Membongkar Aqidah Sesat
Wahhabi Yang Sering Berbohong Besar Atas Nama Imam Abu Hanifah] .
Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab:
“Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan
barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah
bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad).
Di sini ada pernyataan yang harus kita
waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-
Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak
membuat kontroversi dan melakukan
kedustaan persis seperti seperti yang biasa
dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya,
kedustaan yang ia sandarkan kepada al-
Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir
Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan
sebagai berikut:
“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam
Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga
oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-
Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal
dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...
bahwa orang yang tidak mau
menetapkan Allah berada di atas arsy-
Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di
atas segala tempat, ...
Demikian pula orang yang tidak mau
mengakui bahwa Allah berada di atas
arsy, --di mana perkara tersebut tidak
tersembunyi dari setiap getaran hati
manusia--,...
Maka itulah orang yang tidak diragukan
lagi dan pengkafirannya. Inilah
pernyataan yang telah disampaikan oleh
al-Imam masa sekarang (maksudnya
gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis
dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-
Imam Abu Hanifah), di mana kitab
tersebut telah memiliki banyak
penjelasannya”.
Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam
untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya
untuk mempropagandakan akidah tasybih
yang ia yakininya. Ia sama persis dengan
gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa
Allah bersemayam atau bertempat di atas
arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa
keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam
Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita
meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah
adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah
dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti
kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-
Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-
Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam
karya-karya tersebut terdapat banyak
ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah
sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya,
Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau
arsy, karena arsy adalah makhluk Allah
sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada
makhluk-Nya.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak
memiliki senjata argumen, ia akan berkata
apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia
milikinya, termasuk melakukan kebohongan-
kebohongan kepada para ulama terkemuka.
Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan
bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam
Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu
Hanifah berkata demikian, dan seterusnya.
Padahal sama sekali perkataan mereka adalah
kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah
menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan
dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa
tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak
melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak
ada suatu apapun yang meyerupai-Nya.
Dia bukan benda, dan tidak disifati
dengan sifat-sifat benda. Dia tidak
memiliki batasan (tidak memiliki bentuk;
artinya bukan benda), Dia tidak memiliki
keserupaan, Dia tidak ada yang dapat
menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama
dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu
apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada
suatu apapun dari makhluk-Nya yang
menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar
dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’,
h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu
Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻳُﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓ، ﻭَﻳَﺮَﺍﻩُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ
ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨّﺔِ ﺑِﺄﻋْﻴُﻦِ ﺭُﺅُﻭﺳِﻬِﻢْ ﺑﻼَ ﺗَﺸْﺒِﻴْﻪٍ ﻭَﻻَ
ﻛَﻤِّﻴَّﺔٍ ﻭَﻻَ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﻣَﺴَﺎﻓَﺔ .
“Dan kelak orang-orang mukmin di
surga nanti akan melihat Allah dengan
mata kepala mereka sendiri. Mereka
melihat-Nya tanpa adanya keserupaan
(tasybih), tanpa sifat-sifat benda
(Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah),
serta tanpa adanya jarak antara Allah dan
orang-orang mukmin tersebut (artinya
bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di
dalam atau di luar surga, tidak di atas,
bawah, belakang, depan, samping kanan
atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh
al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-
Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat
jelas dalam menetapkan kesucian tauhid.
Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga
akan langsung melihat Allah dengan mata
kepala mereka masing-masing. Orang-orang
mukmin tersebut di dalam surga, namun
Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak
boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di
luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat
dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-
Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang
mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih,
tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar,
yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-
Imam Abu Hanifah berkata:
ﻭﻟﻘﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﺑﻼ ﻛﻴﻒ ﻭﻻ ﺗﺸﺒﻴﻪ
ﻭﻻ ﺟﻬﺔ ﺣﻖ
“Bertemu dengan Allah bagi penduduk
surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa
dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan
juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar
dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah,
beliau menuliskan:
ﻭَﻧُﻘِﺮّ ﺑِﺄﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ
ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻟَﻪُ ﺣَﺎﺟَﺔٌ ﺇﻟﻴْﻪِ ﻭَﺍﺳْﺘِﻘْﺮَﺍﺭٌ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﻫُﻮَ ﺣَﺎﻓِﻆُ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻭَﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻣِﻦْ ﻏَﺒْﺮِ
ﺍﺣْﺘِﻴَﺎﺝٍ، ﻓَﻠَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﻟَﻤَﺎ ﻗَﺪَﺭَ ﻋَﻠَﻰ ﺇﻳْﺠَﺎﺩِ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢِ
ﻭَﺗَﺪْﺑِﻴْﺮِﻩِ ﻛَﺎﻟْﻤَﺨْﻠُﻮﻗِﻴْﻦَ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﺇﻟَﻰ
ﺍﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ ﻭَﺍﻟﻘَﺮَﺍﺭِ ﻓَﻘَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺃﻳْﻦَ ﻛَﺎﻥَ
ﺍﻟﻠﻪ، ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ .
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah
pada arsy, bukan dalam pengertian Dia
membutuhkan kepada arsy tersebut,
juga bukan dalam pengertian bahwa Dia
bertempat atau bersemayam di arsy.
Allah yang memelihara arsy dan
memelihara selain arsy, maka Dia tidak
membutuhkan kepada makhluk-
makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah
membutuhkan kapada makhluk-Nya
maka berarti Dia tidak mampu untuk
menciptakan alam ini dan mengaturnya.
Dan jika Dia tidak mampu atau lemah
maka berarti sama dengan makhluk-Nya
sendiri. Dengan demikian jika Allah
membutuhkan untuk duduk atau
bertempat di atas arsy, lalu sebelum
menciptakan arsy dimanakah Ia?
(Artinya, jika sebelum menciptakan arsy
Dia tanpa tempat, dan setelah
menciptakan arsy Dia berada di atasnya,
berarti Dia berubah, sementara
perubahan adalah tanda makhluk). Allah
maha suci dari pada itu semua dengan
kesucian yang agung” (Lihat al-
Washiyyah dalam kumpulan risalah-
risalah Imam Abu Hanifah tahqiq
Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga
dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh
al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah
menuliskan:
ﻗُﻠْﺖُ: ﺃﺭَﺃﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﻗِﻴْﻞَ ﺃﻳْﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ؟ ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟَﻪُ: ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ
ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ
ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺃﻳْﻦ ﻭَﻻَ ﺧَﻠْﻖٌ ﻭَﻻَ ﺷَﻰﺀٌ، ﻭَﻫُﻮَ
ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞّ ﺷَﻰﺀٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada
orang berkata: Di manakah Allah? Jawab:
Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa
tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-
Nya ada. Allah ada tanpa permulaan
sebelum ada tempat, sebelum ada
makhluk dan sebelum segala suatu
apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala
sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-
Imam Abu Hanifah dalam kumpulan
risalah-risalahnya dengan tahqiq
Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-
Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa permulaan (Azali,
Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada
sebelum menciptakan apapun dari
makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada
tempat, Dia ada sebelum ada makhluk,
Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan
Dialah pencipta segala sesuatu. Maka
barangsiapa berkata saya tidak tahu
Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau
di bumi?, maka orang ini telah menjadi
kafir. Demikian pula menjadi kafir
seorang yang berkata: Allah bertempat di
arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu
di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath,
h. 57).
Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas,
beliau mengkafirkan orang yang berkata:
“Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di
langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau
mengkafirkan orang yang berkata: “Allah
bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu
apakah arsy itu di bumi atau di langit”.
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah
terhadap orang yang mengatakan dua
ungkapan tersebut adalah karena di dalam
ungkapan itu terdapat pemahaman adanya
tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu
yang memiliki tempat dan arah sudah pasti
membutuhkan kepada yang menjadikannya
dalam tempat dan arah tersebut. Dengan
demikian sesuatu tersebut pasti baharu
(makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali
disalahpahami atau sengaja diputarbalikan
pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah.
Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali
dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk
mempropagandakan keyakinan mereka
bahwa Allah berada di langit atau berada di
atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-
Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk
menetapkan tempat atau arah bagi Allah.
Justru sebaliknya, beliau mengatakan
demikian adalah untuk menetapkan bahwa
Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini
terbukti dengan perkataan-perkataan al-
Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah
kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau
dalam al-Washiyyah: “Jika Allah
membutuhkan untuk duduk atau bertempat
di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy
dimanakah Ia?”.
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita
bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-
Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka
yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang
berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di
atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-
Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya
tersebut di atas, sebagaimana telah
dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi
dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat
al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200).
Demikian pula prihal maksud perkataan al-
Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh
al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-
Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-
Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-
Nuniyyah, h. 180).
Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-
Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:
“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu
Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah
bertanya kepada Abu Hanifah tentang
orang yang berkata “Saya tidak tahu
Allah apakah Dia berada di langit atau
berada di bumi!?”. Abu Hanifah
menjawab: “Orang tersebut telah
menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-
Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy
Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu
Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika
seseorang berkata “Allah di atas arsy,
tapi saya tidak tahu arsy itu berada di
langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah
berkata: “Orang tersebut telah menjadi
kafir, karena sama saja ia mengingkari
Allah berada di langit. Dan barangsiapa
mengingkari Allah berada di langit maka
orang itu telah menjadi kafir. Karena
Allah berada di tempat yang paling atas.
Dan sesungguhnya Allah diminta dalam
doa dari arah atas bukan dari arah
bawah”.
Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan
riwayat yang telah disebutkan oleh al-
Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab
Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu
Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata
“Saya tidak tahu apakah Allah di langit
atau di bumi?!”, maka orang ini telah
menjadi kafir. Karena perkataan
semacam ini memberikan pemahaman
bahwa Allah memiliki tempat. Dan
barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah
memiliki tempat maka orang tersebut
seorang musyabbih; menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn
Abd as-Salam adalah ulama besar
terkemuka dan sangat terpercaya.
Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam
Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita
pegang teguh. Bukan dengan
memegang tegung riwayat yang dikutip
oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat
syarah Risalah al-‘Aqidah ath-
Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di
samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi
sendiri adalah seorang yang banyak
melakukan pemalsuan, seperti yang telah
dinyatakan oleh banyak ulama
hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h.
197-198).
Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami,
salah seorang ulama al-Azhar terkemuka,
dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad
Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa
pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’
al-Balkhi di atas, sebagai berikut:
Pertama: Bahwa pernyataan yang
dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah
tersebut sama sekali tidak ada
penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar.
Pernyataan semacam itu dikutip oleh
orang yang tidak bertanggungjawab,
dan dengan sengaja ia berdusta
mengatakan bahwa itu pernyataan al-
Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-
Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk
mempropagandakan kesesatan orang itu
sendiri.
Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas
berasal dari seorang pemalsu (wadla’).
Riwayat orang semacam ini, dalam
masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja
sama sekali tidak boleh dijadikan
sandaran, terlebih lagi dalam masalah-
masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil
periwayatan orang pemalsu semacam ini
adalah merupakan pengkhiatan
terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini
tidak dilakukan kecuali oleh orang yang
hendak menyebarkan kesesatan atau
bid’ah yang ia yakini.
Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah
terbantahkan dengan periwayatan yang
benar dari seorang al-Imam agung
terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz
ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam
Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-
Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya
dan lebih benar dibanding periwayatan
pemalsu tersebut. Berpegang teguh
kepada periwayatan seorang pendusta
(kadzdzab) dengan meninggalkan
periwayatan seorang yang tsiqah adalah
sebuah pengkhianatan, yang hanya
dilakukan seorang ahli bid’ah saja.
Seorang yang melakukan pemalsuan
semacam ini, cukup untuk kita klaim
sebagai orang yang tidak memiliki
amanah. Jika orang awam saja
melakukan pemalsuan semacam ini
dapat menjadikannya seorang yang tidak
dapat dihormati lagi, terlebih jika
pemalsuan ini dilakukan oleh seorang
yang alim, maka jelas orang alim ini tidak
bisa dipertanggungjawabkan lagi
dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim”
semacam itu tidak pantas untuk kita
sebut sebagai orang alim, terlebih kita
golongkannya dari jajaran Imam-Imam
terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan
lebih parah lagi jika pengkhianatan
pemalsu ini dalam tiga perkara ini
sekaligus. Padahal dengan hanya satu
pengkhianatan saja sudah dapat
menurunkannya dari derajat tsiqah.
Karena jika satu riwayat sudah ia
dikhianati, maka kemungkinan besar
terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia
akan melakukan hal sama (Lebih lengkap
lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad,
h. 99-100).
Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-
Qayyim tidak hanya membuat kedustaan
kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga
melakukan kedustaan yang sama terhadap al-
Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub
dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam
Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn
Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi
perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh
Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak
diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini
adalah sebuah kedustaan untuk tujuan
mempropagandakan keyakinan
bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-
Rasyad, h. 99).
Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim
semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-
Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-
Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap
Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-
Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-
Imam al-Kautsari ini adalah sebagai
tambahan atas kitab karya Al-Imam
Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-
Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga
berisikan serangan dan bantahan terhadap
bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud
dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin
as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn
al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn
Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-
Nuniyyah, h. 108).
Dengan demikian riwayat yang sering
dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang
juga sering dipropagandakan oleh kaum
Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah
berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah
kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali
tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat
ini terdapat nama-nama perawi yang
bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad
ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn
Abi Maryam Abu ‘Ishmah.
Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn
Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits
terkemuka yang hidup dalam satu wilayah
dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri.
Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-
Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu
Nu’aim ibn Hammad adalah seorang
mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h.
409).
Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang
merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad,
juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-
Tahdzib, j. 10, h. 433).
Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri
dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum
mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn
Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya
sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian
pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh
ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn
Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan
ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli
kalam, mereka semua adalah orang-orang
yang berkeyakinan tasybih dan tajsim.
Dengan demikian bagaimana mungkin
riwayat orang-orang yang berakidah tasybih
dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan
sandaran dalam menetapkan permasalahan
akidah?! Sesungguhnya orang yang
bersandar kepada mereka adalah bagian dari
mereka sendiri.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab
Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya
terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip
perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim
ibn Hammad) adalah seorang pemalsu
hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).
Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah
ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad,
tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya
sambil berkata: “Hadits munkar dan
majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).
Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa
riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu
yang sama sekali tidak benar.
(Masalah)
Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum
Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-
Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-
Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-
Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di
langit” adalah berasal dari al-Imam Abu
Hanifah.
(Jawab)
Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi
dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan
memepergunakan kata “In shahhat al-
hikayah...” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal
ini menunjukan bahwa riwayat tersebut
bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-
Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan
dalil. Yang menjadi masalah besar ialah
bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-
riwayah...” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi
untuk tujuan memberikan pemahaman
kepada para pembaca bahwa pernyataan
“Allah berada di langit” adalah statemen al-
Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa
adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah.
Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi
telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham
gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam
al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari
dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-
Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-
Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In
shahhat ar-riwayah...” menunjukan bahwa
dalam riwayat tersebut terdapat beberapa
cacat (al-khalal).
Namun hal terpenting dari pada itu ialah
bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-
Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam
banyak tempat banyak menyebutkan tentang
kesucian Allah dari pada tempat dan arah,
salah satunya pernyataan beliau berikut ini:
“Sebagian sahabat kami (kaum
Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah
Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam
menafikan tempat dari Allah dengan
sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau
ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu
menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak
ada suatu apapun di atas-Mu, dan
Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak
dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada
suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits
ini dipahami jika tidak ada suatu apapun
di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun
di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa
tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).
Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa
ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan:
“Apa yang diriwayatkan secara
menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan
lainnya memberikan pemahaman bahwa
Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu
yang memiliki bentuk maka pasti dia itu
baharu, membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam bentuk tersebut.
Sementara Allah itu Qadim dan Azali
(tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-
Shifat, h. 415).
Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-
Bayhaqi menuliskan:
“Sesungguhnya Allah ada tanpa
tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h.
448-449).
Juga mengatakan:
“Sesungguhnya gerak, diam, dan
bersemayam atau bertempat itu adalah
termasuk sifat-sifat benda. Sementara
Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak
membutuhkan kepada suatu apapun,
dan tidak ada suatu apapun yang
menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat,
h. 448-449).
Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang
bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di
langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-
Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka
yang sama seakali tidak benar dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan
semacam ini tidak hanya kedustaan kepada
Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga
kedusataan terhadap orang-orang Islam
secara keseluruhan dan kedustaan terhadap
ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar