Mereka mengharamkan sholat di sisi kuburan
Berikut contoh lain dari mereka yang menuhankan pendapatnya sendiri atau menuhankan pendapat kaum mereka sendiri atau yang disebut dengan istibdad bir ro’yi yang dapat menjerumuskan mereka “menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah” (QS at-Taubah [9]:31 ) karena termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi yang diakibatkan memahami Al Qur’an dan As Sunnah lebih bersandarkan secara otodidak (upaya atau belajar sendiri) dengan muthola’ah (menelaah) kitab berdasarkan pemahaman secara ilmiah dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Mereka kurang memperhatikan alat bahasa seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun kurang memperhatikan ilmu fiqih maupun ushul fiqih.
Contoh kami dapatkan dari tulisan mereka pada http://www.facebook.com/note.php?note_id=255402607912628 atau pada http://tunasilmu.com/hukum-shalat-dan-berdoa-di-kuburan.html yang tercantum sebagai tulisan dari Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian ulama mengategorikannya dosa besar. Praktik ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah, agama kita melarang praktik tersebut. Amat banyak nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya:
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. (H.R. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiallahu ‘anhu)
Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”
***** akhir kutipan *****
Kemudian mereka juga menyampaikan dalil seperti
***** awal kutipan *****
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. (H.R. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma)
Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.|
***** akhir kutipan *****
Perkataan “bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat” adalah perkataan mereka sendiri karena tidak ada firman Allah Azza wa Jalla maupun perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mengharamkan sholat di kuburan.
Hal yang dilarang adalah sholat menghadap kuburan dalam arti menyembah kuburan.
Kesalahpahaman mereka terjadi karena mereka hanya berpegang pada makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dan mereka mengingkari makna majaz atau makna dibalik yang tertulis atau makna yang tersirat.
Kalimat seperti “jangan shalat menghadap kuburan” atau “terlarang shalat menghadap ke arah kuburan” adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya adalah “larangan menyembah kuburan”.
Sedangkan kaum muslim sholat menghadap kiblat. Tidak terlarang sholat menghadap kiblat walaupun searah dengan kuburan atau arah kiblatnya kebetulan menghadap kuburan. Sebaiknya jika memungkinkan kuburan dilewati dahulu sehingga sholat menghadap kiblat dan kuburan berada dibelakang untuk menghindari fitnah bagi orang lain yang melihatnya.
Silahkan lihat penjelasan dalam bentuk video pada http://www.youtube.com/watch?v=lDXulIV6q4k
Begitupula sabda Rasulullah “Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kuburan” maupun “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” (HR Muslim) bukanlah larangan sholat atau larangan membaca Al Qur’an di sisi kuburan.
Sabda Rasulullah yang artinya “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan” adalah kalimat majaz yang maksudnya adalah “jangan rumah kalian sepi dari sholat maupun membaca Al Qur’an” . Jadi kedua hadits tersebut tidak ada kaitannya dengan kuburan dalam makna dzahir namun kuburan dalam makna majaz yang artinya sepi.
Dengan mereka melarang sholat atau melarang membaca Al Qur’an di sisi kuburan maka mereka dapat termasuk orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah At Tamim An Najdi yang pernah menghardik Rasulullah karena mereka secara tidak langsung telah menghardik atau melarang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang melaksanakan sholat jenazah di sisi kuburan dan tentunya membaca Al Fatihah yang termasuk bacaan Al Qur’an.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَاتَ إِنْسَانٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَمَاتَ بِاللَّيْلِ فَدَفَنُوهُ لَيْلًا فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرُوهُ فَقَالَ مَا مَنَعَكُمْ أَنْ تُعْلِمُونِي قَالُوا كَانَ اللَّيْلُ فَكَرِهْنَا وَكَانَتْ ظُلْمَةٌ أَنْ نَشُقَّ عَلَيْكَ فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari Asy-Sya’biy dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bila ada orang yang meninggal dunia biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melayatnya. Suatu hari ada seorang yang meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya orang-orang memberitahu Beliau. Maka Beliau bersabda: Mengapa kalian tidak memberi tahu aku? Mereka menjawab: Kejadiannya malam hari, kami khawatir memberatkan anda. Maka kemudian Beliau mendatangi kuburan orang itu lalu mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1170)
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَامِرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرًا فَقَالُوا هَذَا دُفِنَ أَوْ دُفِنَتْ الْبَارِحَةَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَصَفَّنَا خَلْفَهُ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair telah menceritakan kepada kami Za’idah telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari ‘Amir dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mendatangi kuburan. Mereka berkata; Ini dikebumikan kemarin. Berkata, Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma: Maka Beliau membariskan kami di belakang Beliau kemudian mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1241)
Begitupula diriwayatkan Umar ra mengetahui bahwa Anas ra sholat di atas kuburan sehingga beliau menginjak kuburan. Lalu Umar berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Kuburan, Kuburan!)” maka Anas ra melangkah (menghindari menginjak dalam batas kuburan), lalu meneruskan shalatnya. [Lihat Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379].
Dikarenakan batas kuburan sudah tidak jelas sehingga terinjak oleh Anas ra ketika sholat dan beliau hanya melangkah menghindari menginjak dalam batas kuburan lalu meneruskan sholatnya. Batas kuburan yang tidak boleh diduduki , diinjak , dikapur dan dibangun sesuatu di atasnya adalah sebatas tanah yang ditinggikan satu jengkal.
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Sufyan at Tamar, dia berkata, “Aku melihat makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur, karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dikapur. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dikapur.”
Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”
Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).
Sudah jelas apa yang dicontohkan dengan kuburan Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berada dalam bangunan kamar Sayyidah ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang merupakan bangunan, beratap dan dikapur yang masih dia gunakan untuk tinggal, duduk, lalu lalang dan melakukan shalat-shalat fardhu, sunnah, membaca Al Qur’an dan kegiatan lainnya yang tentunya dilakukan di sisi kuburan.
Jelaslah tidak haram atau tidak terlarang sholat menghadap kiblat walaupun di sisi kuburan.
Janganlah mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau melarang yang tidak dilarangNya maupun mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena yang mengetahui perkara terkait dosa bagi manusia adalah Allah Azza wa Jalla yang menciptakan manusia
Perkara yang terkait dengan dosa adalah
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)
Perkara yang terkait dengan dosa disebut dengan urusan agama (urusan kami) atau perkara syariat yakni perkara yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.
Perkara syariat atau urusan agama (urusan kami) yakni perintah dan larangan hanya berasal dari Allah Azza wa Jalla
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak turunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak turunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
(QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.
Menurut Imam Syafi’i cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil (Allah ta’ala tidak turunkan keterangan padanya).
Jadi bid’ah dalam “urusan agama” (urusan kami) atau bid’ah dalam perlara syariat adalah bid’ah dalam urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya yakni mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya atau mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jika mereka tidak menyadari dan terjerumus menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 ) maka tercapailah tujuan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) kaum Zionis Yahudi yang merupakan pengikut iblis dan kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla.
Kaum Yahudi yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme) atau penyembah berhala
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).”
(QS Al Baqarah [2]:101-102)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang dengan kaum Zionis Yahudi , Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi.” (QS al-Ma’idah [5]:60)
Kaum Nasrani, Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS al-Ma’idah: [5]:77)
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Kita harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga suatu zaman yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Abdurrahman dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Kiamat tidak terjadi hingga kaum muslimin memerangi Yahudi lalu kaum muslimin membunuh mereka hingga orang Yahudi bersembunyi dibalik batu dan pohon, batu atau pohon berkata, ‘Hai Muslim, hai hamba Allah, ini orang Yahudi dibelakangku, kemarilah, bunuhlah dia, ‘ kecuali pohon gharqad, ia adalah pohon Yahudi’.”
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar