknya telah sujud di depan nabi Yusuf? Ini yang membedakan antara prilaku kaum musyrik dengan kaum muslimin, dalam pengambilan berkah. Ini merupakan hal yang bersifat esensial sekali dalam prilaku per ibadatan. Kaum muslimin selain tidak meyakini kepemilikan sifat ketuhanan selain Allah, sehingga obyek selain Allah memiliki kelayakan untuk di sembah, juga meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta ini berasal dari kehendak Ilahi, karena hanya Dia Yang Maha kuasa nan sempurna, dan yang layak disembah.
Ketiga: Ayat dari surat az-Zumar tadi Allah swt. tidak menyatakan; “kami tidak mengambil berkah mereka melainkan…” tapi dikatakan; “kami tidak menyembah mereka melainkan…” sebagai penguat dari alasan kedua tadi. Dikarenakan kaum musyrik zaman Jahiliyah tidak meyakini adanya hari akhir –seperti disebutkan dalam akhir-akhir surat Yasin maka mereka akhirnya meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara inde- pendent dari Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Tentu keyakinan kaum muslimin berbeda dengan apa yang mereka yakini. Dan tentu pula kaum muslimin tidak pernah berpikir semacam itu. Semua kaum muslim meyakini bahwa segala yang ada di alam semesta ini turun dari izin dan kehendak Allah swt., termasuk pemberian berkah. Karena Allah swt.sumber segala yang ada di alam semesta ini.


  • Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:
Legalitas tabarruk dari tempat-tempat atau benda-benda yang dianggap mulia bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari yang dinyatakan oleh ‘Atban bin Malik yang termasuk sahabat Rasulallah dari kelompok Anshar, yang turut dalam perang Badar. Ketika dia mendatangi Rasulullah, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah pengelihatanku, padahal aku mengimami shalat pada kaumku. Jika turun hujan maka banjir selalu menggenangi lembah yang menghubungkanku dengan mereka, sehingga aku tidak dapat mendatangi masjid mereka, dan shalat bersama mereka Aku ingin engkau datang ke rumahku dan shalat di rumahku, sehingga aku menjadikannya (tempat itu) sebagai mushalla”. Mendengar hal itu Rasul bersabda: ‘Aku akan melakukannya, insya-Allah”. Kemudian berkata ‘Atban: ‘Keesokan harinya, Rasul bersama Abu Bakar datang, ketika menjelang tengah hari. Rasul meminta izin masuk, dan diberi izin. Beliau tidak duduk sewaktu memasuki rumah, dan langsung menannya- kan: ‘Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?’. Dijawab: ‘Aku mengisyaratkan pada salah satu sudut rumah’. Rasulullah berdiri dan ber- takbir. Kami pun mengikutinya berdiri dan mengambil shaf (barisan shalat). Beliau melakukan shalat dua rakaat dan kemudian mengakhirinya dengan salam” (Shahih Bukhari, jilid 1 halaman 170/175 atau Shahih Musim jilid 1 halaman 445/61/62).
al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Dalam kitabnya ini dia menyatakan:

“Hadits di atas tidak membuktikan bahwa sahabat ‘Atban hendak mengambil berkah dari tempat shalat Rasul. Namun ia ingin menetapkan anjuran Rasul untuk selalu melakukan shalat berjama’ah di rumahnya, ketika tidak dapat mendatangi masjid karena lembah digenangi air. Atas dasar itu ia meng- hendaki Rasul membuka (meresmikan) masjid di rumahnya. Dan oleh karenanya, Bukhari memberikan bab pada kitabnya dengan; “Bab Masjid di Rumah” (Bab al-Masajid Fil Buyuut). Sebagaimana Barra’ bin ‘Azib melaku- kan shalat di masjid yang berada di dalam rumahnya secara berjama’ah. Ini termasuk hukum fikih beliau. Dari semua itu memberikan pemahaman bahwa Rasul mengajarkan (sunnah) shalat berjama’ah di rumah dikala memiliki hajat. Sebagaimana Rasul tidak pernah menegur sahabat Barra’ bin ‘Azib sewaktu melakukan shalat berjama’ah di masjid rumahnya. Padahal itu semua terjadi pada zaman pensyariatan (tasyri’) Islam. Dan mungkin saja maksud dari sahabat ‘Atban tadi adalah untuk mengetahui dengan pasti arah kiblat, karena Rasulullah tidak mungkin menunjukkan arah yang salah”. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 68-69).

  • Jawabannya:

Itu adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadits di atas tadi. untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa semangat sahabat ‘Atban untuk mendirikan shalat jama’ah di rumah adalah ‘salah satu’ sebab, tetapi ‘bukan satu-satunya’ sebab. Karena kita dapat melihat dengan jelas, bagaimana sahabat ‘Atban sangat menghendaki tabarruk dari tempat shalat Rasulallah. Dan Nabi pun mengetahui tujuan sahabatnya itu. Atas dasar itu, Rasulallah langsung menanyakan tempat yang dikehendaki sahabatnya untuk dijadikan mushalla, dirumahnya. Jika isu sekte wahabi di atas itu benar maka selayak-nya Nabi shalat di sembarang tempat, di rumah sahabatnya tadi, mungkin di ruang tamu, ruang tengah, atau di tempat yang terdekat dengan pintu masuk. Dan kenyataannya, Nabi menanyakan terlebih dahulu; “Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?”. Dengan kata lain, Rasulallah tahu bahwa sahabatnya itu akan mengambil berkah dari tempat shalat beliau saw.. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasulallah saw. langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanya- kan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam itu.
Kedua: Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasulallah saw. kerumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk mem- peroleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasulallah lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasulallah, apalagi dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasulallah saw.. Dan dikarenakan Rasulallah hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagai mana tekts hadits) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasulallah adalah shalat sunah, bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasulallah hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar, buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.

Ketiga: Perkiraan penulis madzhab Wahabi tadi selain tidak sesuai dengan bukti-bukti (qarinah) yang ada, juga apa yang ia perkirakan dan yang di pahaminya tidak lebih baik dari apa yang dipahami oleh pribadi agung seperti Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Syarah Bukharinya. Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani berkaitan dengan hadits tadi mengatakan:a. “Dalam hadits ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat dirumahnya dan Nabi pun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul Bari 1/469)
b. Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)
Keempat: Taruhlah benar –jika kita terpaksa ‘bertoleransi’ dengan pendapat penulis Wahabi tersebut– apa yang dinyatakan oleh penulis Wahabi yang berkaitan dengan hadits Rasul dari sahabat ‘Atban tadi, maka bagaimana menurut para pengikut Wahabi berkaitan dengan banyak riwayat lain yang berkaitan dengan para sahabat seperti pada kasus yang dapat kita lihat diantaranya pada riwayat-riwayat berikut ini:
a. Dari Anas bin Malik; Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasulallah datang ke rumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasul) sebagai mushalla. Lantas Rasul pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air, lantas Rasul melaksanakan shalat di atasnya yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).
b. Dari Anas bin Malik; Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lantas berkata kepada Nabi: “Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk makan dan shalat”. Dan (Anas) berkata: Lantas beliau datang ke rumah sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Lantas beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau melakukan shalat, lantas kami pun mengikutinya. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756, atau dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad, atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)
Hadits-hadits di atas jelas menyatakan inginnya pengambilan barokah dari Rasulullah saw, pada tempat sholat mereka, tidak seperti hadits ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani. Hadits-hadits semacam itu (Hadits ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab para imam ter- kemuka lainnya.
Lantas giliran kita kembali bertanya kepada pengikut sekte Wahabi: Apakah tujuan Shahabiyah Ummu Sulaim agar kaum muslimin melakukan shalat berjama’ah di rumahnya bersama Rasulallah sebagaimana tujuan sahabat ‘Atban yang telah meminta Nabi saw. shalat di rumahnya, untuk menunjukan arah kiblat? Apakah ada tujuan lain yang dapat kita lihat dalam fenomena Ummu Sulaim selain tabarruk (mencari berkah) dari Rasulullah saw? Apakah paman sahabat Anas tadi –yang tentunya pengelihatannya masih kuat– juga bertujuan sama seperti sahabat ‘Atban yang pengelihatannya sudah lemah, untuk mengetahui dan memastikan arah kiblat?
Jika tujuan mereka bukan untuk mengambil berkah dari tempat shalat Nabi bahkan ingin menjelaskan kepada Rasulallah saw. akan ketidakhadirannya di shalat jama’ah Rasul, apakah tidak cukup sekedar memberitahu (meminta izin) Rasulallah akan penyebab ketidakhadirannya di masjid untuk melakukan shalat jama’ah karena adanya uzur atau terdapat kepentingan lain sehingga diketahui oleh Nabi? Mengapa mereka malah meminta Rasulallah saw. melakukan shalat di bagian tertentu dari rumahnya sehingga mereka nantinya juga akan shalat di tempat tersebut?
Ada sebagian golongan Wahabi berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh yang keluar dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak, walaupun masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan, namun wilayah dan tempat bangunan asli masjid Nabawi masih terjaga (tidak berpindah lokasinya) dan dapat dikenali oleh banyak orang. Ditempat-tempat bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para sahabat beliau melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan turut melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart Ahlusunah wal jama’ah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain masjidil Haram tentu- nya. Riwayat-riwayat semacam itu akan banyak kita dapati dalam buku-buku hadits terkemuka Ahlusunnah. Tentu di sini kita tidak akan menyebutkan hadits-hadits atau bukti sejarah karena mengingat banyaknya halaman dibuku ini.


  • Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:
“Jika seseorang tinggal di Makkah, Madinah ataupun Syam untuk meng harap berkah dari Allah dari tempat tersebut, baik dari sisi berkah rizki mau pun menghindari fitnah maka ia akan diberi kebaikan yang banyak. Namun jika seseorang melampaui batas dalam bertabarruk dengan cara menyentuh-nyentuh tanah, batu, pohon-pohonan yang ada di daerah tersebut atau meletakkan tanahnya di air untuk pengobatan atau semisalnya maka hal itu akan menyebabkan dosa, bukan pahala. Karena ia telah melakukan tabarruk yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul dan para generasi pertama Islam”. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 42).

  • Jawabannya:


Untuk menjawab isu sekte Wahabi dalam masalah ini, mari kita perhatikan poin-poin di bawah ini:
Dalam kajian yang lalu telah kita sebutkan bahwa, para sahabat yang ter- golong Salaf Sholeh telah sering melakukan pengambilan berkah dengan mengusap-usap mimbar Rasulallah sembari berdo’a. Sahabat Ibnu Umar mengusap bekas tempat duduk Rasulallah di atas mimbar kemudian meng- usapkan kedua telapak tangannya ke raut mukanya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, termasuk Rasulallah saw. telah mengusap-usap kepala dan badan seseorang sembari mendo’akannya yang menunjukkan bahwa terdapat kekhususan dalam usapan beliau saw. Karena jika tidak, maka do’a Rasul untuk kesembuhan mereka saja sudah cukup, kenapa mesti harus pakai mengusap-usap anggota tubuh seseorang?
Apa tujuan Rasulallah saw. melakukan hal tersebut kalau bukan mem- berikan barakah yang beliau miliki, hasil karunia khusus Ilahi yang diberikan kepada setiap kekasih-Nya? Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sekali riwayat-riwayat yang ada. Di sini kita akan sebutkan beberapa dari riwayat tersebut sebagai contoh saja:
a. Ummul Mukminin Aisyah ra. pernah menyatakan: “Sesungguhnya Nabi pernah membaca do’a perlindungan untuk sebagian keluarganya dengan mengusap tangan kanannya sembari mengucapkan do’a: ‘Ya Allah, Tuhan manusia, jauhkanlah bencana (darinya). Sembuhkanlah ia, karena Engkau Maha penyembuh. Tiada obat selain dari-Mu. Obat yang tidak menyisakan penyakit…’ ” (Sahih Bukhari jilid:7 halaman: 172)
b. Dari Abi Hazim mengatakan; aku mendapat kabar dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah saw. pada perang Khaibar bersabda: “Akan aku serahkan panji (bendera perang) ini besok kepada seseorang yang Allah akan membuka (pertolongan-Nya) melalui kedua tangan orang tersebut. Dia (orang tadi) adalah seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah beserta Rasul-Nya pun mencintainya”. Ia (perawi) berkata: “Akhirnya orang-orang begadang untuk menunggu siapakah gerangan yang akan di anugerahi panji tadi. Ketika pagi telah tiba, orang-orang mendatangi untuk mengharap dianugerahi kemuliaan tadi”. Perawi berkata: Rasul bersabda: ‘Dimanakah Ali bin Abi Thalib?’. Dijawab: ’Ada wahai Rasul. Ia sedang sakit mata’. Rasulallah bersabda: ‘Datangkanlah ia’! Lalu di datangkanlah Ali. Kemudian Rasulallah memberikan ludahnya ke mata Ali sembari mendo’a- kannya. Sembuhlah penyakitnya seakan tidak pernah mengalami sakit. Kemudian Rasulallah memberikan panji tersebut kepada Ali”. (Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 333; as-Sunan al-Kubra karya Nasa’i jilid 5 hal. 46/108; Musnad Abi Ya’la jilid 1 hal. 291; al-Mu’jam al-Kabir karya Tabrani jilid 6 hal. 152 dan kitab Majma’ az-Zawa’id jilid: 6 halaman: 150).
c. As-Samhudi berkata: “Dahulu, jika Rasulallah dikeluhi oleh seseorang akibat luka atau borok, lantas beliau mengatakan ungkapan tersebut pada jarinya sembari meletakkan jempol (tangan) beliau ke tanah, kemudian meng angkatnya dengan mengungkapkan: ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan debu tanah kami, dan dengan ludah sebagian dari kami, akan disembuhkan penyakit kami. Dengan izin Allah’ ”. (Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal. 69. penjelasan semacam ini juga akan kita dapati dalam hadits Sahih Bukhari jilid 7 hal. 172 dari Ummul Mukimin Aisyah dengan sedikit perbedaan redaksi)
Dalam banyak hadits juga disebutkan bahwa tanah Madinah memiliki keberkahan khusus dari Allah untuk kesembuhan penyakit. Itu semua berkat keberadaan Rasulallah saw. bersama para kekasih Allah , baik dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan para manusia sholeh lainnya. Kita akan melihat beberapa contoh saja dari hadits-hadits Rasulallah saw. tersebut:a. Rasulallah bersabda: “Debu Madinah menjadi pengobat dari penyakit sopak” (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)
b. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya melalui debunya (Madinah) menjadi penyembuh dari segala penyakit”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)
c. Rasulallah bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya tanahnya (Madinah) adalah pengaman dan penyembuh penyakit sopak”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 hal. 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)
Jika tanah Madinah secara umum memiliki keberkahan semacam itu maka bagaimana dengan tanah di sisi pusara Rasulallah saw. yang disitu jasad suci beliau saw. –makhluk Allah termulia dikebumikan? Lantas salahkah (tergolong bid’ah atau syirik) dan tidakkah sesuai dengan ajaran (hadits) Rasulallah jika ada seseorang yang mengambil tanah Madinah untuk mengambil berkah darinya, baik untuk mengobati penyakitnya, atau sekedar disimpan untuk bertabarruk? Mana yang sesuai dengan ajaran Rasul; orang yang bertabarruk dengan tanah Madinah, ataukah yang menyatakan bahwa bertabarruk terhadap tanah semacam itu tergolong bid’ah atau syirik, sebagaimana yang diaku oleh kelompok Wahabi?
Ini semua menjadi bukti bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan beberapa kemuliaan kepada beberapa tempat, yang kemudian disakralkan oleh masyarakat muslim. Madinah beserta tanahnya tergolong tempat yang di muliakan oleh Allah swt. dengan anugerah khusus semacam itu. Sehingga di sakralkan oleh kaum muslimin, sesuai dengan apa yang diungkapkan melalui lisan suci Rasulullah saw. Jika Nabi sendiri –sebagai makhluk Allah termulia, pembenci Syirik nomer wahid– menjadikan tanah mulia penuh berkah kota Madinah sebagai sarana (wasilah) pengobatan (tabarruk), apakah pengikut beliau dapat divonis bid’ah atau syirik ketika mengikuti ajaran dan saran beliau saw. tadi?
Jika tanah Madinah dinyatakan sebagai penuh berkah karena Rasulallah pernah hidup di sana dan dikebumikan di situ, lalu bagaimana dengan Hajar Aswad, rukun-rukun (pojok-pojok) yang berada di Ka’bah, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, gua Hira’ dan gua Tsur yang semua adalah tempat-tempat sakral dan bersejarah buat Nabi dan orang-orang yang mencintai junjungannya tersebut? Apakah ketika bertabarruk dari tempat-tempat semacam itu lantas divonis dengan bid’ah dan syirik, sebagai mana kita lihat perbuatan kelompok sekte Wahabi terhadap kaum muslimin dari pelosok dunia yang menjadi tamu Allah d haramain? Mengapa kaum Wahabi melarang dengan keras orang yang ingin ‘menyentuh’, ‘mengusap’ dan ‘mencium’ hal-hal sakral tadi untuk bertabarruk, dengan alasan bid’ah dan syirik, atau alasan karena tidak ada contoh langsung dari Rasulallah?, padahal banyak sekali contoh dari Rasulallah saw. dan salaf Sholeh!! Siapakah sekarang yang bid’ah, golongan muslimin yang mengikuti sunnah Rasulallah saw. atau golongan pengingkar ini?
Sayang, madzhab Salafi (baca.Wahabi) dan pengikutnya merasa paling benar dan paling mengerti dalam hukum syari’at. Semoga Allah swt. memberi hidayah kejalan yang benar kepada kaum muslimin. Amin


  • Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

Salaf Sholeh telah melarang pengambilan berkah dan penghormatan yang berlebihan terhadap mereka. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas, ats-Tsauri, Ahmad dan sebagainya. Imam Ahmad pernah berkata: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? ‘Pergilah dan tulislah hadits’!. Dan sewaktu beliau ditanya tentang sesuatu maka akan menjawab: ‘Bertanyalah kepada ulama’!. Ketika ditanya tentang penjagaan diri (wara’) beliau mengatakan: ‘Haram buatku berbicara tentang wara’, jika Byisr hidup niscaya ia akan menjawabnya’. Beliau juga pernah ditanya tentang ikhlas, lantas menjawab: ‘Pergilah kepada orang-orang zuhud! Kami memiliki apa sehingga kalian datang kepada kami?’. Suatu saat seseorang datang kepada nya dan mengusapkan tangannya ke bajunya dan kemudian mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Imam Ahmad marah dan mengingkari hal tersebut dengan keras sembari berkata: ‘Dari siapa engkau mengambil perkara semacam ini’ (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 86).


  • Jawabannya:

Untuk menjawab isu penulis madzhab Salafi/Wahabi di atas, hendaknya kita perhatikan beberapa poin di bawah ini:
Terbukti bahwa ternyata penulis Wahabi tadi memahami sesuatu hal yang berbeda dengan kenyataannya. Apa yang dilakukan para imam madzhab tadi dalam mengingkari tabarruk orang-orang terhadap dirinya, bukan berarti pengingkaran mereka terhadap keyakinan tabarruk itu sendiri. Harus dibeda- kan antara mereka melarang orang bertabarruk kepada dirinya, dengan dari semula menentang keyakinan tabarruk. Sebagaimana yang sudah kita jelaskan bahwa, para imam madzhab itu sendiri telah melakukan tabarruk.

Dan apa yang disunting oleh penulis Wahabi tadi tidak lain adalah tergolong sikap ‘rendah diri’ (tawadhu’) para imam madzhab tadi, terkhusus berkaitan dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dimana kita tahu bahwa ‘tawadhu’’ me- rupakan salah satu bentuk dan sikap nyata dari setiap ulama yang sholeh. Terbukti bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menvonis orang yang ber- tabarruk terhadapnya dengan sebutan-sebutan pengkafiran sebagaimana yang dilakukan oleh sekte (Wahabisme) yang konon mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dari sisi metode (manhaj) dan pola pikir, serta sepak terjangnya. Itu semua karena para ulama madzhab tahu bahwa tabarruk bukan ter- golong prilaku syirik ataupun bid’ah yang harus disikapi tegas dengan bentuk pengkafiran, seperti yang dilakukan sekte Wahabi. Dengan bukti lain bahwa, mereka sendiri –sebagaimana yang telah kita singgung di urutan artikel tabarruk sebelumnya telah melakukan tabarruk terhadap para ulama dan manusia sholeh yang hidup sezaman atau sebelum mereka. Bahkan sebagian mereka telah bertabarruk terhadap kuburan para ulama dan manusia sholeh.
Kalaulah ungkapan Imam Ahmad tadi tidak diartikan sebagai sikap tawadhu’ beliau, bahkan diartikan dengan sebenarnya, maka ungkapan beliau seperti: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? Pergilah dan tulislah hadits’! atau ungkapan beliau; ‘Bertanyalah kepada ulama’, meniscayakan bahwa kita (kaum muslimin, juga pengikut sekte Wahabi) tidak perlu menjadikan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai rujukan, karena beliau bukan ulama. Namun terbukti bahwa, ternyata kelompok Wahabi pun yang selama ini ‘mengaku’ (konon) menjadikan Imam Ahmad sebagai panutannya, justru tidak konsisten terhadap ungkapan Imam Ahmad tadi. Lalu mana konsistensi kelompok Wahabi dalam memahami dan melaksanakan ungkapan Imam Ahmad?
Bila kita toleransi lagi dengan sekte Wahabi dan membenarkan pendapat mereka bahwa Imam Ahmad bin Hanbal melarang orang bertabarruk dengan pribadi orang, maka larangan Imam Ahmad itu pun terbantah dengan banyak hadits shohih yang telah kami kemukakan di atas yang melegalkan Tabarruk, termasuk Imam Ahmad sendiri ikut meriwayatkannya. Jadi yang benar ialah Imam Ahmad tidak mengharamkan Tabarruk tetapi yang melarang Tabarruk itu ialah imam dari sekte Wahabi dan pengikutnya itu sendiri dengan meng- atas namakan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah!
Entah dalil mana lagi yang dijadikan argumen oleh golongan pengingkar dalam menyatakan kesyirikan dan kebid’ahan prilaku tabarruk atau tawassul Mereka tidak memiliki argumen apa pun berkaitan dengan hadits, riwayat, maupun bukti sejarah, apalagi al-Quran yang membuktikan bahwa tabarruk adalah perbuatan bid’ah maupun syirik!!
Dari sini jelas sekali bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan kesakralan khusus kepada beberapa obyek tertentu dari makhluk-Nya agar manusia menjadikannya sebagai sarana tabarruk atau tawassul. Dan terbukti bahwa Nabi Muhammad bin Abdillah saw. bukan hanya tidak melarang, bahkan beliau sendiri telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana melakukan tabarruk dari obyek-obyek sakral tadi. Dan ajaran itu berjalan terus dari generasi ke generasi hingga kita sekarang ini.
Walaupun kajian kita secara khusus berkaitan dengan tabarruk, namun dari seri kajian tabarruk ini pun kita juga telah bisa menetapkan secara global bahwa, obyek tabarruk dapat kita jumpai pada berbagai bentuk, seperti:
1- Tempat; seperti; Kota Madinah, Arafah, Muzdalifah, Mina, gua Hira, gua Tsur, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, atau makam-makam orang sholeh…dsb.nya

2- Benda; seperti; Mushaf Al-Quran, semua penginggalan Nabi, Sahabat, Ulama dan manusia sholeh lainnya…dsb.nya.
3- Orang/pribadi agung; seperti; mengenang manusia-manusia mulia dari para nabi, syuhada’, shalihin berkaitan dengan zaman kelahiran, wafat atau momen-momen penting dalam sejarah hidup mereka…dan sebagainya. Atas dasar itu para pecinta Rasul sering membaca berbagai bentuk shalawat dan puji-pujian untuk Rasul, seperti tercantum didalam kitab-kitab Maulid Diba’, Burdah, Barzanji, Shalawat Badr…dan sebagainya.
4- Waktu; seperti; waktu-waktu yang disakralkan oleh Allah secara langsung atau yang berkaitan dengan momen khusus kehdupan manusia kekasih Ilahi. Atas dasar itu kaum muslimin memperingati acara-acara seperti; Maulid Nabi, Isra’ mi’raj, Nuzulul Quran…dan sebagainya. Wallahu A’lam.
Dengan contoh riwayat-riwayat di atas ini cukup bagi kita bahwa tabarruk atau tawassul itu mustahab/baik malah menjadikan do’a dan amalan kita lebih cepat diterima oleh Allah swt. Orang-orang yang mengingkari atau menyesatkan amalan tersebut tabarrruk, tawassul merekalah yang membuat bid’ah yang menyembunyikan hadits-hadits shohih atau memutar- balik maknanya tentang perbuatan-perbuatan sahabat baik dizaman hidup- nya Rasulallah saw atau sesudah wafatnya atau perbuatan para salaf yang telah kami kemukakan dibuku ini.
Perbuatan-perbuatan para sahabat mengenai tabarruk, tawassul pada waktu beliau saw. masih hidup tidak ditegur atau dilarang oleh Nabi malah diridhai oleh beliau saw. Begitu juga perbuatan para sahabat dan istri Nabi saw. setelah wafatnya beliau saw. juga tidak ada sahabat lainnya yang mencela, mensyirikkan perbuatan mereka. Demikian pula perbuatan antara para ulama pakar yang telah kami kemukakan juga! Renungkanlah!
Memang golongan pengingkar ini tidak bisa membedakan antara tabarruk, tawassul, ta’dzim dengan penyembahan atau pengkultusan. Dengan peng- haraman, pensyirikan mereka tentang masalah ini, seakan-akan mereka ini merasa lebih pandai, taqwa dan lebih mengetahui syari’at Islam dibanding- kan dengan Rasulallah saw., para kerabat, para sahabatnya serta para ulama pakar yang melakukan tawassul, tabarruk , ta’dzim dan sebagainya! Saya berlindung pada Allah dalam hal ini.
Begitu juga tidak ada terlintas dipikiran orang-orang muslimin bahwa mereka menyembah Ka’bah, karena ruku’, sujud menghadap bangunan batu tersebut atau menyembah hajar aswad karena mencium dan mengusap-usapnya atau meyembah kuburan karena berdiri khidmat dihadapan kuburan atau mencium kuburan itu. Bila ada seorang muslim yang berkeyakinan bahwa dia beribadah demi karena Ka’bah, Hajar Al-Aswad dan kuburan, maka akan hancurlah keimanan dan ke Islamannya.
Jadi yang penting semuanya disini adalah keyakinan atau niat dalam hati, karena semua amal itu tergantung pada niatnya Apa salahnya bila orang ingin mencium, mengusap kuburan Rasulallah saw.atau para ahli taqwa lainnya, selama niat orang tersebut hanya sebagai ta’dzim, tabarruk bukan sebagai penyembahan?
Memang golongan pengingkar selalu mengarang-ngarang, menafsir, menyangka perbuatan seseorang seenaknya saja karena tidak sepaham dengan pendapatnya, seakan-akan mereka tahu niat didalam hati setiap orang.

Insya Allah dengan keterangan sederhana dan dalil-dalil mengenai tawassul, tabarruk yang cukup jelas ini dapat membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui amalan mana yang diridhoi oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semoga hidayah dan taufiq dari Allah swt., selalu dilimpahkan pada kaum muslimin. Amin. Insya Allah dengan adanya kutipan ini bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga khususnya dan semua kaum muslimin lainnya dan kita semua bisa melaksanakan amalan-amalan yang diridhoi-Nya, sehingga kita tidak mudah mencela kaum muslimin yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu tersebut mengusap-usap, mencium dan sebagainya bekas-bekas para Nabi, wali…. yang telah kami kutip dan kumpulkan sebagai perbuatan syirik, munkar atau sesat dan sebagainya! Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar