Para ulama sinambung, menyambung secara terus menerus dengan para atba’ tabi’in, tabi’in dan para sahabat Nabi. Para Ulama itulah yang paling memahami atsar sahabat, dan para sahabat yang paling memahami sunah Nabi.
Sebagai contoh, Sahabat Nabi saw, Sy. Abdullah bin Umar mempunyai Murid Imam Nafi’, Imam Nafi mempunyai murid Imam malik, Imam Malik mempunyai murid Imam Syafi’i, Imam Syafi’i mempunyai murid
Imam al-Muzni, al-Muzni mempunyai murid Imam Thahawi terus sinambung sampai imam al-Juwaini, Imam Haramain, Imam Gazali sampai Syekh Zaini Dahlan, Syekh Nawawi al-Bantani, KH. Hasyim Asy’ari sampai pada kiai-kiai saat ini. Jadi bagaimana mungkin kita langsung merujuk pada para Sahabat atau Tabi’in dengan meninggalkan jaringan ini.
Oleh sebab itu, Imam`Ala’udin Ali al-Hanafi (W. 796 H) dalam kitabnya al-Ittiba’ (Dar al-Kutub: 2006) Hlm 80, mengatakan:
ومن ظن أنه يعرف الأحكام من الكتاب والسنة بدون معرفة ما قاله هؤلاء الأئمة وأمثالهم فهو غالط مخطئ
“Orang yang merasa bahwa dirinya mengetahui hukum-hukum (syariat) langsung dari al-Quran dan Sunah, tanpa merujuk pada penjelasan dan penjabaran para Imam-imam besar itu, ia orang yang salah dan menyesatkan”(dalam kitabnya al-Ittiba’ (Dar al-Kutub: 2006) Hlm 80)
Kiai
atau ulama kita berpegang teguh pada al-Quran dan Sunah. Beliau semua
menerapkan keduanya tanpa meninggalkan konteksnya, yaitu kebudayaan
lokal. Tidak mengamalkan al-Quran dan Sunah secara harfiah. Membuka
mesin yangg benar dengan menggunakan kunci-kuncinya, obeng dll. Ada
juga yang membuka mesin dengan arit dan palu, yang penting terbuka.
Ulama
kita memilih cara pertama, memahami dan menerapkan al-Quran-Sunah
dengan perangkatnya "Asal" menerapkan al-Quran dan Sunah seperti
membuka baud dengan arit dan palu bukan dengan alat atau cara
semestinya. Anak-anak muda mudah sekali "kepincut" dengan slogan
"menurut al-Quran- hadis", padahal itu semakin menjauhkan dari Islam.
Sebab
kembali atau merujuk pada al-Quran dan Sunah tanpa ilmu justru semakin
menjauhkan umat dari keduanya. Malah menyesatkan,
contoh yang terjadi
saat ini pembantaian yang kita lihat di Syiria, Irak dan negara Islam
lainnya. Apakah benar al-Quran dan Sunah Nabi mengajarkan pembantaian?
Contoh lainnya dalam ilmu Tauhid, alih-alih merujuk langsung pada al-Quran-hadis malah menjadi faham "mujasimah"/ tajsim: Allah berfisik. Faham ini jauh dari ajaran al-Quran. Ahlu Sunah wal jamaah menerapkan al-Quran dan Sunah tanpa memisahkannya dengan konteks, tidak dogmatis. Ulama yang menerapkan al-Quran dan Sunah tanpa meninggalkan konteks akan moderat. Sebaliknya, orang yang menerapkan keduanya secara harfiah, setback.
Salah
satu sarat mutlak merujuk pada al-Quran dan Sunah adalah dengan
merujuk pada pendapat para ulama, sebab jaringan transmisi kita melalui
beliau-beliau semua. Para ulama sinambung, menyambung secara terus
menerus dengan para atba’ tabi’in, tabi’in dan para sahabat Nabi. Para
Ulama itulah yang paling memahami atsar sahabat, dan para sahabat yang
paling memahami sunah Nabi. Sebagai contoh, Sahabat Nabi saw, Sy.
Abdullah bin Umar mempunyai Murid Imam Nafi’, Imam Nafi mempunyai murid
Imam malik, Imam Malik mempunyai murid Imam Syafi’i, Imam Syafi’i
mempunyai murid Imam al-Muzni, al-Muzni mempunyai murid Imam Thahawi
terus sinambung sampai imam al-Juwaini, Imam Haramain, Imam Gazali
sampai Syekh Zaini Dahlan, Syekh Nawawi al-Bantani, KH. Hasyim Asy’ari
sampai pada kiai-kiai saat ini. Jadi bagaimana mungkin kita langsung
merujuk pada para Sahabat atau Tabi’in dengan meninggalkan jaringan
ini.
Oleh
sebab itu, Imam`Ala’udin Ali al-Hanafi (W. 796 H) dalam kitabnya
al-Ittiba’ mengatakan:
ومن ظن أنه يعرف الأحكام من الكتاب والسنة بدون معرفة ما قاله هؤلاء الأئمة وأمثالهم فهو غالط مخطئ
“Orang yang merasa
bahwa dirinya mengetahui hukum-hukum (syariat) langsung dari al-Quran
dan Sunah, tanpa merujuk pada penjelasan penjabaran para Imam-imam
besar itu, ia orang yang salah dan menyesatkan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar