Sabtu, 31 Desember 2016

Aa Gym akidahnya menyimpang dari ahlussunnah.


Akidah aa gym menyimpang dari ahlussunnah.
Aa gym berkata : jika di tanya dimana Allah, jawabnya allah bersemayam di atas arsy.


Padahal Imam Abu Hanifah (ulama salaf) berkata :


أرأيت لو قيل أين الله فقال يقال له كان الله تعالى ولا مكان

Apakah kamu tidak tau, jika ditanya dimana allah, maka katakan padanya Allah ada dan tidak ada tempat. (Kitab al fiqhul akbar)


Lafal Istiwa’ dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh :

ﺛُﻢَّ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ


Artinya: “Kemudian Dia(Allah) menguasai ‘Arsy.”



MAKNA ISTAWA

MAKNA AYAT MUTASYABIHAT ?
 

( ثم استوى على العرش )

 
Lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
– Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil.
“…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
2. Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.
ulamak 4 mazhab tentang aqidah
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.

IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafie:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

Bersambung ….


AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH


MAKNA AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH ?

هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَ
Artinya:
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk dan lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya1 padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami…”
Pengertian Al-Muhkam wal Mutasyabih ?
Secara bahasa kata Muhkam berasal dari kata ihkam yang berarti kekukuhan , kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun secara pengertian ini pada dasarnya kata tersebut kembali kepada makna pencegahan[1].kata muhkam merupakan pengembangan dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqona wa mana’a yang berarti mengokohkan dan melarang.[2] Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal. Tasyabaha dan isyabaha berarti dua hal yang masig-masing menyerupai yang lainnya.[3]
Secara istilah (terminologi) para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabih. Di bawah ini ada beberpa definisi menurut Al-Zarqani :[4]

Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya. Yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabihat adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allohlah yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin madzhab Hanafi.
Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri yang tidak memerlukan keterangan. Mutasayabihat adalah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan. Kadang-kadang diterangkan melalui ayat atau keterangan lain pulakarena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad ra.
Mungkam adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat. Mutasyabihat ialah ayat yang menunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafalnya mujmal, musykil dll. Pendapat ini dibangsakan kepada imam al-Razi dan banyak peniliti yang memilihnya.

Dalil Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?
Dari beberpa pendapat di atas tidak lah terjadi perbedaan pendapat, tetapi malah diantaranya terdapat persamaan dan kedekatan makna.
Dalam Al-Qur’an, disebutkan kata-kata muhkam dan mutasyabih. Pertama, lafal muhkam , terdapat dalam Q.S. Hud: 1[5]
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه….
Artinya :”Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya…”.
Kedua, lafal mutasyabih terdapat dalam Q.S. Zumar : 23[6]
…كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ….
Artinya :” …(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutasyabih) lagi berulang-ulang….”
Ketiga, lafal muhkam dan mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran : 7[7]
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَ
Artinya:
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk dan lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya1 padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami…”
Pengertian Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat ?
Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyabih sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkam dan mutasyabih. J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat). Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut. yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.[8]
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat mutasyabihat sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.[9]

Pendapat Para Ulama

Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat Mutasyabih dapat dibagi 3 ( tiga ) macam :[10]

Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat mengetahui maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hari kiamat, hal-hal gaib, hakikat dan sifat-sifat zat Allah. Sebagai mana Firman Alloh dalam QS. Al-An’am :59

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ……
Artinya : “dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri…..

Ayat-ayat yang setiap orang bias mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat : Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutannya, dan seumpamanya QS An-Nisa :3

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ…
Artinya : “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap ( hak-hak ) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita…”.

Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para Ulama tertentu dan bukan semua Ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid.

Tentang perbedaan pendapat antara ulama khalaf dan ulama salaf mengenai ayat-ayat mutasyabihat dimulai dari pengertian, berbagai macam sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini, pembagian khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah As-Suyuti “ayat al-shifat” dan dalam istilah Shubi al-Shalih “mutasyabih al-shifat” ayat-ayat yang termasuk dalam katagori ini banyak[11]. Diantaranya : Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Artinya : Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Artinya : “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy”.
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.:

a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:

الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
Terjemahan: “Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya”.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Artinya : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[12]

b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Hikmah adanya Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?
Al-Quran adalah rahmat bagi seluruh alam, yang didalamnya terdapat berbagai mukzijat dan keajaiban serta berbagai misteri yang harus dipecahkan oleh umat di dunia ini. Alloh tidak akan mungkin memberikan sesuatu kepada kita tanpa ada sebabnya. Di bawah ini ada beberapa hikmah tentang adanya ayat-ayat muhkan dan mutasyabih, diantara hikmahnya adalah :

Andai kata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan padamlah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan[14].

لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Terjemahan: “Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Fushshilat [41]: 42)

Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga kita akan terhindar dari taklid, membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
Ayat-ayat Mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya, sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.[15]
Jika Al-Quran mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan sebagainya. Apabila ayat-ayat mutasyabihat itu tidak ada niscaya tidak akan ada ilmu-ilmu tidak akan muncul.

Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muhkam dan mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.
[1] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 81
[2] http://www.muhkamdanmutasyabihatfile”PDF”.com
[3] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 81
[4] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 83
[5] M. Hasby Ash Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Quran ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1993) hlm 166
[6] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 82
[7] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 82
[8] http://www.muhkamdanmutasyabihatfile”PDF”.com
[9] M. Hasby Ash Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Quran ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1993) hlm 169
[10] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 88-89
[11] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 90-91
[12] http://www.muhkamdanmutasyabihatfile”PDF”.com
[13] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 97
[14] Syaih Muhammad Jamil, Bagaimana Memahami Al-Quran (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1995) hlm 121
[15] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm 111.


Semoga bermanfaat.