Tulisan berjudul "Titik Temu Wahabi-NU" yang ditulis KH. Ali Mustafa Yaqub, ulama NU sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal dimuat di Republika, pada Jumat, 13 Februari 2015, 14:00 WIB .
Tulisan tersebut tidak lain merupakan salah satu usaha untuk memupuk persatuan umat Islam, khususnya dengan kalangan Wahhabi yang terkenal ekstrim pemahamannya. Berkaitan dengan tulisan itu, KH. Sholahuddin Wahid atau Gus Solah memberikan penilaian bagus terhadap tulisan tersebut.
"Tulisan bagus. Beliau alumni Tebuireng ", tulis Gus Solah diakun twitternya. (14/2/2015)
Dalam tulisannya, KH. Ali Mustofa Ya'kub berusaha memperpendek jarak NU dan Wahabi dengan pendekatan yang sedikit berbeda dalam memahami siapa "Wahabi" dan siapa yang diikuti oleh mereka.
Menurut Kyai Ali, titik temu NU-Wahabi, pertama; sedikitnya perbedaan antara Ibnu Taimiyah, dan muridnya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah yang dianggap sebagai ulama yang menjadi rujukan kalangan Wahhabi dengan ulama NU. Tetapi sebenarnya pengikut Wahabi tidak selalu merujuk kepada kedua ulama Hanbali tersebut.
Kedua, menurut Kyai Ali, sumber hukum syari'at Islam yang dipakai oleh Wahhabi adalah al-Qur'an, al-Hadis, Ijma, dan Qiyas. Artinya Wahhabi yang dimaksud adalah yang mengakui qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Ketiga, wahhabi dianggap sebagai pengikut madzhab Hanbali. Artinya wahhabi yang bermadzhab, tetapi kenyataannya pengikut wahhabi tidak bermadzhab (al-laa madzhabiyyah)
Keempat, wahabi yang dimaksud adalah wahabi yang memercayai adanya siksa kubur, syafa'at Nabi dan orang saleh pada hari kiamat nanti. Dalam hal ini memang tidak ada beda dengan Aswaja NU.
Kelima, wahabi yang dimaksud adalah wahabi yang shalat Jumat dengan dua kali adzan dan shalat Tarawih 20 rakaat. Sebab yang demikian itu berlaku di Arab Saudi, tetapi pengikut wahhabi di Indonesia ternyata berbeda dengan yang di Saudi.
Keenam, wahabi yang dimaksud adalah wahhabi yang membenarkan tawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh) dan tidak menganggapnya sebagai kesyirikan.
Ketujuh, wahhabi yang dimaksud adalah wahhabi yang memercayai adanya karamah para wali (karamat al-awliya) tanpa mengultuskan mereka.
Lalu bagaimana dengan ajaran ulama wahhabi seperti Syaikh al-Albani, Syaikh al-Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Fauzan, Syaikh Jamil Zainu, Syaikh Rabi', Syaikh dan sebagainya. Mereka tersebut yang justru banyak dijadikan rujukan pengikut wahhabi sekaligus menjadikan sesama pengikut wahhabi saling menghujat.
Bila wahabi yang dimaksud adalah seperti yang dijabarkan oleh KH. Ali Mustofa Ya'kub, maka wahabi yang 'beredar di pasar' Indonesia saat ini adalah wahhabi yang sudah melenceng dari yang ada di Saudi.
Berikut tulisan KH. Ali Mustofa Ya'kub di Republika yang dimasukkan dalam kolom Opini:
Titik Temu Wahabi-NU
Jumat, 13 Februari 2015, 14:00 WIB
Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi mengusulkan agar kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di Indonesia. Hal itu karena selama ini dikesankan bahwa paham Wahabi yang dianut oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi itu berseberangan dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia.
Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU. Banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari sumber-sumber lain yang bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebaliknya, banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi.
Akibatnya, sejumlah orang Wahabi hanya melihat sisi negatif NU dan banyak orang NU yang melihat sisi negatif Wahabi. Penilaian seperti ini tentulah tidak objektif, apalagi ada faktor eksternal, seperti yang tertulis dalam Protokol Zionisme No 7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk menciptakan konflik dan kekacauan di seluruh dunia dengan mengobarkan permusuhan dan pertentangan.
Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca kitab-kitab yang menjadi rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan. Sementara untuk mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, kita harus membaca, khususnya kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah dan lain-lain. Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih dari 20 poin persamaan ajaran antara Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan imam Ibnu Taymiyyah. Bahkan, seorang kawan yang bukan warga NU, alumnus Universitas Islam Madinah, mengatakan kepada kami, lebih kurang 90 persen ajaran Nahdlatul Ulama itu sama dengan ajaran Wahabi.
Kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal yang selama ini dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi dan NU. Orang yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, maka ia tentu akan terkejut. Namun, bagi orang yang mengetahui Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, mereka justru akan mengatakan, "Itulah persamaan antara Wahabi dan NU, mengapa kedua kelompok ini selalu dibenturkan?"
Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan itu adalah sebagai berikut. Pertama, sumber syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU, adalah Alquran, hadis, ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh keduanya adalah hadis yang sahih kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir. Karenanya, baik Wahabi maupun NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi dan orang saleh pada hari kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu terdapat dalam hadis-hadis sahih.
Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat Islam, baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan shalat Tarawih 20 rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali, dan kami tidak menemukan shalat Tarawih di Saudi di luar 20 rakaat. Ketika kami coba memancing pendapat ulama Saudi tentang pendapat yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu sama dengan shalat Zhuhur lima rakaat, ia justru menyerang balik kami, katanya, "Bagaimana mungkin shalat Tarawih 20 rakaat itu tidak benar, sementara dalam hadis yang sahih para sahabat shalat Tarawih 20 rakaat dan tidak ada satu pun yang membantah hal itu." Inilah ijma para sahabat.
Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut satu mazhab dari mazhab fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU bermazhab salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Baik Wahabi (Imam Ibnu Taymiyyah) maupun NU (Imam Muhammad Hasyim Asy’ari), sama-sama berpendapat bahwa bertawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh) itu dibenarkan dan bukan syirik.
Kendati demikian, Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mensyaratkan bahwa dalam berdoa dengan tawasul menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh, kita tetap harus yakin bahwa yang mengabulkan doa kita adalah Allah SWT, bukan orang yang namanya kita sebut dalam tawasul itu. Wahabi dan NU sama-sama memercayai adanya karamah para wali (karamat al-awliya) tanpa mengultuskan mereka.
Memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara Imam Ibnu Taymiyyah dan Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun, perbedaan itu sifatnya tidak prinsip dan hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi dan NU.
Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah. Wahabi dan NU adalah dua keluarga besar dari umat Islam di dunia yang harus saling mendukung. Karenanya, membenturkan antara keduanya sama saja kita menjadi relawan gratis Zionis untuk melaksanakan agenda Zionisme, seperti tertulis dalam Protokol Zionisme di atas. Wallahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar