Ada sebagian kelompok yang sengaja memecah belah umat Islam dengan cara
membesar-besarkan istilah bid’ah yang dituduhkan kepada kelompok yang
lain
Pembaca yang budiman, kita sangat prihatin dengan perpecahan
umat Islam karena tafsir bid’ah, padahal persoalan umat Islam sangat
banyak yang belum terselesaikan. Perpecahan ini perlu mendapat perhatian
serius dari semua pihak, terutama para ulama, kiai, ustad, pemuka
agama, karena dari lidah merekalah sumber timbulnya permasalahan.
Sebaliknya dari lidah beliau juga umat memperoleh ketenangan, kedamaian
bila lidah beliau bijaksana.
Perpecahan umat karena tafsir bid’ah
ini sangat jelas terjadi di masyarakat kita. Ada sebagian kelompok yang
sengaja memecah belah umat Islam dengan cara membesar-besarkan istilah
bid’ah yang dituduhkan kepada kelompok yang lain. Kelompok yang dituduh
melakukan bid’ah tidak bisa menerima karena istilah bid’ah itu dosa
besar yang hukumannya adalah neraka.
Mereka yang dituduh bid’ah
itu adalah para ulama, ustad, kiai, orang saleh, orang baik, tidak
syirik, tidak kafir, tidak munafik, tidak fasik, tidak berbuat
kejahatan, tidak menyakiti orang, hatinya bersih, amalnya banyak,
mengurus anak yatim, mengurus fakir miskin, menyayangi manusia dan
setumpuk kebaikan lainnya. Boleh jadi dihadapan Allah yang menuduh
bid’ah (masuk neraka) itu tidak sebaik mereka yang dituduh.
Sebagai manusia normal, yang dituduh bersalah karena bid’ah (masuk
neraka) tentu tidak bisa menerima. Bila keadaan ini dibiarkan terus
kemungkinan akan menimbulkan kesalahfahaman yang bisa membahayakan
persatuan, menebar kebencian, merusak benih-benih persaudaraan diantara
sesama umat Islam. Hal ini akan dimanfaat oleh kelompok yang tidak suka
dengan persatuan umat Islam. Mereka yang tidak suka dengan persatuan
Islam ini bisa dari kalangan umat Islam sendiri apalagi di luar Islam.
Sebenarnya istilah bid’ah tidak ada dalam Al Qur’an, istilah ini ada di
dalam hadist. Para ulama berbeda pandangan dalam menafsirkan istilah
bid’ah ini. Yang menjadi pertanyaan kita mengapa istilah bid’ah ini
menjadi prioritas untuk menyudutkan kelompok Islam lain dengan memvonis
masuk neraka? Padahal tidak ada satu orangpun yang mengetahui yang siapa
yang masuk neraka atau surga.
Yang sangat ironi terjadi di
masyarakat, ada sebagian orang takut belajar membaca Al Qur’an, sangat
membenci bila ada orang yang membaca Al Qur’an. Ketakutan dan kebencian
ini tumbuh karena pemahaman istilah bid’ah yang keliru yang ditanamkan
oleh sebagian ustadz.
Lebih jauh dari itu, ada yang takut
bersalaman, takut membaca istighfar, takut membaca tasbih, takut membaca
tahlil, takut melaksanakan shalat karena dianggap tidak ada hadisnya.
Mereka tidak mau datang bila diundang muslim lain untuk membaca Al
Qur’an, bagi mereka lebih baik menghadiri undangan non muslim untuk
makan-makan atau pesta.
Yang lebih ironi lagi saat seorang muslim
tertimpa musibah, kemudian keluarganya berdo’a dan membaca Al Qur’an,
sebagian muslim yang ada di sekitarnya ketakutan dan membenci hadir di
tempat yang terkena musibah. Sedangkan yang non muslim datang menghadiri
dan turut serta pada acara pembacaan Al Qur’an itu. Ketakutan dan
kebencian tersebut disebabkan kesalah fahaman tentang tafsir bid’ah.
Sehingga mengorbankan persatuan dan persaudaraan sesama muslim.
Sebagian besar umat Islam sangat patuh kepada ustadZ atau ulamanya, hal
ini sering kali menimbulkan ketaatan berlebihan dan militansi buta. Akal
pikir yang sehat sering kali terbelenggu karena ketaatan buta ini.
Dalam benak seorang muslim istilah bid’ah hukumannya adalah neraka,
karena itu muslim yang awam akan sangat ketakutan dan trauma mendengar
istilah ini.
Ketakutan dan trauma Bid’ah ini bisa dipergunakan
untuk memecah belah umat Islam. Inilah kesalahfahaman yang terjadi
dikakangan umat Islam. Istilah bid’ah yang multi tafsir itu dapat
menyebabkan umat Islam semakin terpuruk.
Padahal seharusnya umat
Islam memperjuangkan perintah Allah dalam Al Qur’an bukan
membesar-besarkan istilah bid’ah yang tidak ada dalam Al Qur’an.
Perintah Al Qur’an itu ialah membangun persatuan dan persaudaraan umat
Islam sebagaimana frimanNya :
“Dan berpeganglah kamu semua pada
tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada diteapi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. “ QS. 3
(Ali Imran): 103
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah
bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua Saudaramu dan
bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat“ QS 49 (Al
Hujuraat): 10
Bila kita merenungkan ayat ini dengan hati yang
jernih maka kita akan memahami bahwa: Orang-orang memperjuangkan
persatuan dan persaudaraan sesama muslim, mereka itulah orang yang benar
imannya sebaliknya orang merusak persatuan dan persaudaraan sesama
muslim perlu dipertanyakan keimanannya.
Membangun persaudaraan
sesama muslim adalah perintah Allah yang wajib diwujudkan, sedangkan
istilah bid’ah tidak ada dalam Al Qur’an, istilah ini bisa memecah belah
umat Islam bila keliru pemahamannya.
Para ulama panutan kita
yaitu Imam Sayafii, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi, mereka
sering berbeda pandangan mengenai berbagai hal. Tetapi mereka tidak
pernah menuduh salah satunya berbuat bid’ah (masuk neraka). Mengapa kita
saling menyerang dengan istilah bid’ah padahal ilmu kita tidak sehebat
beliau.
Yang perlu kita pahami, didunia ini terdapat ribuan ulama
yang memiliki ilmu agama yang luar biasa tetapi diantara mereka
memiliki perbedaan dalam menafsirkan istilah bid’ah ini. Karena itu
tidak wajar kiranya bila kita hanya mengikuti satu atau dua ulama saja
yang kebenarannya tidak seperti kebenaran Al Qur’an.
Semua ulama
harus kita hargai pandangannya mungkin ada hal-hal yang baik didalamnya.
Inilah yang disebut perbedaan adalah rakhmat. Kita tidak bisa
berpedoman pada satu atau dua ulama saja sebagai kebenaran mutlak,
karena ulama bukan nabi. Perbedaan penafsiran ulama sangat wajar karena
mereka memiliki pengetahuan yang tidak sama, ada yang kurang ada yang
lebih, ada ulama yang bersih hatinya, ada juga yang kotor hatinya.
Yang menjadi masalah yaitu ulama atau ustadz yang kurang ilmunya
mengajarkan tafsir bid’ah yang keliru kepada masyarakat awam. Kemudian
masyarakat awam tadi berusaha sekuat tenaga mencari pengikut dan menuduh
bid’ah (masuk neraka) kepada orang lain. Tuduhan ini sangat menyinggung
perasaan karena istilah bid’ah itu adalah kesesatan yang hukumannya
neraka. Tuduhan bid’ah dan masuk neraka inilah yang akan memecah belah
umat Islam.
Kita semua memahami bahwa umat Islam wajib berpedoman
kepada Al Qur’an dan Hadist Rasulullah. Kita juga perlu memahami
tingkatan, kedudukan dan perbedaan keduanya. Kedudukan tertinggi dan
utama adalah Al Qur’an dan yang kedua adalah Hadis. Al Qur’an menjadi
rujukan utama, bila ada yang tidak jelas maka diperlukan penjelasan
hadis. Bila ada hadis yang bertentangan dengan isi Al Qur’an maka yang
dijadikan rujukan utama adalah Al Qur’an. Kedudukan hadist yang
bertentangan dengan Al Qur’an perlu dikaji ulang kebenarannya. Kedudukan
hadist tidak sejajar dengan Al Qur’an. Bila kedudukan hadist
disejajarkan dengan Al Qur’an maka orang bisa berpegang kepada hadist
saja tanpa Al Qur’an sekalipun hadist tadi bertentangan dengan Al
Qur’an. Bila hal ini terjadi maka akan menimbulkan permasalahan baru
yang berakibat pada perpecahan umat Islam.
Contohnya adalah
tafsir bid’ah. Istilah ini berasal dari hadist bukan Al Qur’an. Kemudian
istilah bid’ah ini bisa ditafsirkan beraneka ragam oleh para ulama.
Sebagai umat Islam tentu menghargai dan menjujung tinggi pandangan para
ulama, karena melalui merekalah kita belajar, memperoleh ilmu, kita
wajib menghormati para ulama dan mendo’akannya, kita wajib mendukung
sepenuhnya. Sebagai umat Islam yang berpedoman kepada Al Qur’an dan
hadist kita harus bisa menempatkan kedudukan Al Qur’an, Al Hadist,
tafsir ulama, dan pandangan lainnya secara tepat. Bila tidak tepat
menempatkan kedudukannya maka akan menimbulkan masalah bagi umat.
Keberpihakan yang berlebihan dan melampaui batas kepada ulama tertentu
dan merendahkan, mengolok-olok ulama atau muslim yang lainnya bisa
membahayakan persatuan dan persaudaraan umat Islam. Karena itu Al Qur’an
mengingatkan agar kita tidak merendahkan orang lain, boleh jadi mereka
yang direndahkan lebih baik dari yang merendahkan, sebagaimana
firmanNya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk “ QS. An Nahl ( 16 ) : 125
“Hai
orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olokkan) …”
“Hai orang beriman jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain …. “ QS. Al
Hujuraat ( 49 ) : 11 – 12
“….Dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar“ QS. Al Anfaal ( 8 ): 46
Bila diantara umat Islam saling
munuduh bid’ah, membenci, menghina, memvonis masuk neraka, maka
tunggulah kehancurannya, umat lain akan bergembira dan menjadikan
tafsir bid’ah sebagai alat memecah belah umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar