Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Posted on July 4, 2008 by admin
Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Penyusun:
KH. Bisri Mustofa
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca
cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu
kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar
bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir
al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan
tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir
al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal.
Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi
darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa
berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita
yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya
Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita
tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil,
Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada
prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari
Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi
ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan
sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang
yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali
tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat,
padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan
hal-hal yang tidak masuk akal?
Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir
al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing
tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah
Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau
keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari
wali Allah namanya karomah.
Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat
dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk
akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam
Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan
memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ
مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ
طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ
رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga
kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang
sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan
musyrik?
Memanggil-manggil untuk dimintai
pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak ibu
saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau
pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya
syirik.
Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa
segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya,
apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraan pun
boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar.
Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala
melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan
pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara.
Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab
berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan),
beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan
terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan
pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang
yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap
memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama
sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah
saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya raya
mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau,
bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja
di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak
menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan
perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud
yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di
perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya
pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga
kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan! kepada siapa saya memohon?
Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar
itu?
Ada dua orang pengemis. Yang satu
sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih
kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa
berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih
mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa
anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu
adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih
kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih
kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul
muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini
bermanfaat.Penyusun:
KH. Bisri Mustofa
Filed under: Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar