Dalam pengamalannya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu?
Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha’if?
Secara umum Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.
Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.
Ketiga, Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.
Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.
Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah Ta’aala) sebagaimana diterangkan di dalam kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 sebagai berikut:
Artinya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu’”.
Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:
“Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)
Akan tetapi, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kita tidak harus dengan keras menolak Hadits Dha’if. Karena, dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana diterangkan di atas.
(Tulisan diatas saya ambil dari catatan guru saya KH. Thobary Syadzily – Ponpes Al-Husna Tangerang – Jawa Barat)
Sedikit tambahan dari penulis,
Pernyataan al-Imam an-Nawawi rahimahullaah di atas juga diperjelas lagi oleh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah di dalam kitab at-tadrib ar-Rawi jilid 1 halaman 162 disebutkan sebagai berikut:
“Dan apabila engkau hendak menyampaikan suatu riwayat dhoif tanpa sanad yang kuat, hendaknya janganlah engkau mengatakan: “Telah bersabda Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam” atau perkataan yang semisalnya sebagai penegasan akan hal itu (kedhoifan sanadnya), akan tetapi katakanlah: “Aku sampaikan riwayat”, atau “Telah sampai kepada kami suatu riwayat”, atau “Telah disebutkan dalam sebuah riwayat”, atau “Telah datang suatu riwayat”, atau “Kami telah menukil sebuah riwayat” atau yang serupa daripada ucapan tersebut, dan diperbolehkan oleh sebagian kalangan ahli hadits untuk tasahul (memperlonggar) di dalam hal sanad-sanad yang lemah dan meriwayatkan hadits dhoif yang bukan maudhu’ (palsu) dan mengamalkannya tanpa menjelaskan kedhoifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).
Keterangan al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah diatas, menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Adab di dalam membawakan hadits dho’if, yaitu hendaknya tidak menyebutkan “قال رسول الله صلى الله عليه وسلم” (artinya: Telah bersabda Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam), namun hendaknya mengucapkan kalimat “Aku sampaikan riwayat” dan kalimat yang semisalnya.
2. Diperbolehkannya mengamalkan hadits dho’if untuk fadha’il a’mal. Dan tidak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan Sifat-sifat Allah Ta’aala, hukum-hukum halal dan haram, dan tidak berkaitan dengan aqidah.
3. Tidak diperbolehkannya mengamalkan hadits maudhu’ (palsu).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan.
Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan yang anti hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia.
Sebagaimana dimaklumi, para ulama telah bersepakat tentang posisi hadits dha'if yang boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal (amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah. Dalam hal ini, al-Imam al-Nawawi berkata:
"Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).
Pernyataan al-Imam al-Nawawi di atas memberikan kesimpulan sebagai berikut tentang hadits dha'if.
Pertama, boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dha'if dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, akidah dan hukum-hukum halal dan haram.
Kedua, pendapat ini adalah pendapat seluruh ahli hadits dan selain mereka.
Menurut al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wilayah bolehnya mengamalkan hadits-hadits dha'if tersebut, mencakup terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang terdahulu, mau'izhah hasanah atau targhib dan tarhib dan yang sejenisnya.
Pernyataan al-Imam al-Nawawi dan al-Suyuthi di atas berkaitan dengan bolehnya mengamalkan hadits dha'if dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan semacamnya sebenarnya diriwayatkan dari ulama-ulama salaf antara lain al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi dan semacamnya. Mereka mengucapkan sebuah yang sangat populer,
إذا روينا فى الحلال و الحرام شددنا و إذا روينا فى فضائل و نحويها تشهلنا
(تدريب الراوي ج ١ ص ١٦٢)"idza rawayna fil halal wal haram syaddadna waidza rawayna fil fadhail wa nahwiha tasahalna"
(apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai halal dan haram, kami menyeleksi dengan ketat, tetapi apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai fadha'il dan semacamnya, kami memperlonggar) (Tadrib al-Rawi, 1/162).Bahkan menurut Syaikh Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya al-Sunnah wa al-Bid'ah (hal. 110), tidak ada seorang pun ulama yang melarang mengamalkan hadits dha'if, dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan sejenisnya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, kita temukan kitab-kitab hadits ulama terdahulu seperti karya-karya al-Bukhari (selain Shahih-nya), al-Tirmidzi, al-Nasa'i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain banyak mengandung hadits-hadits dha'if.
Hal ini juga diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti al-Thabarani, Abu Nu'aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi dan lain-lain.
Sehingga kemudian tidaklah aneh apabila kitab-kitab tashawuf dan adzkar yang memang masuk dalam wilayah fadha'il al-a'mal seperti Ihya' 'Ulum al-Din, karya al-Ghazali, al-Adzkar karya al-Nawawi dan semacamnya banyak mengandung hadits-hadits dha'if.
Bahkan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama panutan Wahhabi seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi juga penuh dengan hadits-hadits dha'if dan terkadang pula hadits-hadits maudhu'.
Pendeknya hadits dha'if memang boleh diamalkan berdasarkan pendapat seluruh ulama salaf dan khalaf dalam konteks fadha'il al-a'mal dan sejenisnya. Sedangkan orang pertama yang menolak terhadap hadits dha'if dalam wilayah apapun termasuk dalam konteks fadha'il al-a'mal adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania. Al-Albani bukan hanya menolak hadits dha'if, bahkan juga beranggapan bahwa mengamalkan hadits dha'if dalam fadha'il adalah bid'ah dan tidak boleh dilakukan. Lebih dari itu, al-Albani juga memposisikan hadits dha'if sejajar dengan hadits maudhu' seperti dapat dibaca dari judul bukunya, Silsilat al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah wa Astaruha al-Sayyi' lil-Ummah (serial hadits-hadits dha'if dan maudhu' serta dampat negatifnya bagi umat). Hadits dha'if yang sebelumnya dianjurkan diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf, kini al-Albani menganggapnya bid'ah dan berdampat negatif bagi umat. Secara tidak langsung, al-Albani berarti telah menghujat seluruh ahli hadits sejak generasi salaf yang meriwayatkan hadits-hadits dha'if dalam kitab-kitab mereka sebagai memberi contoh yang negatif bagi umat.
Wallahu a'lam.
Catatan :
Sikap para ulama memperlakukan hadis dla’if, jika Hadis terssebut digunakan untuk sarana motivasi dan kecaman untuk manusia agar bisa lebih baik dalam melaksanakan hidup secara benar.
Namun demikian, terdapat tiga golongan dengan tiga
pendapat yang saling berbeda (dalam karya Kitabnya) :
•
Menolak sama sekali hadist dhaif, baik yang menyangkut hukum-hukum
syariat (halal dan haram), targhib wa tarhib , fadhail al-amal
(keutamaan ibadah) dan lain sebagainya. Ulama yang menganut pendapat ini
diantaranya ialah: Yahya bin Ma’in, Abu Bakar bin al’arabi, Bukhari dan
Muslim.
• Menerima dan
mengamalkan kehujjahan hadist dhaif secara mutlak, bila tidak ditemukan
hadist lain yang lebih baik kualiasnya. Hadist dhaif yang dimaksud dalam
hal ini adalah yang tidak berat kedhaifannya, misalnya hadist mursal.
Diantara ulama yang berpendapat seperti ini adalah: Ahmad bin Hambal dan
Imam Abu Daud.
• Menerima dan
mengamalkan kehujjahan hadist dhaif dalam masalah targhib dan tarhib,
mawa’idz (nasehat-nasehat) dan fadhail al-amal serta sejenisnya. Akan
tetapi tidak menerima bila dijadikan sebagai hujjah hukum syariat dan
akidah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan
muhaditsin maupun fuqaha.
Oleh karena itu Ibnu Hajar memberikan
persyaratan khusus agar hadis dla’if bisa diterima dan bisa diamalkan
sebagai berikut:
o Kedhaifannya tidak terlalu berat.
o Hukum yang dikandung termasuk dalam prinsip umum yang ditetapkan oleh al-Quran dan hadist shahih.
o
Dalam pengamalannya, tidak boleh diyakini bahwa Nabi benar-benar telah
melaksanakan atau menyebabkannya, melainkan hanya untuk lebih
berhati-hati atau untuk kesempurnaan amal.
Selain tiga syarat di atas,
Yusuf al-Qaradlawi telah memberikan dua tambahan persyaratan untuk hadis
dla’if agar bisa diterima dan diamalkan sebagai berikut:
o Kandungannya tidak terlalu memberatkan dan berlebih-lebihan terhadap siapa saja yang ingin mengamalkan hadis tersebut.
o Isinya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat
Menurut Imam Nawawi, seseorang
boleh dan dianjurkan dalam hal fadla'il (keutamaan suatu amalan)
At-targhin wat-Tarhib (memotivasi dan kecaman\ancaman) untuk menggunakan hadits
dhaif, selama tidak termasuk hadits maudlu' (palsu).
Adapun berkenaan
dengan hukum-hukum, seperti halal, haram, jual-beli, pernikahan,
perceraian, dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan kecuali hadits
shahih, atau hasan, kecuali dalam rangkan kehati-hatian dalam hal-hal
tersebut."
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah : Membolehkan mengamalkan hadis dhoif
Ada pernyataan yang menarik tentang perdebatan hadis dla’if.
Apakah hadis dhoif bisa untuk diamalkan?
Untuk lebih jelasnya mari kita simak penjelasan Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah:
العمل به بمعنى أن النفس ترجو ذلك الثواب أو تخاف ذلك العقاب كرجل يعلم أن التجارة تربح لكن بلغه أنها تربح ربحا كثيرا فهذا إن صدق نفعه وإن كذب لم يضره ومثال ذلك الترغيب والترهيب بالإسرائيليات والمنامات وكلمات السلف والعلماء ووقائع العلماء ونحو ذلك مما لا يجوز بمجرده إثبات حكم شرعى لا إستحباب ولا غيره ولكن يجوز أن يذكر فى الترغيب والترهيب والترجية والتخويف
"Beramal dengan hadits dhaif
maksudnya ialah: Hati kita mengharapkan pahala itu atau takut tertimpa
hukuman itu, seperti seorang pedagang yang mengetahui bahwa perdagangan akan
mendatangkan keuntungan, akan tetapi ia mendengar kabar bahwa
perdagangan kali ini akan mendatangkan keuntungan besar. Maka kabar ini
seandainya benar adanya, niscaya ia diuntungkan, dan bila tidak benar,
ia tidak dirugikan.
Demikian inilah halnya At-targhib wat-tarhib
(memotivasi dan menakut-nakuti) dengan kisah-kisah Bani Israel,
mimpi-mimpi, ucapan ulama' terdahulu, berbagai kejadian yang dialami
oleh ulama' dan lainnya yang tidak boleh dijadikan dasar/dalil untuk
menetapkan suatu hukum syari'at - bila hanya berdasarkan hal-hal itu-,
baik itu hukum sunnah atau lainnya.
Akan tetapi boleh disebutkan tatkala
menyampaikan At-targhib wat-tarhib(memotivasi dan menakut-nakuti) dan membangkitan harapan dan
menumbuhkan rasa takut."(Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah)
Hadis ini katanya dhoif, Tapi kalau nggak sikatan bertahun-tahun siapa mau?
Hadis tentang keutamaan melakukan siwak sebelum salat yang telah diriwayatkan oleh Siti Aisyah r.a. yaitu.حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ قَالَ وَذَكَرَ مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ فَضْلُ الصَّلَاةِ بِالسِّوَاكِ عَلَى الصَّلَاةِ بِغَيْرِ سِوَاكٍ سَبْعِينَ ضِعْفًا
Hadis ini,
setelah dilacak dalam kutubut tis’ah hanya ditemukan dalam kitabnya imam
Ahmad. Ada indikasi bahwa hadis ini adalah hadis dla’if karena Muhammad
bin Ishak seorang mudallas, bahwa ia tidak meriwayatkan hadis ini dari
Muhammad bin Muslim secara langsung. Meurut Ibnu Khuzaimah hadis ini
dinyatakan sebagai hadis dlo’if karena Muhammad bin Muslim telah
berpura-pura mendengar langsung hadis ini dari Muhammad bin Muslim
sehingga ia di klaim sebagai mudallas. Selain hadis di atas masih
banyak yang kedapatan dla’if ditemukan dalam kitab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar