Selasa, 17 Maret 2015

Bantahan Allah berada di Langit

Benarkah Allah Berada di Langit Berdasarkan Hadits Shahih ?
Sebagian kawan kita yang menyatakan Allah berada di langit atau bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog dengan Rasul Saw.. Dalam hadits tersebut Rasul Saw. melakukan dialog untuk mengetahui keimanan atau indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang dimaksud sudah beriman atau belum? Budak dimaksud apakah telah memenuhi persyaratan untuk bisa menjadi kafarah, berupa pembebasan seorang budak beriman bagi muslim yang melanggar perbuatan tertentu di dalam syariat atau tidak?!

Pada penghujung sebuah hadits riwayat Imam Muslim dengan sanad Mu`awiyah bin Hakam direkamkan dialog antara Rasul Saw. dengan budak seperti redaksi berikut:
Rasulullah Saw. berkata: “datangkanlah ia kesini”. Kemudian akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapaan beliau. Beliau kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)
Secara umum jumhur umat menolak hadits ini, disebabkan karena faktor:

1. Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan `aqli.

1. Diantara dalil naqli:
a. QS: An Nahl: 17
Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?
b. QS: Al Syura: 11:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia
c. Banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasul Saw. ketika menanyakan atau menguji keimanan seseorang selalu dengan menggunakan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan syahadat Muhammad adalah utusan Allah. Hadits seperti ini mencapai kapasitas mutawatir!

2. Dalil `aqly
a. Allah mahasuci dari tempat dan bertempat pada sesuatu apapun dari makhluqNya. Allah mahasuci dari waktu dan pengaruh ruang waktu. Karena keduanya adalah milik Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Razi di dalam menafsirkan firman Allah QS: Al An`am: 12: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang berada pada tempat adalah milik Allah.
Dan firman Allah QS: Al An`am: 13:
“Dan kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari.”
Ayat ini menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan semua yang masuk ke dalam ruang waktu adalah kepunyaan Allah, bukan sifatNya.
b. Akal manusia secara pasti dan tegas menyatakan bahwa Allah, al Khaliq pasti beda dengan makhluqNya. Bila makhluq bertempat/tidak terlepas dari tempat tertentu, maka Allah tidak bertempat tertentu. Karena Allah beda dengan makhluqNya. Bila makhluq berada atau dipengaruhi oleh dimensi waktu, sedangkan Allah tidak!
c. Allah bersifat qadim, oleh karena itu Allah tidak berada pada ruang tempat tertentu, baik sebelum diciptakan `arsy dan langit ataupun setelahnya. Apabila Allah berada di atas langit atau di atas `arsy setelah Allah menciptakan keduanya, berarti Allah memiliki sifat hadits, karena keberadaan Allah di atas langit dan `arsy telah didahului oleh ketiadaan langit dan `arsy dan Allah tidak berada di atas langit dan `arsy sebelum diciptakan keduanya. Setelah ada, baru kemudian bersemayam diatasnya. Ini artinya kita menyifati Allah dengan sifat hadits. Sedangkan secara kaidah dinyatakan: bahwa semua yang bisa dihinggapi oleh sifat hadits adalah hadits.

2. Hadits ini merupakan hadits yang menjadi perbincangan para ulama sejak dahulu dan sampai kini, yang tidak diterima oleh sebagian orang karena bid`ah yang mereka lakonkan. Para hafiz di bidang hadits dan para pakar hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa dijadikan landasan menyangkut masalah akidah!
Mari kita kaji lebih lanjut hadits yang menceritakan tentang kisah budak wanita ini secara komprehensif, komparatif dan kritis.

Perhatikanlah redaksi hadits di dalam Sahih Muslim secara lengkap:

روى عن معاوية بن الحكم السلمي قال: بينا أنا أصلي مع رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ عطس رجل من القوم فقلت يرحمك الله فرماني القوم بأبصارهم فقلت واثكل أمياه ما شأنكم ؟ تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم فلما رأيتهم يصمتونني لكني سكت فلما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبأبي هو وأمي ما رأيت معلما قبله ولا بعده أحسن تعليما منه فوالله ما كهرني ولا ضربني ولا شتمني قال إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن أو كما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قلت يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنهم (قال ابن المصباح فلا يصدنكم ) قال قلت ومنا رجال يخطون قال كان نبي من الأنبياء يخط فمن وافق خطه فذاك قال وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [ الذئب ؟ ؟ ] قد ذهب بشاة من غنمها وأنا رجل من بني آدم آسف كما يأسفون لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فعظم ذلك علي قلت يا رسول الله أفلا أعتقها ؟ قال ائتني بها فأتيته بها فقال لها أين الله ؟ قالت في السماء قال من أنا ؟ قالت أنت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة

Diriwayatkan dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy: Ketika saya shalat bersama Rasulullah Saw. ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukaLlah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: “Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?!” Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw. menunaikan shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul saw.. Demi Allah, beliau tidak menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an.” Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul saw.. Aku kemudian menjawab: “Wahai Rasul Saw. sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang islam. Dan sesungguhnya diantara kami masih ada yang mendatangi para dukun. Beliau berkata: “Jangan datangi mereka!” Aku kemudian menjelaskan bahwa diantara kami masih ada yang melakukan tathayyur (percaya terhadap kesialan dan bersikap pesimistis). Beliau mengatakan: “Itu hanyalah sesuatu yang mereka rasakan di dalam diri mereka, maka janganlah sampai membuat mereka berpaling (Kata Ibnu Shabbah: maka janganlah membuat kalian berpaling). Kemudian ia melanjutkan penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara kami ada yang menulis dengan tangan mereka. Rasul Saw. berkata: dari kalangan Nabi juga ada yang menulis (khat) dengan tangan, barangsiapa yang sesuai apa yang mereka tulis, maka beruntunglah ia. Dia kemudian berkata: saya memiliki seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar bukit Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memperhatikan ia mengembala, ketika itu seekor srigala telah memangsa seekor kambing. Aku adalah seorang anak manusia juga. Aku bersalah sebagaimana yang lain. Kemudian aku menamparnya (budak wanita) dengan sekali tamparan. Maka kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. Rasul Saw. menganggap itu adalah suatu hal yang besar bagiku. Akupun berkata: “Apakah aku mesti membebaskannya?” Rasul Saw. menjawab: “Datangkanlah ia kesini!”. Kemudian akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapan Rasul Saw.. Rasul Saw. kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia (budak wanita) menjawab: “Di langit”, Rasul Saw. bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu Rasul Saw. bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia adalah seorang yang beriman” (HR. Muslim)

Hadits ini menjelaskan beberapa hal penting kepada kita, diantaranya
1. Sekelumit pelajaran yang bisa dipetik dari hadits, diantaranya;
a. Rasul Saw. mencontohkan metode mengajar yang tauladan.
b. Hadits ini menceritakan tentang masalah membayar kafarah berupa pembebasan seorang budak yang disyaratkan mesti beriman. Rasul Saw. memastikan apakah budak yang akan dibebaskan sudah beriman?!
c. Di dalam hadits menceritakan tentang status periwayat hadits yang baru masuk islam.
d. Di dalam hadits menceritakan keadaan kaum si periwayat hadits.
e. Di dalam hadits diceritakan cara Rasul Saw. mengetahui bahwa si budak seorang beriman atau bukan?

Berdasarkan indikasi yang nampak oleh Rasul Saw.
2. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak meriwayatkan pada bab “iman”, bab “kafarah dengan pembebasan budak beriman”, dan juga bukan pada bab “pembebasan budak”. Artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.
3. Imam Nawawi dalam menjelaskan penghujung hadits yang merupakan dialog antara Rasul Saw. dengan budak wanita, mengatakan bahwa ulama memiliki banyak persepsi dalam memahaminya, secara ringkas ulama memahaminya dengan 2 metode;
a. Mengimani hadits sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul Saw. tanpa mengkaji lebih jauh makna yang dimaksud dan meyakini bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah sesuatupun serta mensucikan Allah dari segala sifat makhluq.
b. Takwil dengan makna sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah.

Tentang hadits budak wanita yang dibebaskan Rasul Saw. ini kita ketahui bahwa:

1. Hadits yang diriwayatkan dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)? Adalah hadits yang paling sahih secara sanad dan paling kuat pegangan untuk beramal dengannya, terutama dalam masalah akidah.

2. Hadits Sahih Muslim dengan redaksi pertanyaan Rasul Saw: أين الله؟ (dimana Allah)? dan jawaban budak wanita: فى السماء adalah hadits mudltharib -sebagaimana diakui oleh para imam dan pakar hadits- yang tidak sah dijadikan pijakan di dalam masalah akidah. Pertanyaan Rasul Saw. dan jawaban budak yang selalu dijadikan pegangan dalil, bisa diyakini bukanlah bersumber dari Rasul Saw. dan budak wanita, akan tetapi bersumber dari periwayat hadits.

3. Tidak dijadikannya Hadits Sahih Muslim sebagai landasan berdalil dikuatkan oleh; bahwa hadits ini bertentangan dengan dalil yang qath`iy (tegas) dan yaqini (yakin), baik itu secara naqli maupun secara `aqli serta bertentangan dengan ijma` kaum muslimin dari dulu sampai sekarang bahwa Allah berbeda dengan makhluqNya dan Allah tidak bertempat/butuh kepada tempat layaknya makhluq.

Oleh karena itu maka keyakinan bahwa Allah berada di langit tidak bersandarkan kepada dalil yang sahih dan kuat. Adapun orang awam dan anak-anak yang biasa mengatakan/mengisyaratkan bahwa Allah berada di langit tidaklah bisa dijadikan pijakan dalil, karena hanya itulah kemampuan mereka untuk menunjukkan wujud Allah. Orang awam atau anak-anak kecil ketika mengucapkan/mengisyaratkkan hal tersebut sangat ditoleransi oleh syariat, tidak dianggap bid`ah apalagi kafir, akan tetapi dipahami perkataan mereka dengan makna majaz, bahwa maksud mereka adalah ketinggian Allah Yang Maha Kamal tidak sama dengan semua makhluq! Apakah mungkin orang-orang yang berilmu akan berdalil dengan perbuatan orang awam dan anak-anak?! Beghitu juga halnya bahwa ketika kita berdo`a dengan menengadahkan tangan ke langit, bukan berarti Allah berada di langit, tapi karena langit adalah kiblatnya do`a, sebagaimana Ka`bah adalah kiblatnya shalat!

Kepada sahabat-sahabat yang berpegang teguh dengan hadits tentang budak wanita yang diriwayatkan di dalam sahih Muslim ini saya ajak untuk tidak fanatis dengan doktrinan sepihak. Bukalah fikiran sejernih-jernihnya dan lapangkanlah hati untuk menerima dan menganalisa ilmu yang diperoleh oleh orang lain. Saya yakin bahwa tidak ada yang ma`shum, selain Rasulullah Saw.. Kenapa tidak mencoba mengkritisi apa yang disampaikan oleh guru kita dan mencoba menanyakan akal, apakah masih netral dan objektif?
Kita selalu mendakwa bahwa al haq (kebenaran) lebih didahulukan daripada figuritas seseorang! Jikalau benar demikian, bukankah kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh guru-guru yang semanhaj dengan kita?! Jikalau kita mengaku bahwa kita adalah orang yang kuat berpegang dengan al Qur`an dan sunnah -jikalau benar demikian-, adalah tidak layak bila mengambil secara parsial atau tidak mengkaji secara detail kesahihan nash syariat yang kita terima? Generasi salaf itu sangat banyak, maka adalah sangat aib bila kita memilah dan memilih salaf yang kita pedomani dengan mengabaikan salaf yang lain! Sahabat tidak mesti menerima orang lain, tapi tidak bijak bila menolak analisa orang lain, hanya karena alasan berbeda dengan apa yang diyakini!

Jikalau sahabat selalu mendakwa bahwa pemahaman sahabat adalah pemahaman generasi salaf, sekali-kali bertanyalah kepada diri sahabat, apakah benar pemahaman generasi salaf seperti yang saya pahami dan seperti yang saya aplikasikan?! Jikalau generasi salaf merupakan orang yang tunduk kepada kebenaran dan sangat tawadhu`, kenapa kita tunduk kepada guru doktrinan guru saja dan terlalu sulit menerima orang lain yang beda manhaj?! Jikalau generasi salaf sangat mendahulukan husnuzhan kepada saudaranya, kenapa kita justru mendahulukan su`u zhan kepada saudara kita yang sama-sama muslim?!
Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa kita sama-sama bermaksud untuk menetapkan segala sifat kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala sifat yang menunjukkan kekurangan, aib dan kelemahan.

Wallahu a`lam

Ya Allah berikanlah kepada kami cahaya kebenaran dan mudahkanlah kami untuk istiqomah dengan kebenaran serta hilangkan sikap fanatisme buta dari diri kami sampai akhir hayat kami. Amiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar