Minggu, 14 Juni 2015

Kuburan didalam masjid atau sholat dekat kuburan

stop menuduh syirik

Kita lihat kembali perkataan Al-Baidhawi rahimahullah :

"Adapun orang yang menjadikan mesjid di dekat (kuburan) seorang yang sholeh dan bermaksud untuk mencari keberkahan dengan dekat dari orang sholeh tersebut, dan bukan untuk mengagungkannya dan juga bukan untuk mengarah kepadanya (tatkala sholat-pen) maka tidak termasuk dalam ancaman (laknat-pen) tersebut"

Kontradiksi perkataan Al-Baidhowi yang melarang pengagungan terhadap kuburan orang sholeh, namun membolehkan sholat di dekat kuburan orang sholeh untuk bertabaruuk.Bertabaruuk dengan kuburan orang sholeh itu bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap kuburan tersebut.

Setelah menukil perkataan Al-Baidhowiy, As-Shon'aani berkata :

"Aku katakan : Perkataan Al-Baidhoowi : "Bukan untuk mengagungkannya", maka jawabannya :

(*1)"Membangun masjid-masjid di dekatnya dan sengaja bertabaruuk (mencari barokah) dengannya merupakan (bentuk) pengagungan kepadanya.

(*2)Kemudian hadits-hadits yang melarang datang secara mutlak, tidak ada dalil yang menunjukan ta'lil (sebab larangan) sebagaimana yang disebutkan oleh Baidhoowi.

(*3) Tampaknya 'illahnya (sebab pelarangannya) adalah :

-       sadd adz-dzarii'ah (*menutup pintu yang mengantarkan pada keysirikan)

-      dan juga menjaauh dari bertasyabbuh (menyerupai) para penyembah berhala yang mereka mengagungkan benda-benda mati yang tidak mendengar dan tidak memberi manfaat atau bahaya

-       dan juga mengeluarkan biaya harta untuk hal ini termasuk perkara sia-sia dan mubadzir yang sama sekali kosong dari manfaat,

-       dan hal ini juga menyebabkan pemasangan lantera di atas kuburan yang pelakunya dilaknat

-     serta kerusakan-kerusakan yang tidak terhingga yang timbul akibat membangun di atas kuburan berupa masyaahid (situs ziarah) dan kubah-kubah di atas kuburan" (Subulus salaam syarh Buluughil Maroom, Daar Al-Ma'aarif, cetakan pertama, juz 1 hal 445)


Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata :

"Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, "Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak". Al-Haafizh Abu Muusa berkata, "Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za'farooni rahimhullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A'lam".(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab 5/289)

Nukilan ini sangatlah tinggi nilainya dalam madzhab As-Syafiiah, dari sisi-sisi berikut:

Yang menukil adalah Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang dikenal sebagai muhaqqiqul madzhab. Tentunya para pemakmur kuburan yang senantiasa berkecimpung dengan madzhab As-Syafii sangat mengetahui kedudukan Imam An-Nawawi dalam madzhab As-Syafii, bahkan dialah yang paling paham tentang pendapat-pendapat para ulama As-Syafi'iyah, demikian juga perbedaan pendapat yang di antara para ulama As-Syafiiyah.

Ibnu Hajr Al-Haitsami As-Syafii berkata :

أَنَّ الْكُتُبَ الْمُتَقَدِّمَةَ عَلَى الشَّيْخَيْنِ لَا يُعْتَمَدُ شَيْءٌ مِنْهَا إلَّا بَعْدَ مَزِيدِ الْفَحْصِ وَالتَّحَرِّي حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ الْمَذْهَبُ وَلَا يُغْتَرُّ بِتَتَابُعِ كُتُبٍ مُتَعَدِّدَةٍ عَلَى حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ هَذِهِ الْكَثْرَةَ قَدْ تَنْتَهِي إلَى وَاحِدٍ ....

وَهَكَذَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ أَيْ مَا لَمْ يُجْمِعْ مُتَعَقِّبُو كَلَامِهِمَا عَلَى أَنَّهُ سَهْوٌ

"Sesungguhnya kitab-kitab (*fiqh madzhab Asy-Syafi'i) yang terdahulu sebelum dua syaikh (*yaitu Ar-Roofi'i dan An-Nawawi) tidaklah  dijadikan sandaran kecuali setelah pengecekan dan pemeriksaan yang ekstra sehingga kita mencapai perkiraan kuat bahwasanya hal itu (*suatu hukum fiqh) adalah madzhab Asy-Syafii. Dan janganlah terpedaya dengan banyaknya buku yang menyebutkan satu hukum karena buku-buku yang banyak tersebut bisa jadi kembalinya kepada satu buku saja…

Dan demikianlah yang menjadi patokan adalah apa yang disepakati oleh keduanya (*Ar-Rofi'i wa An-Nawawi) yaitu selama para pengkritik perkataan mereka berdua tidak bersepakat bahwa kesepakatan mereka berdua tersebut adalah sahw (*keteledoran)…"(Tuhfatul Muhtaaj juz 1/40)

Bahkan jika terjadi perbedaan antara Ar-Rofii dan An-Nawawi dalam mengenal pendapat yang roojih menurut madzhab As-y-Syafii maka didahulukan pendapat An-Nawawi dari pada pendapat Ar-Rofii

Al-Imam An-Nawawi menukil hal ini dalam kitabnya Al-Majmuu', yang telah masyhuur bahwa kitab beliau Al-Majmuu' memiliki tempat yang tinggi di hati para pengikut madzhab Syafi'i terutama dalam mengenal pendapat yang sesungguhnya merupakan madzhab syafii dan juga mengenal perbedaan pendapat dan wujuuh dalah fiqih As-Syafii.

Al-Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hal ini merupakan nas (yaitu perkataan) dari Al-Imam As-Syafii

Al-Imam An- Nawawi menyatakan bahwa nash dari Al-Imam Asy-Syafii sepakat dengan nash-nash Ash-hab. Dan tentunya para pemakmur kuburan yang mengaku bermadzhab Asy-Syafi'i mengerti pengertian الأَصْحَاب "Ash-hab" dalam perkataan Al-Imam An-Nawawi di atas. Yaitu para ulama besar Syafi'iyah yang telah mencapai derajat yang tinggi sehingga mereka memiliki ijtihad-ijtihad dalam fiqih yang mereka keluarkan (takhrij) berdasarkan metode ijtihad (ushul) Imam Asy-Syafii dan mereka mengambil istinbath hukum-hukum dengan mempraktekan kaidah-kaidah Imam Asy-Syafii. Ibnu Hajr Al-Haitami berpendapat bahwa Ash-hab berakhir pada abad ke-4 H (lihat Al-Fatawa Al-Kubro Al-Fiqhiyah 4/63)

Dan ternyata para ulama yang dikenal dengan ashabul wujuh ini sepakat dengan nash Imam Asy-Syafii. Maka hal ini menunjukan bahwa para ulama besar yang merupakan patokan di madzhab Asy-Syafii telah sepakat akan hal ini, yaitu tidak bolehnya membangun di atas kuburan orang sholeh dan tidak boleh sholat ke arah kuburan orang sholeh.

An-Nawawi juga telah menukil kesepakatan para ulama Beliau rahimahullah berkata :



"Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) adalah ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau 'alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.

Dan hendaknya jangan terpedaya oleh  banyaknya orang awam yang menyelisihi hal ini, karena teladan dan amalan itu dengan perkataan para ulama. Jangan berpaling pada perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan oleh orang-orang awam dan kebodohan-kebodohan mereka. Sungguh yang mulia Abu Ali  al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam perkataannya :

"Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya yang sedikit. Berhati-hatilah akan jalan kesesatan dan jangan terpedaya oleh banyaknya orang yang binasa (*karena mengikut jalan kesesatan tersebut)." Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwasanya mengusap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah,  maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syari'at dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??" (Lihat Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab 8/257, perkataan An-Nawawi ini juga terdapat dalam Hasyiah Al-'Allamah Ibni Hajr al-Haitami 'ala Syarh Al-Idhoh fi Manasik Al-Haj, cetakan Dar Al-Hadits, Beirut, Libanon hal. 501)


Sebagian pemakmur kuburan berdalil, dengan apa yang termaktub dalam kitab Roudhoh at-Thoolibiin karya Imam An-Nawawi, sebagaimana berikut ini :

"Boleh bagi seorang muslim atau seorang kafir dzimmi untuk berwashiat untuk mengurus (*membangun) al-masjid al-aqsho dan masjid-masjid yang lainnya, dan juga untuk membangun kuburan para nabi, para ulama, dan sholihin, karena hal itu menghidupkan ziaroh dan bertabarruk dengan kuburan-kuburan tersebut" (Roudotut Thoolibiin, tahqiiq : Adil Ahmad Abdul Maujuud dan Ali Muhammad Mu'awwadl. Cetakan Daar 'Aalam al-Kutub, juz 5 hal 94)

Imam An-Nawawi  dalam madzhab as-Syafii dalam kitabnya Roudhot Toolibiin. Beliau berkata –menjelaskan metode penulisan kitab beliau ini-:

"Dan aku menyebutkan seluruh fiqih kitab (*yaitu kitab Al-'Aziiz syarh al-wajiiz karya Ar-Rofi'i yang kemudian diringkas oleh An-Nawawi dalam Roudotut Toolibiin), bahkan aku menyebutkan wajah-wajah (*pendapat-pendapat para ulama besar syafiiyah) yang aneh nan munkar, dan aku mencukupkan dalam menyebutkan hukum-hukum tanpa mengkritik dengan kritikan lafzia" (Roudot Toolibiin, juz 1 hal 113)

Kitab al-Majmuu' karya an-Nawawi lebih didahulukan daripada kitab Roudotut Tolibin (lihat penjelasan Ibnu Hajr al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaaj 1/40)

Ketiga : Sebagian ulama As-Syafiiah menafsirkan kata 'imaaroh dalam teks di atas adalah bukan membangun bangunan seperti kubah di atas kuburan, akan tetapi maksudnya adalah mengembalikan tanah dan memperbaiki kuburan tersebut sehingga tidak hilang tanda-tandanya.

Az-Zarkasyi berkata dalam kitabnya Al-Khoodim,

"Akan tetapi ta'lil yang disebutkan disini (*yaitu membangun kuburan para nabi dan solihin) karena untuk menghidupkan ziaroh menunjukan bolehnya 'imaaroh kuburan secara mutlak. Dan An-Nawawi diam (*tidak berkomentar) mengikuti asal kitab (*yaitu syarh al-Wajiiz karya Ar-Rofii yang juga menyebutkan tentang 'imaaroh kuburan sholihin) tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata 'imaaroh?. Jika yang dimaksud dengan 'imaaroh adalah membangun kuburan dengan peralatan dan membangun (*bangunan) di atas kuburan maka hal ini tidak diperbolehkan, demikian juga jika ia berwashiat untuk membangun kubah dan maksudnya adalah untuk mengagungkan kuburan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.

Dan jika yang dimaksud dengan 'imaaroh kuburan adalah mengembalikan tanah ke kuburan dan melazimi kuburan karena khawatir timbulnya rasa keterasingan dan sebagai pemberitahuan bagi orang-orang yang menziarahinya agar tidak hilang kuburan tersebut maka maknanya dekat (*pada kebenaran)" (Sebagaimana dinukil oleh muhaqqiq kitab Roudhotut Tolibiin dalam catatan kaki kitab Roudotut Toolibiin juz 5 hal 94)

Keempat : Ibnu Hajar Al-Haitami (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rofii dan An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab As-Sayfii adalah dilarangnya membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin.

Dalam Al-fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubroo Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :

وما قَوْلُكُمْ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِكُمْ وَأَعَادَ عَلَيْنَا من بَرَكَتِكُمْ في قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ في الْجَنَائِزِ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ على الْقَبْرِ وَقَالَا في الْوَصِيَّةِ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ قُبُورِ الْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ لِمَا في ذلك من الْإِحْيَاءِ بِالزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بها هل هذا تَنَاقُضٌ مع عِلْمِكُمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَنْفُذُ بِالْمَكْرُوهِ فَإِنْ قُلْتُمْ هو تَنَاقُضٌ فما الرَّاجِحُ وَإِنْ قُلْتُمْ لَا فما الْجَمْعُ بين الْكَلَامَيْنِ؟


"Dan apa pendapat anda –semoga Allah memperpanjang umar anda dan memberikan kepada kami bagian dari keberkahanmu- tentang perkataan dua syaikh (*Ar-Rofi'I dan An-Nawawi) dalam (*bab) janaa'iz : "Dibencinya membangun di atas kuburan", akan tetapi mereka berdua berkata dalam (*bab) wasiat : "Dibolehkannya berwasiat untuk 'imaaroh kuburan para ulama dan solihin karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan kuburan tersebut". Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi?, padahal anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci. Jika anda mengatakan perkataan mereka berdua kontradiktif maka manakah yang roojih (*yang lebih kuat)?, dan jika anda mengatakan : "Tidak ada kontradikisi (*dalam perkataan mereka berdua)", maka bagaimana mengkompromikan antara dua perkataan tersebut?  (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 2/17)

Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab :

الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ


"Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu') syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut maka dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan sholihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi, Khodim Ar-Rofi'i wa Ar-Roudhoh, wallahu a'lam) yang menyelisihi hal ini maka lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu 'anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang dimaksud dengan musabbalah –sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri pekuburan. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika telah jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan oleh penanya maka diharamkan membangun di situ dan haurs dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh atau ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya. (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17)

Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafii juga berkata :

وَوَجَبَ على وُلَاةِ الْأَمْرِ هَدْمُ الْأَبْنِيَةِ التي في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ وَلَقَدْ أَفْتَى جَمَاعَةٌ من عُظَمَاءِ الشَّافِعِيَّةِ بِهَدْمِ قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَإِنْ صُرِفَ عليها أُلُوفٌ من الدَّنَانِيرِ لِكَوْنِهَا في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ وَهَذَا أَعْنِي الْبِنَاءَ في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ مِمَّا عَمَّ وَطَمَّ ولم يَتَوَقَّهُ كَبِيرٌ وَلَا صَغِيرٌ فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ


"Dan wajib atas para penguasa untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang terdapat di pekuburan umum. Sekelompok ulama besar madzhab syafii telah berfatwa untuk menghancurkan kubah (*di kuburan) Imam As-Syafi'i radhiallahu 'anhu, meskipun telah dikeluarkan biaya ribuan dinar (*untuk membangun kubah tersebut) karena kubah tersebut terdapat di pekuburan umum. Dan perkara ini –maksudku yaitu membangun di pekuburan umum- merupakan perkara yang telah merajalela dan tidak menghindar darinya baik orang besar maupun orang kecil" (al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/25)

Ibnu Hajar juga berkata

"Sebagaimana diisyaratkan riwayat (hadits) "Jika ada di antara mereka orang sholeh" Dari sini berkata para sahabat kami (*yaitu para ulama besar Syafi'iyah) : "Diharamkan sholat menghadap kuburan para nabi dan para wali untuk mencari barokah dan pengagungan", mereka mensyaratkan dua perkara, yaitu: (1) kuburan orang yang diagungkan, (2) maksud dari sholat menghadapnya -dan yang menyerupainya sholat di atas kuburan- adalah mencari keberkahan dan pengagungan. Dan sangat jelas dari hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana engkau telah mengetahuinya. Dan seakan-akan Nabi mengkiaskan terhadap hal ini seluruh bentuk pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lentera di atas kuburan dalam rangka pengagungan atau untuk mencari keberkahan. " (Az-Zawaajir 'an Iqtirof al-Kabair 1/155)

HUKUM SHOLAT DI MASJID YANG ADA KUBURNYA

ZIARAH KUBUR WAHABI
Sholat di dalam masjid yang ada kuburnya, entah itu di sebelahnya atau juga berdampingan dengan masjid, atau juga kuburan yang berada di areal masjid tidak mutlak diharamkan oleh Jumhur ulama. Dan ini bukanlah perkara yang baru, akan tetapi sejak dulu ulama sudah membahas ini.
Kelompok Yang Mengharamkan
Namun kemudian, ada yang ulama yang mengharamkan praktek sholat di masjid yang ada kuburannya, yaitu kelompok ulama yang menamakan dirinya dengan kelompok Salafi. Dengan dalil hadits nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abu Huriaroh ra:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah swt melaknat orang-orang yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka masjid (tempat bersujud)” (HR. Bukhori 417 / Muslim 825)
Dan hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh beberapa Imam Sunan hadits dengan redaksi yang mirip. Imam Al-Suyuthi menambahkan redaksi [وصالحيهم] wa Sholihim (orang-orang sholih mereka) berdasarkan riwayat muslim.
Dengan dasar hadits ini, mereka mengharamkan melakukan sholat di dalam masjid yang ada kuburannya, toh mendirikan masjid di atas atau sekitaran masjid saja tidak boleh, berarti sholatnya juga tidak boleh. Dan sholatnya menjadi tidak sah plus dia berdosa. Karena Allah swt melaknat orang-orang yahudi dan nasrani, dan kita diperintah untuk menyelisih mereka.
Bahkan salah satu ulamanya berfatwa ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau memberikan jawaban bahwa masjid itu harus dihancurkan atau kuburan itu yang harus di pindahkan.[1]
Namun ketika ditanya tentang “bagaimana hukum sholat di dalam masjid Nabawi yang di dalamnya ada kuburan Rasulullah saw dan juga sahabat yang lain?”
Mereka menjawab bahwa masjid Nabawi itu di khususkan, bahwa masjid itu lebih dulu dibangun dan kemudian dilebarkan akhirnya menjadikan kuburan Nabi saw masuk dalam masjid.
Kelompok Yang Membolehkan
Kelompok yang membolehkan sholat di dalam masjid yang ada kuburannya ialah ulama dari kalangan  madzhab Fiqih tanpa tercela[2], kecuali madzhab Hanbali yang mengharamkan[3].
Akan tetapi jika kuburannya itu ada di seberang pengimbaran imam, itu dimakruhkan dan sholatnya tetap sah. Ini pendapat 4 madzhab fiqih selain madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Dan pendapat mayoritas inilah yang diikuti oleh ulama komtemporer sekarang, tentu selain kelompok salafi itu. Salah satu yang mewakilinya ialah para ulama yang tergabung dalam dewan fatwa Mesir [دار الإفتاء المصرية] Daar Al-Ifta Al-Mishriyah. Sebagaimana telh mereka jelaskan dalam beberapa fatwa mereka.
Dan sudah pasti mereka mengikuti bukan tanpa dalil tapi justru dengan dalil yang sangat kuat. Mereka berdalil dengan Al-Quran, Sunnah, Kesepakatan para sahabat Nabi saw, dan juga kesepakatan umat.
1.    Makam Sahabat Abu Bashir:
Imam Ibnu Abdil-Barr dalam kitabnya Al-Istii’aab meriwayatkan bahwa seorang sahabat yang bernama Abu Bashir, ketika ia meninggal dunia para sahabat membangun masjid di atas kuburannya (di sekitranya). Dan pada saat itu Nabi saw masih hidup, akan tetapi tidak ada satu riwayat pun yang sampai saat ini bahwa Nabi saw melarangnya.
Bahkan para sahabat yang diceritakan ketika itu mngetahui pendirian masjid di atas kuburan Abi Bashir sejumlah 300 sahabat, tidak ada satu pun dari mereka yang menentangnya.[4] Ini bukti sebuah kebolehan, karena kalau perkara itu dilarang pastilah akan sampai riwayat ke kita saat ini yang melarang itu.
Karena Nabi saw dan para sahabat tidak akan diam untuk sebuah kemaksiatan.
*Kritik
Berhujjah dengan dalil riwayat cerita ini memang lemah, karena cerita ini sudah sejak dahulu kala, ceritanya sudah sejak lama sekali sedangkan riwayat hadits Nabi Muhammad saw yang melaknat prilaku orang Yahudi dan Nasrani itu dikatakan oleh beliau saw beberapa hari sebelum wafat. Yaitu di hari rabu dan beliau wafat di hari senin setelah itu. Bisa jadi riwayat ini menghapus apa yang terjadi pada masanya Abu Bashir.
2.    Pemilihan Makam Nabi saw:
Ini juga dikuatkan oleh praktek yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw ketika wafatnya beliau saw, yang diceritakan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththo’. Ketika itu para sahabat berselisih dimana akan memakamkan Nabi saw, Imam Malik berkata:

فَقَالَ نَاسٌ يُدْفَنُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ، وَقَالَ آخَرُونَ يُدْفَنُ بِالْبَقِيعِ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ فَقَالَ سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقُولُ مَا دُفِنَ نَبِيٌّ قَطُّ إلَّا فِي مَكَانِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَحُفِرَ لَهُ فِيهِ

“orang-orang berkata: ‘kuburkan (nabi) di mimbar (masjid Nabawi)’, yang lain berkata juga: ‘kuburkan di pemakaman baqi”. Kemudian Abu bakr datang dan berkata: ‘aku pernah mendengar Nabi saw bersabda bahwa tidak ada nabi yang meninggal dunia kecuali ia dikuburkan ditempat dimana ia wafat’. Kemudian di gali lah di dalam kamar Nabi tersebut”[5]
Kesimpulan yang diambil dari hadits ini ialah bahwa ada sekelompok sahabat yang malah menyarankan untuk Nabi dikuburkan di mimbar, dan mimbar itu bukan di luar masjid, tapi memang benar-benar di dalam masjid.
Kalau memang itu dilarang oleh Nabi saw, dan hadits pelaknatan Yahudi dan nasrani itu pun sudah turun, kenapa ada sahabat yang masih berani menyarankan itu?
Dan setelah mereka menyarankan itu, tidak ada sekelompok sahabat lainnya yang menghardik sarannya tersebut jika memang itu melanggar ketentuan syariat? Tapi nyatanya tidak ada.
Dan Abu bakr, yang akhirnya menjadi pengambil keputusan bahwa Nabi dikuburkan di kamarnya sendiri (kamar ‘Aisyah), itu bukan berdasarkan bahwa saran-saran sahabat lain itu terlarang, tapi karena memang Nabi mewasiatkan itu.
Apa mungkin para sahabat Nabi saw membiarkan sebuah pelanggaran syariat.
3.    Kamar ‘Aisyah Menempel Dengan Masjid
Jadi memang Nabi wafat ketika belaiu berada di kamar ‘Aisyah ra, dan sudah maklum (diketahui) bahwa kamar para istri-istri Nabi saw itu berdempetan dengan masjid Nabawi termasuk kamar ‘Aisyah. Jadi kuburan Nabi memang berada tepat disamping Masjid dan bahkan berdempetan tak terbatas sangat dekat sekali.
Dan para sahabat tetap melaksanakan sholat di masjid Nabawi dengan tenang, tanpa ada yang risih dan gundah. Semua baik-baik saja padahal kuburan Nabi menempel erat dengan masjid. Karena kalau memang itu terlarang, pastilah mereka tidak diam.
Tapi sama sekali tidak ada dari para sahabat yang memang dekat dengan Nabi, mengetahui sunnah dengan benar, para penghafal Al-quran, mengetahui sebab turunnya Al-quran, tidak ada dari mereka yang menyarankan untuk memindahkan kuburan Nabi, atau bahkan memindah masjid Nabawi ketempat yang berjauhan dengan kuburan. Tidak ada!
Dan apa yang kita lihat sekarang di Indonesia atau kebanyakan Negara-negara Islam itu ya seperti ini. Bahwa banyak masjid-masjid yang dibangun itu bersebelahan dengan makan orang-orang sholih dari kaum tersebut. Termasuk para wali Allah swt.
Dan ini telah menjadi kesepakatan para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim
-       Khusus Kuburan Nabi saw
Kalau dikatakan bahwa itu kuburan Nabi dan itu dikhususkan, maka selain kuburan Nabi itu yang terlarang. Ini pengkhususan yang keliru dan salah.
Sejatinya hukum dalam syariat itu umum berlaku untuk siapa saja dari kaum muslim walaupun itu awal pensyariatannya terjadi pada salah satu sahabat, atau terjadi pada Nabi sendiri. Dan pengkhususan hukum syariah tidak bisa berlaku kecuali dengan adanya dalil bahwa itu memang khusus untuk Nabi saw.
Dan sama sekali tidak ditemukan dalil yang mengkhususkan bahwa kalau kuburan Nabi boleh dan kuburan selain Nabi Muhammad saw tidak boleh. Ini tidak ada dasarnya dan dalil?
Alasan pengkhususan kuburan Nabi juga menjadi tidak benar, Toh di masjid Nabawi itu bukan hanya ada kuburan Nabi saw, tapi juga ada kuburan Abu Bakr, Umar bin Khohthtob dan juga Imam Abu Syuja’. Tapi tidak ada satu ulama pun di dunia ini yang menyalahkan seorang muslim sholat di masjid nabawi.
4.    Ijma’ Ummah
Para ulama yang tegabung dalam dewan fatwa Mesir [دار الإفتاء المصرية] Daar Al-Ifta Al-Mishriyah menggunakan kata “Ijma’”, yang berarti bahwa ini adalah kesepakatan seluruh umat Islam sejagad tanpa ada yang menyelisih.
Bahwa sejak dulu sampai saat ini, semua orang muslim bersepakat bahwa sholat di masjid Nabawi itu sah, walaupun di dalamnya ada kuburan Nabi, Abu Bakr, Umar dan juga Imam Abu Syuja’.
Dan tidak ada para sahabat dan ulama tidak ada yang menentang keputusan salah satu khalifah untuk memugar Masjid Nabawi dan memasukkan kuburan Nabi serta Imam lainnya ke dalam masjid Nabawi. Terlepas dari mana lebih dulu, kuburan atau masjid, nyatanya sekarang kuburan itu berada dalam masjid.
Sebagaimana dijelaskan diatas, kenapa harus dikhususkan, toh di dalamnya bukan hanya kuburan Nabi saw. [6]
5.    Hadits Pelaknatan Orang Nasrani dan Yahudi
Kemudian perihal hadits yang menyatakan bahwa orang yahudi dan Nasrani dilaknat oleh Allah swt karena menjadikan kuburan para Nabi dan orang-orang sholih mereka masjid tempat beribadah, itu tidak seperti yang dijelaskan oleh para penentang sholat di dalam masjid yang ada kuburannya itu.

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah swt melaknat orang-orang yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka masjid (tempat bersujud)” (HR. Bukhori 417 / Muslim 825)
Imam Al-Suyuthi menambahkan redaksi [وصالحيهم] wa Sholihim (orang-orang sholih mereka) berdasarkan riwayat muslim. Pelarangan dalam hadits ini bukanlah dimaksudkan sebagai pelarangan membangun masjid di atas atau sekitaran sebuah kuburan atau makam.
-       Proses Penentuan Hukum
Para ulama tidak menafsirkan apa yang ada dalam hadits tersebut secara tekstual begitu saja. Perlu diketahui bahwa, seorang ulama –dan ini sudah menjadi aturan baku- dalam menentukan sebuah hukum tidak hanya bersandar pada satu sumber saja.
Kalau ada sebuah ayat dan juga hadits, beliau akan mencari dengan segenap kemampuannya semua dalil baik itu itu dari Al-Quran dan Sunnah yang memang berkaitan dengan masalah yang sedang digarap itu. Tidak grasak grusuk langsung memvonis hanya dengan satu hadits, itu bukan tabiat seorang ulama.
Jadi di atas meja ulama itu berkumpul puluhan ayat serta hadits yang berhubungan dengan masalah yang dicari. Kemudian mulailah beliau melakukan sebuah pemindaian (instinbath)¸yang kemudian lahirnya sebuah produk ijtihad yang baik dan sesuai koridor.
-       Ada Qorinah (Pembanding)
Hadits diatas –setelah pencarian oleh ulama- ternyata punya [قرينة] “Qorinah”, yaitu hadits lain yang jadi pembanding sehingga makna bukan seperti tekstual yang ada dalam hadits tersebut.
Yang dimaksud dalam larangan diatas bukanlah mendirikan kuburan di atas atau sekitaran. Akan tetapi yang dilarang dalam hadits tersebut ialah menyembah kuburan tersebut, menjadikannya tempat tujuan bersujud, dan menghadapkan diri ke kuburan itu untuk bersembahyang.
Ini dijelaskan dalam beberapa riwayat, termasuk riwayat Imam Malik dalam kitabnya Muwaththo’:

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Dari Atho’ bin Yasar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Allahumma (ya Allah) Janganlah kau jadikan kuburanku (bagai) berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan mereka tempat bersujud (masjid)”[7]
Jadi memang [اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّه] kemurkaan Allah itu muncul karena adanya penyembahan kepada selain Allah swt, karena itu Rasul saw berdoa agar kaumnya (umat Islam) tidak menjadikan kuburannya sebagai sesembahan [اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا] yang kemudian mengbuahkan kemurkaan dan kelaknatan sebagaimana kaum-kaum sebelumnya yang dilaknat karena menyembah kuburan itu.
Imam Al-Sanadi dalam hasyiyah-nya mengatakan perihal hadits ini:

وَمرَاده بذلك أَن يحذر أمته أَن يصنعوا بقبره مَا صنع الْيَهُود وَالنَّصَارَى بقبور أَنْبِيَائهمْ من اتخاذهم تِلْكَ الْقُبُور مَسَاجِد

“yang dimaksud ialah Nabi saw mengecam umatnya memperlakukan kuburan sebagaimana orang yahudi dan nasrani memperlakkan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat sujud”[8]

وَمُجَرَّد اتِّخَاذ مَسْجِد فِي جوَار صَالح تبركا غير مَمْنُوع

“dan hanya mendirikan bangunan di samping kuburannya orang sholih guna meraih keberkahan itu tidak dilarang”[9]
Karena sejatinya redaksi kata [مساجد] itu jama’ (plural) dari [مسجد], yaitu ism Makan (kata tempat) dari Fi’il (kata Kerja) [سجد] sajada, yang berarti itu bersujud. Jadi memang yang dimaksud itu bersujud, yaitu menyembah kuburan. Bukan mendirikan masjid di atas atau sekitaran makam tersebut.
Imam Al-Baidhowi sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Zarqoni dalam kitabnya yang menjadi penjelas kitab Muwaththo’ Imam Malik, mengatakan:

لَمَّا كَانَتِ الْيَهُودُ يَسْجُدُونَ لِقُبُورِ الْأَنْبِيَاءِ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِمْ وَيَجْعَلُونَهَا قِبْلَةً وَيَتَوَجَّهُونَ فِي الصَّلَاةِ نَحْوَهَا فَاتَّخَذُوهَا أَوْثَانًا لَعَنَهُمُ اللَّهُ، وَمَنَعَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ مِثْلِ ذَلِكَ وَنَهَاهُمْ عَنْهُ، أَمَّا مَنِ اتَّخَذَ مَسْجِدًا بِجِوَارِ صَالِحٍ أَوْ صَلَّى فِي مَقْبَرَتِهِ وَقَصَدَ بِهِ الِاسْتِظْهَارَ بِرُوحِهِ وَوُصُولَ أَثَرٍ مِنْ آثَارِ عِبَادَتِهِ إِلَيْهِ لَا التَّعْظِيمَ لَهُ وَالتَّوَجُّهَ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَدْفَنَ إِسْمَاعِيلَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ عِنْدَ الْحَطِيمِ، ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ الْمَسْجِدَ أَفْضَلُ مَكَانٍ يَتَحَرَّى الْمُصَلِّي بِصَلَاتِهِ.

“ketika orang Nasrani dan Yahudi menyembah kuburan nabi-nabi mereka sebagai pengagungan kedudukan mereka, dan menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat dalam sholatnya, dan menjadikan kuburan itu sesembahan, Allah melaknat mereka. Dan melarang umat islam untuk berlaku seperti itu (org Yahudi dan Nasrani)
Sedangkan membangun masjid di samping kuburan orang sholih, atau sholat di sekitar pemakamannya, bermaksud menimbulkan ruh spriritualnya dan mencapai (mengikuti) atsar ibadahnya, bukan untuk mengagungkannya dan juga tidak menjadikannya kiblat dalam sholat (menyembahnya) maka itu tidak mengapa”[10]
Dan kesyirikan yang model seperti ini yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana dikuatkan oleh firman Allah swt:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (Al-Taubah 31)
-       Target Poin Hadits
Dan juga harus diperhatikan, bahwa yang dituju oleh Nabi dengan haditsnya itu ialah praktek orang Yahudi dan Nasrani, bukan prekateknya Muslim. Maka harus dilihat bagaimana mereka memperlakukan kuburan-kuburan Nabu mereka?
Lalu apakah tempat ibadah mereka sama seperti tempat ibadahnya muslim (masjid)? Tentu berbeda. Maka harus kembali dilihat bagaimana pekerjaan mereka, bukan bagaimana pekerjaan muslim.
Karena memang Nabi saw mengisyaratkan untuk itu, yaitu prilaku buruk orang Yahudi dan Nasrani yang menyembah kuburan, dan bersembahyang menghadap kuburan tersebut sebagai pengagungan. Apakah muslim melakukan itu?
Muslim tetap beribadah kepada Allah, berdoanya kepada Allah, sholatnya menghadap kiblat, bukan ke kuburan dan juga orang muslim tidak ada yang bersujud untuk kuburan. Mereka bersujud untuk Allah swt dengan memperhatikan segala rukun dan ketentuannya.
Dan memang tidak ada sinagog orang Nasrani serta gerejanya orang Yahudi itu tidak seperti masjid-masjidnya orang Islam. Jadi memang berbeda, harus ditinjau benar apa yang memang dilakukan oleh mereka. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka dan orang-ornag sholih mereka sesembahan, dan bukan menjadikannya sinagog atau gereja, sebagaimana dijelaskan diatas.
Yang terjadi kebanyakan di Indonesia bahwa memang kuburan itu tidak berada di tengah-tengah masjid. Tidak ada yang sepeerti itu. Yang ada hanyalah kuburan orang-orang sholih yang berada di sekitaran masjid, entah itu di taman belakang atau taman depan masjid, walaupun memang masih dalam area masjid. Lalu apa yang menjadi masalah?
Jadi memang sholat di masjid yang di sekitarnya ada kuburan itu tidak mengapa, karena yang sepakat dilarang dan diharamkan itu ialah menyembah kuburan atau menjadikannya kiblat sholat sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani melakukan itu.
Wallahu A’lam
(1)Al-Duror Al-Sanniyah fi Al-Ajwibah Al-Najdiyah 4/265
[2] Al-Mabsuth li Al-Sarokhsi 1/206, Al-Mudawwanah 1/182, Al-Majmu’ 3/158
[3] Al-Mughni 2/51
[4] Al-Istii’aab li Ibni Abdi Al-Barr 4/1613-1614
[5] Muwaththo’ Imam Malik 2/232, no. 790
[6] Fatwa Daar Al-Ifta’ Al-Mishriyah no. 4241
[7] Muwaththo’ Imam Malik 2/241, no. 594
[8] Hasyiyah Al-Sanadi ‘ala Sunan Al-Nasa’I 2/41
[9] Ibid
[10] Syarhu Al-Zarqoni ‘ala Muwaththo’ 4/367


Stop Menuduh Syirik Orang Yang Shalat di Kuburan!


Stop Syirikkan Orang Shalat di Kuburan!

Dewasa ini ada sekelompok orang yang mudah menuduh syirik kaum Muslimin karena mengerjakan shalat di kuburan. Bagaimana sebenarnya hukum shalat di kuburan menurut ulama salaf berdasarkan al-Qur’an dan hadits?

Jawaban:

Pada dasarnya shalat di area kuburan tidak dihukumi haram apalagi syirik. Mayoritas ulama salaf membolehkan shalat di kuburan. Mereka antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafi’i dan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, radhiyallâhu ‘anhum. Berikut ini rincian pandangan para ulama al-madzâhib al-arba’ah:

Madzhab Hanafi

Menurut madzhab Hanafi, shalat di kuburan hukumnya makruh tanzih. Makruh tanzih tersebut akan hilang, dan status hukumnya menjadi boleh apabila mengerjakan shalat di tempat yang disiapkan untuk shalat dan di dalamnya tidak terdapat makam seseorang, tidak ada najis dan kiblatnya tidak menghadap ke makam tersebut. Demikian pernyataan al-Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hâsyiyah Radd al-Muhtâr [1/254].

Madzhab Maliki

Menurut madzhab Maliki, shalat di kuburan hukumnya boleh (tidak makruh), meskipun persis di atas kuburan dan tanpa alas, baik kuburan tersebut masih difungsikan atau pun sudah tidak dipakai, baik pernah digali atau tidak, dan meskipun kuburan orang musyrik. Tentu saja kebolehan tersebut apabila aman dari terkena najis. Dalam konteks ini, al-Imam al-Dardir berkata dalam al-Syarh al-Shaghir [1/267]:

وَجَازَتِ الصَّلاَةُ بِمَقْبَرَةٍ أَيْ فِيْهَا وَلَوْ عَلىَ مَقْبَرَةٍ عَامِرَةٍ أَوْ دَارِسَةٍ وَلَوْ لِكَافِرِيْنَ … إِنْ أُمِنَتِ النَّجَاسَةُ. (الشرح الصغير 1/267).


“Dan boleh mengerjakan shalat di area kuburan meskipun di atasnya, baik kuburan yang masih berfungsi maupun sudah lenyap, meskipun kuburan orang-orang kafir … apabila aman dari najis.” (Al-Syarh al-Shaghir 1/267).

Madzhab Syafi’i

Menurut madzhab Syafi’i, shalat di atas kuburan yang tidak pernah digali hukumnya sah tanpa ada perselisihan di kalangan ulama Syafi’iyah dan berstatus makruh tanzih. Sedangkan apabila kuburan tersebut sering digali, maka hukumnya tidak sah, apabila tidak memakai alas (semisal sejadah), karena tanah yang diinjaknya telah bercampur dengan najis orang yang sudah meninggal. Demikian keterangan dari Mukhtashar al-Muzani (hal. 19), kitab al-Muhadzdzab dan al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3/164]. An-Nawawi berkata:

أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَإِنْ تَحَقَّقَ أَنَّ الْمَقْبَرَةَ مَنْبُوْشَةٌ لَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ فِيْهَا بِلاَ خِلاَفٍ إِذَا لَمْ يُبْسَطْ تَحْتَهُ شَيْءٌ وَإِنْ تَحَقَّقَ عَدَمُ نَبْشِهَا صَحَّتْ بِلاَ خِلاَفٍ وَهِيَ مَكْرُوْهَةٌ كَرَاهَةَ تَنْزِيْهٍ. (الإمام النووي، المجموع 3/164).


“Adapun hukum permasalahan tersebut, apabila kuburan itu nyata tidak pernah digai, maka shalat di kuburan tersebut tidak sah tanpa ada perselisihan, apabila di bawahnya dihamparkan alas. Apabila kuburan tersebut nyata tidak pernah digali, maka shalat di kuburan tersebut sah tanpa ada perselisihan dan dihukumi makruh tanzih.” (Al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ 3/164).

Madzhab Hanbali

Menurut madzhab Hanbali, shalat di kuburan yang hanya berisi satu atau dua makam (mayat), hukumnya boleh dan sah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni [1/718] dan Ibnu Muflih dalam al-Mubdi’ [1/394]. Sedangkan shalat di kuburan yang berisi tiga makam atau lebih, ada dua riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam satu riwayat, shalat di tempat tersebut hukumnya tidak sah sama sekali. Dalam riwayat yang lain, hukumnya sah selama tempat tersebut tidak najis. Hal ini bisa dilihat dalam kitab al-Mughni [2/471] karya Ibnu Qudamah al-Hanbali.

Di sisi lain, kemakruhan shalat di kuburan, diriwayatkan pula dari kalangan salaf seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atha’ dan an-Nakha’i. Sementara pandangan yang tidak memakruhkan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’ dan Hasan al-Bashri, sebagaimana dipaparkan oleh al-Imam Ibnu al-Mundzir dalam kitabnya, al-Ausath (2/183).

Dalil Mayoritas Ulama

Mayoritas ulama membolehkan shalat di kuburan berdasarkan dalil-dalil yang cukup banyak, antara lain berikut ini:

Pertama, beberapa sahabat Nabi saw pernah menunaikan shalat di tempat jemuran korma, yang pada kemudian hari di atas tempat tersebut didirikan Masjid Rasulullah saw. Sebagian mayatnya dibongkar dan dipindah pada masa Rasulullah saw. Dan sisanya dibongkar pada masa Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini diriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud [454], Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (3/388) dengan sanad yang para perawinya tsiqah (dipercaya). Seandainya shalat di kuburan hukumnya haram atau syirik, tentu Nabi saw akan membersihkan masjidnya dari mayat-mayat orang Musyrik.

Kedua, Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha mengerjakan shalat dalam kamarnya yang menyimpan tiga makam, yaitu makam Rasulullah saw, sahabat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ibnu Syabbah meriwayatkan dalam Tarikh al-Madinah:

عَنْ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَدْخُلُوْنَ حُجَرَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّوْنَ فِيْهَا يَوْمَ الْجُمْعَةِ بَعْدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ الْمَسْجِدُ يَضِيْقُ بِأَهْلِهِ.


“Imam Malik berkata: “Orang-orang memasuki kamar-kamar istri-istri Nabi shallallhu ‘alaihi wasallam, mengerjakan shalat di dalamnya, setelah wafatnya Nabi saw, dan Masjid sesak dengan yang menghadirinya.”

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu an-Najjar (152) dan dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam ar-Radd ‘ala al-Akhna’i (121) dan mendiamkannya.

Ketiga, beberapa nabi ‘alaihimus-salam, telah dimakamkan di dalam Masjid al-Khaif.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِيْ مَسْجِدِ الْخَيْفِ قَبْرُ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا. رَوَاهُ البَزَّارُ فِيْ مُسْنَدِهِ (كشف الأستار 1177، وَالطَّبَرَانِيُّ فِيْ الُمُعْجَمِ الْكَبِيْرِ 12/316.


“Dari Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, berkata, Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di Masjid al-Khaif, telah dimakamkan tujuh puluh nabi.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnad-nya [Kasyf al-Astar, 1177], dan al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (12/316 [13525]). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Mukhtashar Zawaid al-Bazzar [813]: “Sanad hadits tersebut shahih”. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid (3/297): “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan para perawinya dipercaya.”

Syaikh al-Albani, ulama Wahabi dari Yordania, berupaya mendha’ifkan hadits tersebut dalam kitabnya Tahdzir al-Sajid (hal. 101-102), secara tidak ilmiah, dan telah dibantah oleh para ulama ahli hadits seperti Syaikh Mahmud Said Mamduh al-Syafi’i dalam Kasyf al-Sutur (hal. 117).  Hadits di atas sangat jelas, tentang bolehnya shalat di kuburan. Seandainya shalat di kuburan itu haram atau syirik, tentu Rasulullah saw akan memberikan peringatan agar tidak shalat di Masjid al-Khaif.

Keempat, terdapat banyak riwayat yang menegaskan, bahwa banyak para nabi yang dimakamkan di Masjidil Haram. Hal ini seperti diriwayatkan oleh al-Azraqi dalam Akhbar Makkah (1/68, 2/318),  Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (1/199), Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir-nya (1/318), Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [9129, 9130] dan lain-lain. Sebagian riwayat hadits ini bernilai shahih, hasan dan dha’if.

Kelima, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

وَرَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يُصَلِّي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ الْقَبْرَ الْقَبْرَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ


“Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu melihat Anas bin Malik melaksanakan shalat di samping kuburan, lalu Umar berkata: “Itu kuburan, itu kuburan”. Umar tidak menyuruh Anas untuk mengulangi shalatnya.” (HR. al-Bukhari)

Hadits tersebut, menunjukkan bahwa larangan shalat di kuburan tidak menuntut batalnya shalat yang dilakukan. Terbukti Anas bin Malik terus menyelesaikan shalatnya, dan Umar tidak pula menyuruhnya mengulangi shalatnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (1/523-524) dan al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari.

Selanjutnya, apabila shalat di kuburan itu sah dan boleh, lalu bagaimana dengan hadits shahih berikut ini?

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.


“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata: Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para nabinya sebagai tempat sujud.” (HR. al-Bukhari [435] dan Muslim [531]).

Para ulama menjelaskan, bahwa maksud hadits tersebut adalah, yang dilaknat oleh Allah tersebut adalah bersujud kepada kuburan dengan tujuan mengagungkan (ta’zhim) dan menyembahnya, bukan sekedar shalat di samping atau di atasnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/17), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (1/626), Ibnu Abdil Barr dalam al-Tamhid (5/45) dan lain-lain. Lebih jelasnya, bisa dibaca dalam I’lam al-Raki’ wa al-Sajid karya Syaikh al-Ghumari, Kasyf al-Sutur karya Syaikh Mahmud Sa’id dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Catatan :

Al hafidz ibnu hajar al asqalani menjelaskan di dalam fathul baari :

قوله ﺑﻨﻮا ﻋﻠﻰ ﻗﺒﺮﻩ ﻣﺴﺠﺪا ﻓﺈﻥ ﻓﻴﻪ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﻧﻬﻲ اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﻓﻲ اﻟﻜﻨﻴﺴﺔ ﻓﻴﺘﺨﺬﻫﺎ ﺑﺼﻼﺗﻪ ﻣﺴﺠﺪا ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

Perkataan Nabi  merka mendirikan mesjid di atas kuburnya. Sesungguhnya di dalamnya adalah isyarat pada larangan seorang muslim sholat di dalam gereja, dan menjadikannya mesjid dengan shalatnya. Allahu a'lam.


Simak Juga

---------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar