Rabu, 07 September 2016

Ibnu Katsir menta'wil lafal “Yadullah”

Ibnu Katsir Vs Wahabi : Makna “Yadullah” Dalam Tafsir Ibnu Katsir
Makna “Yadullah” Dalam Tafsir Ibnu Katsir

Salah satu kesesatan Tauhid Salafi Wahabi adalah menetapkan tangan [anggota badan] bagi Allah, akibat salah paham terhadap hakikat Manhaj Salaf tentang Asma’ wa Sifat, mereka tersesat dalam pemahaman mereka sendiri, di satu sisi mereka seakan ingin tetap atas pendirian mereka bahwa “yadullah” itu atas makna dhohirnya yaitu “tangan Allah” akan tetapi di sisi lain mereka terlihat ragu dan ingin berlari dari pendirian mereka dengan sedikit menta’wil nya dengan makna yang layak dengan keagungan Allah, tapi mereka sangat anti dengan Ta’wil, sehingga sampailah mereka pada kesimpulan bahwa “yadullah” adalah tangan [anggota tubuh] tapi dengan bentuk atau kaifiyat yang layak dengan Allah, sementara makna “yadullah” yang layak dengan keagungan Allah menurut akidah Ahlus Sunnah waljama’ah adalah bukan tangan dalam artian anggota tubuh sebagaimana di pahami dari makna dhohir, makna dhohir nya yaitu “tangan” justru tidak pantas dinisbahkan kepada Allah, oleh karena demikian lahirlah dua metode Ahlus Sunnah dalam memahami ayat dan hadits sifat, yakni menetapkan lafadh nya sebagaimana datang nya tanpa menentukan makna nya dan menyerahkan maksud nya kepada Allah, hanya Allah yang tahu dengan maksud sebenarnya, dan satu metode lagi yakni menta’wil nya dengan makna yang layak dan pantas bagi Allah, salah satu bukti bahwa tidak boleh mentafsirnya dengan makna dhohir lughat adalah, Ibnu Katsir dalam tafsir beliau menta’wil “yadullah” dengan makna yang layak bagi Allah sesuai dengan indikasi dan qarinah yang terdapat dalam ayat

Coba buka dalam surat al-Fath, ayat 10, lihat pada scan kitab di bawah ini :


Perhatikan pada teks berikut :

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ أَيْ هُوَ حَاضِرٌ مَعَهُمْ يَسْمَعُ أَقْوَالَهُمْ وَيَرَى مَكَانَهُمْ وَيَعْلَمُ ضَمَائِرَهُمْ وظواهرهم
“yadd Allah di atas tangan-tangan mereka artinya Allah hadir bersama mereka, Allah mendengar perkataan-perkataan mereka, dan Allah melihat tempat mereka, dan Allah mengetahui batin merekadan dhohir mereka”

Begitu gamblang dan jelas, bahwa seorang Ibnu Katsir tidak menyatakan Allah punya tangan, tetapi ayat yang dhohirnya bermakna tangan, beliau ta’wil dengan makna yang layak bagi Allah, Ibnu Katsir dalam ayat ini menta’wil “yadullah” dengan makna kehadiran Allah, tapi bukan dalam artian kehadiran yang harfiyah atau hissi, tapi kehadiran Allah artinya Allah mendengar perkataan-perkataan mereka, dan Allah melihat tempat mereka, dan Allah mengetahui batin mereka dan dhohir mereka, inilah metode Ahlus Sunnah dalam menyikapi nash-nash mutasyabihat, tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, kecuali mereka ingin berlari dari pintu hidayah yang telah terbuka lebar di hadapan mereka dengan beralasan bahwa Ibnu Katsir salah memahami ayat di sini dan Ibnu Katsir terpeleset dalam akidah tentang “yadullah”. [hadanallah wa iyyakum ajma’in]

Dan coba buka lagi Tafsir Ibnu Katsir surat al-Maidah ayat 64, lihat scan kitab nya berikut ini :

Perhatikan pada teks berikut :

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ } أيبل هو الواسع الفضل، الجزيل العطاء
“(tetapi Yadd-Nya terbuka, Allah memberi bagaimana yang Dia kehendaki) artinya tetapi Allah yangmaha luas karunia lagi yang maha banyak pemberian”

Sangat jelas kesesatan akidah Salafi Wahabi yang menetapkan bagi Allah ada dua tangan dengan berdalil atas kesalah-pahaman mereka memahami ayat ini, dan sangat terang benderang pula salah kaprah Salafi Wahabi yang sangat anti dan bahkan sangat mencela Ta’wil secara mutlak, karena nyatanya seorang Ibnu Katsir yang diakui keilmuan beliau dalam bidang tafsir Al-Quran oleh para Ulama Ahlus Sunnah, beliau menta’wil “yadullah” dengan makna karunia dan pemberian (al-Fadhli dan al-‘Atha’), Ibnu Katsir mentafsirkan “yadahu” dengan makna  “al-Fadhli dan al-‘Atha’, sementara Salafi Wahabi memaknainya dengan “dua tangan”. Dan Ibnu Katsir mentafsirkan “mabsuthatan” dengan makna “al-Wasi’ dan al-Jazil” sementara Salafi Wahabi memaknainya dengan “terbuka kedua nya”.

Maka nampak dengan jelas di sini siapa yang mentafsirkan Al-Quran dengan ilmu dan siapa yang mentafsirkan Al-Quran dengan nafsu belaka, dan sampailah kita pada kesimpulan bahwa akidah Ibnu Katsir dan semua Ahlus Sunnah Waljama’ah Salaf dan Khalaf, Asy’ariyah dan Maturidiyah, Ulama Sufi dan Ulama Fiqih, adalah Allah tidak memiliki tangan [anggota tubuh], sementara kata “yadullah” yang disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah bukan bermakna “tangan” tetapi dita’wilkan dengan makna yang layak dengan keagungan Allah, atau ditafwidhkan makna nya kepada Allah yang maha tahu dengan maksud nya .
Dan seandainya makna dhohir yang dipahami dari lughat bukan masalah besar dalam akidah, yang dapat mengkufurkan orang nya karena telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, tentu saja para Ulama Ahlus Sunnah tidak menyetujui Tafwidh, apalagi Ta’wil, justru metode Tafwidh dan Ta’wil itu ada karena tidak boleh nya memaknai dengan makna dhohir yang dipahami dari makna lughat, karena pada diri makna dhohir tersebut telah terdapat Tasybih [menyerupakan Allah dengan makhluk] dan Tasybih tersebut tidak akan hilang mesti dengan membedakan kaifiyat nya, karena Tasybih yang ada pada makna dhohir bukan Tasybih kaifiyat nya.

Wallahul muwaffiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar