Kamis, 19 Maret 2015

Antara sunnah dan bid’ah


 

ANTARA SUNNAH DAN BID’AH I


Menurut para Ulama’,  bid’ah dalam ibadah dibagi dua: yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Di antara para ulama’ yang membagi bid’ah ke dalam dua kategori ini adalah:

1. Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, bid’ah dibagi dua; bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Jadi bid’ah yang mencocoki sunnah adalah mahmudah, dan yang tidak mencocoki sunnah adalah madzmumah.

2. Imam al-Baihaqi
Bid’ah menurut Imam Baihaqi dibagi dua; bid’ah madzmumah dan ghoiru madzmumah. Setiap Bid’ah yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ adalah bid’ah ghoiru madzmumah.

3. Imam Nawawi
Bid’ah menurut Imam Nawawi dibagi menjadi dua; bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah.

4. Imam al-Hafidz Ibnu Atsir
Bid’ah dibagi menjadi dua; bid’ah yang terdapat petunjuk nash (teks al-Qur’an/hadits) di dalamnya, dan bid’ah yang tidak ada petunjuk nash di dalamnya.
Jadi setiap bentuk bid’ah yang menyalahi kitab dan sunnah adalah tercela dan harus diingkari. Akan tetapi bid’ah yang mencocoki keumuman dalil-dalil nash, maka masuk dalam kategoti terpuji.

Lalu bagaimana dengan hadits kullu bid’atin dzolalatin..?
Berikut ini adalah pendapat para ulama’:
1. Imam Nawawi
Hadits di atas adalah masuk dalam kategori ‘am (umum) yang harus ditahshis (diperinci).
2. Imam al-Hafidz Ibnu Rojab
Hadits di atas adalah dalam kategori ‘am akan tetapi
yang dikehendaki adalah khosh (‘am yuridu bihil khosh). Artinya secara teks hadits tersebut bersifat umum, namun dalam pemaknaannya dibutuhkan rincian-rincian.

ANTARA SUNNAH DAN BID'AH II


Mengapa Bid’ah,.. lagi lagi dikatakan Cuma ada bid’ah dlalalah (sesat).?

Dengan alih-alih pernyataan ini, munculah kajian yang ke-dua, setelah sebelumnya kami pernah membahas dengan ringkas, “Antara Bid’ah Dan Sunnah” Baca: Antara Bid'ah Dan Sunnah
            Disadari atau tidak sebenarnya, pembahsan ini akan memakan banyak energi dan waktu, serta kurang bermanfaat. Setelah menimbang dengan sangat, akhirnya tak apalah setengah atau satu jam penulis meluangkan waktu untuk membuat makalah ini.

Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam terdahulu, sebagaimana pernyataan tersebut beliau-beliau tidak serta merta menghukumi haram, jauh bertolak belakang dengan perkataan orang-orang bodoh yang memvonis semua bida’ah (tanpa terperinci) adalah dlalalah (tersesat), dan setiap dlalalah adalah neraka. Menurut kami, mereka terjebak oleh pemahaman yang dangkal, atau apa mungkin mereka sengaja melakukan pembajakan agama dengan alih-alih “menegakkan sunnah...”

Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapannya.

Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab semua sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum.

    Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”
    Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”
    Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”
    Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)”
    Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.

Jika panjenengan.. panjenengan, menganggap pernyataan ini ngawur alias tanpa tendensi yang memadai, mari kita simak penjabaran Ulama yang kami, dan kalian tentu mengenal bukan saja kebesaranya, tapi ilmu agama, wira’i dan kezuhud-an-nya:

۞ Imam Nawawi (631-676H), dalam kitab Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, beliau katakan:

قَالَ الْعُلَمَاءُ؛ الْبِدْعَةُ خَمْسَةُ أَقْسَامٍ؛ وَاجِبَةٌ، وَمَنْدُوْبَةٌ، وَمُحَرَّمَةٌ، وَمَكْرُوْهَةٌ، وَمُبَاحَةٌ. فَمِنَ الْوَاجِبَةِ نَظَّمَ أَدِلَّةُ الْمُتَكَلِّمِيْنَ لِلرَّدِّ عَلَى المْلُاَحَدَةِ، وَالْمُبْتَدِعِيْنَ، وَشِبْهُ ذَلِكَ. وَمِنَ الْمَنْدُوْبَةِ تَصْنِيْفُ كُتُبِ الْعِلْمِ، وَبِنَاءُ الْمَدَارِسِ، وَالرِّبَطُ وَغَيْرُ ذَلِكَ. وَمِنَ الْمُبَاحِ التَّبْسِطُ فِي أَلْوَانِ الْأَطْعِمَةِ وَغَيْرُ ذَلِكَ. وَالْحَرَامُ وَالْمَكْرُوْهُ ظاَهِرَانِ، وَقَدْ أَوْضَحَتُ الْمَسْأَلَةَ بِأَدِلَّتِهَا الْمَبْسُوْطَةِ فِي تَهْذِيْبِ الْأَسْمَاءِ وَاللُّغَاتِ.

“’Para Ulama mengatakan; bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara bid’ah yang wajib adalah  penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orang-orang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya; diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara bid’ah yang mubah adalah mengkreasikan macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah saya jelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat” Syarh Shahih Muslim Imam An-Nawawi [6/154-155].

Mari kita meluncur di TKP, apa benar apa yang dikatakan Imam Nawawi, bahwa beliau menjelaskan bid’ah makruhah & bid’ah muharramah. Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ Wal Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :

قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامِ الْمُجَمِّعُ عَلَى إِمَامَتِهِ وَجَلَالَتِهِ وَتَمَكِّنُهُ فِيْ أَنْوَاعِ الْعُلُوْمِ وَبَرَاعَتِهِ أَبُوْ مُحَمَّد عَبْدُ الْعَزِيْزِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ رَحِمَهُ اللهِ وَرَضِيَ عَنْهُ فِي آخِرِ كِتَابِ "الْقَوَاعِدُ"؛ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى وَاجِبَةٍ، وَمُحَرَّمَةٍ، وَمَنْدُوْبَةٍ، وَمَكْرُوْهَةٍ، وَمُبَاحَةٍ، قَالَ؛ وَالطَّرِيْقُ فِيْ ذَلِكَ أَنْ تَعَرَّضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ، فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، أَوْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَمُحَرَّمَةٌ، أَوِ النَّدْبُ فَمَنْدُوْبَةٌ، أَوِ الْمَكْرُوْهُ فَمَكْرُوْهَةٌ، أَوِ الْمُبَاحُ فَمُبَاحَةٌ، وَلِلْبِدْعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثَلُةُ مِنْهَا؛ اَلْإِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يَفْهَمُ بِهِ كَلَامُ اللهِ تَعَالَى وَكَلَامُ رَسُوْلِ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَذَلِكَ وَاجِبٌ؛ لِأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ، وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلَّا بِذَلِكَ، وَمَا لَا يُتِمُّ الْوَاجِبَ إِلَّا بِهِ، فَهُوَ وَاجِبٌ، الثَّانِيْ حِفْظُ غَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُنَّةِ فِي اللُّغَةِ، الثَّالِثُ تَدْوِيْنُ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَأُصُوْلُ الْفِقْهِ، الرَّابِعُ الْكَلَامُ فِي الْجُرُحِ وَالتَّعْدِيْلِ، وَتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَقَدْ دَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيْعَةِ عَلَى أَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ، فِيْمَا زَادَ عَلَى الْمُتَّعِيْنِ وَلاَ يَتَأَتَّى ذَلِكَ إِلَّا ِبمَا ذَكَرَنَاهُ، وَلِلْبِدْعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ مِنْهَا؛ مَذَاهِبُ الْقَدِرِيَّةِ وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُرْجِئَةِ وَالْمُجَسِّمَةِ وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلَاءِ مِنَ الْبِدْعِ الْوَاجِبَةِ، وَلِلْبِدْعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ؛ مِنْهَا إِحْدَاث الرُبِّطِ وَالْمَدَارِسِ، وَكُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعَهِّدُ فِي الْعِصْرِ الْأَوَّلِ، وَمِنْهَا التَّرَاوِيْحِ، وَالْكَلَامِ فِي دَقَائِقِ التَّصَوُّفِ، وَفِي الْجِدَلِ، وَمِنْهَا جَمْعُ الْمُحَافِلِ لِلإسْتِدْلَالِ إِنْ قُصِدَ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى. وَلِلْبِدْعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلُةٌ؛ كَزَخْرَفَةِ الْمَسَاجِدِ، وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ، وِلِلْبِدْعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا الْمُصَافَحَةُ عَقِبَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ، وَمِنْهَا: التَّوَسَّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمُآكِلِ، وَالْمُشَارِبِ، وَالْمَلَابِسِ، وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسُ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ الْأَكْمَامِ. وَقَدْ يَخْتَلِفُ فِيْ بَعْضِ ذَلِكَ فَيَجْعَلُهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مِنَ الْبِدْعِ الْمَكْرُوْهَةِ، وَيَجْعَلُهُ آخَرُوْنَ مِنَ السُّنَنِ الْمَفْعُوْلَةِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَمَا بَعْدَهُ، وَذَلِكَ كَاْلإِسْتِعَاذَةِ فِي الصَّلَاةِ وَالْبَسْمَلَةِ، هَذَا آخَرُ كَلَامِهِ.


“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syari’ah, sehingga

    Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
    Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
    Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
    Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
    Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.

Diantara contohnya masing-masing adalah ;

    Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, demikian itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal tersebut. Kemudian,  kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu hukumnya wajib, menjaga bahasa kalimat-kaliam gharib (asing) didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan)  ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.
    Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ah wajibah).
    Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain sebagainya.
    Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.
    Bid’ah Mubahah seperti : mushafahah (berjabat tangan) selesai shalat Shubuh dan ‘Asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. "

Lihat: Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam an-Nawawi [3/22-23], beliau Imam Nawawi menukil dari kitab Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam [2/ 204]

Penulis mengira, setelah meluangkan waktu membaca ungkapan-ungkapan Ulama berbobot diatas,  sebenarnya tidak perlu disimpulkan juga sudah mafhum. Jika memaksa, maka akan kami simpulkan, berdasarkan pemahaman pendek saya, kesimpulannya: Sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :

أَخْبَرَنَا أَبُوْ سَعِيْدٍ بْنِ أَبِيْ عَمْرُو، ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ مُحَمَّدٍ بْنِ يَعْقُوْب , ثَنَا الرَّبِيْعُ بْنِ سُلَيْمَانَ، قَالَ: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: الْمُحْدِثَاتُ مِنَ الْأُمُوْرِ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا أَحْدَثَ يُخَالِفُ كِتْابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا , فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ الضَّلَالَةِ. وَالثَّانِيَّةُ: مَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ لَا خِلَافَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحَدِّثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ، وَقَدْ قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ قِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ: «نِعْمَتُ الْبِدْعَةِ هَذِهِ» يَعْنِي أَنَّهَا مُحْدِثَةٌ لَمْ تَكُنْ , وَإِنْ كَانَتْ فَلَيْسَ فِيْهَا رَدٌّ لِمَا مَضَى

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua bagian :
1.     Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2.     Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”, yakni  perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya.
Al-Madkhal Ilaa Sunanil Kubraa Lil-Imam Al-Baihaqi [253] ; Disebutkan Juga Didalam Tahdzibul Asmaa’ Wal Lughaat [3/23]

Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan Ulama syafi’iyah juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama Syafi’iyah. Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam rahimahullah tersebut kadang berbeda dengan Ulama madzhab lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahami-nya-pun berbeda walaupun esensi sebenarnya sama; yaitu para Ulama sama-sama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, sekali lagi…..”bukan seperti pemahaman mereka itu”.

Wallahu a’lam bish shawab.

Terkait :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar