Asy’ariyyah adalah sebutan bagi sebuah faham atau ajaran aqidah yang
dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali al-Asy’ari (Lahir dan wafat di
Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para pengikutnya sering disebut dengan
Asy’ariyyuun atau Asyaa’irah (pengikut mazhab al-Asy’ari). Abul-Hasan
Ali Al-Asy’ari, yang kemudian dikenal sebagai pelopor aqidah
Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, memiliki garis keturunan (garis ke-10) dari
seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan suaranya dalam
membaca al-Qur’an, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir 55 tahun
setelah wafatnya al-Imam Syafi’I, dan Abul-Hasan al-Asy’ari adalah
pengikut Mazhab Syafi’i.
Pada mulanya, beliau beraqidah Mu’tazilah karena berguru kepada seorang ulama Mu’tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i (Wafat 295H.). Setelah menjadi pengikut Mu’tazilah selama + 40 tahun, beliau bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan lain-lainnya).
Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini, terdapat pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy’ari, yaitu Syaikh Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H). Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau hampir sama, namun al-Asy’ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah lebih sering disebut dengan al-Asyaa’irah (pengikut al-Asy’ari) atau al-Asy’ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu’tazilah yang dianggap oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ajaran al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) ini kemudian berhasil meruntuhkan paham Mu’tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil ‘aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.
Pada masa berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), ‘Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.
Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat “I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).
Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra’ Mi’raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadis serta Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.
Belakangan, Asy’ariyyah sering dipisahkan penyebutannya dari Ahlussunnah Wal-jama’ah, hal seperti ini telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya, yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi, antara pandangan Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan tentang Asy’ariyyah terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aqidah para ulama salaf (yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di 3 generasi pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja seperti Asy’ariyyah. Artinya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa para Shahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, ulama madzhab yang empat, dan siapa saja yang berpedoman kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta ijma’ ulama salaf, adalah Ahlussunnah Wal-jama’ah (lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, Dar ‘Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).
Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy’ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama salaf. Sedangkan kaum Salafi & Wahabi belakangan lebih cenderung menganggap Asy’ariyyah sebagai aliran sesat yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama’ah.
Pembahasan-pembahasan Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian mengarahkan umat untuk menganggap bahwa Asy’ariyyah hanyalah kelompok aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh pemikiran filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy’ariyyah sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy’ariyyah yang baru muncul setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang mereka kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah.
Pendek kata, Asy’ariyyah menurut kaum Salafi & Wahabi adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, melainkan aliran bid’ah yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi & Wahabi berikut ini:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:
“Kemudian muncul juga kelompok yang lain, dan mereka menyebut dirinya Asy’ariyah. Mereka mengingkari sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lain. Mereka menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar kepada akal. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bid’ah dan perkara baru dalam agama Islam” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 140).
Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:
“Tetapi, apakah Asya’irah dan Maturidiyah itu Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah, ahli qiblah (umat Islam). Dikarenakan al-Asya’irah dan Maturidiyah itu menyelisihi Ahlussunnah Wal-Jama’ah” ( lihat Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun XII, April 208, hal. 35).
Ungkapan di atas adalah sebuah fitnah dan penipuan besar terhadap Asy’ariyyah, sebab tidak seorang pun dari ulama yang menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi & Wahabi.
Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang bukan hanya milik Asy’ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau adalah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik sebelum Asy’ariyyah muncul atau sesudahnya. Akan tetapi, aqidah (keyakinan) Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi dan masih terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para ulama menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu’tazilah (lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, hal. 16).
Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)
“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).
وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)
“Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)” (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).
كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)
“Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)
وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)
“Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-‘Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-‘Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).
والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy’ariyyah adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan) Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy’ariyyah, malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari, hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.
Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Asy’ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri.
Dan keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.
Sebagai contoh, kaum Salafi & Wahabi boleh saja mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tidak ada hubungan sejarah dengan Asy’ariyyah, tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah wafatnya, dan bertawassul dengan para wali atau orang shaleh yang sudah meninggal adalah sebuah sarana kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, kaum Salafi & Wahabi yang memahami aqidah para ulama salaf dengan caranya sendiri sehingga berbeda kesimpulan dengan para ulama salaf itu, ataukah para pengikut Asy’ariyyah yang menerima ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui para guru dan kitab-kitab mereka?
Ada juga fitnah yang di lontarkan oleh orang-orang Wahabi bahwa katanya Syaikh Abu Al Hasan Al Asy'ari hidup dalam 3 fase pemikiran, dimana dalam fase yang ke 3 Imam Asy'ari katanya telah bertaubat dari aqidah Asy'ariyyah dan akhirnya mengikuti madzhab Salaf Ala Wahabi, benarkah ?
Untuk mengetahui jawabannya silahkan baca yang ini
Buang jauh-jauh pembagian ulama salaf dan ulama khalaf
Terkait :
Pada mulanya, beliau beraqidah Mu’tazilah karena berguru kepada seorang ulama Mu’tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i (Wafat 295H.). Setelah menjadi pengikut Mu’tazilah selama + 40 tahun, beliau bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan lain-lainnya).
Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini, terdapat pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy’ari, yaitu Syaikh Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H). Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau hampir sama, namun al-Asy’ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah lebih sering disebut dengan al-Asyaa’irah (pengikut al-Asy’ari) atau al-Asy’ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu’tazilah yang dianggap oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ajaran al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) ini kemudian berhasil meruntuhkan paham Mu’tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil ‘aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.
Pada masa berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), ‘Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.
Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat “I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).
Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra’ Mi’raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadis serta Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.
Belakangan, Asy’ariyyah sering dipisahkan penyebutannya dari Ahlussunnah Wal-jama’ah, hal seperti ini telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya, yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi, antara pandangan Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan tentang Asy’ariyyah terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aqidah para ulama salaf (yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di 3 generasi pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja seperti Asy’ariyyah. Artinya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa para Shahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, ulama madzhab yang empat, dan siapa saja yang berpedoman kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta ijma’ ulama salaf, adalah Ahlussunnah Wal-jama’ah (lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, Dar ‘Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).
Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy’ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama salaf. Sedangkan kaum Salafi & Wahabi belakangan lebih cenderung menganggap Asy’ariyyah sebagai aliran sesat yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama’ah.
Pembahasan-pembahasan Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian mengarahkan umat untuk menganggap bahwa Asy’ariyyah hanyalah kelompok aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh pemikiran filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy’ariyyah sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy’ariyyah yang baru muncul setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang mereka kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah.
Pendek kata, Asy’ariyyah menurut kaum Salafi & Wahabi adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, melainkan aliran bid’ah yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi & Wahabi berikut ini:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:
“Kemudian muncul juga kelompok yang lain, dan mereka menyebut dirinya Asy’ariyah. Mereka mengingkari sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lain. Mereka menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar kepada akal. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bid’ah dan perkara baru dalam agama Islam” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 140).
Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:
“Tetapi, apakah Asya’irah dan Maturidiyah itu Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah, ahli qiblah (umat Islam). Dikarenakan al-Asya’irah dan Maturidiyah itu menyelisihi Ahlussunnah Wal-Jama’ah” ( lihat Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun XII, April 208, hal. 35).
Ungkapan di atas adalah sebuah fitnah dan penipuan besar terhadap Asy’ariyyah, sebab tidak seorang pun dari ulama yang menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi & Wahabi.
Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang bukan hanya milik Asy’ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau adalah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik sebelum Asy’ariyyah muncul atau sesudahnya. Akan tetapi, aqidah (keyakinan) Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi dan masih terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para ulama menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu’tazilah (lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, hal. 16).
Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)
“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).
وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)
“Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)” (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).
كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)
“Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)
وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)
“Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-‘Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-‘Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).
والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy’ariyyah adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan) Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy’ariyyah, malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari, hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.
Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Asy’ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri.
Dan keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.
Sebagai contoh, kaum Salafi & Wahabi boleh saja mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tidak ada hubungan sejarah dengan Asy’ariyyah, tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah wafatnya, dan bertawassul dengan para wali atau orang shaleh yang sudah meninggal adalah sebuah sarana kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, kaum Salafi & Wahabi yang memahami aqidah para ulama salaf dengan caranya sendiri sehingga berbeda kesimpulan dengan para ulama salaf itu, ataukah para pengikut Asy’ariyyah yang menerima ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui para guru dan kitab-kitab mereka?
Ada juga fitnah yang di lontarkan oleh orang-orang Wahabi bahwa katanya Syaikh Abu Al Hasan Al Asy'ari hidup dalam 3 fase pemikiran, dimana dalam fase yang ke 3 Imam Asy'ari katanya telah bertaubat dari aqidah Asy'ariyyah dan akhirnya mengikuti madzhab Salaf Ala Wahabi, benarkah ?
Untuk mengetahui jawabannya silahkan baca yang ini
Buang jauh-jauh pembagian ulama salaf dan ulama khalaf
Terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar