Minggu, 12 April 2015

Praktika Takhrij Hadis (Langkah demi Langkah)*

Kajian, Kajian Istiqlaliy
Kitab Hadis 

A.    Pengertian Takhrîj al-Hadîts
Dari aspek bahasa, secara derivatif, kata takhrîj dapat berasal dari kata kharaja (fi`il tsulâstiy lâzim) dengan mashdar-nya al-khurûj yang mengandung arti al-zhuhûr wa al-infishâl (tampak dan terpisah), atau berasal dari kata akhraja (fi`il ruba`iy muta`âdiy) dengan mashdar-nya ikhrâj yang mengandung arti azhhara-hu atau abraza-hu (memunculkan-nya).[1] Atau yang lebih dekat berasal dari kharraja (fi`il mudla`af) dengan mashdar-nya takhrîj.[2] Menurut Al-Râghib, perbedaan pemakaian antara kata ikhrâj  dengan takhrîj, adalah kata ikhrâj umumnya dipakai berkaitan dengan benda (QS. Al-Anfâl:5), sedangkan takhrîj umumnya dipakai berkaitan dengan keilmuan.[3]
Dan secara mutlak, ketika ditemukan kata al-takhrîj, maka maksudnya adalah al-istinbâth yang mengandung arti “mengeluarkan dari sumbernya”, atau dapat pula mengandung makna al-tadrib (melatih) dan al-tawjih (mengarahkan).[4]

Sedang menurut Mannâ’ Al-Qaththân, takhrîj berasal dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaan, terpisah dan kelihatan. Al-kharaja artinya menampakan dan memperlihatkannya, dan al-makhraja artinya tempat keluar, dan akhraja al-hadîts wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[5]
Adapun secara terminologi, al-Sakhâwiy (w. 902 H) memberikan definisi takhrîj sebagai berikut:[6]

إِخْرَاجُ الْمُحَدِّثِ الْأَحَادِيثَ مِنْ بُطُونِ الْأَجْزَاءِ وَالْمَشْيَخَاتِ وَالْكُتُبِ وَنَحْوِهَا، وَسِيَاقُهَا مِنْ مَرْوِيَّاتِ نَفْسِهِ أَوْ بَعْضِ شُيُوخِهِ أَوْ أَقْرَانِهِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، وَالْكَلَامُ عَلَيْهَا وَعَزْوُهَا لِمَنْ رَوَاهَا مِنْ أَصْحَابِ الْكُتُبِ وَالدَّوَاوِينِ مَعَ بَيَانِ الْبَدَلِ وَالْمُوَافَقَةِ وَنَحْوِهِمَا مِمَّا سَيَأْتِي تَعْرِيفُهُ، وَقَدْ يُتَوَسَّعُ فِي إِطْلَاقِهِ عَلَى مُجَرَّدِ الْإِخْرَاجِ وَالْعَزْوِ.
“Tindakan pengeluaran hadis yang dilakukan oleh seorang muhaddits dari kitab-kitab hadis juz’iyât, atau kitab masyâyîkh, atau dari berbagai kitab sejenisnya, serta menghubungkannya dari apa yang diriwayatkannya (dengan sanad) sendiri, atau dari sebagian gurunya atau sahabatnya atau sejenisnya, kemudian membicarakannya dan menyandarkannya kepada yang telah meriwayatkannya dari para penyusun kitab-kitab atau daiwan-daiwan, sambil menjelaskan sanad badal[7] atau sanad muwâfaqah[8] atau sejenisnya. Dan diperluas definisinya secara mutlak dengan hanya sebatas mengeluarkan hadis dan menyandarkanya”.
Kemudian Zakariyâ al-Anshâriy (w. 926 H) meringkas definisi yang diberikan al-Sakhâwiy, menjadi sebagai berikut:[9]
إخْرَاجُ الْمُحَدِّثِ الأحَادِيثَ مِن بُطُونِ الكُتُبِ، وَسِيَاقِها مِن مَرْوِيَّاتِه، أَوْ مَرْوِيَّاتِ شَيْخِهِ، أَوْ أقرانِهِ.
“Tindakan pengeluaran hadis oleh seorang muhaddits dari dalam sumber kitabnya, kemudian menghubungkannya dari apa yang diriwayatkannya sendiri atau dari gurunya atau dari sahabatnya”.
Dari apa yang telah didefinisikan oleh al-Sakhâwiy, tampaklah bahwasanya dalam tataran praktis, takhrîj terdiri dari dua klasifikasi, yaitu:
  1. Klasifikasi paling tinggi, maksudnya dengan takhrîj, pen-takhrîj selain menyandarkan hadis, juga meriwayatkan dengan sanad sendiri serta menghukuminya, mengkritisinya serta mentarjihnya. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh para penghulu ahli hadis, seperti Ibn Hajar al `Asqalâniy (w. 852), Jamâluddîn al Zayla`iy (w. 762 H), Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H), Jalâluddîn al-Suyûthiy (w. 911 H), dll.
  2. Klasifikasi paling rendah, maksudnya dengan takhrîj, pen-takhrîj hanya sebatas menampakkan dan menyandarkan hadis yang ditelitinya.
Sedangkan menurut Mahmûd al-Thahhân, yang dimaksud dengan takhrîj adalah penunjukkan terhadap tempat hadis dalam sumber-sumber aslinya, yang mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.[10]
Menilik dari definisi takhrîj yang dikeluarkan oleh al-Sakhâwiy dan Mahmûd al-Thahhân, maka Dr. Hamzah al-Malîbâriy mengidentifikasi takhrîj ke dalam dua jenis, yaitu:[11]
  1. Takhrîj al-Fanniy, yaitu proses takhrîj yang hanya sampai sebatas menampakkan hadis kepada kitab sumber asalnya saja.
  2. Takhrîj al `Ilmiy, yaitu proses takhrîj yang bukan hanya sebatas menampakkan hadis kepada sumber asalnya, melainkan meneliti lebih lanjut sampai kepada kondisi periwayatan, apakah ia menyendiri, bersama-sama, atau bahkan bertentangan dengan riwayat lain. Yang pada akhirnya akan sampai pada titik penashihan atau pen-tadl`îf-an. Sehingga hilanglah kesamaran martabat/kwalitas dari hadis tersebut.
B.     Tujuan dan Manfaatnya Takhrîj al-Hadis.
Ketika setiap hadis, kecuali secara umum yang diriwayatkan oleh al-Bukhâriy dan Muslim, tidak dapat dipastikan kesahihannya kecuali setelah diteliti secara seksama sesuai kaidah yang telah ditentukan, atau berdasarkan hasil penelitian para ahli hadis yang tidak dikenal ceroboh. Maka betapa pentingnya eksistensi proses takhrîjal-hadîts tidak dapat disangkal lagi. Berikut adalah tujuan utama dilakukan tahrîj al-hadîts:
  1. Untuk mengetahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti.
  2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti.
  3. Untuk mengetahui ada tidaknya syâhid dan mutabi’ pada sanad yang akan diteliti.
Sedangkan manfaat dari proses takhrîj al-hadîts di antaranya adalah:[12]
  1. Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal di mana suatu hadis berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.
  2. Dapat menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang dirujuknya, semakin banyak kitab asal yang memuat suatu hadis, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang kita miliki.
  3. Dapat memperjelas keadaan sanad, dengan membandingkan riwayat hadis yang banyak itu, maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqati’, mu’dal dan lain-lain, demikian juga dapat diketahui, apakah status riwayat tersebut sahih, hasan atau daif.
  4. Dapat memperjelas kualitas suatu hadis dengan banyaknya riwayat, suatu hadis daif kadang diperoleh melalui satu riwayat, namun takhrîj memungkinkan akan menemukan riyawat lain yang sahih, hadis yang sahih itu mengangkat kualitas hadis yang daif tersebut kederajat yang lebih tinggi.
  5. Dapat memperjelas periwayat hadis yang samar, dengan adanya takhrîj kemungkinan dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara lengkap.
  6. Dapat memperjelas periwayat hadis yang tidak diketahui namanya, yaitu melalui perbandingan diantara sanad yang ada.
  7. Dapat menafikkan pemakaian lambang periwayatan ‘an dalam periwayatan hadis oleh seorang mudallis.
  8. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya riwayat dan memperjelas nama periwayat yang sebenarnya.
  9. Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
  10. Dapat menghilangkan unsur syaz dan membedakan hadis yang mudraj.
  11. Dapat menghilangkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
  12. Dapat membedakan antara periwayatan secara lafal dengan periwayatan secara makna.
  13. Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadis dan lain-lain.
Dengan demikian melalui kegiatan takhrîj al-hadîts, peneliti dapat mengumpulkan berbagai ragam sanad dari sebuah hadis, dan juga dapat mengumpulkan berbagai ragam redaksi dari sebuah matan hadis.
C.    Sejarah Takhrîj al-Hadîts

Kegiatan men-takhrîj hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama Muta’akhirîn. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan, karena secara umum pada saat itu para ulama memiliki kemampuan yang mumpuni berkaitan dengan hadis. Mereka tidak memerlukan bantuan apa pun untuk sampai pada sebuah sumber hadis, paling tidak hanya membutuhkan penggalian syawâhid saja. Kebiasaan ulama Mutaqaddimin menurut Al Iraqi, dalam mengutip hadis-hadisnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut, sampai kemudian datang Al-Nawâwi yang melakukan hal itu. Hal tersebut bukan tanpa alasan, para ulama terdahulu menganggap masyarakat juga punya self control masing-masing, oleh karenanya al-Râfi`iy ketika menyusun kitab Syarh al-Kabîr, penyampaian hadisnya tidak sedetail apa yang dilakukan oleh al-Nawâwiy, padahal sebenarnya beliau lebih menguasai hadis dibandingkan al-Nawâwiy.[13]
Ulama yang pertama kali melakukan takhrîj menurut Mahmûd Al-Thahhân ini, ialah Al-Khâtib Al-Baghdâdi (w. 463 H), kemudian dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa al-Hâzimi (w.584 H) dengan karyanya Takhrîj Ahâdis Al-Muhadzdzab. Ia men-takhrîj kitab fiqih Syafi’iyah karya Abu Ishaq al-Syîrâzi. Ada juga ulama lainnya, seperti Abu Al-Qasim Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya berupa Mahthûthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab-kitab tersebut yang berupaya men-takhrîj kitab-kitab dalam berbagai disiplin ilmu agama.
Yang termasyhur di antara kitab-kitab tersebut, selain karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi di atas, ialah kitab Takhrîj Ahâdts Al-Mukhtashar Al-Kabîr karya Muhammad bin Ahmad Abd Al-Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H), Nashb ar-Râyah li Ahâdits al-Hidâyah dan Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf, keduanya karya Abdullah bin Yusuf al-Zaila’i (w. 762 H), dan Al-Badr Al-Munîr fi Takhrîj Al-Ahâdis wa Al-Atsar al-Wâqi’ah fi Syarh Al-Kabîr karya Ibn Al-Mulaqqin (w. 804 H).
D.    Metode Dan Proses Takhrîj al-Hadîts
1.      Sistem Manual
Dalam kegiatan penelusuran sebuah hadis tidaklah semudah yang kita bayangkan, karena membutuhkan seperangkat kemampuan yang komprehensip terhadap sebuah hadis, sebagaimana yang diungkapkan oleh Suhudi, bahwa kegiatan penelusuran hadis (takhrîj al-hadîts) kepada sumber aslinya, tidaklah semudah, penelusuran ayat Alquran. Penelusuran terhadap ayat Alquran cukup dipergunakan sebuah kitab kamus Alquran, misalnya al-Mu’jam Mufahras Li alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, sedangkan penelusuran terhadap hadis Nabi terhimpun dalam banyak kitab dengan metode penyusunan yang beragam.[14] Dengan dimuatnya hadis Nabi dalam berbagai kitab hadis, maka sampai saat ini, belum ada sebuah kamus yang mampu memberi petunjuk untuk mencari hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada, tetapi terbatas pada sejumlah hadis saja, namun tidaklah berarti hadis nabi yang termuat dalam berbagai kitab tidak dapat ditelusuri, untuk keperluan itu, lebih lanjut para ulama hadis telah menyusun kitab-kitab kamus dengan metode yang beragam.[15]
Mahmûd al-Thahhân membagi metode takhrîj ke dalam lima kategori, yaitu:[16]
a)      Takhrîj dengan jalan mengetahui shahabat yang meriwayatkan hadis.
b)      Takhrîj dengan jalan mengetahui lafal awal matan hadis.
c)      Takhrîj dengan jalan mengetahui lafal matan hadis yang jarang beredar.
d)     Takhrîj dengan jalan mengetahui tema hadis.
e)      Takhrîj dengan jalan mengetahui keadaan matan dan sanad hadis.

Adapun praktika dari kelima metode tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Metode takhrîj melalui nama shahabat perawi hadis
Metode ini hanya digunakan bilamana nama shahabat itu tercantum pada hadis yang akan di-takhrîj. Apabila nama shahabat tsb tidak tercantum dalam hadis itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai.
Apabila nama shahabat tercantum pada hadis tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat digunakan 3 macam kitab, yaitu : (1.) kitab-kitab Musnad, (2.) kitab-kitab Mu’jam, dan (3.) kitab-kitab Athrâf.
Kitab Musnad adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan nama shahabat, atau hadis-hadis para shahabat dikumpulkan secara tersendiri. Di antaranya adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Abu Baqr Sulaiman ibn Dawud al-Thayalisi, Musnad Ubaidillah, dll.
Kitab Mu’jam adalah kitab yang ditulis menurut nama-nama shahabat, guru, negeri atau yang lainnya, yang nama-nama tersebut diurutkan secara alfabetis. Kitab-kitab tersebut di antaranya Mu’jam al-Shahabah li Ahmad ibn al-Hamdani, Mu’jam al-Shahabah li abi Ya’la Ahmad ‘Ali al-Mashili, dll.
Kitab Athrâf adalah kitab yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadis yang menunjukan keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya, baik secara keseluruhan atau dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu. Yang mana kitab ini biasanya mengikuti musnad shahabat. Kitab-kitab Athraf itu di antaranya Athraf al-Shahihain li Abi Mas’ud Ibrahim Ibn Muhamad al-Dimasyiqi, Athraf al-Shahihain li Abi Muhamad Khalaf ibn Muhamad al-Wasithi,dll.
Manfaat dari kitab-kitab Athraf adalah :
  • Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apaka hadis itu gharîb, azîz, atau masyhûr.
  • Memberitahu perihal siapa saja yang diantara para penyusun kitab-kitab hadis yang meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
  • Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yang dibuat athrâf-nya.
b)     Metode takhrîj melalui lafal awal dari matan hadis

Metode ini bila kita yakin mengetahui awal kalimat matan sebuah hadis.
Karangan- karangan yang dapat membantunya:
  • Kitab-kitab yang di dalamnya terdapat hadis–hadis yang masyhur di kalangan masyarakat.
  • Kitab-kitab yang di dalamnya hadis-hadis yang diurutkan berdasarkan urutan huruf mu’jam.
  • Al Mafâtih dan Al Fahâris yang dikarang oleh ulama untuk sebuah kitab yang khusus.
Adapun yang dimaksud dengan kata dalam hadis yang masyhur di kalangan manusia adalah perkataan yang disandarkan kepada Nabi yang masyhur di kalangan manusia dan mereka saling meriwayatkannya. Kadang ini ada yang sahih, namun kebanyakan daif bahkan maudhu. Kebanyakan karangan ini berurutan berdasarkan urutan huruf-huruf mu’jam. Di antaranya:
  • At Tadzkirah fi Al Ahadis Al Masyhurah, karya Badaruddin Muhammad nim Abdullah Az Zarkasyi (wafat 974H).
  • Ad Durar fi Al Ahadis Al Masyhurah, Asy syuyuthi (wafat 911H).
  • Al Maqashid Al Hasanah fi Ma Isytahara ‘Ala Al Alsinah, karya As Sakhawi (wafat 902 H).
  • Al Maqasid Al Hasanah fi Bayan Katsir min Al Ahadis Al Musytahirah ‘Ala Alsinah, karya Muhammad bin Abdurrahman As Sakhawi (902 H).
  • Tamyiz Thayib min Al Khabits Fi Maa Yaduru ‘Ala Alsinah An Nas Min Al Ahadis, karya Abdurrahman bin Ali bin  Asy Syaibani (944 H).
  • Al Badru Al Munir fi Gharib Ahadis  Al Basyir An Nadzir, karya Abdul Wahhab bin Muhammad Asy Sya’rani (973 H).
  • Tashil As Sabil Ila Kasyfi Al Ilbas ‘Amma Daara min Al Ahadis Baina An Nas, karya Muhammad bin Ahmad AL Khalilli (1057 H).
  • Iyqan Maa Yahsunu Min Al Ahadis Ad Dairah ‘Ala Al Asinah, karya Najmuddin  Muhammad bin Muhammad AL Ghazi (985 H).
  • Kasyfu Al Khufa’ wa Muzil Al Ilbas ‘Amma Isytahara min Al Ahadis ‘Ala Al Asianah An Nas, karya Ismail bin Muhammad  Al ‘Ajluni (1162 H).

Sedangkan kitab-kitab yang penyusunan hadis-hadisnya berdasarkan urutan huruf mu`jam, ia hanya merangkum sekian banyak hadis dari berbagai sumber aslinya, namun tanpa menyertakan rangkaian sanadnya, ini dimaksudkan hanya untuk mempermudah melacak hadis ke sumber aslinya. Di antara kitabnya adalah
  • Al-Jâmi` al-Shaghîr min Hadts al-Basyîr wa al-Nazhîr, karya Jalâluddîn al Suyûthiy (w. 911 H). Kitab ini memuat 10.031 buah hadis, dengan diakhiri kode khusus untuk menunjukkan martabat hadis (3 kode) dan mudawwinnya (33 kode).
  • Al-Jâmi` al-Kabîr, dengan pengarang yang sama dan sistem sama.
  • Al-Ziyâdah `alâ Kitâb al-Jâmi` al-Shaghîr.
  • Al-Fath al-Kabîr fiy Dlamm al-Ziyâdah ilâ al-Jâmi` al-Shaghîr, karya Syaikh Yûsuf al-Nabhâniy.

Adapun kitab-kitab Al-Mafâtih dan Al Fahâris yang dikarang oleh para ulama’ untuk kitab yang khusus, sebenarnya sistim pengurutan hadis-hadisnya sama menurut tertib huruf mu`jam. Bedanya ini disusun hanya mengurutkan sejumlah hadis yang dimuat oleh kitab tertentu saja. Contoh kitab-kitabnya adalah:
  • Mafatih Ash Shahihain karya Muhamad Asy Syarif bin Mushthafa At Tauqadi.beliau menyelesaikannya pada tahun 1312 H.
  • Mafâtih al-Tartîb li Ahâdîts Târîkh Al Khatîb, karya As Sayyid Ahmad bin As Sayyid bin Muhammad As Sayyid Ash Shadiq Al Ghamari Al Maghribi.
  • Al-Bughyah fi Tartîb Ahâdîts Al Hilyah, karya As Sayyid Abdul Aziz bin As Sayyid bin Muhammad bin As Sayyid Shadiq Al Ghamari.
  • Fahras Li Ahâdits Shahih Muslim Al Qauliyah, karya Muhamad Fuad Abdul Baqi.
  • Miftâh Al Muwaththa’ karya Muhamad Fuad Abdul Baqi.
  • Miftâh Sunan Ibnu Majah, karya Muhamad Fuad Abdul Baqi.

c)      Metode takhrîj melalui lafal bagian mana saja dari matan hadis yang jarang beredar

Kitab yang dapat membantu untuk cara ini adalah Al Mu’jam Al Mufahras li Alfâdz Al Hadis An Nabawi. Kitab ini merangkum hadis-hadis kutub al-tis`ah, yaitu kutub al-Sittah, ditambah al-Muwatha’, Musnad Ahmad dan Sunan al-Darimi.
Mu’jam ini disusun oleh orang orentalis, yaitu A. J. Wensinck (1939 M).
Susunan dalam Mu’jam adalah sebagai berikut:
  • Al-Af’al: Al-Madhi, Al-Mudhari’, Al-Amr. Ism Fâ’il, Ism Maf’ûl. Dengan menggunakan sighah berikut untuk setiap dhamirnya:
    • Al-Af’al al Mabniyah li al-Ma’lum, tanpa lawâhiq.
    • Al-Af’al al Mabniyah li al-Ma’lum, beserta lawâhiq.
    • Al-Af’al al Mabniyah li al-Majhul, tanpa atau pun beserta lawâhiq.
  • Al-Asma’ Al-Ma’ani.
  • Derivasi kata.




d)     Metode takhrîj dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadis

Yang menggunakan cara ini adalah mereka yang mempunyai kedalaman ilmu, yang bisa membatasi tema hadis, atau bahkan matan hadis jika diteliti lebih seksama.
Kitab yang dapat membantu cara ini adalah kitab-kitab hadis yang berdasarkan urutan bab-bab dan judul-judul. Ini terbagi menjadi:
  • Karangan yang mencakup bab-bab dan judul-judul seluruhnya tentang agama, yaitu (Al-Jawami’, Al-Mustahrajat dan Al-Mustadrakat ‘ala Al-Jawami’, Al-Majami’, Al-Zawa’id dan Kitab Miftah Kunuz al-Sunnah). Contoh kitabnya: Al Jami’ Ash Shahih, karya Imam Al Bukhari (w. 256 H). Mustakhraj Al Isma’ili (w. 371 H), Al Mustadrak atas shahihain karya Abdullah Al Hakim (w. 504 H).
  • Karangan yang mencakup bab-bab dan judul-judul, kebanyakan tentang agama, Yaitu (Sunan, Al-Mushanafat, Al-Muwatha’at, Al-Mustakhrajat  ‘ala Al-Sunan). Contoh kitabnya: Sunan Abu Dawud, karya Sulaiman bin Asy’ats As Sijistani (wafat 275), Al Mushanaf, karya Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam Ash Shan’ani (wafat 211), Al Muwatha’ karya Iama Malik bin Anas Al Madani (wafat 179H).
  • Karangan yang hanya membahas bab-bab khusus dalam agama. (Al-Ajza`, Al- Targhib wa Al-Tarhib, Al-Zuhud, Al-Fadha’il, Al-Akhlaq, Al-Ahkam dll). Contoh kitab-kitabnya: Juz’u Ma Rawahu Abu Hanifah ‘an Ash Shahabah, karya Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abdus Shamad Ath Thabari, At Targhib wa Tarhib, karya Zakiyudin Abdul Adzim bin Abdil Qawiy Al Mundziri (wafat 656H). Kitab Az Zuhud, karya Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), dll.

e)      Metode takhrîj dengan mengetahui keadaan matan dan sanad hadis

Maksud cara ini adalah meneliti keadaan dan sifat hadis. Kemudian membahas sumber hadis tersebut dengan jalan  mengetahui keadaan dan sifatnya dalam matan atau sanad atau sanad dan matan secara bersamaan.
  1. Matan
Jika tampak pada matan hadis tanda-tanda maudhu’. Baik karena rusaknya lafadz, rusaknya makna atau bertentangan dengan Al Qur’an. Maka cara yang paling mudah untuk mengetahui sumbernya meneliti dalam kitab-kitab hadis maudhu’. Kitab maudhu’ yang berdasarkan urutan huruf: Al Maudhu’aat Ash Shughra, karya Asy Syaikh Ali Al Qari’I Al Harawi(1014H) dan kitab Tanzih Asy Syariah Al Marfu’ah ‘An Al Ahadiits Asy Syani’ah Al Maudhu’ah, karya Abu Hasan Ali bin Muhammad bin ‘Iraq Al Kinani (963 H).
Jika Hadis qudsi, maka cara yang paling mudah merujuk kepada kitab yang mengumpulakn hadis qudsi, di antaranya:
  • Musyakah Al Anwar Fi Maa Ruwiya ‘An Allah  Subhanahu wa ta’ala Min Al Akhbar, karya Muhyiddin Muhammad bin Ali bin ‘Arabi Al Hatimi  Al Andalusi (638 H).
  • Al Ithafat As Suniyah bi Al Ahadis Al Qudsiya, karya Asy Syaikh Abdur Rauf  Al Munawi ( 1031 H). mencakup 272 hadis tanpa sanad.
  1. Sanad.
Jika sanadnya lemah, seperti:
  • Terdapat bapak meriwayatkan hadis dari anaknya, maka kitab yang paling mudah yang menjadi sumber rujukan adalah: kitab Riwayah Al Aba’ ‘An Al Abna’, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khathib Al Baghdadi (463 H).
  • Bila sanadnya musalsal, maka merujuk kepada kitab yang mengumpulkan hadiits-hadis musalsal. Yaitu (Al Musalsal Al Kubra, karya As Suyuthi, mnecakup 75 hadis. Dan Al Manahil As Salsalah fi Al Ahadiiits Al Musalsalah, karya Muhammad bin Abdul Baqi Al Ayyubi (1364 H). terkumpul 212 hadiits.
  • Sanadnya mursal, merujuk ke kitab( Al Marasil, karya Abu Dawud  As Sijis tani. Dan (Al-Marasil karya Aibnu Abi Hatsim Abdurrahman bin Muhammad bin Al Handzalati Ar Razi (327 H). atau bila sanad nya dha’if maka merujuk ke kitab yang mengumpulkan hadis-hsdita dha’if. Seperti Mizan Al I’tidala , karya Adz Dzahabi.
  1. Matan dan sanad bersamaan.
Sifat dan keadaan hadis yang  kadang  terjadi pada matan dan kadang pada sanad. Kitab-kitab ini adalah:
  • Ilal hadis, karya Ibni Abi Hatim Ar Razi, yaitu kitab yang berdasarkan urutan bab.
  • Al Asma’ Al Mubhamah fi Al Anba’ Al Muhakkamah, karya Al Khathib Al Bghdadi.
  • Al Mustafad min Mubhamad AL Matan wa Al Isnad, karya Abu Zur’ah Ahmad bin Adurrahman Al ‘Iraqi (826 H).

2.      Sistem Digital
Pada saat kitab-kitab yang membahas tentang berbagai metode takhrîj hadis disusun, seperti kitab Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid karya Dr. Mahmûd al-Thahhân yang rampung pada tahun 1978 M, atau kitab Thuruq al-Takhrîj al-Hadits karya Syaikh Sa`d bin Abdullah `Aliy Humayd pada tahun 2000 M, segala sesuatu piranti kerja masih bersifat manual. Sebagai konsekuensinya, dalam kitab-kitab tersebut semua metode takhrîj yang ditawarkan senantiasa berkutat dengan cara-cara manual.
Namun saat ini, ketika segala sesuatu tidak luput dari efek perubahan zaman yang serba digital, maka teknik takhrîj hadis pun turut terkena imbas positif. Sistem manual yang cenderung tidak efektif dan efisien, akhirnya tergusur dengan sistem digital yang jauh lebih menjanjikan dari berbagai aspek (kecuali masalah “barakah”)[17]. Oleh karena itu pula, pemakalah sengaja menambahkan sistem digital sebagai salah satu perspektif baru dalam proses takhrîj hadis.
Dalam makalah ini akan dikenalkan teknik takhrij dengan memakai software pembantu al-Maktabah al-Syâmilah dan al-Jâmi` li al-Hadîts al-Nabawiy.
  1. Al-Maktabah al-Syâmilah

1)      Metode Pertama
Metode ini merupakan metode paling mudah, digunakan ketika sudah ditemukan hadis pokoknya, yaitu dengan mengklik tombol “Takhrîj

Atau jalan lainnya yaitu masuk dulu ke toolbars “Syâsyât” kemudian klik “Takhrîj

Namun untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
  • Minimal versi ketiga.

  • Kitab-kitab hadisnya harus yang resmi dari team Shamela.


Contoh ketika men-takhrîj hadis Nikah Mut`ah berikut Daging Himar, dengan pokok kitab Shahîh Muslim:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، وَالْحَسَنِ، ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِمَا، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ»،








Hasilnya:



2)      Metode Kedua
Metode ini digunakan ketika belum diketahui tempat hadis pokoknya, sehingga terlebih dahulu harus dicari melalui tombol “Bahts” , dari toolbars berikut:

Atau dari toolbars ini:

Setelah ditemukan hadis dimaksud, langkah takhrij selanjutnya sama dengan metode pertama.







  1. Al-Jâmi` li al-Hadîts al-Nabawiy

1)      Metode Pertama

Untuk metode ini proses takhrîj dimulai dengan mengklik tombol “Takhrîj Âlî








2)      Metode Kedua

Sedangkan untuk metode ini dimulai dengan mengklik tombol “bahts









[1]Sulthan Akaylah, Mafhûm al-Takhrîj wa Ahmiyatuh wa Fawâ’iduh wa Târikhuh wa Tathawwuruh, dalam Al-Wâdlih fiy Fan al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd, (Aman, Dâr al-Hâmid al-Nasyr wa al-Tawjî’, 2004), hal. 27.
[2]Bandingkan dengan Muhammad bin Zhâfir al-Syahariy, `Ilm al-Takhrîj wa Dawruh fiy Hifzh al-Sunnah al-Nubuwwah, (Mekah: Majma` al-Mulk Fahd li Thabâ`ah, T.Th), hal. 2.
[3]Ibid.
[4]Sulthân Akaylah, Op. Cit., hal. 28.
[5]Manna Al-Qaththan’,  Mabâhis fi ‘Ulûm al-Hadîts, (T.Tp: Maktabah Wahbah, T.Th) diterjemahkan  oleh Mifdhol Abdurrahman, 2006, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004, Cet.II.
[6]Syamsuddîn bin Muhammad al-Sakhâwiy, Fath al Mughîts bi Syarh Alfiyah al Hadîts, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 2004), juz. III, hal. 317
[7]Contohnya ketika men-takhrîj hadis yang ada dalam Shahîh al-Bukhâriy, jika pen-takhrîj memiliki sanad sendiri (liqâ) sampai ke gurunya guru al-Bukhâriy, kemudian disamping menjelaskan sanad al-Bukhâriy, juga ditambah dengan sanad sendiri sampai ke gurunya guru al-Bukhâriy. Lihat: Hamzah `Abdullâh al-Malîbâriy & Sulthân al-Akâylah, Kayf Nadrus `Ilm Takhrîj al Hadîts, (Aman: Dâr al-Râjiy, 1998), hal. 20.
[8]Contohnya ketika men-takhrîj hadis yang ada dalam Shahîh al-Bukhâriy, jika pen-takhrîj memiliki sanad sendiri (liqâ) sampai ke guru al-Bukhâriy, kemudian disamping menjelaskan sanad al-Bukhâriy, juga ditambah dengan sanad sendiri sampai ke guru al-Bukhâriy.
[9]Zaynuddîn Zakariyâ al-Anshâriy, Fath al Bâqiy bi Syarh Alfiyah al-`Irâqiy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Alamiyah, 2002), juz. II, hal. 133.
[10]Mahmûd al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Salafiyah, 1982), hal. 12.
[11]Hamzah `Abdullâh al-Malîbâriy & Sulthân al-`Akâylah, Op. Cit, 27-28.
[12]Abu Muhammad Abd al-Mahdi Ibn al-Qodir Ibn ‘Abd Al-Hadi, Metode Takhrîj Hadis, (terj.) Said Agil Munawwar & Ahmad Rifqi Muchtar, dari judul asli Turuq Tahkhrîj Hadis Rasulullah saw, (Semarang: Dina Utama, 1994, hal. 5-6.
[13]Demikian seperti dikutip oleh Mahmûd al-Thahhân, Op. Cit, hal 16.
[14] Muhammad Syuhudi ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi, . . .hal:45.
[15] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset  2005, hal:157.
[16]Mahmûd al-Thahhân, Op. Cit, 35.
[17]Demikian seperti dituturkan oleh salah satu Kyai khas dari Pesantren Sidogiri Pasuruan, yaitu Kyai Hasaniy yang tekenal dengan kezuhudannya.
*Oleh Harry Yuniardi (Ketua PC LTN NU Kab. Bandung, Dosen Fakultas Syari`ah & Hukum UIN Bandung & STAI Baitul Arqam Bandung)
Disampaikan dalam Diskusi Mata Kuliah Ilmu Hadis Ahkam S3 PPs UIN SGD Bandung.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar