Secara bahasa arti madzhab
adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata dzahaba – yadzhabu –
dzihaaban . Madzhab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata
tersebut. Sedangkan secara istilah, madzhab adalah sebuah metodologi
ilmiyah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah (Al-Quran) dan
Sunnah Nabawiyah. Madzhab yang kita maksudnya di sini adalah madzhab
fiqih.
A. Mazhab Tidak Hanya Empat Saja
Sesungguhnya
madzhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi
yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang
terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja. Padahal kita juga
mengenal madzhab selain yang 4 seperti:
1. Madzhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (w 93 H).
2. Madzhab Az-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin (w 122H),
3. Mdzhab Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali Azh-Zhahiri (202 – 270 H)
dan madzhab-madzhab lainnya.
Sedangkan
yang kita kenal 4 madzhab sekarang ini adalah karena keempatnya
merupakan madzhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap
bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun.
Al-Hanafiyah,
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah adalah empat dari sekian
puluh madzhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqih dan mampu
bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama
ahli yang meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan
masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu
bertahan dalam waktu yang sangat lama. Para ulama madzhab itu kemudian
menulis kitab yang tebal-tebal dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian
diajarkan kepada banyak umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Kitab-kitab
itu sampai hari ini masih dipelajari di berbagai perguruan tinggi
Islam, seperti di Al-Azhar Mesir, Jami’ah Islamiyah Madinah, Jami’ah
Al-Imam Muhammad Ibnu Suud Riyadh, Jamiah Ummul Qura Makkah an di
berbagai belahan dunia Islam lainnya. Bahkan di Al-Azhar dibuka fakultas
Syariah dengan jurusan dari masing-masing madzhab yang empat itu.
Sementara
puluhan madzhab lainnya mungkin terlalu sedikit pengikutnya, atau tidak
punya ulama yang sekaliber pendirinya yang mampu meneruskan kiprah
madzhab itu, atau tidak mampu bertahan bersama bergulirnya zaman.
Sehingga banyak di antaranya yang kita tidak mengenalnya, kecuali lewat
kitab-kitab klasik yang menyiratkan adanya madzhab tersebut di zamannya.
Buku
mereka sendiri mungkin sudah lenyap dari muka bumi, atau barangkali
ikut terbakar ketika pasukan Mongol datang meratakan Baghdad dengan
tanah. Sebagian yang masih tersisa mungkin malah disimpan di musium di
Eropa. Memang sungguh sayang sekali, ilmu yang pernah ditemukan dan
berkembang besar, kemudian lenyap begitu saja di telan bumi.
B. PENTINGNYA BERMAZHAB.
Banyak
orang salah sangka bahwa adanya madzhab fiqih itu berarti sama dengan
perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga
ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermadzhab,
bahkan ada yang sampai anti madzhab. Penggambaran yang absurd tentang
madzhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar
tentang hakikat madzhab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian.
Madzhab-madzhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau
perseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya,
adanya madzhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali
kepada Al-Quan dan As-Sunnah.
Kalau ada seorang bernama Mas
Paijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti
madzhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah
saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah madzhab
baru, yaitu madzhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan
Al-Wakijaniyah. Sebab yang namanya madzhab itu adalah sebuah sikap dan
cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang
yang berupaya untuk memahami ke dua sumber ajaran Islam itu, pada
hakikatnya sedang bermadzhab.
Kalau tidak mengacu kepada madzhab
orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada madzhab
dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak
bermadzhab. Semua orang bermadzhab, baik dia sadari atau tanpa
disadarinya.
C. Bolehkah seseorang mendirikan madzhab sendiri?
Jawabnya
tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath (menyimpulkan)
sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat
sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya madzhab-madzhab
itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pasti
memerlukan sistem operasi (OS).
Tidak mungkin seseorang
menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS
atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer
menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi,
manusia hanya bicara dengan mesin. Kalau ada orang yang agak eksentrik
dan bertekad tidak mau pakai Windows, Linux, Mac Os atau sistem operasi
lain yang telah tersedia, tentu saja dia berhak sepenuhnya untuk
bersikap demikian. Namun dia tentu perlu membuat sendiri sistem operasi
itu, yang tentunya tidak terlalu praktis.
Apalagi buat
orang-orang kebanyakan, rasanya terlalu mengada-ada kalau harus membuat
dulu sistem operasi sendiri. Bahkan seorang programer level advance
sekalipun belum tentu mau bersusah payah melakukannya. Buat apa
merepotkan diri bikin sistem operasi, lalu apa salahnya sistem operasi
yang sudah tersedia di pasaran diamalkan dan dikembangkan. Tentu
masing-masingnya punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, akan
menjadi sangat lebih praktis kalau kita memanfaaatkan yang sudah ada
saja. Sebab di belakang masing-masing sistem operasi itu pasti berkumpul
para maniak dan geek yang bekerja 24 jam untuk kesempurnaan sistem
operasinya.
Demikian juga dengan ke-4 madzhab yang ada. Di
dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level tertinggi
yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk
menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly.
Meninggalkan madzhab-madzhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang
hasilnya belum tentu lebih baik.
Akan tetapi boleh saja kalau ada
dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar syari’ah hingga ke
level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan madzhab
baru dalam fiqih Islami. Namun seorang yang tingkat keilmuwannya sudah
mendalam semacam Al-Imam al-Ghazali rahimahullah sekalipun tetap mengacu
kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab As-Syafi’iyah. Beliau
tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum sendiri. Demikian
juga dengan beragam ulama besar lainnya seperti Al-Mawardi, An-Nawawi,
Al-’Izz bin Abdissalam dan lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab,
Catatan :
a.Bermazhab ada dua macam
1. Mazhab adalah kita mengambil pendapat ulama terdahulu sebagai
referensi tentang masalah fikih, apabila kita ingin mengintinbatkan
hukum sesuai dalam metode keilmuan sebagai pendekatan kita sampai hukum
pikih tersebut, sebagai ilmu lain juga pakai referensi, sebab bila kita
tidak melihat pendapat ulama terdahulu sangat sulit kita menggali dari
Qur,an atau hadits ,
2. cara kedua harus mengikuti salah satu mazhab ini baik untuk kalangan awam
b. mazahab adalah pendapat ulama yang terdahulu yang harus jadikan
referensi, sebagai mana ilmu lain, seperti filsafat orang tidak terlepas
dari tokoh-tokoh yunani dan tokoh lain yang membesarkan ilmu iti,
demikian fikih tidak terlepas ulama fikih awal-awal islam yang kehidupan
mereka lebih dekat dengan kehidupan Rasul sebagai sumber informasi.
walaupun kemungkinan kita tidak sependapat dengan tokoh sebelum itu
tidak menjadi masalah kalau kita mendapat yang lebih akurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar