Malam Nisfu Sya'ban
Malam nisfu Sya'ban adalah hari ke-15 bulan sya'ban. Pada malam ini tradisi yang belaku, masyarakat berduyun-duyun ke masjid atau mushalla untuk melakukan shalat sesudah shalat maghrib dilanjutkan dengan membaca yasin sebanyak tiga kali yang dilakukan secara bersama-sama. Bacaan surat yasin yang pertama diniatkan sebagai sarana untuk menperoleh panjangnya umur dan diberi kemampuan beribadah selama umur yang diberikan. Kedua memohon kepada Allah agar diberi rizki yang banyak halal dan barokah. Dan bacaan ketiga diniati untuk memohon ketetapan iman hingga ajal datang.
Malam nisfu Sya'ban mempunyai banyak nama. Syaikh Syihabuddin Al-Fasyani menyebutkan, diantaranya: Lailatul Baro'ah (malam pembebasan), Lailatud Du'a (malam doa), Lailatul Qismah (malam pembagian nasib), Lailatul Ijabah (malam yang dikabulkan), Lailatul Mubarokah (malam yang diberkahi), Lailatus Syafa'ah (malam yang disyafaati), dan lailatul ghufron wal itq minan niran (malam pengampunan dan kemerdekaan dari neraka. (Tuhfatul Ikhwan fi Qiraah al-Miad fi Rajab, wa Sya'ban wa Ramadhan; 86-88)
Ada beberapa permasalahan seputar malam nisfu sya'ban ini. Permasalah ini perlu diperjelas agar tidak terjadi kerancauan pemahaman di kalangan masyarakat dan sebagai upaya memperkuat apa yang menjadi keyakinan selama ini dari rongrongan orang-orang yang senang mengklaim kebenarannya sendiri. Berikut adalah permaslahan seputar nishfu sya'ban
1. Istimewakah malam nisfu Sya'ban?
Malam nisfu Sya'ban adalah salah satu malam yang istimewa dan penuh barokah. Keistimewaan malam nishfu Sya'ban dapat dibuktikan dengan sabda Rasulullah SAW riwayat Ad-Daruquthni dan At-Thabrani:
طَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyachin (orang munafik yang menebar kebencian antar sesama umat Islam)”. (HR. Thabrani dan Ad-Daruqutni)
Hadits ini shahih, dimana menurut penilaian Al-Haitsami dalam Majma' al-Zawaid, para rawinya adalah orang-orang yang terpecaya (tsiqah).
Dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ أَطْلُبُهُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قَدْ قُلْتُ وَمَا بِي ذَلِكَ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Aisyah berkata “Pada suatu malam, saya kehilangan Rasulullah. Setelah saya keluar mencarinya, ternyata beliau ada di Baqi’ seraya menengadahkan kepalanya ke langit, beliau berkata “Apakah kamu takut Allah dan Rasulnya mengabaikanmu?”. Aisyah berkata “Saya tidak memiliki ketakutan itu, saya mengira engkau mengunjungi sebagian di antara istri-istri engkau”. Nabi berkata “Sesungguhnya (rahmat) Allah turun ke langit yang paling bawah pada malam Nishfu Sya’ban dan Ia mengampuni dosa-dosa yang melebihi dari jumlah bulu kambing milik suku Kalb”. (HR Tirmudzi dan Ibnu Majah)
Hadits tersebut di atas merupakan sebuah hujjah untuk membantah anggapan sebagian orang yang mengatakan bawa tidak ada dalil kuat tentang keutamaan malam nishfu Sya'ban. (Tuhfatul Ahwadzi; II/277)
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menurut Imam As-Syafi'i, malam nisfu sya'ban adalah malam yang mustajabah selain malam jumat, dua hari hara dan awal bulan rajab. (Faidhul Qadir; VI/50)
Beliau juga mengatakan bahwa malam nisfu Sya'ban diperlakukan khusus oleh para tabi'in dari penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma'dan, Makhul, Luqman bin Amir dan lain-lain. Di mala mini mereka berijtihad dalam beribadah. Dari mereka inilah masyarakat muslim mengetahui keutamaan malam nisfu sya'ban dan mengagungkannya.
Yasar bin Atho' –salah satu tabi'in-- berkata: "Tidak ada malam yang lebih utama setelah lailatul qadar dari pada malam nisfu Sya'ban. Ia adalah salah satu malam yang mustajabah". (Nuzhah al-Majalis; II/158)
Allah SWT berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ، فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (الدخان: 3-4)
Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud Lailah Al Mubarakah dalam ayat tersebut adalah malam nishfu sya’ban. Di malam itu Allah menentukan semua urusan dalam peristiwa setahun, menghapus nama-nama orang dari daftar calon orang meninggal dan mencatat nama-nama orang yang akan melaksanakan haji tanpa ditambah atau dikurangi.
Utsman bin Mughirah meriwayatkan hadis, Rasulullah SAW bersabda:
تُقْطَعُ اْلأَجَالُ مِنْ شَعْبَانَ إلَى شَعْبَانَ حَتَّى أَنَّ الرَّجُلَ لَيَنْكِحُ وَيُوْلَدُ لَهُ وَقَدْ خُرِجَ اسْمُهُ فِى الْمَوْتَى
“Ajal ditentukan dari satu Sya’ban ke bulan Sya’ban berikutnya, hingga seseorang menikah, dikaruniai anak dan namanya dikeluarkan dari orang-orang yang akan meninggal” (HR Ibnu Abi Dunya dan Al Dailami).
Qadli Abu Bakar bin Al Araby berkata – dan ini adalah pendapat yang shahih-- bahwa para Ulama mengatakan bahwa malam tersebut adalah Lailatul Qadar. (Tafsir al-Qurtúbi; XVI/85)
Dalam Hasyiah al-Jamal disebutkan bahwa pada malam nisfu sya'ban dan lailatul qadar semua amal manusia diperlihatkan kepada Allah SWT. Kalau senin sampai kamis adalah laporan mingguan, maka malam nisfu sya'ban dan lailatul qadar merupakan laporan tahunan. (Hasyiah al-Jamal; VIII/323)
Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha' as-Shirat al-Muataqim mengatakan bahwa malam nisfu sya'ban telah diriwayatkan keutamaannya dari hadits-hasits marfu' dan atsar sahabat. Sebagian kaum salaf ada yang mengkhususkan malam ini dengan shalat. Begitu pula dengan puasa di bulan Sya'ban.
2. Menghidupkan Malam Nisfu Sya'ban
Karena malam nisfu Sya'ban adalah malam yang mubarokah dan mustajabah, maka menghidupkannya dan melakukan qiyamullail di dalamnya merupakan perbuatan yang sangat baik dan akan mendapatkan pahala yang besar. Rasulullah SAW bersabda:
إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلَها وصوموا نهارها (رواه ابن ماجه)
"Jika datang malam nisfu Sya'ban, maka lakukanlah qiamul lail dan berpuasalah di siang harinya". (HR. Ibnu Majah).
Pensyariatan untuk menghidupkan malam nisfu sya'ban juga masuk dalam keumuman firman Allah:
قم الليل إلا قليلا نصفه أو انقص منه قليلا أو زد عليه ورتل القرآن ترتيلا
Qiyamul lail bagi Rasulullah adalah wajib. Sedang bagi umat beliau, qiyamul lail adalah sunat, sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama.
Syaikh Muhyiddin Husain Al-Isnawi salah satu masyayikh Al-Azhar mengatakan bahwa menghidupkan malam nisfu Sya'ban adalah perbuatan yang disyariatkan. Dianjurkan pada malam itu untuk melakukan dzikir, doa, istighfar, muhasabah, shalat hajat dan shalat tasbih. Beliau juga menjelaskan bahwa ibadah-ibadah tersebut jelas mempunyai dalil-dalil syar'i dari al-Quran, sunnah dan Ijma'. Walaupun dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang umum dan kesunnahannya tidak terikat waktu, namun jika dilakukan pada malam yang mubarokah akan mempunyai keutamaan lebih, karena telah menyatukan dua keutamaan, yakni keutamaan amal-amal tersebut dan keutamaan malam nisfu sya'ban itu sendiri.
3. Shalat Nisfu Sya'ban
Tidak ada dalil khusus mengenai shalat nishfu Sya'ban. Oleh sebab itu jika shalat diniati shalat nisfu Sya'abn maka hukumnya haram. Namun yang shalat nisfu Sya'ban yang dimaksud di sini adalah shalat sunat mutlak, shalat hajat, shalat Tasbih atau shalat apapun yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Shalat sunat mutlak di malam nisfu Sya'ban ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Dari 'Ala' bin Harits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukah kamu malam apa sekarang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “Ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR. Al-Baihaqi)
Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai shalat nisfu Sya'ban ini. Beliau menjawab: "Jika seorang manusia melakukan shalat pada malam nisfu Sya'ban, sendirian atau berjamaah, seperti yang pernah dilakukan segolongan kaum salaf, maka itu adalah sesuatu yang baik". (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah: II/469)
4. Membaca Yasin Tiga Kali
Membaca al-Quran adalah sebaik-baik ibadah yang mampu mendekatkan seseorang kepada Allah SWT. Diantara bacaan al-Quran yang mempunyai keutamaan tersendiri adalah surat Yasin. Salah satu hadits yang menjelaskan keutamaan surat Yasin adalah:
إن لكل شيء قلبا وقلب القرآن يس ، من قرأ يس كتب الله بقرائتها قراءة القرآن عشر مرات (رواه الترمذي)
"Sesungguhnya setiap sesuatu mempunyai hati, dan hatinya al-Quran adalah surat Yasin. Barang siapa membaca surat Yasin, maka Allah akan menulis pahala dengan bacaan tersebut sebanyak sepuluh kali bacaan al-Quran". (HR. At-Tirmidzi)
Ada hadits yang berbunyi:
يس لما قرئت له
"Yasin disesuaikan dengan niat apa yasin dibacakan".
Hadits ini tidak ada dasar, tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa hadits ini maudlu'. Saya meyakini bahwa boleh meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi riwayat yang tidak tegas, seperti telah sampai pada kami sebagaimana yang dilakukan oleh murid-murid Syeikh Ismail Al Jabraty dari Yaman.” (Talkhísh Fatáwá Ibnu Ziyád, 301)
Pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban, macam-macam niatnya serta doa yang masyhur di dalamnya merupakan hasil ijtihad sebagian ulama. Dikatakan ulama itu adalah Syaikh Al-Buni.
Menurut sebagian ulama, diantara tata cara membaca surat yasin ialah dibaca pada malam nisfu Sya'ban sebanyak tiga kali, yang pertama niat meminta panjang umur, kedua niat terhindar dari musibah dan ketiga niat agar tidak bergantung kepada orang lain. (Fathul Malikul Majid; 19)
5. Doa Khusus Malam Nisfu Sya'ban
Berdoa adalah bagian dari ibadah, dan mempunyai kedudukan yang tinggi di dalamnya. Berdoa di malam nishfu Sya'ban sangat dianjurkan dan termasuk bagian dari upaya menghidupkannya. Menurut Imam Syafi'i berdoa di dalamnya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Namun demikian, tidak ada doa khusus pada malam nisfu Sya'ban yang warid dari Rasulullah SAW.
Sayidina Umar bin Khathab mempunyai doa khusus pada malam nisfu Sya'ban ini. Begitu pula Abdullah bin Mas'ud. Doa yang diriwayatkan At-Thabrani ini adalah:
اللهم إن كنت كتبت علي شقوة أو ذنبا فاحه فإنك تمحو ما تشاء وتثبت وعندك أم الكتاب فاجعله سعادة ومغفرة
Dalam Kanzun Najah Was Surur; 57, disebutkan bahwa para ulama telah menyusun doa-doa yang sesuai dengan keadaan, khususnya pada malam nisfu Sya'ban. Doa ini sangat masyhur di kalangan muslimin yang selalu dibaca pada malam nisfu Sya'ban baik secara sendirian atau secara berjamaah di masjid dan lain-lain. Doa tersebut adalah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. وَصَلّى اللهُ عَلَى سَيِّدنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ. اَللَّهُمَّ يَا ذَا المَنِّ وَلاَ يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذّا الجَلاَلِ وَ الإِكْرَامِ، يَا ذَا الطَّوْلِ وَالإنْعَامِ لاَ إلَهَ إلاَّ أَنْتَ، ظَهْرُ اللاَّجِئِينَ وَجَارُ الْمُسْتَجِيرِينَ وَأَمَانُ الْخَائِفِينَ، اَللَّهُمَّ إنْ كَتَبْتنِي عِنْدَك فِي أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْمًا أَوْ مَطْرُوْدًا أَوْ مُقَتَّرًا عَلَيَّ فِىْ الرِزْقِ فَامْحُ اَللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِيْ وَحِرْمَانِيْ وَطَرْدِيْ وَاقْتِتَارَ رِزْقِيْ، وَأَثْبِتْنِي عِنْدَك فِي اُمِّ الكِتَابِ سَعِيدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ، فَإِنَّك قُلْتَ وَقَوْلُكَ الحَقُّ فِي كِتَابِكَ المُنَزَّلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ المُرْسَلِ {يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ}. إِلَهِيْ بِالتَجَلِّى الأَعْظَمِ فِيْ لَيْلَةِ النِصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ المُكَرَّمِ الَّتِيْ يُفْرَقُ فِيْهَ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ، وَيُبْرَمُ أَنْ تَكْشِفَ عَنَّا مِنَ البَلاَءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لاَ نَعْلَمُ، وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الأَعَزُّ الأَكْرَمُ. وَصَلّى اللهُ عَلَى سَيِّدنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلىَ آلهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ.
Doa yang masyhur ini merupakan pengembangan dari doa khusus Abdullah bin Mas'ud. Meskipun riwayat doa ini dla'if, tetapi layak untuk diamalkan karena riwayat ini memperjelas riwayat lain yang shahih. Dan riwayat ini adalah bagian dari fadhail a'mal. Allah berfirman yang artinya: "Sesungguhnya Dia maha mendengar doa".
Dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin syarh Ihya' (3/427) dijelaskan bahwa para ulama khalaf mewarisi amalan dalam menghidupkan malam nisfu Sya'ban dari ulama salaf, yaitu dengan melakukan shalat enam rakaat sesudah shalat maghrib, dua rakaat salam. Setiap dua rakaat membaca surat yasin, lalu berdoa dengan doa yang masyhur tersebut dilanjutkan dengan berdoa kepada Allah agar diberi barokah dalam umur. Setelah doa rakaat berikutnya disambung membaca yasin dan doa masyhur, berdoa kepada Allah agar diberi barokah rizki. Dua rakaat terakhir disambung dengan yasin, doa masyhur lalu berdoa agar diberi husnul khatimah. Menurut ulama amalan dengan tata cara ini akan akan memberikan seseorang apa yang ia minta.
6. Puasa Nisfu Sya'ban
Seperti amalan-amalan lain dalam nishfu Sya'ban yang diingkari oleh sebagian orang, puasa siang hari nisfu sya'ban juga demikian. Rasulullah SAW bersabda:
إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلَها وصوموا نهارها (رواه ابن ماجه)
"Jika datang malam nisfu Sya'ban, maka lakukanlah qiamul lail dan berpuasalah di siang harinya". (HR. Ibnu Majah).
Walaupun hadits ini dhaif, namun tentang puasa nisfu sya'ban ini mempunyai dalil lain yang shahih baik secara khusus atau umum. Dalil yang umum adalah kesunnahan puasa pada pertengahan setiap bulan, yaitu:
عن ابن عباس رضي الله عنهما: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يفطر أيام البيش في حضر وسفر
"Dari Ibnu Abbas, Rasulullah tidak pernah tidak berpuasan di dalam ayyamil bidh dalam keadaan hadir atau dalam perjalanan" (HR. An-Nasa'i)
Ayyamul Bidh adalah tiga hari tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan. Dan masih banyak hadits-hadits lain yang shahih.
Dalil khusus puasa nisfu Sya'ban ialah hadits riwayat Imam Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada sebagian sahabatnya:
أصمت من سرر شعبان؟ قال: لا، قال: فإذا أفطر فصم يومين مكانه (رواه مسلم)
"Apakah kami berpuasa dari surur bukan sya'ban?" Sahabat itu menjawab: "tidak". Rasulullah bersabda: "Kalau kamu tidak berpuasa, maka berpuasalah dua hari di tempatnya". (HR. Muslim)
Yang dimaksud surur bulan Sya'ban ialah tengah-tengah bulan sya'ban. Di tempat lain Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz "Surrah Hadzas Syahr". Yang dimaksud surrah di sini adalah tengah-tengah.
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa puasa nisfu Sya'ban tidak dilarang dan termasuk bagian dari puasa ayyamil bidh yang disunahkan.
Kemuliaanya Bulan Sya’ban
Kemuliaan Bulan Sya’ban
Disebut Sya’ban karena berjalan darinya beberapa kebaikan yang sangat banyak. Kata Sya’ban diambil dari kata Asy-Syibi yaitu jalan di gunung. Jadi dia adalah jalan kebaikan.
Diriwayatkan dari Abi Umamah Al-Bahili ra. dia berkata, “Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Apabila datang bulan Sya ‘ban maka bersihkanlah dirimu dan perbaikilah niatmu di dalamnya”.
Aisyah ra., dia berkata, “Rasulullah Saw. telah berpuasa sehingga kami mengatakan beliau tidak hendak berbuka (tidak berpuasa) dan beliau selalu berbuka sehingga kami mengatakan beliau tidak berpuasa. Dan kebanyakan puasanya adalah dalam bulan Sya’ban”.
Di dalam An-Nasa’i dari hadits Usamah ra. aku berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam bulan Sya’ban”. Beliau berkata,”Itu adalah bulan yang biasanya manusia lengah darinya antara bulan Rajab dan Ramadlan. Dia adalah sebuah bulan yang didalamnya diangkat amal-amal ini kepada Tuhan seru sekalian alam, maka aku suka kalau amalku diangkat (dilaporkan) sedang aku dalam keadaan puasa?.”
Di dalam shahihain dari Aisyah ra., dia berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw. menyempurnakan puasa sebulan sama sekali kecuali bulan Ramadhan, dan akupun tidak pernah melihatnya dalam sebulan yang lebih banyak dan dia berpuasa daripada bulan Sya’ban”
Di dalam sebuah riwayat, “Beliau telah berpuasa bulan Sya’ban seluruhnya”. Bagi Imam Muslim, “Beliau telah berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit”. Riwayat ini menjelaskan riwayat pertama. Jadi yang dimaksud dengan seluruhnya adalah bagiannya yang terbesar.
Dikatakan bahwa sesungguhnya malaikat-malaikat di langit memiliki dua buah hari raya, yaitu :
1. Malam bara’ah yaitu malam Nisfu Sya’ban;
2. Malam Lailatul Qadar
Beberapa nama lain dari malam Nisfu Sya’ban
1. Malam Tafsir (menutup)
As-Subki menuturkan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya malam nisfu Sya’ban menutup dosa-dosamu setahun, sedang malam Jum’at menutup dosa-dosa sehingga, dan malam laillatul qadar menutup dosa-dosa seumur hidup”. Artinya menghidupkan malam-malam ini (dengan ibadah) menjadi sebab ditutup (dihapus) dosanya.
2. Malam Kehidupan
Diriwayatkan Al-Mundziri dengan marfu, “Barang siapa yang menghidupkan dua malam hari raya dan malam nisfu Sya’ban tidaklah akan mati hatinya pada harinya hati-hati ini mati”,
3. Malam Syafa’at
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. minta kepada Allah SWT pada malam ketiga belas akan syafa’at kepada umatnya lalu Allah memberinya sepertiga, beliau minta itu kepada-Nya pada malam keempat belas lalu Allah memberinya dua pertiga dan beliau minta itu pada malam kelima belas lalu Allah memberiny a seluruhnya kecuali orang yang lari melepaskan diri dari Allah seperti larinya unta. Yakni lari dan menjauh dari Allah dengan melanggengkan perbuatan durhaka.
4. Malam Maghrifah
Diriwayatkan Imam Ahmad, sesungguhnya Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah nampak pada malam setengah Sya’ban kepada hamba-hamba-Nya, lalu mengampuni kepada penghuni bumi kecuali dua orang laki-laki, yaitu orang musyrik dan orang yang mendendam “.
5. Malam Kemerdekaan
Diriwayatkan Ibnu Ishaq, dia berkata, “Rasulullah Saw. pernah mengutuskan ke rumah Aisyah ra. dalam sebuah keperluan. Berkatalah aku pada Aisyah, “Cepatlah karena aku telah meninggalkan Rasulullah Saw., sedang menceritakan pada mereka tentang malam nisfu Sya’ban”. Aisyah berkata, “Ya Unais, duduklah sehingga aku menceritakan padamu tentang hadits malam nisfu Sya’ban. Malam itu adalah malam bagianku dari Rasulullah Saw. Datanglah beliau dan masuk bersamaku dalam selimutku. Aku terbangun pada tengah malam dan aku tidak menemukannya lagi”. Berkatalah aku, “Mungkin beliau pergi kepada perempuan mudanya Al-Qibthinya”. Maka keluarlah aku dan lewat di masjid lalu kak iku menyentuhnya sedang beliau bersabda, “Telah sujud kepada-Mu tubuh dan diriku dan berciuman kepada-Mu hatiku. Ini tanganku dan apa yang aku petik dengannya atas diriku. Wahai Tuhan yang Maha Agung yang diharapkan untuk setiap urusan-urusan besar, ampunilah dosa yang besar. Wajahku sujud kepada Tuhan yang telah menciptakannya, membuat rupanya, membelah pendengaran dan penglihatannya”. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bersabda, “Ya Allah, berilah aku rizqi hati yang taqwa, bersih dari syirik, dan suci, tidak kafir dan tidak pula celaka”. Kemudian kembali sujud lagi dan aku mendengarnya bersabda, “Aku berlindung dengan ridla-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan ampunan-Mu dari siksa- Mu dan dengan Engkau dari Engkau aku tidak dapat menghitung pujian terhadap-Mu, Engkau seperti Engkau memuji pada Dzat-Mu sendiri”. Aku berkata sebagaimana yang dikatakan saudaraku Dawud, “Aku membenamkan wajahku dalam debu untuk Tuan-Ku dan memang seharusnya dia dibenamkan dalam debu untuk Dzat Tuannya”. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkatalah aku, “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusan engkau, engkau dalam sebuah lembah dan akupun dalam sebuah lembah yang lain”.
Bersabdalah beliau, “Ya Humaira’, bukanlah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya malam hari ini adalah malam nisfu Sya’ban Sesungguhnya Allah SWT. memiliki orang-orang yang dimerdekakan dari neraka pada malam ini sebanyak bilangan kambing suku Kalbin, kecuali enam golongan, yaitu :
Bukan peminum arak;
Bukan orang yang berani kepada kedua orang tua;
Bukan orang yang melangsungkan zinah;
Bukan orang yang memutus hubungan famili;
Bukan pengadu domba; dan
Bukan mudharrib.
Dalam sebuah riwayat mushawwir (menggambar) sebagi ganti mudharrib (mendorong permusuhan).
6. Malam Pembagian dan Penentuan
Diriwayatkan Atha bin Yasar, dia berkata, “Apabila datang malam nisfu Sya’ban disalinlah bagi malaikat maut setiap orang yang akan mati dari Sya’ban kepada Sya’ban berikutnya. Dan sesungguhnya seorang hamba benar-benar sedang menanam tanaman, mengawini beberapa istri dan membangun bangunan, padahal namanya telah disalin dalam deretan orang-orang mati. Dan tidaklah malaikat maut menunggu kecuali untuk diperintahkan dengan hamba itu lalu dia akan mencabutnya.
(Disadur dari Muhtashar Ihya Ulumuddin al-Imam al-Ghozali Bab 55)
Keutamaan Puasa Sya’ban
Keutamaan Puasa Bulan Sya’ban
Rasulullah Saw pernah ditanya:
أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ قَالَ: شَعْبانُ لِتَعْظيمِ رَمَضَانَ، قِيلَ: فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ (وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ غَرِيبٌ)
“Puasa apakah yang paling utama setelah Ramadhan?” Beliau menjawab: “Puasa Sya’ban, karena mengagungkan Ramadhan.” Beliau ditanya: “Sedekah (di bulan) apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Sedekah di bulan Ramadhan.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata: “Ini hadits gharib.”)
Bahkan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ, وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ, وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا شَهْرَ رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Rasulullah Saw pernah berpuasa sehingga kami katakan: “Beliau tidak akan berbuka. Dan pernah tidak berpuasa sehingga kami katakan: “Beliau tidak akan berpuasa.” Saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw menyempurnakan puasa sebulan (penuh) sama sekali kecuali bulan Ramadhan. Saya tidak pernah melihat beliau dalam suatu bulan lebih banyak berpuasa dari pada bulan Sya’ban. (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan selainnya)
Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata pula:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا، بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ[1]
Saya tidak pernah melihat Nabi Saw (melewati) suatu bulan yang puasanya lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Beliau memuasainya, kecuali sedikit, bahkan beliau memuasai semuanya.”
Dalam riwayat Abu Dawud ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
Bulan yang paling menyenangkan Rasulullah Saw untuk beliau puasai adalah bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambungnya dengan (puasa) bulan Ramadhan.
Dalam riwayat an-Nasa`i ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِشَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ لِشَعْبَانَ كَانَ يَصُومُهُ أَوْ عَامَّتَهُ
Rasulullah Saw tidak pernah puasa untuk suatu bulan yang lebih banyak dari pada Sya’ban. Beliau memuasainya, atau sebagian besarnya.
Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَ إِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا
Nabi Saw tidak pernah berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Maka sungguh beliau memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya. Beliau bersabda: “Lakukanlah amal sekuat kalian. Sebab, sungguh Allah tidak akan bosan[2] sehingga kalian bosan.” Shalat yang paling menyenangkan Nabi Saw adalah shalat yang dilakukan secara kontinyu, meskipun sedikit. Dan bila beliau melaksanakan shalat, maka beliau melaksanakannya secara kontinyu.”
Kebenaran Pendapat Tentang Puasa Sya’ban
Dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
لَمْ يكن النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Nabi Saw tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan yang lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Maka sungguh beliau memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya. (HR. Al-Bukhari)
Imam Muslim meriwayatkan pula dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
كَانَ يَصُومُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ. كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
Nabi Saw pernah berpuasa sehingga kami katakan: “Sungguh beliau berpuasa.” Dan beliau pernah tidak berpuasa sehingga kami katakan: “Sungguh beliau tidak berpuasa.” Saya tidak melihatnya berpuasa pada suatu bulan sama sekali yang lebih banyak puasanya daripada bulan Sya’ban. Beliau memuasai bulan Sya’ban, semuanya, kecuali sedikit.
Dalam riwayat an-Nasa`i dan at-Tirmidzi disebutkan:
كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا، بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ
Beliau memuasai bulan Sya’ban, kecuali sedikit, bahkan beliau pernah memuasai semuanya.
Syaikh Mula Ali al-Qari menjelaskan:
Ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Nabi Saw memuasai seluruh bulan Sya’ban”, bermakna bahwa sungguh hari bulan Sya’ban yang tidak beliau puasai sangatlah sedikit, sehingga beliau disangka memuasai semuanya. Maka kata بَلْ menunjukkan makna peningkatan (dari memuasainya kecuali sedikit pada memuasai semuanya). Bila demikian, maka hadits tersebut tidak menafikan ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berupa: “Kecuali sedikit.” Tidak pula menafikan hadits yang menyatakan: “Sungguh beliau Saw tidak pernah puasa satu bulan penuh sejak datang di Madinah kecuali Ramadhan.” Kata كُلَّهُ(semua bulan sya’ban) di sini mungkin pula dipahami secara hakikatnya. Yakni peristiwa ini (baca: Nabi Saw memuasai seluruh bulan Sya’ban) terjadi sebelum beliau tiba di Madinah. Dengan pemaknaan semacam ini, maka kata بَلْ menunjukkan makna idhrab[3] dari ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Kecuali sedikit.” Hikmah redaksi idhrab tersebut adalah terkadang kata sedikit dalam ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Kecuali sedikit.” diasumsikan pada makna sepertiga bulan, lalu dengan kata: “Semua bulan Sya’ban.” beliau memperjelas bahwa yang dimaksud sedikit adalah sangat sedikit, sehingga Nabi Saw diasumsikan berpuasa penuh selama satu bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim disebutkan, dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
وَمَا رَأَيْتُهُ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا شَهْرَ رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw menyempurnakan puasa sebulan (penuh) sama sekali kecuali bulan Ramadhan. Saya tidak pernah melihat beliau dalam suatu bulan lebih banyak berpuasa dari pada bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang lain disebutkan:
لَمْ يَكُنْ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ كُلَّهُ
“Nabi Saw tidak pernah berpuasa dalam sebulan yang lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Maka sungguh beliau memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya.”
Dalam riwayat lain dari Abu Dawud disebutkan:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling menyenangkan Rasulullah Saw untuk beliau puasai adalah bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambungnya dengan (puasa) bulan Ramadhan.”
Dalam riwayat an-Nasa`i disebutkan:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ أَوْ عَامَّةَ شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw memuasai bulan Sya’ban atau sebagian besar bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat an-Nasa`i yang lain disebutkan:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Rasulullah Saw memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya.”
Makna lahiriyah hadits-hadits tersebut menunjukkan, bahwa puasa bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan bulan-bulan mulia lainnya. Namun kesimpulan ini dimusykilkan dengan hadits marfu’ riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra:
أفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ: شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa bulan Allah Muharram.”
Meski begitu, kemusykilan tersebut dapat dijawab dengan beberapa alternatif jawaban:
Pertama, mungkin saja beliau Saw belum mengetahui keutamaan puasa bulan Muharram kecuali di akhir hidupnya sebelum sempat melaksanakannya. Atau beliau Saw mempunyai udzur, baik berupa bepergian atau sakit yang mencegahnya untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram, seperti pendapat Imam an-Nawawi.
Mirak[4] berpendapat:“Kedua kemungkinan tersebut sama-sama mempunyai kelemahan.” Begitu kata Mirak.
Kedua, dijawab dengan hadits riwayat ath-Thabarani, dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرِ، فَرُبَّمَا أَخَّرَ ذَلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهِ صَوْمُ السَّنَةِ فَيَصُومُ شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw pernah berpuasa tiga hari setiap bulan. Lalu terkadang beliau menundanya sehingga sampai terkumpul puasa setahun baginya. Terkadang (pula) puasa itu beliau tunda sampai beliau puasai di bulan Sya’ban.”
Ketiga, beliau mengkhususkan bulan Sya’ban dengan berpuasa karena mengagungkan bulan Ramadhan. Maka hal ini seperti halnya mendahulukan shalat sunah rawatib sebelum shalat fardhu. Kesimpulan ini diperkuat dengan hadits gharib riwayat penyusun (at-Tirmidzi), meskipun dalam sanadnya terdapat Shadaqah yang menurut para pakar hadits bukanlah termasuk perawi hadits yang kuat. Rasulullah Saw pernah ditanya:
أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ قَالَ: شَعْبانُ لِتَعْظيمِ رَمَضَانَ
“Puasa apakah yang paling utama setelah Ramadhan?” Beliau menjawab: “Puasa Sya’ban, karena mengagungkan Ramadhan.”
Keempat, puasa Sya’ban seolah merupakan pelatihan bagi puasa Ramadhan, dan larangan puasa di paruh kedua bulan Sya’ban diarahkan bagi orang yang tidak menyambungnya dengan puasa sebelumnya dan ia tidak mempunyai kebiasaan berpuasa, qadha’ atau nadzar puasa, serta puasa Sya’ban membuatnya lemah atau malas melaksanakan puasa, sehingga ia berpuasa Ramadhan tanpa gairah.
Kelima, kemusykilan di atas dapat terjawab dengan hadits shahih sesuai riwayat an-Nasa`i dan Abu Dawud, serta disahihkan oleh Ibnu Huzaiah, dari Usamah bin Zaid, ia berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Saya berkata: “Wahai Rasulullah! Saya tidak melihat anda berpuasa pada suatu bulan dari beberapa bulan seperti hanya puasa anda di bulan Sya’ban.” Beliau bersabda: “Sya’ban adalah bulan yang dilupakan orang-orang di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang di dalamnya amal-amal dilaporkan kepada Tuhan semesta Alam, dan aku senang amalku dilaporkan dalam kondisi diriku berpuasa.”
Begitu pula bisa dijawab dengan hadits seperti itu, sebagaimana hadits Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, di sana Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللهَ يَكْتُبُ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مَيْتَةٍ تِلْكَ السُّنَّةِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَنِي أَجَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Sungguh dalam bulan Sya’ban Allah telah memutuskan kematian bagi setiap manusia, maka aku senang ajalku tiba di saat aku dalam kondisi berpuasa.”
Dalam dua hadits terakhir terdapat isyarat bahwa dahulu para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- memperbanyak puasa di bulan Rajab karena termasuk bulan-bulan mulia. Kemudian dengan puasa beliau Saw di bulan Sya’ban, Rasulullah Saw mengingatkan mereka agar tidak melupakan puasa bulan Sya’ban, serta menambah keterangan bahwa pada bulan Sya’ban amal-amal manusia dilaporkan kepada Allah dan ajal mereka ditentukan.
Kesimpulan ini dikuatkan hadits riwayat Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِي شَعْبَانَ،قَالَ: أَنَّ هَذَا الشَّهْرَ يُكْتَبُ فِيهِ لِمَلَكِ الْمَوْتِ أَسْمَاءٌ مَنْ يُقْبَضُ فَأَحَبُّ أَنْ لَا يُنْسَخَ اسْمِي إِلَّا وَأَنَا صَائِمٌ
“Wahai Rasulullah! Saya melihat puasa terbanyak anda di bulan Sya’ban. Beliau bersabda: “Dalam bulan ini sungguh dituliskan nama-nama orang yang akan dicabut nyawanya, maka aku senang agar namaku tidak dihapus (dicabut nyawanya) melainkan diriku dalam kondisi berpuasa.”
Mungkin inilah hikmah pengistimewaan bulan Sya’ban yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, beliau bersabda:
رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي(عَلَى مَا رَوَاهُ الدَّيْلَمِيُّ وَغَيْرُهُ عَنْ أَنَسٍ)
“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadhan bulan umatku.” Sesuai riwayat ad-Dailami dan selainnya dari Anas Ra.
Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berkata:
“Hadits ini disebutkan oleh as-Suyuthi berupa hadits mursal, ia berkata: “Abu al-Fath bin Abi al-Fawaris meriwayatkannya dari al-Hasan berupa hadits mursal, dan hadits itu hadits dha’if.”
Al-Munawi berkata:
Al-Hafizh az-Zain al-’Iraqi dalam Syarh at-Tirmidzi berkata:
“Hadits tersebut sangat lemah dan termasuk hadits-hadits mursal al-Hasan. Kami meriwayatkannya dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib karya al-Ashfihani. Sedangkan hadits-hadits mursal al-Hasan tidak berharga (tidak bisa dijadikan hujjah) menurut para ahli hadits, dan tidak ada hadits shahih tentang keutamaan bulan Rajab.” Demikian kata al-’Iraqi. Ungkapan penyusun (as-Suyuthi) seperti menegaskan bahwa ia tidak melihatnya sebagai hadits yang berstatus musnad. Jika tidak demikian, niscaya ia tidak berpindah pada riwayat yang memursalkannya. Ini sungguh mengherankan. Sebab, dalam Musnad al-Firdaus al-Dailami telah meriwayatkannya dari tiga sanad, begitu pula Ibn Nashr dan selain mereka berdua, dari hadits Anas Ra dengan redaksi yang persis.”[5]
Terkait sabda Nabi Saw:
شَعْبَانُ شَهْرِي، وَرَمَضَانُ شَهْرُ وَشَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
“Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan Allah. Sya’ban adalah bulan yang menyucikan dan Ramadhan adalah bulan yang melebur (dosa).”
Dalam kitab Kasyf al-Khafa` al-’Ajjaluni mengatakan:
Ad-Dailami meriwayatkannya dari ‘Aisyah dengan status marfu’. Ibn Ghars berkata: “Guruku Hijazi berpendapat: “Hadits itu adalah hadits dha’if.”[6]
Sabda Rasulullah Saw: “Sya’ban adalah bulanku.” maksudnya adalah saya (Rasulullah Saw) mengisinya dengan ibadah.
Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berpendapat:
Mungkin saja penyandaran bulan Sya’ban kepada Rasulullah Saw karena di dalamnya diturunkan ayat tentang perintah mendoakan rahmah ta’dhim (shalawat) dan keselamatan bagi beliau Saw.
[1]HR. At-Tirmidzi. (Penerjemah).
[2]Menurut para ulama, Allah tidak mungkin bersifat bosan. Oleh sebab itu, hadits ini perlu dita`wil. Dalam hal ini ulama muhaqqiqin memaknai hadits tersebut dengan makna;
لَا يُعَامِلُكُمْ مُعَامَلَةَ الْمَلَلِ فَيَقْطَعُ عَنْكُمْ ثَوَابَهُ وَفَضْلَهُ وَرَحْمَتَهُ حَتَّى تَقْطَعُوا أَعْمَالَكُمْ
Allah tidak membuat kalian melakukan suatu amal dengan bermalas-malasan, lalu pahala, fadhilah dan rahmatNya terputus dari kalian, sehingga kalian sendiri yang memutus amal kalian.
Lihat, Badruddin al-’Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz XVII, h. 57.(Penerjemah).
[3]Idrab adalah berpaling dari (menghilangkan) pembahasan yang terletak sebelum kata بَلْ sehingga seolah pembahasan itu tidak dihiraukan, dan berpindah pada pembahasan yang terletak setelahnya. Lihat, Lajnah Ta’lif Gerbang Lama, Kamus Istilah Nahwu, Gerbang Andalus, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama: 2010), h. 99. (Penerjemah).
[4]Muhammad ath-Thasyakandi, terkenal dengan sebutan Marik an-Naqsyabandi, penulis Nawadir al-Amtsal dengan bahasa Turki yang diselesaikannya pada tahun 1021 H. Lihat, Isma’il Basya al-Baghdadi, Idhah al-Maknun pada Kasyf azh-Zhunun, (ttp.: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M), Juz IV, h. 680. (Penerjemah).
[5]Jam’ al-Wasa`il fi Syarh asy-Syama`il, karya Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari II/121-122.
[6]Kasyf al-Khafa` wa Mazil al-Ilbas karya al-’Ajjaluni, Juz II, h. 9. Dalam Syarh at-Tirmidzi Al-Hafizh az-Zain al-’Iraqi berkata: “Hadits tersebut adalah hadits yang sangat lemah.”
(Demikian juga dalam Faidh al-Qadir, Juz IV, h. 18. Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berpendapat:“Pendapat al-Iraqi inilah yang benar. Sedangkan penuturan hadits tersebut yang dilakukan Ibn Qayyim al-Jauzi (dalam kitab al-Maudhu’at), termasuk kategori hadits-hadits palsu) bukanlah pendapat yang benar.”
← Peristiwa-peristiwa Di Bulan Sya’ban
Diposkan oleh Prabu Agung Alfayed di 13.01
Peristiwa-peristiwa Di Bulan Sya’ban
Di bulan Sya’ban telah terjadi peristiwa dan momen-momen yang selayaknya diperhatikan, direnungkan, dan diperingati dengan berbagai perkumpulan, forum-forum, dan acara peringatan. Sebagian peristiwa tersebut akan kami sebutkan berikut ini.
Pemindahan Kiblat
Di bulan Sya’ban terjadi peristiwa pemindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah. Rasulullah Saw sangat menantikan peristiwa ini. Setiap hari beliau memandang dan menengadahkan wajah ke langit menanti wahyu, sampai Allah Swt mewujudkan harapannya, memberikan impiannya, dan meluluskan permintaannya dengan anugerah yang membuat beliau senang. Pada saat itu turunlah Firman Allah Swt:
{قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ}[البقرة:144]
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka niscaya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram, Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Ayat tersebut merupakan realisasi Firman Allah Swt:
{وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى}[الضحى: 5]
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuha: 5)
Dalam ayat tersebut terbukti kebenaran ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
مَا أَرَى رَبَّكَ إِلَّا يُسَارِعُ فِي هَوَاكَ
“Tidaklah aku lihat Tuhan anda melainkan bersegera (memberi) keinginan anda.”[1]
Abu Hatim al-Basati berkata:
“Orang Islam shalat menghadap Baitul Muqaddas selama 17 bulan 3 hari persis. Hal ini bisa diketahui dengan kedatangan Nabi Saw di Madinah adalah hari Senin tanggal 12 bulan Rabi’ul Awal, sedangkan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan beliau untuk shalat menghadap ka’bah hari selasa pada saat Nisfu Sya’ban.”
Pelaporan Amal
Salah satu keistimewaan bulan Sya’ban yang telah maklum adalah pelaporan amal di dalamnya. Pelaporan amal ini merupakan pelaporan yang besar dan luas. Keterangannya telah ada dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid -radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata:
. . . . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ. قَالَ: ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ (قَالَ الْمُنْذِرِيُّ: رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
. . . .“Saya berkata: “Wahai Rasulullah! Saya tidak melihat anda berpuasa pada suatu bulan dari beberapa bulan seperti hanya puasa anda di bulan Sya’ban. Beliau bersabda: Sya’ban adalah bulan yang dilupakan orang-orang di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang di dalamnya amal-amal dilaporkan kepada Tuhan semesta Alam, dan aku senang amalku dilaporkan dalam kondidi diriku berpuasa.” (Al-Mundziri berkata: “An-Nasai meriwayatkan hadits tersebut.”)[2] Saya katakan: “ Dan Imam Ahmad meriwayatkannya dalam kitab Musnadnya.”[3]
Pelaporan amal ini tidak khusus terjadi di bulan Sya’ban saja. Telah diriwayatkan beberapa hadits yang menunjukkan banyaknya pelaporan amal pada waktu yang berbeda-beda, dan tidak ada pertentangan di dalamnya. Sebab, setiap masing-masing pelaporan amal memiliki hukum yang berkaitan dengannya.
Pengangkatan Amal di Siang dan Malam Hari
Dalam Shahih Muslim terdapat hadits riwayat Abu Musa -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:
قَامَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ، يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ، يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ، حِجَابُهُ النُّورُ، لَوْ كَشَفَهُ لأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
“Rasulullah Saw berdiri di antara kami dengan lima kata, lalu beliau bersabda: “Sungguh Allah Ta’ala mustahil tidur dan tidak semestinya Ia tidur, menurunkan dan mengangkat timbangan amal. Amal malam dilaporkan kepadanya sebelum amal siang, dan amal siang dilaporkan sebelum amal malam, tabirnya berupa nur. Andaikan ia buka tabir itu, niscaya nur keagungan dzatNya membakar makhlukNya dalam jarak sejauh jangkauan pandanganNya.”[4]
Al-’Allamah al-Munawi -rahimahulahu Ta’ala- mengatakan:
“Makna pelaporan amal dalam hadits tersebut adalah amal siang hari dilaporkan kepadaNya pada permulaan malam setelah siang itu, dan amal malam hari dilaporkan pada permulaan siang setelah malam tersebut. Sebab, para malaikat al-Hafadhah naik membawa amal malam setelah habisnya malam pada permulaan siang, dan naik membawa amal-amal siang setelah habisnya siang pada permulaan malam.” Sampai di sini perkataan al-Munawi.
Dengan penjelasan itu al-Munawi memberi isyarat pada hadits yang telah warid dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ –أي يَتَنَاوَبُونَ– مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بالنَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبَّهُمْ – وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ-: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي؟ فَيَقُولُونَ: تَرَكْنَاهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ يُصَلُّونَ
“Rasulullah Saw bersabda: “Para malaikat silih berganti bersama kalian. Ada malaikat yang bersama kalian di malam hari, dan ada yang siang hari. Mereka bertemu pada waktu shalat subuh dan shalat Ashar. Kemudian malaikat yang menginap bersama kalian naik (menghadap Allah), lalu Tuhan mereka menanyainya (Dialah Dzat yang lebih mengetahui daripada mereka): “Bagaimana (kondisi) hamba-hambaKu saat kalian meninggalkannya? Mereka menjawab: “Kami meninggalkan mereka di saat mereka sedang shalat, dan kami mendatangi mereka di saat mereka sedang shalat (pula).”
Dalam kitab at-Targhib, al-Mundziri berkata:
“Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits tersebut dalam kitab Shahihnya. Salah satu redaksi dari beberapa riwayat hadits tersebut adalah:
تَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَتَصْعَدُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَتَبِيتُ مَلَائِكَةُ النَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ، فَيَصْعَدُ مَلَائِكَةُ النَّهَارِ وَتَبِيتُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ، فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي؟ فَيَقُولُونَ: أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَاغْفِرْ لَهُمْ يَوْمَ الدِّينِ.
“Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada waktu shalat subuh dan shalat ashar. Kemudian mereka berkumpul pada saat shalat subuh, lalu malaikat malam naik dan malaikat siang tinggal (bersama manusia). Mereka berkumpul (lagi) pada waktu shalat ashar, lalu malaikat siang naik dan malaikat malam tinggal. Lalu Tuhan mereka menanyainya: “Bagaimana (kondisi) hamba-hambaKu saat kalian meninggalkannya?” Mereka menjawab: “Kami mendatangi mereka di saat mereka sedang shalat, dan kami meninggalkan mereka di saat mereka sedang shalat (pula). Sebab itu, ampunilah mereka di hari kiamat.”
Maka, wahai orang yang beriman pegangilah dalil qathi’i tersebut, yang telah menyatakan bahwa siang dan malam hari malaikat selalu menyertai kalian, mengawasi amal kalian dan melaporkannya kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Agung.
Laporan Kilat
At-Tirmidzi dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abdullah bin as-Sa`ib -radhiyallahu ‘anhu-;
أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي أرْبَعاً بَعْدَ أنْ تَزُولَ الشَّمْسُ قَبْلَ الظُّهْرِ-أي قَبْلَ فَرْضِ الظُّهْر -، وقَالَ: إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيها أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ[5]
“Sungguh Rasulullah Saw shalat 4 rakaat setelah matahahari tergelincir (ke arah barat) sebelum shalat fardhu dhuhur, dan beliau berkata: “Sungguh waktu tersebut adalah waktu yang di dalamnya pintu-pintu langit dibuka. Maka aku senang pada waktu tersebut amal salehku naik (dilaporkan kepada Allah Saw).
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keutamaan shalat qabliyah dhuhur.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari -radhiyallahu ‘anhu-, dari Nabi Saw, beliau bersabda:
أَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ لَيْسَ فِيهِنَّ تَسْلِيمٌ تُفْتَحُ لَهُنَّ أَبْوَابُ السَّمَاءِ [6]
“Shalat empat rakaat yang di dalamnya tidak ada ucapan salam (empat rakaat sekaligus tanpa dipisah salam untuk setiap dua rakaatnya), karenanya pintu-pintu langit akan dibukakan.”
Al-Mundziri berkata:
“Abu Dawud telah meriwayatkannya, redaksi tersebut adalah riwayatnya, dan Ibnu Majah. Dalam sanad mereka berdua terdapat ihtimal (kemungkinan untuk) menilainya sebagai hadits hasan. Ath-Thabarani meriwayatkannya dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath. Redaksinya berupa:
قَالَ لَمَّا نَزَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ -أَيْ حِينَ هَاجَر صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَ الْمَدِينَةَ-، رَأَيْتُهُ يُدِيمُ أَرْبَعًا -أَيْ يُدَاوِمُ على صَلَاةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ- قَبْلَ الظُّهْرِ، وَقَالَ: إِنَّهُ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَلَا يُغْلَقُ مِنْهَا بَابٌ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ.
“Abu Ayyub al-Anshari -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Ketika Rasulullah Saw singgah di tempatku (saat hijrah ke Madinah), saya melihat beliau melanggengkan shalat 4 rakaat sebelum dhuhur. Beliau bersabda: “Sungguh ketika matahari tergelincir (ke arah barat), maka pintu-pintu langit di buka. Lalu tidak satu pintu pun dari pintu-pintu tersebut dikunci (ditutup) sehingga shalat dhuhur dilaksanakan. Karena itu, aku senang ada kebaikan bagiku yang dilaporkan (kepada Allah Saw) pada waktu tersebut.”
Kata خَيْرٌ (kebaikan) maksudnya adalah amal saleh.
Abdullah mengatakan:
“Semestinya setiap muslim berkeinginan kuat melaksanakan shalat sunah qabliyah dhuhur segera setelah matahari tergelincir ke arah barat, dan memperbanyak doa pada waktu tersebut karena merupakan waktu mustajabah. Sebab, pintu-pintu langit sedang dibuka. Pada waktu tersebut tidak semestinya seorang muslim menyibukkan diri dengan urusan dunia dan harta bendanya yang cepat sirna, merugikan diri dengan menyia-nyiakan berbagai amal saleh, doa, karunia, dan keberkahan yang dapat bermanfaat baginya di kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.”
Laporan Mingguan dan Pelaporan Amal Kepada Allah SAW
Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzi meriwayat hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ عَلَى اللهِ تَعَالَى فِي كُلِّ يَوْمِ خَمِيسٍ وَاثْنَيْنِ، فَيَغْفِرُ اللهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ لِكُلِّ امْرِئٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ مَنْ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيَقُولُ اللهُ تَعَالَى: اُتْرُكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.
“Rasulullah Saw bersabda: “Amal-amal (manusia) dilaporkan kepada Allah Ta’ala pada setiap hari Kamis dan Senin. Maka Allah Ta’ala mengampuni setiap orang yang tidak menyekutukanNya pada apapun, kecuali seseorang yang di antara diri dan saudaranya terdapat permusuhan. Maka Allah Ta’ala berfirman: Tinggalkanlah mereka berdua sehingga berdamai.”
Dalam riwayat Imam Muslim terdapat redaksi:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ
“Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka diampunilah setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah pada apapun, kecuali orang yang di antara diri dan saudaranya terdapat permusuhan.”
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَومَ الإثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ ، فَأُحِبُّ أنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأنَا صَائِمٌ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَسَنٌ غَرِيبٌ)
“Amal-amal (manusia) dilaporkan (kepada Allah Ta’ala) pada setiap hari Kamis dan Senin. Maka aku senang amalku dilaporkan saat aku dalam kondisi berpuasa. (HR. At-Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits ini hasan gharib.“)
Dari Usamah bin Zaid -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّكَ تَصُومُ حَتَّى لَا تَكَادَ تُفْطِرُ، وَتُفْطِرُ حَتَّى لَا تَكَادَ أَنْ تَصُومَ –أيْ مُتَنَفِّلًا-، إِلَّا يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلَا فِي صِيَامِكَ، وَإِلَّا صُمْتَهُمَا. قَالَ: أَيُّ يَوْمَيْنِ؟ قُلْتُ: يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ. قَالَ: ذَلِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.[7]
“Saya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh anda berpuasa sehingga hampir tidak berbuka, dan anda berbuka sehingga hampir saja tidak berpuasa kecuali dua hari. Jika dua hari itu masuk pada (kebiasaan) puasa anda (maka anda puasa pada dua hari itu), dan jika tidak maka anda (tetap) memuasainya. Beliau bertanya: “Dua hari apa saja? Saya menjawab: “Hari Senin dan hari kamis.” Beliau berkata: “Itu adalah dua hari yang di dalamnya amal manusia dilaporkan kepada Tuhan sekalian alam, maka aku senang amalku dilaporkan sedangkan diriku dalam kondisi berpuasa.”
Dari Jabir -radhiyallahu ‘anhu-, sungguh Rasulullah Saw bersabda:
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَومَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ، فَمِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَيُغْفَرُ لَهُ، وَمِنْ تَائِبٍ فَيُتَابُ عَلَيْهِ، وَيُذَرُّ أَهْلُ الضَّغَائِنِ -أيْ الْحِقْدِ وَالبُغْضِ- لِضَغَائِنِهِمْ حَتَّى يَتُوبُوا.[8]
“Amal manusia dilaporkan pada hari Senin dan Selasa. Karena itu, adakah seseorang yang memohon ampun (pada kedua hari itu), maka ia diampuni? Adakah seseorang yang bertobat, maka diterima tobatnya? Dan orang-orang yang pendendam dan pemarah dibiarkan sehingga mereka bertobat.”
Dengan beberapa hadits tersebut seorang muslim bisa mengetahui kemulian dua hari ini, yakni hari Senin dan Kamis. Hendaknya ia menghindarkan diri dari (keinginan) membalas dendam dan marah agar kedua hal ini tidak menghalang-halangi pelaporan amal salehnya. Hendaknya pada kedua hari ini diperbanyak amal saleh dan perkataan yang baik. Sebab, sungguh hari-hari ini mempunyai berbagai hukum dan keistimewaan, serts menjadi wadah untuk setiap hal yang terjadi di dalamnya.
Maka janganlah memenuhi wadah-wadah hari anda, wahai orang yang berakal sempurna, melainkan dengan amal yang mendekatkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, akan datang kepada anda hari pembukaan wadah-wadah itu, setelah semuanya ditutup saat kematian. Akan tampak dan bermunculan segala yang terhimpun dalam wadah itu baik ucapan, amal dan kondisi anda. Bila isinya baik dan merupakan amal saleh, maka aroma wanginya semerbak, anda bahagia karenanya, senang, merasa aman, dan penuh suka cita. Bila buruk dan jelek, maka maka baunya busuk, kegelapannya meliputi anda, aib-aib anda akan dibuka di depan orang banyak, anda akan sedih dan merana. Allah Swt berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِمَنْ خَافَ عَذَابَ الْآخِرَةِ ذَلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ [هود: 103]
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).”[9]
Takdir Umur
Dalam bulan Sya’ban ditakdirkan umur manusia. Maksudnya adalah melahirkan dan menampakkan takdir ini. Sebab bila bukan begitu, maka sungguh perbuatan-perbuatan Allah Swt tidak terbatasi dengan waktu maupun tempat, Ia berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌوَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير [الشورى: 11]
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”
Dalam hadits Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- telah diriwayatkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ. قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَحَبُّ الشُّهُورِ إِلَيْكَ أنْ تَصُومَهُ شَعْبَانُ؟ قَالَ: إنَّ اللهَ يَكْتُبُ فِيهِ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مَيْتَةً تِلْكَ السَّنَةَ, فَأُحِبُّ أنْ يَأْتِيَنِي أجَلِي وَأنَا صَائِمٌ. (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى، وَهُوَ غَرِيبٌ وَإسْنَادُهُ حَسَنٌ)[10]
“Sungguh Nabi Saw telah memuasai bulan Sya’ban seluruhnya. ‘Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah bulan yang paling membuat senang untuk anda puasai adalah bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Sungguh dalam bulan Sya’ban Allah telah memutuskan kematian bagi setiap manusia, maka aku senang ajalku tiba (diputuskan) di saat aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. Abu Ya’la, hadits ini adalah hadits gharib, dan sanadnya hasan)
Karena itu, beliau Saw memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- meriwayatkan:
كَانَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ وَلَا يَفْطُرُ حَتَّى نَقُولَ: مَا فِي نَفْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنْ يَفْطُرَ الْعَامَ، ثُمَّ يَفْطُرُ فَلَا يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: مَا فِي نَفْسِهِ أنْ يَصُومَ الْعَامَ. وَكَانَ أَحَبُّ الصَّوْمِ إلَيْهِ فِي شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw berpuasa, kemudian tidak berbuka sehingga kami katakan: Tidaklah diri Rasulullah Saw akan berbuka (tidak berpuasa selama) setahun ini, lalu beliau berbuka dan tidak berpuasa sehingga kami berkata: “Tidaklah dirinya akan berpuasa selama setahun ini. Dan puasa yang paling menyenangkan beliau adalah puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Ahmad dan ath-Thabarani )
[1] HR. al-Bukhari. Baca, al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn al-Katsir, 1987), Juz IV, h. 1797. (Penerjemah).
[2]At-Targhib wa at-Tarhib, karya al-Mundziri, Juz II, h. 48.
[3]Menurut Ibn Huzaimah sesuai kutipan Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa, hadist ini bersatus shahih. Baca, Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (ttp.: Dar al-Fikr, tt.), Juz II, h. 69. (Penerjemah)
[4]Maksudnya andaikan Allah Swt membuka hijabNya yang bernama nur, niscaya nur keagungan, dan kewibawaan Allah Swt akan membakar habis semua makhluknya. Baca, an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, 1392 H), Juz III, h. 13-14. (Penerjemah).
[5]At-Tirmidzi berkata: “Ini hadist hasan.” Baca, At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, tt.), Juz II, h. 342.
[6] Kataتَسْلِيمٌ menurut al-Baghawi diartikan sebagai tasyahud. Ath-Thibi menambahkan:
“Tasyahud disebut dengan kata تَسْلِيمٌ karena tasyahud mencakup ucapan salam.”
Sedangkan kalimat تُفْتَحُ لَهُنَّ أَبْوَابُ السَّمَاءِ (karenanya akan dibukakan pintu-pintu langit) merupakan kinayah dari penerimaan yang baik dan cepat sampai kepada Allah Swt. Baca, Al-Munawi, Faidh al-Qadir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H/1994 M), Juz I, h. 198. (Penerjemah).
[7]HR. An-Nasa’i.
[8]HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, dan perawinya adalah perawi-perawi tsiqah. Nurruddin al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H), Juz VIII, h. 128. (Penerjemah)
[9] Demikian ringkasan kitab Shu’ud al-Aqwal wa Raf’ al-A’mal ila al-Kabir al-Muta’al, karya Syaikh Abdullah Sirajuddin.
[10]Demikian redaksi dalam kitab at-Targhib wa aTarhib. Begitu pula redaksi dalam naskah cetakan kitab Musnad Abi Ya’la Juz VIII h. 312 hadits nomor 4911. Namun sudah jelas bahwa sabda Nabi Saw:
فَأُحِبُّ أنْ يَأْتِيَنِي أجَلِي وَأنَا صَائِمٌ
“Maka aku senang ajalku tiba (diputuskan) di saat aku dalam kondisi berpuasa.”
telah terdistorsi. Yang valid adalah:
فَأُحِبُّ أنْ يُرْفَعَ – أوْ أنْ يُكْتَبَ- عَمَلِي وَأنَا صَائِمٌ
“Maka aku senang amalku dilaporkan (atau ditetapkan) di saat aku dalam kondisi berpuasa.”
Redaksi ini terdapat dalam banyak riwayat shahih yang hadir dalam bab ini selain hadits tersebut. Seperti sabda Nabi Saw:
شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ (رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
“(Sya’ban) adalah bulan yang di dalamnya amal manusia dilaporkan, maka aku senang amalku dilaporkan di saat aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. an-Nasa`i)
Redaksi inilah yang sesuai dengan konteks pembicaraan Nabi ( dan merupakan redaksi hadits yang secara jelas terdapat pada riwayat al-Khatib dalam kitabnya at-Tarikh, dengan sanadnya sampai kepada Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-. Di situ ada pula redaksi:
وَأُحِبَّ أنْ يُكْتَبَ أجَلِي وَأنَا فِي عِبَادَةِ رَبِّي
“Dan aku senang ajalku ditentukan sedangkan diriku dalam kondisi beribadah kepada Tuhanku.”
← Menjaga Solidaritas Sosial
Keutamaan Puasa Bulan Sya’ban →
Tidak ada komentar:
Posting Komentar