Ingat kaidah fiqh: “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan “haram”
dan “ibadah” yang dimaksud dalam kaidah ini hanyalah : “ibadah mahdhah sahaja”
Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. lebih lengkapnya:::
Sangat sering kita membaca atau mendengar ucapan, “Mana dalilnya ?”, “Kalau memang itu baik/benar mengapa Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”, “Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?” dan lain sebagainya. Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok Salafy Wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam, bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul ihram dan amalan lainnya.
AT TARK
Pertanyaannya adalah,
Apakah “At Tark” yaitu “Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu” itu merupakan suatu hukum baru ?
Bisakah “At Tark” itu dijadikan alat untuk menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu dianggap Salafy Wahabi hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah dhalalah, yang semua tempatnya neraka ?
Mari kita bahas bersama bagaimana sebenarnya kedudukan “At Tark” ini. “At Tark” yang kita pahami sebagai amaliah yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah” tidak secara langsung menghukumi sesuatu itu makruh atau haram atau sering disebut kelompok Salafy Wahabi “Bid’ah (Dhalalah)”.
Hal ini bisa kita buktikan dari banyak sudut pandang, yaitu :
1. Dari sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
Ada sighat nahi (berupa kalimat larangan).
Contoh :
ولا تقربوا الزن
(Jangan kalian dekati zina)Ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman).
Contoh :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
(Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
Contoh :
من غش فليس منا
(Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)Dari ketiga dasar ushul fiqh tersebut tidak ada “At Tark” di salah satunya.
2. Nash Qur’an menyebutkan :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr : 7)Disini jelas nash Qur’an menggunakan lafadz “Naha” (dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak pernah dilakukan)
3. Dalil dari Hadits menyebutkan :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhori Muslim)Disini Rasulullah juga tidak mengatakan “Tark” tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
Jadi jelas sudah bahwa “At Tark” bukan sumber hukum dan tidak bisa secara otomatis menghukumi sesuatu itu makruh atau haram. Hal ini berbeda dengan qaidah yang baru dibuat oleh Salafy Wahabi yang mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”. Jelas ini mengada-ada.
LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA ILAIHI
Berikutnya adalah sering kita baca atau dengar kalimat
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Lau Kaana Khairan Maa Sabaquunaa IlaihiYang diartikan secara asal-asalan oleh Salafy Wahabi :
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya”
Adakah kalimat itu dijadikan dasar hukum ? ataukah ada sumber dari Ushul Fiqh ?
Dengan tegas harus kita jawab tidak ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun bid’ah suatu amaliah.
Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat “orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.
Pantaskah hal itu digunakan sebagai dalil menghukumi suatu amal ??? Dengan tegas jawab tidak bisa. Bahkan hal itu jelas diucapkan oleh orang yang tidak punya ilmu.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Untuk jelasnya dalam Kitab Ushul Fiqh :
الأصل في العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعا وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، أن الأصل في العبادات التوقيف كما أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جدا ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادة لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحد أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصا أو تقديما أو تأخيرا أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعا، والعصر أربعا، والمغرب ثلاثا، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلا أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقدا جديدا لم يكن موجودا في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه ربا ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذ نقول: هذا العقد مباح؛
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلا أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضا- فلا يجوز لأحد أن يخترع زمانا للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلا
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعا، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلا، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلا، فهذه بدعة
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعا، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلا- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجا أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك
Jika kita baca penjelasan diatas, maka rangkumannya adalah Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Dijelaskan selanjutnya tauqif itu mengikuti :1. Tauqif Sifat Ibadah (التوقيف في صفة العبادة)
dicontohkan dalam penjelasannya :“tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk
tasyahud tidak pada tempatnya”
2. Tauqif Waktu Ibadah (التوقيف في زمن العبادة)
dicontohkan dalam penjelasannya :“tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya”
3. Tauqif Macamnya Ibadah (التوقيف في نوع العبادة)
dicontohkan dalam penjelasannya :“tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari atau
memendam jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih badanku “ misalkan ini semua bid’ah.”
4. Tauqif Tempat Ibadah (التوقيف في مكان العباد)
dicontohkan dalam penjelasannya :“jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Maka jelas disini dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah hal ini tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah.
Maka secara umum dalam ushul fiqh terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya “Hukum untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid (tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu wasail (perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas ada dalilnya, tapi wasailnya tanpa dalil dia sudah berhukum haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah
Sunnah”.
Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid adalah wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang bisa kita ambil dalam Ibadah Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap ushalli dan lain sebagainya. Terpenting adalah hal tersebut dari sisi maqashidnya tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
Demikianlah pemahaman dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mengikut junjungan kita Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wa Alihi Wasallam.
Maka jelas apa yang tidak dilakukan Rasulullah bukan “bid’ah dhalalah (tersesat)”. Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Read more: http://www.sarkub.com/2012/apakah-yang-tidak-dilakukan-rasulullah-adalah-bidah-sesat/#ixzz2G9JiCIvC
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | 140014749377806 on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar