Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى وسلام على عباده الذين اصطفى وبعد
يقول الله تعالى : “بل نقذف بالحق على الباطل فيدمغه ” الآية
Sebagai pengamalan terhadap ayat ini kami akan menyebutkan penjelasan
ringkas dan memadai bagi kaum muslimin tentang suatu kelompok yang telah
merubah agama dan menyebarkan kebatilan-kebatilan yang dikenal dengan
kelompok Hizbuttahrir, yang didirikan oleh seorang bernama Taqiyuddin
an-Nabhani. Ia mengaku ahli ijtihad, ia berbicara tentang agama dengan
kebodohan, mendustakan al Qur’an, hadits dan ijma’ baik dalam masalah
pokok-pokok agama (Ushuluddin) maupun dalam masalahfuru’.
Berikut ini adalah sebagian kecil dari kesesatan-kesesatannya yang dibantah oleh orang yang memiliki hati yang jernih.
Allah ta’ala berfirman :
إنّا كلّ شىء خلقناه بقدر
Maknanya : “Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan segala sesuatu dengan Qadar”.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“إنّ الله صانع كل صانع وصنعته” رواه الحاكم والبيهقيّ
Maknanya: “Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya” (H.R. al Hakim dan al Bayhaqi)
Al Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Akbar berkata: “Tidak sesuatupun
di dunia maupun di akhirat terjadi kecuali dengan kehendak, pengetahuan,
penciptaan dan ketentuan-Nya”. Tentang perbuatan hamba, beliau berkata:
“Dan dia itu seluruhnya (segala perbuatan manusia) dengan kehendak,
pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. Inilah aqidah Ahlussunnah
Wal Jama’ah.
Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi aqidah ini. Mereka
menjadikan Allah tunduk dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di
luar kehendak-Nya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh pimpinan mereka;
Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya berjudul asy-Syakhshiyyah al
Islamiyyah, juz I, bagian pertama, hlm 71-72, sebagai berikut: “Segala
perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah, karena perbuatan
tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari
ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan
kehendak manusia tidak masuk dalam qadla‘”.
Dalam buku yang sama ia
berkata[1]: “Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan bagi
kebaikan dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa
kebenaran dan kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri,
bukan berasal dari Allah“. Pendapat serupa juga ia ungkapkan dalam
kitabnya berjudul Nizham al Islam[2].
2.Ahl al Haqq sepakat bahwa
para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan yang sangat.
Dari sini diketahui bahwa Allah ta’ala tidak akan memilih seseorang
untuk predikat ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan
hina (Radzalah), khianat, kebodohan, kebohongan dan kebebalan. Karena
itu orang yang pernah terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak
layak untuk menjadi nabi meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi
juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa besar juga dosa-dosa kecil
yang mengandung unsur kehinaan, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun
sesudahnya. Sedangkan dosa-dosa kecil yang tidak mengandung unsur
kehinaan bisa saja seorang nabi. Inilah pendapat kebanyakan para ulama
seperti dinyatakan oleh beberapa ulama dan ini yang ditegaskan oleh al
Imam Abu al Hasan al Asy’ari –semoga Allah merahmatinya–. Sementara
Hizbuttahrir menyalahi kesepakatan ini, mereka membolehkan seorang
pencuri, penggali kubur (pencuri kafan mayit), seorang homo seks atau
pelaku kehinaan-kehinaan lainnya yang biasa dilakukan oleh manusia untuk
menjadi nabi.
Inilah di antara kesesatan Hizbuttahrir, seperti yang
dikatakan pemimpin mereka, Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya
asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah[3]: “…hanya saja kemaksuman para nabi dan
rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan
dengan turunnya wahyu kepada mereka. Adapun sebelum kenabian dan
kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena
keterpeliharaan dari dosa (‘Ishmah) berkaitan dengan kenabian dan
kerasulan saja“.
3.Rasulullah menekankan dalam beberapa haditsnya
tentang pentingnya taat kepada seorang khalifah. Dalam salah satu
haditsya Rasulullah bersabda:
“من كره من أميره شيئا فليصبر عليه فإنه
ليس أحد من الناس خرج من السلطان فمات عليه إلا مات ميتة جاهليّة ” رواه
البخاري ومسلم عن ابن عبّاس
Maknanya: “Barang siapa membenci sesuatu
dari amirnya hendak lah ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun
membangkang terhadap seorang sultan kemudian ia mati dalam keadaan
seperti itu kecuali matinya adalah mati Jahiliyyah” (H.R. Muslim)
Beliau juga bersabda:
“وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا” رواه البخاري ومسلم
Maknanya: “(kita diperintahkan juga agar) tidak memberontak terhadap
para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya melakukan kekufuran
yang jelas” (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Ulama Ahlussunnah juga
telah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan dengan
sebab ia berbuat maksiat, hanya saja ia tidak ditaati dalam kemaksiatan
tersebut. Karena fitnah yang akan muncul akibat pelengserannya lebih
besar dan berbahaya dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. An-Nawawi
berkata dalam Syarh Shahih Muslim, Juz XII, h. 229:“Ahlussunnah sepakat
bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang
dilakukan olehnya”. Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi ketetapan tersebut,
mereka menjadikan seorang khalifah sebagai mainan bagaikan bola yang
ada di tangan para pemain bola. Di antara pernyataan mereka dalam
masalah ini, mereka mengatakan bahwa “Majlis asy-Syura memiliki hak
untuk melengserkan seorang khalifah dengan suatu sebab atau tanpa
sebab“. Statement ini disebarluaskan dalam selebaran yang mereka
terbitkan dan dibagi-bagikan di kota Damaskus sekitar lebih dari 20
tahun yang lalu. Selebaran tersebut ditulis oleh sebagian pengikut
Taqiyyuddin an-Nabhani. Mereka juga menyatakan dalam buku mereka yang
berjudul Dustur Hizbuttahrir, h. 66 dan asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah,
Juz II bagian ketiga halaman 107-108 tentang hal-hal/perkara yang dapat
merubah status seorang khalifah sehingga menjadi bukan khalifah dan
seketika itu wajib dilengserkan : “Perbuatan fasiq yang jelas
(kefasikannya)” . An-Nabhani berkata dalam bukunya yang berjudul Nizham
al Islam, hlm 79, sebagai berikut : “Dan jika seorang khalifah menyalahi
syara’ atau tidak mampu melaksanakan urusan-urusan negara maka wajib
dilengserkan seketika“.
4. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه
بيعة مات ميته جاهليّة” رواه مسلم من حديث عبد الله بن عمر
Maknanya:
“Barang siapa mencabut baiatnya untuk mentaati khalifah yang ada di hari
kiamat ia tidak memiliki alasan yang diterima, dan barang siapa
meninggal dalam keadaan demikian maka matinya adalah mati jahiliyah”
(H.R. Muslim)
Maksud hadits ini bahwa orang yang membangkang
terhadap khalifah yang sah dan tetap dalam keadaan seperti ini sampai
mati maka matinya adalah mati jahiliyyah, yakni mati seperti matinya
para penyembah berhala dari sisi besarnya maksiat tersebut bukan artinya
mati dalam keadaan kafir dengan dalil riwayat yang lain dalam Shahih
Muslim: “فمات عليه” ; yakni mati dalam keadaan membangkang terhadap
seorang khalifah yang sah. Hizbuttahrir telah menyelewengkan hadits ini
dan mereka telah mencampakan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari
dan Muslim yang sanadnya lebih kuat dari hadits pertama:
فالزموا جماعة المسلمين وإمامهم”، قال حذيفة :”فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام” قال رسول الله :
“فاعتزل تلك الفرق كلّها”
Maknanya: “Hiduplah kalian menetap di dalam jama’ah umat Islam dan imam
(khalifah) mereka“. Hudzaifah berkata : “Bagaimana jika mereka tidak
memiliki jama’ah dan imam (khalifah) ?”, Rasulullah bersabda : “Maka
tinggalkanlah semua kelompok yang ada (yakni jangan ikut berperang di
satu pihak melawan pihak yang lain seperti perang yang dulu terjadi
antara Maroko dan Mauritania) !”. Rasulullah tidak mengatakan: “jika
demikian halnya, maka kalian mati jahiliyyah”. Inilah salah satu
kebathilan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya orang yang mati
dengan tanpa membaiat seorang khalifah maka ia mati dalam keadaan
jahiliyyah” (lihat buku mereka yang berjudul asy-Syakhshiyyah al
Islamiyyah, Juz II bagian III hlm. 13 dan 29). Mereka juga menyebutkan
dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah h. 4 sebagai berikut: “Maka
Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mewajibkan atas tiap muslim untuk
melakukan baiat dan mensifati orang yang mati tanpa melakukan baiat
bahwa ia mati dalam keadaan mati jahiliyah“. Mereka juga menyebutkan
dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah hlm. 9 sebagai berikut :
“Jadi semua kaum muslim berdosa besar karena tidak mendirikan khilafah
bagi kaum muslimin dan apabila mereka sepakat atas hal ini maka dosa
tersebut berlaku bagi masing-masing individu umat Islam di seluruh
penjuru dunia“. Disebutkan juga pada bagian lain dari buku al Khilafah
hlm. 3 dan buku asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz III hlm. 15 sebagai
berikut : ”Dan tempo yang diberikan bagi kaum muslimin dalam menegakkan
khilafah adalah dua malam, maka tidak halal bagi seseorang tidur dalam
dua malam tersebut tanpa melakukan baiat“. Mereka juga berkata dalam
buku mereka berjudul ad-Daulah al Islamiyyah hlm. 179: “Dan apabila kaum
muslimin tidak memiliki khalifah di masa tiga hari, mereka berdosa
semua sehingga mereka menegakkan khalifah“. Mereka juga berkata dalam
buku yang lain Mudzakkirah Hizbittahrir ila al Muslimin fi Lubnan, h. 4:
“Dan kaum muslimin di Lebanon seperti halnya di seluruh negara Islam,
semuanya berdosa kepada Allah, apabila mereka tidak mengembalikan Islam
kepada kehidupan dan mengangkat seorang khalifah yang dapat mengurus
urusan mereka“.
Dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan
Hizbuttahrir bahwa “orang yang mati di masa ini dan tidak membaiat
seorang khalifah maka matinya mati jahiliyyah”. Pernyataan Hizbuttahrir
ini mencakup orang yang mati sekarang dan sebelum ini sejak terhentinya
khilafah sekitar seratus tahun yang lalu. Ini adalah penisbatan bahwa
umat sepakat dalam kesesatan dan ini adalah kezhaliman yang sangat besar
dan penyelewengan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim
dari Ibnu Umar tadi. Jadi menurut pernyataan Hizbuttahrir tersebut
setiap orang yang mati mulai terhentinya khilafah hingga sekarang maka
matinya adalah mati jahiliyyah, berarti mereka telah menjadikan kaum
muslimin yang mati sejak waktu tersebut hingga sekarang sebagai mati
jahiliyyah seperti matinya para penyembah berhala, ini jelas kedustaan
yang sangat keji. Dan dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan
Hizbuttahrir “لا شريعة إلا بدولة الخلافة” : “Tidak ada syari’at kecuali
jika ada khilafah”, juga pernyataan sebagian Hizbuttahrir : “لا إسلام
بلا خلافة” ; “Tidak ada Islam jika tidak ada khilafah”. Sedangkan
Ahlussunnah menyatakan kesimpulan hukum berkaitan dengan masalah
khilafah bahwa menegakkan khilafah hukumnya wajib, maka barang siapa
tidak melakukannya padahal ia mampu maka ia telah berbuat maksiat kepada
Allah. Adapun rakyat sekarang ini jelas tidak mampu untuk mengangkat
seorang khalifah sedangkan Allah ta’ala berfirman :
لا يكلّف الله نفسا إلاّ وسعها
Anehnya Hizbuttahrir yang sejak empat puluh tahun lalu selalu
menyatakan kepada khalayak akan menegakkan khilafah ini hingga sekarang
ternyata mereka tidak mampu menegakkannya, mereka tidak mampu melakukan
hal itu sebagaimana yang lain. Adapun pentingnya masalah khilafah itu
adalah hal yang diketahui oleh semua dan karya-karya para ulama dalam
bidang aqidah dan fiqh penuh dengan penjelasan mengenai hal itu. Tapi
yang sangat penting untuk diketahui bahwa khilafah bukanlah termasuk
rukun Islam maupun rukun Iman, lalu bagaimana Hizbuttahrir berani
mengatakan :
“لا إسلام بلا خلافة” atau mengatakan : “لا إسلام بلا خلافة” , ini adalah hal yang tidak benar dan tidak boleh dikatakan.
5. Nabi Shalallahu alayhi wassallam bersabda:
“والرجل زناها الخطا” رواه البخاري ومسلم وغيرهما
Maknanya: “Zina kaki adalah melangkah (untuk berbuat haram seperti
zina)“ (H.R. al Bukhari dan Muslim dan lainnya). Al Imam an-Nawawi
menuturkan dalam Syarh shahih Muslim bahwa berjalan untuk berzina adalah
haram. Sedangkan Hizbuttahrir telah mendustakan Rasulullah Shalallahu
alayhi wassallam dan menghalalkan yang haram . Mereka mengatakan
”tidaklah haram berjalan dengan tujuan untuk berzina dengan perempuan
atau berbuat mesum dengan anak-anak (Liwath), yang tergolong maksiat
hanyalah melakukan perbuatan zina dan Liwathnya saja“ . Selebaran
tentang hal ini mereka bagi–bagikan di Tripoli-Syam tahun 1969. Dan
hingga kini kebanyakan penduduk Tripoli masih menyebutkan hal ini,
karena pernyataan tersebut menyebabkan kegoncangan, kerancuan dan
bantahan dari penduduk Tripoli.
6. Islam menganjurkan ‘iffah (bersih
dari segala perbuatan hina dan maksiat) dan kesucian diri, akhlak yang
mulia, mengharamkan jabatan tangan antara laki-laki dengan perempuan
ajnabi dan menyentuhnya . Nabi bersabda :
“واليد زناها البطش” رواه البخاري ومسلم وغيـرهما
Maknanya: “Zina tangan adalah menyentuh” (H.R al Bukhari, Muslim dan
lainnya). Dan dalam riwayat Ahmad : “واليد زناها اللمس“ serta dalam
riwayat Ibnu Hibban : “واليد زناؤها اللمس“ . Sementara Hizbuttahrir
mengajak kepada perbuatan-perbuatan hina, mendustakan Rasulullah
shallallahu ’alayhi wasallamdan menghalalkan yang haram, di antaranya
perkataan mereka tentang kebolehan ciuman laki-laki terhadap perempuan
yang ajnabi ketika saat perpisahan atau datang dari suatu perjalanan.
Demikian juga menyentuh, berjalan untuk berbuat maksiat dan semacamnya.
Mereka menyebutkan hal itu dalam selebaran mereka dalam bentuk soal jawab, 24 Rabiul Awwal 1390 H, sebagai berikut :
S : Bagaimana hukum ciuman dengan syahwat beserta dalilnya?
J : Dapat dipahami dari kumpulan jawaban yang lalu bahwa ciuman dengan
syahwat adalah perkara yang mubah dan tidak haram….karena itu kita
berterusterang kepada masyarakat bahwa mencium dilihat dari segi ciuman
saja bukanlah perkara yang haram, karena ciuman tersebut mubah sebab ia
masuk dalam keumuman dalil-dalil yang membolehkan perbuatan manusia yang
biasa, maka perbuatan berjalan, menyentuh, mencium dengan menghisap,
menggerakkan hidung, mencium, mengecup dua bibir dan yang semacamnya
tergolong dalam perbuatan yang masuk dalam keumuman dalil…..makanya
status hukum gambar (seperti gambar wanita telanjang) yang biasa
tidaklah haram tetapi tergolong hal yang mubah tetapi negara kadang
melarang beredarnya gambar seperti itu. Ciuman laki-laki kepada
perempuan di jalanan baik dengan syahwat maupun tidak negara bisa saja
melarangnya di dalam pergaulan umum. Karena negara bisa saja melarang
dalam pergaulan dan kehidupan umum beberapa hal yang sebenarnya mubah.
…. di antara para lelaki ada yang menyentuh baju perempuan dengan
syahwat, sebagian ada yang melihat sandal perempuan dengan syahwat atau
mendengar suara perempuan dari radio dengan syahwat lalu nafsunya
bergojolak sehingga zakarnya bergerak dengan sebab mendengar suaranya
secara langsung atau dari nyanyian atau dari suara–suara iklan atau
dengan sampainya surat darinya ……maka perbuatan-perbuatan ini seluruhnya
disertai dengan syahwat dan semuanya berkaitan dengan perempuan.
Kesemuanya itu boleh, kerena masuk dalam keumuman dalil yang
membolehkannya …….“. Demikian ajaran yang diikuti oleh Hizbuttahrir,
Na’udzu billah min dzalika.
Mereka juga menyebutkan dalam selebaran yang lain (Tanya Jawab tertanggal 8 Muharram 1390 H) sebagai berikut :
“Barang siapa mencium orang yang tiba dari perjalanan, laki-laki atau
perempuan atau berjabatan tangan dengan laki-laki atau perempuan dan dia
melakukan itu bukan untuk berzina atau Liwath maka ciuman tersebut
tidaklah haram, karenanya baik ciuman maupun jabatan tangan tersebut
boleh“. Mereka juga mengatakan boleh bagi laki-laki menjabat tangan
perempuan ajnabi dengan dalih bahwa Rasulullah –kata mereka- berjabatan
tangan dengan perempuan dengan dalil hadits Ummi ‘Athiyyah ketika
melakukan bai’at yang diriwayatkan al Bukhari, ia berkata :
فقبضت امرأة منا يدها
Maknanya: “Salah seorang di antara kita (perempuan-perempuan)menggenggam tangannya” .
Mereka mengatakan : ini berarti bahwa yang lain tidak menggenggam
tangannya. Sementara Ahlul Haqq, Ahlussunnah menyatakan bahwa dalam
hadits ini tidak ada penyebutan bahwa perempuan yang lain menjabat
tangan Nabi Shalallahu ‘alayhi wasallam, jadi yang dikatakan oleh
Hizbuttahrir adalah salah paham dan kebohongan terhadap Rasulullah. Jadi
hadits ini bukanlah nash yang menjelaskan hukum bersentuhnya kulit
dengan kulit, sebaliknya hadits ini menegaskan bahwa para wanita saat
membaiat mereka memberi isyarat tanpa ada sentuh-menyentuh di situ
sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari dalam shahih-nya di bab yang
sama dengan hadits Ummi ‘Athiyyah. Hadits ini bersumber dari ‘Aisyah
–semoga Allah meridlainya- ia mengatakan :
“كان النبـيّ يبايع النساء بالكلام”
Maknanya: “Nabi membaiat para wanita dengan berbicara” (H.R. al Bukhari)
‘Aisyah juga mengatakan:
“لا والله ما مسّت يده يد امرأة قطّ في المبايعة ، ما يبايعهن إلاّ بقوله قد بايعتك على ذلك”
Maknanya: “Tidak, demi Allah tidak pernah sekalipun tangan Nabi
menyentuh tangan seorang perempuan ketika baiat, beliau tidak membaiat
para wanita kecuali hanya dengan mengatakan : aku telah menerima baiat
kalian atas hal-hal tersebut” (H.R. al Bukhari)
Lalu mereka berkata :
“Cara melakukan bai’at adalah dengan berjabatan tangan atau melalui
tulisan. Tidak ada bedanya antara kaum laki-laki dengan perempuan;
Karena kaum wanita boleh berjabat tangan dengan khalifah ketika baiat
sebagaimana orang laki-laki berjabatan tangan dengannya“.
(baca :
buku al Khilafah, hlm. 22-23 dan buku mereka yang berjudul
asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II, bagian 3, hlm. 22-23 dan Juz
III, hlm. 107-108). Mereka berkata dalam selebaran lain (tertanggal 21
Jumadil Ula 1400 H / 7 April 1980) dengan judul : “Hukum Islam tentang
jabatan tangan laki-laki dengan perempuan yang ajnabi“, setelah
berbicara panjang lebar dikatakan sebagai berikut : “Apabila kita
memperdalam penelitian tentang hadits-hadits yang dipahami oleh sebagian
ahli fiqh sebagai hadits yang mengharamkan berjabatan tangan, maka akan
kita temukan bahwa hadits-hadits tersebut tidak mengandung unsur
pengharaman atau pelarangan“. Kemudian mereka mengakhiri tulisan dalam
selebaran tersebut dengan mengatakan :
“Yang telah dikemukakan tentang kebolehan berjabat tangan (dengan lawan jenis) adalah sama halnya dengan mencium”
Pimpinan mereka juga berkata dalam buku berjudul an-Nizham al Ijtima’i
fi al Islam, hlm. 57 sebagai berikut : “Sedangkan mengenai berjabat
tangan, maka dibolehkan bagi laki-laki berjabatan tangan dengan
perempuan dan perempuan berjabatan tangan dengan laki-laki dengan tanpa
penghalang di antara keduanya“. Dan ini menyalahi kesepakatan para ahli
fiqh. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“إنّي لا أصافح النساء”
Maknanya: “Aku tidak akan pernah menjabat tangan para wanita” (H.R. Ibnu Hibban)
Ibnu Manzhur dalam Lisan al ‘Arab mengatakan: “Baaya’ahu ‘alayhi
mubaya’ah (membaiatnya): artinya berjanji kepadanya. Dalam hadits
dinyatakan:
ألا تبايعونـي على الإسلام ;
tidakkah kalian berjanji
kepadaku untuk berpegang teguh dengan Islam. Jadi baiat adalah
perjanjian”. Jadi tidaklah disyaratkan untuk disebut baiat secara bahasa
maupun istilah syara’ bahwa pasti bersentuhan antara kulit dengan
kulit, tetap disebut baiat meskipun tanpa ada persentuhan antara kulit
dengan kulit. Ketika para sahabat membaiat Nabi pada Bai’at ar-Ridlwan
dengan berjabat tangan hanyalah untuk bertujuan ta’kid (menguatkan).
Baiat kadang juga dilakukan dengan tulisan.
8. Di antara dalil
Ahlussunnah tentang keharaman menyentuh perempuanajnabiyyah tanpa ha-il
(penghalang) adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam :
َ”لأنْ يُطْعَنَ أحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ
يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ” (رَوَاهُ الطّبَرَانـي فِي المُعْجَم
الكَبِيْرِ مِنْ حَدِيْثِ مِعْقَلٍ بْنِ يَسَارٍ وَحَسّنَهُ الحَافِظُ
ابْنُ حَجَرٍ وَنُورُ الدّيْن الهَيْثَمِي وَالمُنْذِري وَغَيْرُهُمْ
Maknanya : “Bila (kepala) salah seorang dari kalian ditusuk dengan
potongan besi maka hal itu benar-benar lebih baik baginya daripada
memegang perempuan yang tidak halal baginya”. (H.R. ath-Thabarani dalam
al Mu’jam al Kabir dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadits ini hasan
menurut Ibnu Hajar, Nuruddin al Haytsami, al Mundziri dan lainnya)
Pengertian al Mass dalam hadits ini adalah menyentuh dengan tangan dan
semacamnya sebagaimana dipahami oleh perawi hadits ini, Ma’qil bin Yasar
seperti dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf.
Sedangkan Hizbuttahrir menganggap hadits ath-Thabarani tersebut yang
mengharamkan berjabatan tangan dengan perempuan ajnabiyyah termasuk
khabar Ahad dan tidak bisa dipakai untuk menentukan suatu hukum.
Ini
adalah bukti kebodohan mereka. Bantahan terhadap mereka adalah
pernyataan para ulama ushul fiqh yang menegaskan bahwa hadits ahad
adalah hujjah dalam segala masalah keagamaan seperti dinyatakan oleh al
Imam al ushuli al mutabahhir Abu Ishaq asy-Syirazi. Beliau menyatakan
dalam bukunya at-Tabshirah : “(Masalah) Wajib beramal dengan khabar ahad
dalam pandangan syara’ “. Bahkan an-Nawawi dalam syarh shahih Muslim
menukil kehujjahan khabar ahad ini dari mayoritas kaum muslimin dari
kalangan sahabat, tabi’in dan generasi-generasi setelah mereka dari
kalangan ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul fiqh. Kemudian ia
membantah golongan Qadariyyah Mu’tazilah yang tidak mewajibkan beramal
dengan khabar ahad. Lalu an-Nawawi mengatakan : “Dan Syara’ telah
mewajibkan beramal dengan khabar ahad”.
Dengan demikian menjadi
jelas bahwa Hizbuttahrir sejalan dengan Mu’tazilah dan menyalahi
Ahlussunnah. Yang aneh, Hizbuttahrir telah berpendapat demikian, tetapi
dalam karangan-karangan mereka berdalil dengan hadits-hadits ahad yang
sebagiannya adalah dla’if. Mereka juga mengutip cerita-cerita dan atsar
dari buku-buku yang tidak bisa dijadikan rujukan dalam bidang hadits,
tafsir. Bahkan mereka telah berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam. Dalam majalah mereka Al Wa’ie, edisi 98, Tahun IX Muharram
1416 H mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
bersabda :
الساكت عن الحقّ شيطان أخرس
“Orang yang diam dan tidak menjelaskan kebenaran adalah setan yang bisu”.
Kita katakan kepada mereka : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda :
إنّ كذبا عليّ ليس ككذب على أحد
Maknanya : “Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah seperti berdusta atas siapapun”.
Pernyataan di atas adalah perkataan Abu ‘Ali ad-Daqqaq, seorang sufi
besar seperti diriwayatkan oleh al Imam al Qusyairi dalam ar-Risalah dan
bukan perkataan Rasulullah. Ini juga merupakan bukti akan kebodohan
mereka bahkan dalam menukil hadits sekalipun. Maka hendaklah kaum
muslimin berhati-hati dan tidak tertipu oleh karangan-karangan mereka.
9 . Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda dalam sebuah Hadits yang mutawatir :
ورب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه”“
Maknanya : “Seringkali terjadi orang yang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih memahaminya darinya“
Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi dalam dua tingkatan :
Pertama : orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari
teks-teks al Qur’an dan hadits) dan berijtihad dan yang kedua : mereka
yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat Islam, ada di antara
mereka yangmujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam asy-Syafi’i dan yang
lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid.
Sedangkan
Hizbuttahrir, mereka menyalahi hadits dan membuka pintu fatwa dengan
tanpa ilmu dan tidak mengetahui syarat-syarat ijtihad.
Pernyataan-pernyataan Hizbuttahrir semacam ini banyak terdapat dalam
buku-buku mereka. Mereka mendakwakan bahwa seseorang apabila sudah mampu
beristinbath maka ia sudah menjadi Mujtahid, karena itulah ijtihad
atauistinbath mungkin saja dilakukan oleh semua orang dan mudah
diusahakan dan dicapai oleh siapa saja, apalagi pada masa kini telah
tersedia di hadapan semua orang banyak buku tentang bahasa Arab dan
buku-buku tentang syari’at Islam. Yang disebutkan ini adalah redaksi
pernyataan mereka (lihat kitab at-Tafkir, h. 149). Pernyataan ini
membuka pintu untuk berfatwa tanpa didasari oleh ilmu dan ajakan kepada
kekacauan dalam urusan agama. Sedangkan yang disebut mujtahid adalah
orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad dan diakui oleh para ulama
lain bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Sementara pimpinan
Hizbuttahrir, Taqiyyuddin an-Nabhani tidak pernah diakui oleh seorangpun
di antara para ulama yang memiliki kredibilitas bahwa ia telah memenuhi
syarat-syarat ijtihad tersebut atau bahkan hanya mendekati sekalipun.
Jika demikian mana mungkin Taqiyyuddin menjadi seorang mujtahid ?!.
Seseorang baru disebut mujtahid jika ia memiliki perbendaharaan yang
cukup tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum,
mengetahui teks yang ‘Amm dan Khashsh, Muthlaq danMuqayyad, Mujmal dan
Mubayyan, Nasikh dan Mansukh, mengetahui bahwa suatu hadits termasuk
yang Mutawatir atau Ahad, Mursal atau Muttashil,‘Adalah para perawi
hadits atau jarh, mengetahui pendapat-pendapat para ulama mujtahid dari
kalangan sahabat dan generasi-generasi setelahnya sehingga mengetahui
ijma’ dan yang bukan, mengetahui qiyas yang Jaliyy, Khafiyy, Shahih dan
Fasid, mengetahui bahasa Arab yang merupakan bahasa al Qur’an dengan
baik, mengetahui prinsip-prinsip aqidah. Juga disyaratkan seseorang
untuk dihitung sebagai mujtahid bahwa dia adalah seorang yang adil,
cerdas dan hafal ayat-ayat dan hadits-hadits hukum.
10. Para Ulama
Islam menjelaskan dalam banyak kitab tentang definisi Dar al Islam dan
Dar al Kufr. Mayoritas Ulama mengatakan bahwa daerah-daerah yang pernah
dikuasai oleh kaum muslimin kemudian keadaannya berubah sehingga
orang-orang kafir menguasainya, maka negeri tersebut tetap disebut
negeri Islam (Dar al Islam ). Adapun menurut Abu Hanifah bahwa
daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin kemudian
orang-orang kafir menguasainya, maka negeri itu berubah jadi Dar Kufr
dengan tiga syarat.
Adapun Hizbuttahrir menyalahi seluruh Ulama,
mereka menyebutkan dalam salah satu buku mereka Kitab Hizbuttahrir, hlm.
17 pernyataan sebagai berikut : “Daerah-daerah yang kita tempati
sekarang ini adalah Dar Kufr sebab hukum-hukum yang berlaku adalah
hukum-hukum kekufuran. Kondisi ini menyerupai kota Mekkah, tempat
diutusnya Rasulullah“.
Pada bagian yang lain kitab Hizbuttahrir,
hlm. 32: “Dan di negeri-negeri kaum muslimin sekarang tidak ada satu
negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal
hukum dan urusan-urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung Dar
Kufr meskipun penduduknya adalah kaum muslimin“.
Lihatlah wahai
pembaca, bagaimana berani mereka menyelewengkan ajaran agama ini dan
menjadikan semua negara yang dihuni oleh kaum muslimin sebagai Dar Kufr
termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kaum muslim
terbesar di dunia.
Referensi
[1] Ibid, Juz I, Bag. Pertama, hlm. 74
[2] Kitab bernama Nizham al Islam, hlm. 22
[3] Kitab bernama as-Sakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I, Bag. Pertama, hlm 120
[4] Catatan pages Aqidah Ahlussunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar