Senin, 06 April 2015

Kitab Aswaja ( Ahlus Sunnah Waljama'ah)


  • Terjemahan Kitab Aswaja ( Ahlus Sunnah Waljama'ah)

     
    Terjemah
                           
    رسالة  أهل السنة والجماعة
    للعلامة حضرة الشيخ محمّد هاشم اشعرى


    Alih Bahasa : Ust. Ahmad Zainul Hakim, S.EI

    PONDOK PESANTREN
    DARUS SHOLAH
    Jl. M. Yamin 25 Tegal Besar Kaliwates Jember Phone (0331 – 334521)


    KARAKTERISTIK ASWAJA
    YANG ADAPTIF MENGAWAL PERKEMBANGAN ZAMAN
    Oleh : Zainul Hakim

    I. PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
        ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi"  yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
        Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka  "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).
        Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari  (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

    II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA  
        Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
        Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benarmaka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.
        Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.

    III. KERENGKA PENILAIAN ASWAJA
        Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah Wal Jama'ah terdapat hal-hal yang disepakati dan yang diperselisihkan. Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati kebenarannya dan disepakati penyimpangannya.
        Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain  bahwa;
    1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
    2. Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
    3.    Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
    4.    Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan termasuk segala perbuatan manusia adalah kewhendak Allah, dan segala sesuatu yang terjadi sebab Qodlo' dan Qodharnya Allah.
    5.    Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim menjadi kafir sepanjang tidak mengingkari apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
    6    Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk juga meyakini bahwa kekhalifahan setelah Rasulillah secara berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab, Ustman Bin "Affan dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
    7.    Bahwa Amar ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim termasuk kepada para penguasa.

            Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
    1.    Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab kemudian menyatakan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh "Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, 'ismah dan lain-lain.
    2.    Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam seperti yang dianut oleh kalangan Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai dengan Mu'awiyah.
    3.     Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat ini merupakan pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
    4.    Melakukan penta'wilan terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak bersumber pada kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta'thil) antara lain menghilangkan Al-Yad, Al-Istiwa', Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur'an, hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih)

    III. PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
        Pada periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada dasarnya  memiliki dua kecenderungan dalam menyikapi berbagai perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan, terutama yang menyangkut masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa berpegang teguh kepada nash Qur'an dan Hadist dan tidak mau mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin Khottob, 'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin Tsabit Dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan Tsauri, Auza'I, Malik Bin Anas, dan Ahmad Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang yang berani mendiskusikan atau memperdebatkan masalah-masalah aqidah, mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan  "Bid'ah Mungkarah" .
        Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan pembahasan dan berdiskusi untuk menghilangkan kerancuan pemahaman serta  memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan. Diantara yang termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi Thalib, 'Abdulloh Bin 'Abbas dan lain-lain.  Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish Al-Muhasibi dan Abu Tsaur.
        Kelompok kedua ini juga merasa terpanggil untuk menanggapi berbagai keadaan yang dihadapi baik yaang menyangkut masalah Aqidah, Fiqh maupun Tasawuf karena adanya kekhawatiran terhadap munculnya dua sikap yang ekstrim. Pertama adalah kelompok yang terlampau sangat hati-hati yang kemudian disebut sebagai "Kelompok Tafrith"  Kelompok ini memahami agama murni mengikuti Rasulillah dan para sahabatnya secara tekstual. Mereka tidak mau memberikan ta'wil atau tafsir karena kuawatir melampaui batas-batas yang diperbolehkan. Sedangkan yang kedua yaitu kelompok yang menggunakan kemaslahatan dan menuruti kebutuhan perkembangan secara berlebihan dan kelompok ini disebut dengan "kelompok Ifrath"
        Dalam berbagai diskusi dan perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang menggunakan dalil-dalil manthiqi (deplomasi) dan ta'wil majazi. Pendekatan ini terpaksa dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah dari penyimpangan dengan menggunakan cara-cara yang dapat difahami oleh masyarakat banyak ketika itu, namun tetap berjalan diatas manhaj sahaby sesuai dengan anjuran Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima Ya'rifuhu Wada'u Yunkiruna. Aturiiduna ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh" (Bicaralah kamu dengan manusia dengan apa saja yang mereka mampu memahaminya, dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian mau kalau Allah dan Rasul-Nya itu dibohongkan?. Sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut Imam Bukhari dimauqufkan kepada Sayyidina Ali RA.
    Strategi dan cara yang begitu adaptif  inilah yang terus dikembangkan oleh  para pemikir Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam merespon berbagai perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai benturan antara teks-teks agama dengan kondisi sosial masyarakat yang berubah-rubah.
        Sehubungan dengan strategi ini, mengikuti sahabat bukanlah dalam arti mengikuti secara tekstual melainkan mengikuti Manhaj atau metode berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut Imam Al-Qorofi, kaku terhadap teks-teks manqulat (yang langsung dinuqil dari para sahabat) merupakan satu bentuk kesesatan tersendiri, karena ia tidak akan mampu memahami apa yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf..
    (Al-jumud 'Alal mankulat Abadab dhalaalun Fiddiin wa Jahlun Bimaqooshidi Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin)

     IV. KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
        Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja  yang didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang membid'ahkan  berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya dan lain-lain.
    Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa menghantarkan faham ini diterima oleh mayoritas umat Islam khususnya di Indonesia baik mereka itu orng yang ber ORMASkan NU, Muhammadiah, SI, Sarekat Islam maupun yang lainnya.
        Wal hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi".  Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian disusul oleh Al-Maturidi,  Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula usaha Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini  sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.
        Bagaimana pilar-pilar pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tentang Ahli Sunnah Wal Jama'ah? Simak dan telaahlah terjemahan kitab beliau RISALAH AHLI SUNNAH WAL JAMA'AH berikut ini…………………..


    ترجمة
    رسالة أهل السنة والجماعة
    للعلامة حضرة الشيخ محمّد هاشم اشعرى

    MUKADDIMAH / PENGANTAR
    بسم الله الرحمن الرحيم
    Segala Puji dan Keagungan senantiasa kita curahkan kepada Dzat yang telah berfirman di dalam kitabnya Al - Qur'an  yang berfungsi sebagai pemberi penjelasan, ialah Dzat yang paling benar Qoulnya.
    هو الذى ارسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على الدين كله ولوكره المشركون .

    “Dialah Dzat yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq, agar dimenangkannya terhadap semua agama, sekalipun orang-orang musyrik membencinya”
    Rahmad ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan tetap terlimpah curahkan kepada junjungan kita, nabi yang menjanjikan syafa’at-nya kepada kita, Rasul yang menjadi wasilah kita untuk menuju Tuhan, ialah Nabi Muhammad Saw yang telah bersabda :
     إنّ اصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمّد وشرالامور    محد ثاتها. وكل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة فى النار.

    “Sungguh  sebenar-benarnya hadits / ucapan adalah kitabullah “Al-Qur'an”. Sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad Saw, dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru yang tidak berdasar agama, setiap perkara yang baru adalah bid’ah, segala bid’ah adalah penyimpangan, dan setiap penyimpangan adalah bermuara pada Neraka”.
    Risalah ini adalah merupakan karya besar yang memuat beberapa doktrin ajaran yang sangat berfaidah, juga beberapa pembahasan yang sangat dibutuhkan oleh kaum Muslim dalam rangka mengokohkan Aqidah agamanya, agar mereka masuk dalam bingkai “Firqah al-Najiyah”, golongan yang selamat yakni “Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah”. Dalam kitab ini penulis melakukan counter terhadap para ahli Dlolalah / para pembuat bid’ah yang merupakan sumber dari segala sumber kebohongan.
    Dari itulah kitab ini merupakan “Hujjah”, argumentasi dan dalil, serta penjelasan yang sangat mendasar bagi kemuliaan kaum muslimin, untuk kemudian dapat mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan mereka, dengan ini pula penulis melakukan indoktrinasi melalui beberapa aqidah yang benar ‘Ala thariqati Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
    Saat ini, kaum muslimin sangat membutuhkan doktrin-doktrin ajaran yang benar, karena sungguh telah terjadi pencampuradukan ajaran dikalangan orang-orang yang mulia (para pemegang otoritas keagamaan) dengan orang-orang awam yang merendahkan martabat keagamaan, hingga tampak terjadi pembiasan, kesamaran antara yang “Haq” dan yang “Bathil”. Banyak orang yang bodoh mulai berani maju berfatwa, padahal wawasan dan pemahaman mereka terhadap kitabullah dan sunnah Rasulillah SAW. sangat cupet dan kerdil.
    Al-Qur'an telah datang untuk memberi penjelasan segala permasalahan secara detail dan terhindar dari segala pencampuradukan dan penyimpangan. Dengan demikian sangatlah memungkinkan dan seharusnya kaum Muslimin dapat terselamatkan dari kebodohan dan kesesatan, hingga apa yang mereka ucapkan “Muwafiq”/selaras dengan apa yang mereka perbuat.
    Penulis kitab ini Hadratus Syaikh al – ‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari, adalah salah seorang ulama terkemuka Indonesia dan termasuk pencetus berdirinya jam’iyah Nahdlotul Ulama yakni sebuah Organisasi kemasyarakatan yang telah dengan konsisten memegangi “Sunnata Khatamin Nabiyyiin”, menjaga dan membentengi thariqah atau jalan hidup yang telah dibangun oleh Salafuna al – Sholih.
    Mudah-mudahan Allah Swt. melimpahkan segala kebaikan dan ampunan-Nya kepada beliau, semua orang tua beliau dan seluruh keturunan beliau. Engkaulah Dzat yang Maha Pengampun. Mudah-mudahan Allah SWT. memberikan kemanfaatan atas kitab dan keilmuwan beliau bagi seluruh kaum Muslimin dan menjadikannya sebagai cahaya yang menghidupkan sunnah Rasulillah Saw.
    Demikian, Rahmad Keagungan Allah Swt mudah-mudahan terlimpah curahkan pada baginda nabi besar Muhammad  Saw, seluruh keluarganya, dan Sahabat-Sahabatnya, wa Alhamdulillah ‘Alamin.

    Tebuireng, 1 Rajab 1418 H                   
    Pengantar dari cucu penulis                      
    Muhammad Ishom Hadziq



    MUKADDIMAH
    Bismillahi al - Rahman al - Rahiem


    Segala puji bagi Allah, “Al – Hamdulillah” sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarganya. Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain : Hadits – hadits tentang kematian dan tanda-tanda hari Qiamat, penjelasan tentang “Al – Sunnah” dan “Al Bid’ah” dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama
    Kepada Allah Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan jari – jemari dengan penuh kekhusyu’an, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal shalihah Liwajhillah al – Kariem, karena Ia-lah Dzat yang Maha dermawan penuh kasih sayang. Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.


     SEBUAH  PASAL
    PENJELASAN TENTANG “AL – SUNNAH DAN AL – BID’AH


    Lafadz “Al – Sunnah” dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam Al – Baqi’ dalam kitab ‘Kulliyat’-nya secara etimologi adalah Al – Thariqah, jalan, sekalipun yang tidak diridloi.
    Menurut terminologi syara’ : “Al – Sunnah” merupakan “Al – Thoriqoh”, jalan atau cara yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosulillah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada para sahabat R.A.
    Hal ini didasarkan pada sabda nabi :
       عليكم  بسنتى  وســنة  الخلــفا ء  الراشــدين  من بعدى

     “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al – Khulafaur Rasyidin, setelahku”.
    Sedangkan menurut terminologi Urf adalah pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah “Al – Sunny” merupakan bentuk penisbatan dari lafadz “Al – Sunnah” dengan membuang ta’ marbuthah.
    Lafadz “Al – Bid’ah” sebagaimana dikatakan oleh Al – Syekh Zaruq di dilam kitab “Iddati al – Murid” menurut terminologi syara’ adalah : "Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya  bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda nabi SAW :
    من  احدث  فى امرنا  هذا  ما  ليس  مـــــنه  فهو رد

    “Barang siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku {yakni masalah agama}, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”
    Dan sabda Rasul :
    وكل محـــــدثة  بدعة

    “Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”
    Para ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan Furu’ al – Syari’ah sehingga ia dapat dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.
    Al – Syekh Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini yakni : pertama ; harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika didalamnya didapati termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar yang mengukuhkannya, maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana yang paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.
    Pertimbangan kedua adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah dibakukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al – Sholih sebagai tuntunan “Thariqah al – Sunnah”, jika ternyata perkara itu bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui beberapa pertimbangan, maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah diterima, sekalipun dikalangan para Imam Mujtahid sendiri terjadi perbedaan pendapat baik secara far’ maupun asal. “Segala sesuatu itu mengikuti pada asalnya berikut dalilnya”, sehingga apapun yang diamalkan oleh para Salafuna al – Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah para Imam dan diikuti oleh kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu dianggap sebagai  “bid’ah madzumah”, dan segala bentuk prilaku yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna al – Shalih dengan kerangka pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu dianggap sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap sebagai perkara yang terpuji.
    Berkaitan dengan suatu dasar yang telah ditetapkan oleh Salafuna al –Shalih tetapi tidak menjadi prilaku hidup mereka, maka Imam Malik berpendapat bahwa hal itu dianggap sebagai bid’ah dengan dalih bahwa mereka tidak akan meninggalkan segala sesuatu perbuatan apapun kecuali didalamnya ada perintah untuk meninggalkan perkara tersebut. Imam Al – Syafi’i berpandangan lain, bahwa hal itu tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun Salafuna al – Shalih tidak mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan perbuatan tersebut dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan hal itu pada suatu waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena segala bentuk hukum itu bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan terkait, atau dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan sosio historis orang yang mensyari’atkannya.
    Para ulama juga berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i  berlandaskan pada sebuah hadits :
    ما  تركته  لكم  فهو  عفو

    “Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni”
    Syekh Zaruq berpandangan bahwa : berkaitan dengan mizan yang kedua ini, beliau mencontohkannya dengan terjadinya perbedaan pandangan diantara para ulama tentang hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah, membaca dzikir dengan keras, dan melangsungkan do’a bersama. Karena didalam hadits ada semacam support atau al – Targhib di dalam hal ini, sekalipun Salafuna al – Sholih tidak melakukannya sehingga dengan hal ini tidaklah setiap orang yang menyepakati hal itu dianggap sebagai pembuat bid’ah dalam pandangan orang yang berpendapat lain, jika ternyata pendapat tersebut bertolak belakang dengan dalil-dalil hukum yang diambil sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak melampui batas wilayah yang diperkenankan baginya. Dan tidaklah sah pula perkataan seseorang yang memiliki pendapat berbeda itu dipergunakan untuk membatalkan pendapat lain yang bertolak belakang karena adanya kesamaran dalam memproses kesimpulan hukumnya. Bila dalam persoalan ini dilegalkan segala bentuk upaya pembatalan pendapat orang lain, maka yang terjadi adalah klaim pembid’ahan terhadap  seluruh prilaku umat.
    Sebagaimana telah diketahui bahwa sesungguhnya hukum Allah Ta’ala dalam kerangka yang bersifat ijtihadiyah dan pada wilayah furu’iyah, bagi seorang mujtahid akan sangat memungkinkan untuk dimunculkan ijtihad baru, baik hasil ijtihad baru itu  mendapatkan pembenaran dari hanya seorang saja atau lebih.
    Rasulullah Saw bersabda :
    لايصلين احد العصر إلا فى بنى قربيظة فادركهم العصرفى الطـريق ,فقال بعضهم امرنا بالعجلة  وصلوا فى الـريق  وقال أخرون : امرنا بالصلاة هناك فاخروا ولم يعب صلى الله عليه وسلّم على واحد منهم.
    “Sungguh seseorang tidak akan dapat  melaksanakan sholat fardu Ashar kecuali diperkampungan Bani Quradloh, lantas para sahabat mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari mereka berkata : kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan / mendirikan sholat) dan mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari sahabat yang lain berkata : kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana (perkampungan Bani Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan Rasulullah Saw. tidak mencaci maki  kepada salah seorangpun diantara mereka”.
    Sikap Rasululah yang sedemikian begitu menyejukkan, dan menunjukkan keabsahan untuk melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang dapat mereka pahami dari sabda Nabi sebagai Al – Syari’, sumber persyari’atan, karena pemahaman tersebut tidaklah dilandasi oleh hawa nafsu.
    Mizan yang ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili, atau terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni : wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula dan mubah. Segala bentuk persoalan itu diilhaqkan dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki dalil maka dapatlah dikatakan sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari hukum yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiah, tahrimah, karohah, khilafal aula dan bid’ah ibadah tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja untuk memberikan kemudahan.
    والله  اعلم” ”
    Lebih spesifik lagi Syekh Zaruq membagi bid’ah kedalam tiga kelompok yakni Bid’ah Shorihah yaitu suatu persoalan yang ditetapkan tanpa berlandaskan dalil syari’ dan tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah mendapatkan ketetapan hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah ini pada akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan perkara yang haq, bentuk ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya dikemukakan sejumlah alasan pada kerangka usul maupun furu’ tetaplah tidak dapat mempengaruhi keshorihan bid’ah-nya. Kedua “Al – bid’ah  al – Idlofiyah” yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah dimana bila perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka tidaklah sah terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara tersebut, apakah sebagai sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan sebagaimana tersebut di muka.
    Ketiga, Al – Bid’ah al – Khilafiyah, yaitu bid’ah yang dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik menarik diantara keduanya, disatu sisi dia  berkata : ini didasarkan pada sumber ini, dan pendapat yang lain  menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal dengan dalil yang bertolak belakang, dan ia menyatakan sunnah, sebagaimana contoh kasus di atas yakni tentang membuat kepengurusan jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a bersama.
    Al – ‘Allamah Imam Muhammad Waliyuddin al – Syibtsiri dalam Syarah Al – Arba’in al – Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits nabi :

      من  احدث  حدثا  او آوى  محــــدثا  فعلــيه  لعــنة  الله  

    “Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi atau setidaknya mendukung seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah”.
    Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk transaksi/akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan,  berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’ dan lain-lain. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis Mushaf, meluruskan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab dan lain-lain. Karena itulah Imam Ibnu Abdi al - Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau lantas membuat batasan ; “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak disaksikan dizaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti mengajar ilmu Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang ‘gharib’ (jarang ditemui dan maknanya sulit dipahami), baik yang terdapat didalam Al-Qur'an ataupun Al- Sunnah dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya,. ataupun berstatus haram seperti paham madzhab Qodariah, Jabariah dan Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam. Dan bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah Mushaf, bid’ah yang beridentitas Mubahah seperti bersalam-salaman atau mushofahah setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam menyajikan menu-menu makanan dan minuman yang serba nikmat, bernecis-necis dalam berpakaian , dan lain-lain.
    Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka kita tahu bahwa adanya klaim bahwa ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melapatkan niat, tahlilan ketika kirim do’a dan sedeqah setelah kematian karena tidak ada larangan untuk bersedeqah, menziarahi makam dan lain–lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah. Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar – pasar  malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk- buruknya bid’ah.

    PASAL
    MENJELASKAN TENTANG :
         BAGAIMANA MASYARAKAT JAWA BERPEGANG TEGUH  PADA MADZHAB “AHLI  AL – SUNNAH WA  AL – JAMA’AH”
      TENTANG KAPAN LAHIRNYA BID’AH DAN PENYEBARANNYA DITANAH JAWA
      TENTANG MACAM-MACAM PERILAKU AHLI BID’AH YANG   TERJADI DI ZAMAN INI.


    Masyarakat Muslim di pulau Jawa tempo dulu memiliki pandangan dan madzhab yang sama, memiliki satu reverensi dan kecenderungan yang sama. Semua masyarakat Jawa ketika itu menganut dan mengidolakan satu madzhab yakni Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi’i dan didalam masalah teologi atau aqidahnya mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al – Asy’ari dan di bidang Tasawuf mengikuti madzhab Imam al – Ghazali dan  Imam Abi al – Hasan al – Syadili, Rodiallahu ‘Anhum ‘Ajma’in.
    Pada perkembangan selanjutnya di tahun 1330 H. muncul beberapa golongan yang bermacam-macam, dan mulai timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran, dan pertikaian dikalangan para pemimpin. Diantara mereka ada yang beraviliasi pada kelompok Salafiyyin, golongan Tradisional yang tetap eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang diinginkan Salafuna al – Shalih , bermadzhab kepada satu madzhab tertentu, berpegang kepada kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlul bait, para wali dan orang-orang yang sholih, mengharap berkah mereka baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah berupa ziarah kubur, mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit dan menyakini adanya syafaat atau pertolongan, kemanfaatan doa,  mengerjakan tawassul dan lain-lain.
    Sebagian dari masyarakat kita terdapat kelompok yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo, yang menyepakati pendapat yang menyatakan bidahnya beberapa hal diatas sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab al – Nadji   dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya yakni Ibnu al-Qoyyim dan Ibnu Abdi al – Hadi, kelompok kedua ini secara tegas  mengharamkan apa yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimin sebagai bentuk ibadah sunnah, yakni pergi untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Firqoh ini secara terus menerus melakukan penentangan keras terhadap kaum muslimin atas rutinitas yang mereka jalankan.
    Imam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Fatawinya : “Ketika seseorang itu bepergian untuk ziarah, dan ia menyakini bahwasanya menziarahi makam Rasulillah Saw itu adalah merupakan perbuatan taat, maka hal itu diharamkan menurut Ijma atau konsensus para ulama'. Konsekwensi dari pengharaman ini diharapkan menjadi sesuatu yang mampu memutuskan aktifitas tersebut. Al – ‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al – Hanafi al – Mut’i di dalam kitab risalahnya yang berjudul “Thahiru al – Fuad min Danasi al – ‘I tiqod” mengatakan : Kehadiran firqoh atau sekte-sekte pemecah belah ini memberikan cobaan tersendiri pada mayoritas kaum muslimin baik mereka yang salaf, kelompok tradisionalis maupun generasi khalaf, atau kelompok modernis, sehingga kaum muslimin ketika itu semacam tertimpa musibah keretakan dan perpecahan dikalangan mereka. Ibarat anggota tubuh terkena penyakit yang menular, kemudian ia harus memotongnya agar tidak menjalar atau menular pada anggota tubuh yang lain. Firqoh ini seolah-olah seperti penyakit lepra yang harus kita hindari sejauh mungkin.
    Sungguh sekte ini merupakan segolongan kaum Muslim yang mempermainkan agama mereka sendiri, mereka mencaci maki para ulama salaf dan Khalaf, kelompok agama yang mempermainkan agama ini berkata : "Mereka semua para ulama adalah bukanlah orang-orang yang ma’sum, tersucikan, terhindar dari kesalahan dan dosa, maka tidaklah selayaknya untuk taqlid kepadanya, sama saja apakah mereka saat ini masih hidup ataukah sudah wafat". Selalu saja mereka mencaci maki para ulama dan mengobarkan shubhat, mereka sebarluaskan kesamaran tersebut dihadapan dhu’afa, dan mereka berupaya untuk membutakan pandangan orang-orang yang lemah agamanya tersebut atas diri mereka. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk mengobarkan permusuhan dan saling membenci, mereka berusaha mencari simpati dan popularitas sehingga dengan leluasa mereka dapat berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka berkata : “Kebohongan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT”, padahal mereka semua mengetahui, bahwa apa yang mereka katakan adalah untuk mengelabuhi masyarakat awam, agar orang – orang  awam ini menyangka bahwa merekalah orang – orang yang mengemban tugas  Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, merekalah orang – orang yang  senantiasa memotivasi dan meyakinkan kepada manusia untuk tetap mengikuti syara’ dan menjauhi bid’ah”. Berkaitan dengan ini Allahlah Dzat yang menjadi saksi bahwa sesungguhnya sekte inilah yang pada hakikatnya merupakan komplotan orang-orang yang menempuh jalan  bid’ah dan menuruti hawa nafsu.
    Al-Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al – Syifa’ berkata : Kerusakan yang terbesar akibat ulah firqah ini adalah terjadinya distorsi pemahaman agama, dan kerusakan itupun merambah ke dalam persoalan-persoalan dunia sebagai akibat dari provokasi mereka terhadap kaum muslimin untuk bersengketa di dalam masalah agama yang kemudian merambat ke dalam urusan-urusan dunia.
     Imam Al–‘Allamah Mulla’uddin’Aly al–Qariy mengisyaratkan problematika ini di dalam kitab syarahnya :
    وقد حرم الله تعالى الخمر والميسير لهــذه العلة  قال تعالى : انما يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة والبضاء فى الخمر والميسر  

    “Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan khomer dan perjudian karena alasan ini, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah : Sesungguhnya Syaitan bermaksud untuk mendatangkan sikap permusuhan dan saling membenci diantara kalian semua melalui khomer dan perjudian.”
    Termasuk dalam katagori gerakan baru yang muncul di pulau Jawa adalah sekte Syi’ah Rafidloh, yakni golongan yang mencela sahabat Abu Bakar al – Shiddiq  dan Sayyidina Umar Bin Khattab RA, golongan ini juga membenci para sabahat RA, dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan fanatik terhadap Sayyidina Ali RA dan Ahli bait. Sayyid Muhammad Di dalam syarah Al – Qomus al – Munith berkata : sebagian dari mereka telah beridentitas sebagai kafir Zindiq, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan kaum Muslimin semuanya.
    Al – Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al – Syifa’ juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mughoffah RA ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda :
    الله الله فى اصحابى لا تتخذوهم غرضا بعدى , فمن احبهم فبحبى أحبهم, ومن ايغضهم فببغضى ابغضهم, ومن  اذاهم  فقد اذآنى,  ومن اذانى  فقد  اذى  الله  ومن  اذى  الله  يوشك  ان  يأخـذه  

    “Takutlah kalian semua kepada Allah SWT, takutlah kalian semua kepada Allah SWT dan berhati – hatilah  kalian semua dalam menyikapi para  sahabatku, mudah-mudahan Allah memberikan penjagaan kepada para sahabatku, janganlah kalian semua bermaksud buruk dan menganiaya mereka setelah kematianku. Barang siapa mencintai mereka maka dengan sepenuh hati aku mencintainya, Barang siapa membenci mereka maka dengan segala kebencianku pula aku membencinya. Barang siapa membenci dan menyakiti mereka berarti ia menyakitiku, barang siapa menyakitiku maka berarti menyakiti Allah, dan barang siapa menyakiti Allah maka bersiaplah untuk menerima adzhab Allah".
    Dan Rasulullah Saw bersabda :
    لاتسـبوا اصحابى فانه يجئ قوم فى أخرالزمان يسـبون اصحـابى.
    فلا تصلوا عليهم ولا تصلوا معهم ولاتناكحوهم ولا تجالسوهم,
    فان رضوا فلاتعودوهم  
    “Janganlah kalian semua mencaci maki para sahabatku, karena sesungguhnya akan datang di akhir zaman nanti, sekelompok kaum yang mencela sahabat-sahabat ku, maka janganlah kalian semua mensholati janazah mereka, janganlah kalian semua sholat bersama mereka, janganlah kalian semua menjalin pernikahan  dengan mereka. Jangan pula kalian berdiskusi bersama mereka, jika mereka sakit, maka jangan jenguk mereka”.
    Dan dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda :
    من  سب اصحابـى  فاضربـوه

    “Barang siapa mencela sahabat-sahabatku maka bunuhlah dia”
    Pernyataan keras nabi ini menjelaskan kepada kita bahwa siapa saja yang menyakiti para sahabatnya maka berarti ia menyakiti nabi, dan menyakiti nabi Saw adalah haram”.
    Rasulullah Saw bersabda :
    لاتؤذونى فى اصحابى ومن اذاهم فقد اذانى, وقال لاتؤذونى فى العائشة, وقال فى فاطمة رضى الله عنها بضعة منى يؤذينى مااذاها

    “Janganlah kalian semua menyakitiku melalui para sahabatku, barang siapa menyakiti sahabat-sahabatku berarti ia menyakitiku, dan nabi juga bersabda, jangalah kalian menyakitiku dengan cara menyakiti Aisyah dan nabi bersabda pula ; janganlah pula dengan cara menyakiti diri Fatimah RA karena ia adalah keratan darah dagingku, menyakitiku segala yang menyakitkan dirinya”
    Muncul juga sekelompok kaum yang lantas disebut sebagai sekte “Abahiyyun” yakni golongan yang memperkenankan untuk melakukan apa saja yang disukai, mereka berkata : “Sesungguhnya seorang hamba, ketika ia telah sampai kepada puncak rasa cintanya, dan hatinya telah suci dan terbersihkan dari sifat lupa, dan dia telah memilih iman daripada kufur dan kekufuran, maka gugur dan terbebaskanlah ia dari tuntutan perintah dan larangan. Dan tidaklah Allah akan memasukkannya ke neraka sebab melakukan dosa-dosa besar”.
    Sebagian dari mereka juga berkata : “Bagi seorang hamba yang telah sampai pada puncak posisi mahabbah, maka  gugurlah baginya kewajiban untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang dlohir, maka yang menjadi substansi ibadahnya adalah bertafakkur dan mempercantik akhlaq batiniahnya”. Syayid Muhammad di dalam syarah ihya’ – nya  berkata : Pernyataan ini adalah kufur zindik dan kesesatan, tetapi golongan Abahiyyun ini memang sudah ada sejak zaman dulu, penganutnya adalah orang-orang bodoh dan sesat mereka tidak memiliki pemimpin yang mengerti tentang ilmu syari’at sebaagimana layaknya.
    Muncul pula aliran yang lantas memproklamirkan diri sebagai “Tanasukhil al – Arwah” kelompok yang mengaku sebagai titisan ruh-ruh yang selalu berpindah-pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke jasad yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis. Mereka menyangka bahwa siksaan dan kenikmatan yang dirasakan oleh Arwah tersebut didasarkan atas pertimbangan bersih dan kotornya arwah tersebut. Imam al-Syihab al-Khofaji di dalam syarahnya kitab Al-Syifa’ berkata : “Sungguh ahli syari’ telah mengkafirkan mereka karena muatan pendapat-pendapatnya ternyata melakukan pembohongan terhadap Allah, Rasul nya, dan kitab suci -  Nya”.
    Sebagian lagi ada yang menganut ajaran Hulul dan Ittihad, mereka adalah orang-orang yang menjalankan tasawufnya dengan kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah swt. adalah wujud yang mutlak. Sesungguhnya selain dari pada Allah tidaklah ia memiliki sifat Al-Wujud sama sekali, sehingga bila dikatakan “Al-Insanu Maujudun” maka makna yang dikehendaki adalah bahwa manusia itu memiliki hubungan dengan Al – Wujud  al – Mutlaq  yakni Allah Ta’ala. Al – ‘Allamah al – Amir  di dalam kitab Hasyiyah-nya Imam Abdi al-Salam, beliau berkata : Ucapan dengan interpretasi di atas, merupakan kufur yang shorih, karena tidaklah mungkin terjadi yang namanya hulul dan ittihad. Bila hal tersebut benar terjadi pada diri para pembesar wali maka kejadian itu harus dita’wili dengan sesuatu yang cocok dengan kondisi dan derajat kewalian mereka. Sebagai mana faham Wahdati al – Wujud  yang mereka anut. Seperti ucapan mereka
    ما  فى الجبة ا لا الله    “(Tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah )”                       Mereka menghendakinya dengan makna bahwa apa  saja yang ada di dalam jubah bahkan apapun yang wujud di dalam seluruh alam ini,  tidaklah ia terwujud kecuali atas kehendak Allah, Syaikh Muhammad al – Safarini  berkata di dalam kitab “Lawaaihu al – Anwar”  : “Sebagian dari tanda sempurnanya kema’rifatan adalah kemampuan seorang hamba untuk menyaksikan Tuhannya”.
     Setiap ‘Arif (orang yang ma’rifat) selama ia masih menafikan pengetahuan atas Tuhannya pada waktu apapun maka bukanlah ia dinamakan sebagai ‘Arif tetapi hanya disebut sebagai ‘Shohibul haali’ dimana ‘Syuhudihi Robbahu’- nya, (penyaksiannya terhadap realitas tuhannya) hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja. Nah, keberadaan Shohibul haali ini sama dengan orang yang mabuk, dimana pengetahuan spiritualnya belumlah cukup mengukuhkan eksistensinya sebagai seorang ‘Arif.
    Menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan Wahdati al – Wujud  dan Al – Ittihad  dalam madzhab tasawuf adalah bukanlah hanya sekedar menggunakan parameter apa yang dhohir saja atau atas dasar persangkaan belaka. Dengan demikian pernyataan/statemen para penyembah berhala yang mengatakan bahwa : “Kita tidak menyembah berhala ini kecuali hanya menjadikannya sebagai lantaran agar kita dapat mendekatkan diri kepada Dzat Allah”. Bagaimana mungkin pelaku sedemikian (Wahdati Al-Wujud) dianggap sebagai orang-orang yang ma’rifat (‘Arifin). Padahal makna yang subtansial dari ittihad itu sendiri adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-‘Aarif :
    وعلمك أن كل أمر امر ى      هو المعنى المسمـى بالا تحـاد
    “Pengetahuan anda atas segala sesuatu adalah urusan saya, inilah makna yang sesungguhnya dinamakan sebagai Al-Ittihad.”
    Untuk itu jelaslah bahwa setiap umat Islam memiliki kemampuan dan kesempatan untuk meraih maqom ini walaupun pada tingkat yang berbeda-beda.
    Sengaja saya membahas secara panjang lebar terhadap sekte/golongan ini, karena saya menyaksikan bahwa golongan inilah yang sesungguhnya paling membahayakan terhadap kaum Muslimin dibandingkan bahaya yang dimunculkan oleh kaum kafir dan mubtadi’in, para ahli bid’ah. Karena mayoritas manusia mengagungkan golongan ini dan begitu antusiasnya ia mendengarkan fatwa-fatwa mereka dengan ketidak mengertiannya terhadap uslub-uslub atau gramatika bahasa arab.
     Imam Asmu’i meriwayatkan sebuah hadits dari  Imam Kholil dari Abi ‘Amrin bin A‘la’, beliau berkata : 
     اكثرمن تزندق بالعراق لجهله بالعر بية وهم باعتقاده الحلول والانحاد كفرة

     “Kebanyakan orang yang kafir zindik dari penduduk Irak adalah disebabkan oleh ketidakmengertian mereka terhadap literatur Arab mayoritas dari mereka menjadi kufur karena keyakinan mereka yang salah terhadap pemahaman Hulul dan Ittihad”.
    Qodli ‘Iyadh didalam kitabnya Al – Syifa’ mewanti-wanti : Sesungguhnya setiap bentuk perkataan yang secara sharih, terang-terangan menafikan atau menghilangkan sifat ketuhanan dan ke Maha Esaannya, melakukan penyembahan terhadap selain Allah atau mempersekutukan Allah pada sesembahannya adalah merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Seperti juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh Kaum Duhriyah, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, Malaikat, Syetan, Matahari, bintang-bintang, dan menyembah api ataupun selain daripada Allah. Demikian juga kekufuran itu terjadi pada orang-orang yang menyakini adanya “hulul” (menempatnya Dzat Allah pada diri makhluk) dan terjadinya “Al - Tanasukh” (Ruh Allah SWT menitis pada diri seorang hamba).
    Kekufuran itu dapat pula terjadi pada orang yang mengakui ketuhanan Allah dan ke-Maha Esaannya tetapi ia menyakini bahwa Allah tidaklah hidup atau bukanlah Dzat yang Qadim (terdahulu), atau sesungguhnya Allah adalah dzat yang hadits (baru datang) dan memiliki bentuk, atau menyangka bahwa Allah memiliki anak istri, dan bahkan ia terlahirkan dari sesuatu yang maujud sebelum-Nya, atau sesungguhnya ada sesuatu selain Allah yang menyertai-Nya di zaman Azali, atau menyakini bahwa ada Dzat lain selain  Allah yang menciptakan dan mengatur alam ini. Semua keyakinan dan anggapan sebagaimana disebut di atas merupakan bentuk kekufuran menurut ijma’ kaum muslimin.
    Demikian juga kekufuran itu terjadi pada seseorang yang menganggap dirinya dapat duduk bersama Allah, menyertai-Nya naik ke Arasy, berbincang-bincang dengan-Nya dan meyakini dapat menyatunya Dzat Allah pada diri seseorang sebagaimana yang difahami oleh sebagian kaum Tasawuf, aliran kebatinan dan orang-orang Nasrani.
    Termasuk bentuk kekufuran yang lain adalah : seseorang yang menyakini sifat ketuhanan dan ke Maha Esaan Allah tetapi ia menentang pokok-pokok kenabian secara umum atau konsepsi-konsepsi kenabian kita Muhammad Saw secara khusus. Atau salah satu dari para nabi, dimana hal itu  terjadi setelah ia mengetahui konsepsi – konsepsi  nash – Nya, maka tanpa keraguan ia dihukumi kafir. Demikian pula menjadi kafir  seseorang yang menyatakan bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah bukanlah ia yang berdomisili di Makkah dan Hijaz.
    Kekufuran itu juga akan terjadi sebab beberapa hal berikut ini,  antara lain : Seseorang yang mengakui terutusnya nabi yang lain bersamaan dengan kenabian nabi Muhammad SAW atau masih akan ada nabi lagi setelah kenabian nabi Muhammad SAW juga seorang yang mengklaim bahwa kenabian Muhammad Saw adalah hanya dikhususkan untuk kalangan atau golongannya sendiri (bukan Nabi yang Rahmatan lil ‘alamin). Demikian juga terjadi kekufuran apa bila ada seorang yang kondang sebagai ahli tasawwuf, tetapi hingga kebablasan ia  menyatakan diri bahwa ia menerima wahyu dari Allah Ta’ala walaupun ia tidak sampai mengaku-aku menjadi Nabi. Imam Yusuf al – Ardhabili di dalam kitab “Al – Anwarnya” memberikan pernyataan yang tegas bahwa : Dapatlah dipastikan kekafiran itu terjadi pada setiap orang yang mengucapkan suatu perkataan yang sebab ucapan itu umat menjadi terjerumus pada lembah kesesatan, apalagi bila sampai meng-kafirkan sahabat, termasuk juga setiap orang yang melakukan perbuatan dimana pekerjaan itu tidaklah muncul atau bersumber kecuali dari orang-orang kafir seperti sujud pada salib atau menyembah api, atau pergi menuju ke gereja-gereja bersama pengikut-pengikut gereja dengan mengenakan atribut-atribut yang juga dipakai oleh ahli-ahli gereja seperti memakai ikat pinggang atau yang lainnya. Demikian juga ia yang mengingkari eksistensi Makkah, Ka’bah, ataupun Masjidil Haram bilamana hal itu muncul dari seorang yang menurut pandangan kita ia sebenarnya tau dan memahami bahwa  kenyataannya pergaulan mereka adalah dengan orang-orang Islam.



    PASAL
    MENJELASKAN TENTANG KHITTAH
    Kembali pada ajaran “Al – Shalaf al - Shalih ” menjelaskan maksud dari kelompok yang disebut dengan “Sawad  al – A’dham” di era ini dan pentingnya berpegang teguh pada salah satu madzhab yang empat.


    Dengan memahami apa yang telah saya kemukakan di atas, kita menyadari bahwa sesungguhnya kebenaran yang haqiqi itu berpihak pada kalangan “Al – Salafiyah” generasi terdahulu yang konsisten dan survive mengugemi nilai-nilai ajaran agama yang telah dibangun oleh ulama Al -  Salaf     al – Shalih    merekalah yang oleh Rasulillah sendiri beliau identifikasi  sebagai Al -   Sawadu al - A’dham (golongan mayoritas) yakni mereka yang cocok dan menyepakati konsepsi-konsepsi agama yang ditetapkan oleh ulama-ulama Makkah, Madinah dan ulama-ulama Al – Azhar yang mulia, kesemuanya adalah menjadi panutan kelompok ahli al – Haq, sayangnya sulit sekali atau bahkan hampir tidaklah mungkin melakukan penelitian dan pelacakan secara seksama terhadap setiap persoalan dari sejumlah ulama-ulama ini. Karena kemasyhuran dan menyebarnya tempat domisili mereka diberbagai daerah. Dan tidak mungkin pula dapat menghitungnya karena keberadaan mereka sebagaimana bintang gumintang di langit.

    Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah haditsnya :
    ان الله لا يجتمع أمتى على ضلالة. ويدالله على الجماعة من شذ شذ إلى النار ,( رواه  الترمذ ي ) زاد ابن ماجاه:  فإذا وقع الاختلاف , فعليك بالسواد  الاعظم  مع  الحق  واهل                            

           “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan jaminan bahwa umatnya tidaklah akan bersekongkol untuk menyepakati kesesatan, keberpihakan Allah adalah pada Al – Jama’ah, barang siapa yang menyimpang dari konsensus mayoritas berarti bahwa ia mengasingkan diri menuju neraka”. (HR. Al – Turmudzi) Imam Ibnu Majah menambahkan : “Bila terjadi perselisihan maka pegangilah keputusan yang diambil oleh “Al – Aswad  al - A’dham”   (kelompok mayoritas) dengan segala komitmen atas kebenaran mereka”
    Didalam kitab “Al – Jami’ Al – Shagir” disebutkan :
    إن  الله  قد  اجار  أمـتى  أن  تجتـمع  على  ضــلالة

    “Sesungguhnya Allah telah menyelamatkan umatku dari segala bentuk persekongkolan atas perbuatan sesat”
    Mayoritas dari mereka yang konsisten memegangi kebenaran (Ahli al - Haq) adalah mereka yang menjadi pengikut Imam Madzhab yang empat “Al-Madzzhab al-Arba’ah”, mengapa demikian ? kita tahu bahwa Imam Bukhori adalah bermadzhab Syafi’iy beliau meriwayatkan hadits dari Imam Humaidiy, Al – Za’faroniy, dan Imam Karobi’isiy, demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Nasa’i. Demikian pula pada beberapa Imam/Muhaddits yang lain yakni : Imam Al-Syibi  adalah pengikut madzhab Malikiy, Imam Mahaasibi adalah bermadzhab Syafi’iy. Imam Al – Jariry merupakan  Penganut setia Imam Hanafiy. Syaikh Abdul Qadir al – Jailani   bermadzhab Hambaliy, Imam Abu Hasan  Al – Syadhili  pengikut madzhab Malikiy, dan dengan mengikuti satu madzhab tertentu akan lebih dapat terfokus pada satu nilai kebenaran yang haqiqi, lebih dapat memahami secara mendalam dan akan lebih memudahkan dalam mengimplementasikan amalan. Dengan menentukan pada satu pilihan madzhab inilah berarti ia telah pula melakukan jalan yang juga ditempuh oleh ‘Al – Salaafuna  al – Shaalih’, mudah-mudahan keridloan Allah terlimpah curahkan pada mereka semua, Amin.
    Kita sebagai kelompok awam dari mayoritas kaum muslimin harus membulatkan tekad untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah swt. Haqqo al -  Taqwa, dan senantiasa berharap agar nantinya kita semua tidak mati meninggalkan dunia yang fana ini kecuali tetap mengugemi agama Islam, kita sepakat untuk senantiasa berdamai dan melakukan rekonsiliasi dengan mereka atau siapa saja yang berselisih. Merekatkan tali persaudaraan, bersikap dan berperilaku baik terhadap semua tetangga, kerabat dan seluruh teman, dapat memahami dan melaksanakan hak-hak para pemimpin, bersikap santun dan belas kasihan terhadap kaum dlu’afa’ dan kalangan wong cilik.
    Kita berusaha mencegah mereka dari segala bentuk permusuhan, saling benci-membenci, memutuskan hubungan, hasut-menghasut, sekterianisme dan memebentuk sekte-sekte baru yang mengkotak-kotakkan Agama, kita menghimbau pada mereka semua untuk bersatu, bersahabat, tolong menolong dalam kebaikan, berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh, dan menghindari perpecahan (Dis integrasi). Hendaknya kita tetap eksis berpedoman pada Al – Kitab , Al – Sunnah , dan apa saja yang menjadi tuntunan para ulama’, panutan umat yakni Imam  Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal Ra. Merekalah ulama yang mujma’ alaih, Sah untuk diikuti dan dilarang keluar dari madzhab-madzhab mereka. Hendaknya kita juga berpaling dari segenap bentuk organisasi – organisasi  baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang dibangun oleh ‘Al – Salaf  al – Sholihin’.
    Rasulullah Saw. bersabda :
    من  شــذّ  ســذّ  على   الــنّار

    “Barang siapa yang menyimpang (keluar dari Al - Jamaah ) berarti ia mengungsikan dirinya ke beraka.”
    Untuk itu hendaknya kita tetap konsisten memegangi ‘Al – Jamaah’ (organisasi Aswaja) ‘alaa thariqati Al – Salaf  Al – Shalihin’.

    Rasulullah saw. bersabda :

    و أنا آمركم بخمس أمرنى الله بهــن : السمع ,والطاعة ,والجهاد , والهجرة , والجمــاعة . فإنّ من فارق الجمـاعة قيد سبـر فقد  خلع ربقــة اللإ سلام عن عنـقه    

    “Aku perintahkan pada kalian semua untuk melaksanakan lima hal, dimana Allah telah memerintahkan hal itu padaku,   yakni bersedia untuk mendengarkan, taat dan siap untuk berjihad, melakukan hijrah dan bergabung masuk dalam bingkai Al - Jamaah. Sesungguhnya seseorang yang berpisah dari jamaah walaupun hanya sejengkal, berarti sungguh ia telah melepaskan ikatan tali keislamannya dari lehernya”.

    Sayyidina Umar bin Al – Khattab  ra berkata :
           
    عليكم بالجماعة وإيكم والفرقة , فان الشيطان مع الواحد وهو مع  الاثنـين أبعد ومن أراد  بحبوحة الـجِـنّة  فليلـزم  الجمـاعة 

    “Berpegang teguhlah kalian semua pada Al – Jama’ah, hindarkan diri kalian dari segala bentuk perpecahan, karena sesungguhnya syetan ketika menyertai anda seorang diri saja, maka dengan sangat mudah ia menaklukkannya dibanding ketika ia menyertai dua orang yang bersekutu, barang siapa bermaksud dan ingin mendapat kenikmatan hidup di dalam surga maka tetaplah bersama Al – Jama’ah".


    PASAL
    WAJIBNYA TAQLID BAGI SESEORANG YANG TIDAK  MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJTIHAD

    Menurut pandangan Jumhuril Ulama setiap orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka  wajib baginya untuk mengikuti (taklid) pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (Taklif) yang mewajibkannya  untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu Imam Mujtahid, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :
    فاسئلوا اهل الذكر إن كنتم لاتعلمـون

    “Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui”
    Dengan berdasar pada ayat ini, seseorang yang tidak mengetahui diwajibkan oleh Allah Swt. untuk bertanya, Nah bertanya itu merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang alim. Firman Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dikhitobi.
    Secara umum pula firman Allah ini, mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan / konsensus Jumhur al – Ulama.  Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan hingga     zaman setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa – fatwa  mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk Ulama. Pertanyaan esensial yang kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum dan  tuntutan syari’at yang tidak diketahui ? Karena sesungguhnya para ulamapun ketika menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab pertanyaan tersebut to the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan dalil, di satu sisi ketika seorang ulama melarang untuk melakukan sesuatu kepada orang yang awam, merekapun (awam) langsung menerimanya tanpa mengingkarinya. Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami Al – Kitab  dan Al – Sunnah  dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman ulama ahli Al – Haq  yang agung dan terpilih. Sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari Al – Kitab  dan Al – Sunnah, pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.
    Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap eksis / konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Al - Syafi’i  ra., tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini, bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain Al - Syafi’i. Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan / pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai reverensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab Al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.
    Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa ; ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihanya. Karena jelas seorang ‘Awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekwensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.
    Bagi seseorang yang taqlid (مقلّد) boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat dhuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat ashar. Jadi taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal/ ibadah adalah boleh. Untuk memahami hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah : “Bila seorang yang bermadzhab syafii melakukan shalat dan ia menyangka  (ظن)atas keabsahan shalatnya menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya, dan sah bila menurut pendapat yang lain maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya.

    PASAL
    SIKAP EKSTRA HATI-HATI DIDALAM MENGAMBIL AGAMA DAN KEILMUAN, JUGA SIKAP ANTISIPATIF TERHADAP FITNAH YANG DIMUNCULKAN OLEH PARA AHLI BID’AH, ORANG-ORANG MUNAFIQ DAN PARA PEMIMPIN YANG MENJERUMUSKAN.


    Wajib bersikap ekstra hati-hati didalam mencari dan menghasilkan keilmuan, maka janganlah anda mencari dan mendapatkannya dari selain ahli ilmu.
    روى ابن عساكر وعن الامام مالك رضى الله عنـه: لاتحمل العلم عن اهل البدع ولا تحمله عمن لايعرف بالطلب ,ولاعمن يكذب فى حديث الناس وان كان لايكــذب فى حديث رسول الله  صلى  الله  عليه  وسلّم
    Diriwayatkan dari Imam Ibnu Asakir dari Imam Malik Ra :     “Janganlah engkau menerima ilmu dari ahli bidah, jangan pula anda mencari dan menerima keilmuan (agama) dari seseorang yang tidak diketahui kepada siapa ia belajar, dan tidaklah pula diperkenankan menerimanya dari seseorang yang melakukan kebohongan publik didalam menceritakan manusia, walaupun ia diyakini tidak akan melakukan kebohongan terhadap hadits Rasulullah SAW”.
        وروى ابن سيرين رحمه الله :                                        هذا العلم دين, فانظروا  عمّن  تأخذون  دينكم                                                                
    Diriwayatkan lagi dari Imam Ibnu Sirrin Ra : “Ilmu ini adalah agama ;maka selektiflah kalian semua dari siapa kalian mengambil agama.” وروى  الديلمى عن ابى عمررضى  الله  عنهما  مرفوعا  : العلم  ديـن , والصّلاة  ديـن , فانظروا عمن تأخــــذون هذا  العلم , وكيف  تصلون  هذه فإنكم  تسألون  يوم  القيامة , فلا ترووه  الا عمن  تحققت  أهلّيــته بأن  يكون  من العدول الثقــات المتّقـــين                                                            

    Diriwayatkan oleh Imam Al - Dailami dari Ibnu Umar ra. dalam sebuah periwayatan yang marfu’ : "Ilmu adalah agama dan shalat adalah agama. Maka bersikap telitilah kalian semua didalam  mengambil/menerima ilmu itu. Bagaimana anda melakukan shalat seperti ini? Sesungguhnya kalian semua  akan ditanya nanti dihari kiamat, maka janganlah anda meriwayatkan keilmuan itu kecuali dari seseorang yang benar-benar anda meyakini keahliannya yakni ia yang memiliki sifat-sifat keadilan, dapat dipercaya dan muttaqien".
    وروى مسلم  فى صحيــحه أن رسول  الله  صلى الله عليه وسلم قال : سيكون فى اخر أمتى  أناس  يحـدثوكم  ما لم تسمعوا  انتم  ولاابآئكم  فاياكم  واياهم    
    Imam muslim meriwayatkan didalam kitab shahih-nya bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Akan ditemukan dizaman akhir dari umatku sekelompok manusia yang senantiasa menceritakan kepada kalian segala sesuatu yang mereka tidak pernah mendengarkannya, kamu dan juga orang-orang tua kalian, maka jagalah diri kalian semua, dan waspadailah mereka”.
    وفى صحيح مسلم أيضا أن  أبا هر يرة رضى الله  عنه يقول : قال رسول  الله  صلى  الله  عليه  وسلم  يكون  فى  أخر  الزمان  دجالون  كذبون  يأتونكم  من  الاحاديث  بما لم  تسـمعوا انتم  ولااباؤكم  فإياكم �
  • Muhammad Khanafi PASAL :
    BEBERAPA HADITS DAN QOULU AL–SHOHABAH YANG MENJELASKAN TENTANG HILANGNYA ILMU DAN TUMBUHNYA KEBODOHAN, SERTA PERINGATAN NABI MUHAMMAD SAW DAN PEMBERITAHUANNYA BAHWA ZAMAN AKHIR ADALAH ERA TERBURUK. DIMANA UMAT BELIAU AKAN MENGIKUTI MODEL – MODE
    ...Lihat Selengkapnya

  • Muhammad Khanafi Sebuah kisah diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah RA suatu ketika ia mendengar ayahnya bercerita :

    لم يز ل أمر بنى اسرائيل مستقيما حتى حدث فيهم المولدوا أبناء سبايا الأمم, فاحدثوا فيهم القول بالرأى وأضلوا بنى اسرائيل, قال وكان أبى يقول السنن السنن , فإ
    ...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Muhammad Khanafi PASAL
    PERPECAHAN UMMAT RASULULLAH MUHAMMAD SAW.
    MENJADI 32 SEKTE DAN PENJELASAN TENTANG DASAR-DASAR KESESATAN YANG TERJADI PADA GOLONGAN-GOLONGAN TERSEBUT, JUGA TENTANG GOLONGAN YANG SELAMAT YAKNI
    ...Lihat Selengkapnya

  • 39.844 Suka
    95 membicarakan ini
  • Muhammad Khanafi https://www.youtube.com/watch?v=wVvM83hstnk

    Para Ulama Salafy-Wahaby telah bermain curang dalam dakwahnya, mereka tak segan membredel karya Ulama Ahlussunah wal jamaah dan Ulama...
    youtube.com
  • Muhammad Khanafi PASAL
    TENTANG TANDA-TANDA DEKATNYA HARI QIAMAT
    ...Lihat Selengkapnya

  • Muhammad Khanafi
    لاتقوم الساعة حتى يسود كل قبيلة منا فقوها , وكان زعيم القوم أرذلهم , وساد القبيلة فاسقوهم ( رواه الطبرانى عن عبد الله ابن مسعود رضى الله عنه , والترمذى عن أبى هريرة رضى الله عنه )

    “Tidaklah akan terjadi hari qiamat sehingga setiap suku bangsa
    ...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Muhammad Khanafi
    ى عن ابن عمر رضى الله عنه)

    “Tidaklah akan terjadi hari Qiamat sehingga manusia melakukan perzinaan secara fulgar, sebagaimana kawinnya binatang-binatang di tengah jalan”. (HR. Al - Tabrani dari Ibnu Umar RA).
    ...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Muhammad Khanafi
    ومنها لا تقوم الساعة حتى يظهر الفحش والبخل, ويخون الأمين, ويؤتمن الخائن, وتهلك الوعول, وتظهر التحوت, قالوا : يارسول الله وما التحوت والوعول ؟, قال : الوعول وجوه الناس وأشرافهم, والتحوت الذين كانوا تحت اقدام الناس .
    ( رواه الطبرانى عن ابى هر يرة رضى ال
    ...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Muhammad Khanafi Adapun keterangan tentang Dajjal, maka dalam kitab shahih muslim kita dapati sebuah Riwayat Hadits.
    عن هشام ابن عروة رضى الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ما بين خلق أدم الي قيام الساعة خلق اكبر من الدجال, معناه اكبر فتن
    Dari sa
    ...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Muhammad Khanafi Selanjutnya berkaitan dengan peristiwa munculnya “Al – Daabah” hayawan melata dari bumi, Imam Al – ‘Alamah Al – Khozin di dalam kitab tafsirnya melalui transmisi periwayatan sanat Al – Tsa’laby dari Hudzaifah bin Al – Yaman RA menyebutkan :

    ذكر رسول ا
    ...Lihat Selengkapnya

  • Muhammad Khanafi Imam Al – Nawawi Rahimahullahu Ta’ala ‘Anhu menjeneralisir bahwa sesungguhnya sejudnya matahari menunjukkan kemampuan Allah Swt untuk membedakan dan memberikan pengetahuan tentang penciptaan Allah terhadap matahari, Wallahu A’lam.
    Sedangkan berkaitan d
    ...Lihat Selengkapnya

  • Muhammad Khanafi Setelah semua peristiwa di atas berlangsung, Allah Swt kemudian mengutus Ya’juz Ma’juz, mereka berjalan dengan cepat menelusuri setiap penjuru bumi. Dia memulai langkah pengembaraannya yang pertama pada sebuah samudera kecil yang ada di daerah “Thobari...Lihat Selengkapnya
  • Muhammad Khanafi PASAL
    TENTANG DOSANYA SESEORANG YANG MENGAJAK
    PADA JALAN YANG SESAT DAN PERBUATAN YANG BURUK
    ...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Huda Aljunaidy aji bin mantab. Bisa tag sy kang? Hehe
  • Muhammad Khanafi Imam muslim meriwayatkan didalam kitab shahih-nya bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Akan ditemukan dizaman akhir dari umatku sekelompok manusia yang senantiasa menceritakan kepada kalian segala sesuatu yang mereka tidak pernah mendengarkannya, kamu dan j...Lihat Selengkapnya
  • Muhammad Khanafi http://generasisalaf.wordpress.com/.../salafi-wahabi.../

    Wahabi mengkafirkan Syi’ah kemudian menuduh orang2 Sunni seperti Ketua MUI Quraisy Syihab, Ketua NU KH Said Aqil Siradj, Ketua FPI Habib...
    generasisalaf.wordpress.com
  • Muhammad Khanafi http://iniaswaja.blogspot.com/.../syeikh-sulaiman-bin...

    صلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم تسليماً كثيراً دائماً أبداً إلى يوم...
    iniaswaja.blogspot.com
  • Qafilah Khair siapa yg menutupi aib saudarah muslim maka allah akan menutupi aibnya didunia dan akhirat ( HR muslim ) saudarahku jangn kita mencari kejelekan saudarah kita atau memeca belakan agama islam kita tahu abdu jawas maupun habib riski dia kan juga sunni ahl...Lihat Selengkapnya
  • Muhammad Khanafi
    ة
    أهل السنة
    اعتقاد الأشعري هو اعتقاد أهل السنة والجماعة
    ...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Muhammad Khanafi
    وإجمال إعتقاد الأشعري رحمه الله تعالى الذي هو اعتقاد أهل السنة والجماعة ان الله سبحانه وتعالى واحد لا شريك له، ليس بجسم مصور، ولا جوهر محدود مقدر ، ولا يشبه شيئا ولا يشبهه شىء ﴿ليس كمثله شىء وهو السميع البصير﴾، قديم لا بداية لوجوده، دائم لا يطرأ عليه ف...Lihat Selengkapnya
    Lihat Terjemahan
  • Muhammad Khanafi """""""Bukti Tak Terbantahkan Bahwa Muhammad Abdul Wahab Adalah Fitnah Dan Tanduk Setan Najed""""""

    Di posting ini syekh akan membuktikan bahwa Muhammad Bin Abdul Wahabi alias sokoguru para salafi wahabi memanglah si fitnah dan tanduk setan dari Najed
    ...Lihat Selengkapnya

  • Muhammad Khanafi http://videosyiah.com/

    - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, dalam Rapat Kerja Nasional 7 Maret 1984 M (4 Jumadil Akhir 1404 H) di Jakarta memberikan sinyal tentang...
    videosyiah.com
  • Muhammad Khanafi http://aswajazone.blogspot.com/2012/04/hukum-bermadzhab.html

    Ahlussunnah wal jama'ah (ASWAJA) adalah Islam yang mempunyai 4 ciri: 1. berpedoman pada Al-qur'an,Al-hadits, Al-ijma',dan Al-qiyas. 2. Di bidang...
    aswajazone.blogspot.com|Oleh Muhammad alfin yazid
  • Umar Abdillah terjemahan kitap hhujjah ahlu sunnah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar