Senin, 30 Maret 2015

Benarkah Maulid Barzanji, Burdah, dan Diba’i Syirik?

Benarkah Maulid Barzanji, Burdah, dan Diba’i Syirik?
Maulid al-Burdah, al-Barzanji atau ad-Diba’i yang hampir setiap saat selalu di baca dan dilantunkan oleh sebagian warga di Indonesia kerap kali dinilai oleh orang-orang Wahhabi sebagai qashidah pujian terhadap
Rasulullah yang ‘keblabasan’, karena di dalamnya tercatat ucapan-ucapan yang dinilai syirik terhadap Allah. Salah satu contohnya adalah qashidah sebagaimana berikut:

يَا مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ فَأَغِثْنِي وَأَجِرْنِي

فِي مُلِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ يَا غِيَاثِ يَا مَلاَذِ

“Wahai Rasulallah yang menyelamatkan dari Neraka Sa’ir, tolonglah aku dan selamatkanlah aku.
Wahai penolongku, wahai tempat berlindungku di dalam segala perkara-perkara yang sulit.”

Dua qashidah tersebut memberikan pengertian bahwa ad-Diba’i menyifati Rasulullah dengan sifat sebagai Mujir (penyelamat), Ghiyats (penolong) dan Maladz (tempat berlidung). Dan hal tersebut dianggap oleh mereka sebagai kata-kata yang menyekutukan Allah. Karena menurut mereka ketiga kata tersebut hanya layak di sematkan pada Allah dan bukan kepada makhluk.

Sebelum mengetahui lebih dalam ketiga kata tersebut, harus difahami posisi antara Khaliq (Dzat pencipta) dan makhluq (yang di ciptakan) sebagai pijakan hukum apakah yang dilakukan oleh seseorang adalah bentuk syirik kepada Allah atau tidak. Allah, sebagai sang Al-Khaliq, adalah Dzat yang dapat memberi manfaat dan madharat, sementara makhluk tidak mempunyai daya apa-apa untuk memberikan manfaat atau madharat kepada orang lain. Begitu juga, Allah al-Khaliq, dapat memberi petunjuk atau hidayah kepada makhluk, namun makhluk sebagai hamba lemah tidak dapat melakukannya. Hal ini yang dii’tiqadkan oleh segenap pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.

Manusia, termasuk Rasulullah dan lain-lain yang di sifati dengan kata mujir, ghauts dan maladz (semua mempunyai makna memberikan pertolongan atau perlindungan) adalah dalam kapasitas sebagai makhluk dan bukan sebagai Tuhan, Sang Khaliq Yang Maha Segalanya. Jadi, ada sekat jelas antara maqam (kedudukan) khaliq dan maqam makhluq.

Sekedar contoh, jika kita minta pertolongan atau meminta perlindungan kepada seseorang karena kita sedang kesusahan, dirundung marabahaya, atau akan dicederai orang lain misalnya, apakah berarti kita telah musyrik atau menyekutukan Allah karena tidak meminta perlindungan langsung kepada Allah? Tentu jawabnya tidak setelah kita memahami antara kedudukan khaliq dan makhluq diatas!?
Selanjutnya akan kita kupas ketiga kata tersebut:

1. Kata Mujir
Lafaz mujir bukan termasuk Asma’ul Husna (Nama-Nama Allah yang Indah), karena nama tersebut tidak ada dalam 3 riwayat hadits tentang Asma’ul Husna yang ditulis oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir. Selain dari pada itu, al-Munawi berpandangan bahwa—sesuai pendapat yang kuat—membuat shifat atau nama (secara khusus) untuk Allah adalah tauqifi (langsung dari Rasulullah) sehingga tidak boleh membuatnya sendiri miskipun materi lafaznya ada, kecuali ada langsung dalam al-Qur’an atau hadits shahih.

Mengenai kata Mujir, dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 88 Allah berfirman:

قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi (menyelamatkan) tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui.”

Dalam Surat at-Taubah ayat 6 Allah berfirman:

وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبلِغهُ مَأْمَنَهُ

“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya.”

Kedua ayat tersebut memberikan pengertian bahwasannya sifat mujir (penolong) tidak hanya disematkan pada Allah, akan tetapi selain Allah juga dapat mempunyai sifat tersebut. Artinya, kata mujir bisa saja disifatkan pada Allah atau selain Allah. Dan, bagi selain Allah seperti Rasulullah atau yang lain, pertolongan yang diberikan adalah kadar kapasitasnya sebagai manusia atau makhluk bukan sebagai khaliq, yaitu seperti memintakan syafaat umatnya supaya tidak disiksa oleh Allah atau syafa’at supaya mendapatkan ampunan dari Allah dan lain-lain. Sama halnya dengan kata ar-Rauf dan ar-Rahim yang juga di sematkan pada Rasulallah, selain kedua kata tersebut juga termasuk asma’ul husna bagi Allah. Dan keduanya mempunyai sekat yang jelas antara Tuhan dan makhluk.
( Mengenai pembahasan memohon syafa’at setelah Rasulullah wafat, lihat secara khusus dalam kitab At-Tahdzir ‘an al-Ightirar bima Ja’a fi Kitab al-Hiwar hal 141 dengan di sertai dalil-dalilnya yang kuat.
Hal ini merupakan bantahan terkait dengan tuduhan aliran Wahhabiyyah – salah satunya adalah Abdullah bin Mani’ pengarang kitab Hiwar ma’a al-Maliki- bahwa memohon syafaat Rasulallah setelah beliau meninggal adalah termasuk perbuatan syirik ).

Sayyid Hasyim ar-Rifa’i saat menjelaskan kemampuan Rasulullah dalam memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan para manusia (dalam shalawat Nariyyah) mengatakan bahwa memenuhi berbagai kebutuhan dan menghilangkan kesusahan adalah Allah yang dapat melakukannya dengan tanpa bimbang sama sekali kecuali orang kafir dan orang yang bodoh. Sedangkan menisbatkan pekerjaan tersebut kepada Rasulullah adalah nisbat majazi (nisbat yang tidak haqiqi atau dalam ilmu balaghah di sebut majaz aqli).

2. Kata Ghiyats
Asma ghiyats (al-Mughits) banyak diakui sebagai salah satu sifat Rasulullah. Meskipun Allah juga mempunyai asma ghauts (al-Mughits) dan tercatat sebagai Asma’ Husna dalam satu riwayat. (Fatawi Haditsiyyah hlm. 204. Darul Fikr.)
Artinya, sebagaimana Allah yang menyandang sifat ghauts, selain Allah seperti Rasulullah atau selainnya juga bisa menyandang sifat tersebut, namun dalam koredor kapasitasnya sebagai seorang makhluq.
Dengan begitu, sifat ghauts yang dimiliki Rasulullah adalah sifat menolong dan membantu insan lain dari segala kesusahan dan lain-lain dan hanya sebatas yang dimampuni oleh Rasulullah, seperti memintakan syafa’at kepada Allah agar supaya orang-orang tertentu diampuni, diselamatkan dari siksa api neraka, derajatnya di tinggikan dan lain-lain.

Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id juz 10/159 dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir disebutkan:

لاَ يُسْتَغَاثُ بِى إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ

“Aku tidak dibuat untuk itighatsah, tapi yang dibuat istighatsah adalah Allah.”

Hadits ini kerap sekali di buat dalil tentang keharamannya melakukan istighatsah (meminta tolong) kepada Rasulallah oleh mereka orang-orang yang ingkar terhadap legalnya beristighatsah, namun membuat dalil hadits di atas sebagai pelarangan adalah kesalahan, karena jika yang di maksudkan adalah haram beristighatsah kepada Rasulullah secara mutlak, niscaya akan bertentangan dengan apa yang di lakukan oleh para shahabat yang juga melakukan istighatsah, bertawassul dan memohon do’a kepada beliau. Dan Rasulallah melayani dengan senang hati. Maka dari itu, hadits diatas butuh penta’wilan dan penjelasan.
Menurut Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajib an Tushahhah hal. 188, sabda Rasulallah tersebut bertujuan menetapkan hakikat tauhid dalam pondasi i’tikad (aqidah) yang sebenarnya, yakni bahwasannya al-Mughits secara hakikat adalah Allah, sementara hamba hanya berkapasitas sebagai perantara dalam hal yang dimaksud. Atau Rasulullah dalam hadits diatas bermaksud memberi pengertian kepada para shahabat agar tidak meminta kepada hamba tentang sesuatu yang tidak mampu di lakukannya, seperti memasukkan ke dalam syurga, selamat dari api neraka atau menanggung mati husnul khatimah.

Sebagai bukti bahwa makhlukpun dapat di sifati mughits adalah dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 15 disebutkan berikut:

وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ

“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu ada dua laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya dan matilah musuhnya itu.”

Dalam hadits shahih tentang doa istisqa’ (meminta hujan) yang masyhur diriwayatkan oleh Abu Dawud (no 988), Ibnu Majah (no 1260), al-Hakim (no 1226), al-Baihaqi (no 6230), dan lain-lain disebutkan:


اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا
“Wahai Allah, berilah kami hujan yang dapat menolong.”

Hadits doa meminta hujan tersebut menggunkan kata “mughits” (hujan yg memberikan pertolongan) serta yang mengajarkan adalah Rasulullah.

3. Kata Maladz
Maladz artinya, Rasulullah merupakan ghiyats bagi orang-orang yang meminta perlindungan atau menjadi tempat berlindung saat Allah sedang murka.
Pengertian kata ini juga sama dengan 2 kata di atas, artinya Rasulullah mampu melindungi sekedar kapasitas kemampuan beliau. Termasuk perlindungan Rasulullah di akhirat adalah ketika para makhluk merasa keberatan dan kepanasan di padang makhsyar, yaitu supaya semua makhluk sesegera mungkin dihisab oleh Allah (syafa‘atul ‘uzhma atau maqam mahmud).

Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Bukhari, dalam Shahih-nya:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya matahari pada Hari Kiamat telah dekat sehingga keringat manusia akan mencapai separuh telinga. Pada saat itu mereka meminta tolong (ghauts)kepada Adam, kemudian kepada Musa, dan terakhir kepada Muhammad Saw.”

Itulah jawaban yang harus disampaikan, karena ucapan para penyair yang menulis qashidah mada’ih an-nabawiyyah (puji-pujian Nabi) seperti al-Barzanji, ad-Diba’i dan al-Bushiri dalam al-Burdah adalah sudah benar adanya dan tidak menyelisih dari ajaran Rasulullah.

Selain itu, mereka juga muslim taat yang sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang berbau syubhat dan syirik. Apakah penyair-penyair di atas sedemikian bodoh dan hina di mata mereka?! Demi Allah, mereka adalah orang soleh!

(Oleh: Mbah Jenggot yang telah dipublikasi dalam catatan dan blog)

Simak di: http://www.sarkub.com/…/benarkah-maulid-barzanji-burdah-d…/…

Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook
Maulid al-Burdah, al-Barzanji atau ad-Diba’i yang hampir setiap saat selalu di baca dan dilantunkan oleh sebagian warga di Indonesia kerap kali dinilai oleh orang-orang Wahhabi sebagai qashidah...
sarkub.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar