Kamis, 19 Maret 2015

Ta'awudz dalam sholat atau selainya, Niat sholat dan Qunut


TA'AWUDZ DALAM SHALAT ATAU SELAINNYA
Kesunahan Membaca Ta’awudz, Setelah Doa Istiftah, sebelum membaca Surah Al Fatihah.
Perlu diketahui, bahwa  keterangan ini secara keseluruhan diambil dari Al Adzkar Imam Nawawi (631-676H).

            Perlu diketahui, telah menjadi kesepakatan para Ulama bahwa membaca ta’awudz  setelah membaca doa istiftah hukumnya sunah. yaitu dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan firman Alloh Swt, Q.S An-Nahl, ayat: 98

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaknya kamu memmohon perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S An-Nahl: 98)

Menurut Jumhurul ulama’ Ayat diatas maknanya, jika kami menghendaki membaca Al-Qur’an, maka terlebih dahulu membaca ta’awudz.

            Perlu diketahui, bacaan ta’awudz yang terpilih, adalah A’údzubil lahi minasy syaithanir rajiim, ada juga yang mengatakan A’údzubil lahis samii’il ‘aliim, minasy syaithanir rajiim. Kedua kalimat diatas shahih, akan tetapi yang masyhur berdasarkan pendapat yang mukhtar adalah yang pertama.

            Telah kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan lainnya, sungguh sebelum Nabi Saw membaca Al-Qur’an sebelum dalam shalat, beliau membaca :

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وهَمْزِهِ

A’údzubil lahi minasy syaithanir rajiimو min nafkhiḫi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh dari godaan setan yang terkutuk, dari tiupan dan bisikannya.

Dalam redaksi riwayat lain dengan menggunakan lafadz:

 أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ، مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

A’údzubil lahis samii’il aliim minasy syaithanir rajiim min nafkhihi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh, Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, dari tiupan dan bisikannya.

Dalam penafsiran hadits diatas, hamzihi, adalah penyakit gila, nafkhihi adalah: sifat sombong, dan naftsihi adalah sair-sair yang buruk. Wallaahu a’lam..

            Perlu diketahui, bahwa membaca ta’awudz hukumnya sunah, bukan wajib. Jika meninggalkannya maka tidak berdosa dan tidak batal shalatnya, baik meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa dan tidak melakukan sujud syahwi bagi yang meninggalkannya. Membaca ta’awudz  disunahkan pada semua shalat, baik shalat fardlu atau semua shalat sunah, begitu juga pada shalat janazah. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih. Berdasarkan kesepakatan Ulama disunahkan juga bagi orang yang membaca Al-Qur’an diluar waktu shalat.

            Perlu diketahui, berdasarkan kesepakatan Ulama membaca ta’awudz disunahkan pada rakaat pertama, jika meninggalkannya pada rakaat pertama, maka membaca ta’awudz pada rakaat ke-dua, dan jika tidak membaca ta’awudz pada rakaat ke-dua maka membacanya pada rakaat setelahnya dan seterusnya. Kemudian jika telah membaca ta’awudz pada rakaat pertama, apakah disunahkan juga pada rakaat kedua? Dalam hal ini dalam pandangan Ulama Syafi’iyah ada dua pendapat, sedangkan pendapat yang ashah adalah tetap disunahkan, akan tetapi lebih ditekankan pada raka’at yang pertama.
Jika membaca ta’awudz pada shalat yang dibaca pelan, maka bacaan ta’awudz juga dibaca pelan. Kemudian jika pada shalat yang dibaca keras, apakah ta’awudz dibaca dengan keras juga? Dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat. Sebagian Ulama Syafi’iyah mengatakan bacaan ta’awudz dibaca pelan, sedangkan menurut jumhurul ulama (kebanyakan ulama) pendapat Imam Syafi’i ada dua pendapat dalam kesunahannya, hukumnya sama antara dibaca pelan dan keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau dalam kitab Al-Umm, sedangkan pendapat yang kedua dibaca dibaca keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau dalam kitab Al-Imla’.

Sebagian ulama Syafi’iyah ada yang mengatakan, ta’awudz dibaca keras, pendapat ini dibenarkan oleh As-Syaikh Hamid Al-Asfarayiny, salah satu imam dari kalangan Syafi’iyah yang berasal dari negara Irak dan sahabatnya yang bernama Al-Mahamily, hal ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abu Hurairah Ra. Ibnu Umar dalam membaca ta’awudz, beliau membacanya dengan pelan. Pendapat ini adalah pendapat yang ashah menurut kebanyakan Ulama Syafi’iyah, yaitu pendapat yang mukhtar (terpilih). Wallahu a’lam..

BACAAN DALAM SHALAT FARDLU LIMA WAKTU


Niat-niat dalam shalat fardlu lima waktu

بسم الله الحمن الرحيـــم

اُصَلِّيْ فَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَآءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli Fardlosh shubhi rok'ataini mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.
Aku niat melakukan shalat fardu subuh 2 rakaat, dengan menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَآءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli fardlodz dzuhri arba’a roka’aatim mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.
Aku niat melakukan shalat fardu dzuhur 4 rakaat, dengan menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

اُصَلِّيْ فَرْضَ الْعَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَتَاتٍ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَآءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli fardlol ‘ashri arba’a raka’aatim  mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.
Aku niat melakukan shalat fardu ‘ashar  4 rakaat, dengan  menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

اُصَلِّيْ فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَتَاتٍ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَآءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli fardlol maghribi tsalaatsa roka’aatim mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.
Aku niat melakukan shalat fardu maghrib 3rakaat, dengan menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.


اُصَلِّيْ فَرْضَ الْعِشَآءِ أَرْبَعَ رَكَعَتَاتٍ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَآءً لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli fardol ‘isyaa’i arba’a roka’aatim  mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.
Aku niat melakukan shalat fardu ‘isya’ 4 rakaat, dengan  menghadap qiblat, saat ini, karena Allah ta'ala.

kemudian dianjurkan membaca doa Istitah:
Kemudian, dianjurkan takbir , lalu membaca doa iftitah:

اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا، إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ المُشْرِكِيْن . إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْن، لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ المُسْلِمِيًن.

Allaahu akbar, kabiirau walhamdu  lillaahi katsiiraa, wa subhanallaahi bukrotaw wa ashiilaa, innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal ardha haniifam muslimaw wa maa ana minal musyrikiin, inna shalaati wa nusukia wa mahyaaya wa mamaati lillaahi rabbil ‘aalamiin laa syariika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimiin.

Allah Maha Besar lagi sempurna kebesaran-Nya, segala puji bagi Allah dengan sebanyak-banyak pujian. Dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore. Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang mencipta langit dan bumi dalam keadaan lurus dan pasrah. Dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata hanya untuk Allah Tuhan Semua Alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan begitulah aku diperintahkan dan aku dari golongan orang muslim.

Setelah membaca doa iftitah, dianjurkan membaca ta’awudz sebelum membaca Surah Al Fatihah, baca:
Kemudian, wajib membaca Surah Al Fatihah, kemudian dianjurkan supaya membaca Surah-surah pendek= Silahkan lihat pada mushaf.
Kemudian dianjurkan supaya membaca takbir,  ketika akan ruku’. Setelah sampai pada posisi ruku’, wajib thuma’ninah dan dianjurkan membaca tasbih sebanyak tiga kali;

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

Subhaana rabbiyal 'azhiimi wabihamdih
Maha Suci Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Terpuji.

Bagun dari ruku’ (I’tidal), dianjurkan supaya membaca:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَه رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ مِلْأُ السَّمَوَاتِ وَمِلْأُ الْأَرْضِ وَمِلْأُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ.

Sami'allaahu liman hamidah, rabbanaa walakal hamdu, mil’us samaawaati wamil’ul ardli wamil’u maa syi’ta min sya’in ba’du.
Allah mendengar akan sesiapa yang memuji-Nya. Hai Tuhan kami, kepada Engkaulah segala pujian apa yang memenuhi langit dan bumi, serta memenuhi apa yang Engkau kehendaki setelahnya.

Dianjurkan membaca ta’bir, ketika akan sujud, lalu sampai pada posisi sujud, wajib thuma’ninah, dan dianjurkan supaya membaca tasbih;

رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرِنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ.

Rabbigh fir lii warhamnii waj burnii war fa’nii wahdi nii war zuq nii wah din nii.
Ya Alloh, ampunlah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berikanlah rizqi kepadaku, dan tunjukkanlah hidayah kepadaku.

Kemudian sujud yang ke-dua, sebagaimana keterangan sujud diatas. Lalu dianjurkan duduk istirahat, sebelum kembali berdiri pada rakaat ke-dua, demikian seterusnya kemudian pada raka’at ke-dua, duduk istirahat dianjurkan membaca tasyahud awal, bacaan tasyahud awal, adalah sbb:

اَلتَّحِيَّاتُ لِلّٰهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباتُ، اَلسَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَاالنَّبيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاتُهُ، اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلٰى عِبَادِاللَّهِ الصَّالِحيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

Attahiyyatu lillah, wash shalawatu wath tath-thayyibaat, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu warahmatul laahi wa barakaatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadil laahish shalihiin, asyhadu an laa ilaaha illal laah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.
Penghormatan, keberkahan, kesejahteraan, dan kebaikan bagi Alloh. Semoga keselamatan untukmu wahai Nabi dan juga rahmat Alloh dan keberkahanNya. Semoga keselamatan untuk kita dan hamba-hamba Alloh yang shaleh, aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Alloh, dan aku bersaksi sungguh Nabi Muhammad adalah utusan Alloh.

Kemudian pada tasyhud akhir wajib ditambahkan bacaan shalawat nabi, boleh dengan shalat sebagaimana yang dikehendaki, akan tetapi dianjurkan dengan shalawat ibrahimiyah, pelafalannya sbb:

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى إِبْرَاهِيْمَ وَعلٰى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبارِكْ عَلٰى مُحَمَّدٍ النَّبِيّ الأُمِّيِّ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ وَأزْوَاجِهِ وَذُرّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيْدٌ.

Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin ‘abdika wa rasuulikan nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali muhammadiw wa azwaajihi wa dzurriyatih, kamaa shallayta ‘alaa ibraahiima wa ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali wa ‘alaa aali muhammadiw wa azwaajihi wa dzurriyyaatih, kamaa baarakta ‘alaa ibraahiima wa ‘alaa aali ibraahiima fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid.
Ya Alloh, semoga kesejahteraan untuk Nabi Muhammad, yaitu hambaMu dan utusanMu, Nabi yang (ummi) tidak bisa baca-tulis, dan untuk keluarga Nabi Muhammad, istri-istrinya dan para dzuriyahnya. Sebagimana kesejahteraan yang telah Engkau limpahkan untuk Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Semoga keberkahan untuk Nabi Muhammad, Nabi yang (ummi) tidak bias baca-tulis, dan untuk keluarga Nabi Muhammad, istri-istrinya, dan para dzuruyahnya, sebagaimana keberkahan yang Engkau limpahkan untuk Nabi Ibrahim, dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia seru sekalian alam.

Kemudian keluar dari shalat dengan salam dan memalingkan wajah ke-arah kanan, sedangkan salam yang ke-dua, hukumnya sunah dan dengan memalingkan wajah ke-arah kiri, adapun bacaan salam adalah sbb:

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ.

Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaah.
Semoga keselamatan untuk kalian, dan juga rahmat Alloh Swt.

TA'AWUDZ DALAM SHALAT ATAU SELAINNYA
Kesunahan Membaca Ta’awudz, Setelah Doa Istiftah, sebelum membaca Surah Al Fatihah.
Perlu diketahui, bahwa  keterangan ini secara keseluruhan diambil dari Al Adzkar Imam Nawawi (631-676H).

            Perlu diketahui, telah menjadi kesepakatan para Ulama bahwa membaca ta’awudz  setelah membaca doa istiftah hukumnya sunah. yaitu dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan firman Alloh Swt, Q.S An-Nahl, ayat: 98

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ


Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaknya kamu memmohon perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S An-Nahl: 98)

Menurut Jumhurul ulama’ Ayat diatas maknanya, jika kami menghendaki membaca Al-Qur’an, maka terlebih dahulu membaca ta’awudz.

            Perlu diketahui, bacaan ta’awudz yang terpilih, adalah A’údzubil lahi minasy syaithanir rajiim, ada juga yang mengatakan A’údzubil lahis samii’il ‘aliim, minasy syaithanir rajiim. Kedua kalimat diatas shahih, akan tetapi yang masyhur berdasarkan pendapat yang mukhtar adalah yang pertama.

            Telah kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan lainnya, sungguh sebelum Nabi Saw membaca Al-Qur’an sebelum dalam shalat, beliau membaca :

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وهَمْزِهِ


A’údzubil lahi minasy syaithanir rajiimو min nafkhiḫi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh dari godaan setan yang terkutuk, dari tiupan dan bisikannya.

Dalam redaksi riwayat lain dengan menggunakan lafadz:

 أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ، مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ


A’údzubil lahis samii’il aliim minasy syaithanir rajiim min nafkhihi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh, Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, dari tiupan dan bisikannya.

Dalam penafsiran hadits diatas, hamzihi, adalah penyakit gila, nafkhihi adalah: sifat sombong, dan naftsihi adalah sair-sair yang buruk. Wallaahu a’lam..

            Perlu diketahui, bahwa membaca ta’awudz hukumnya sunah, bukan wajib. Jika meninggalkannya maka tidak berdosa dan tidak batal shalatnya, baik meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa dan tidak melakukan sujud syahwi bagi yang meninggalkannya. Membaca ta’awudz  disunahkan pada semua shalat, baik shalat fardlu atau semua shalat sunah, begitu juga pada shalat janazah. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih. Berdasarkan kesepakatan Ulama disunahkan juga bagi orang yang membaca Al-Qur’an diluar waktu shalat.

            Perlu diketahui, berdasarkan kesepakatan Ulama membaca ta’awudz disunahkan pada rakaat pertama, jika meninggalkannya pada rakaat pertama, maka membaca ta’awudz pada rakaat ke-dua, dan jika tidak membaca ta’awudz pada rakaat ke-dua maka membacanya pada rakaat setelahnya dan seterusnya. Kemudian jika telah membaca ta’awudz pada rakaat pertama, apakah disunahkan juga pada rakaat kedua? Dalam hal ini dalam pandangan Ulama Syafi’iyah ada dua pendapat, sedangkan pendapat yang ashah adalah tetap disunahkan, akan tetapi lebih ditekankan pada raka’at yang pertama.
Jika membaca ta’awudz pada shalat yang dibaca pelan, maka bacaan ta’awudz juga dibaca pelan. Kemudian jika pada shalat yang dibaca keras, apakah ta’awudz dibaca dengan keras juga? Dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat. Sebagian Ulama Syafi’iyah mengatakan bacaan ta’awudz dibaca pelan, sedangkan menurut jumhurul ulama (kebanyakan ulama) pendapat Imam Syafi’i ada dua pendapat dalam kesunahannya, hukumnya sama antara dibaca pelan dan keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau dalam kitab Al-Umm, sedangkan pendapat yang kedua dibaca dibaca keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau dalam kitab Al-Imla’.

Sebagian ulama Syafi’iyah ada yang mengatakan, ta’awudz dibaca keras, pendapat ini dibenarkan oleh As-Syaikh Hamid Al-Asfarayiny, salah satu imam dari kalangan Syafi’iyah yang berasal dari negara Irak dan sahabatnya yang bernama Al-Mahamily, hal ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abu Hurairah Ra. Ibnu Umar dalam membaca ta’awudz, beliau membacanya dengan pelan. Pendapat ini adalah pendapat yang ashah menurut kebanyakan Ulama Syafi’iyah, yaitu pendapat yang mukhtar (terpilih). Wallahu a’lam..

DOA QUNUT DALAM SHALAT SUBUH & SELAINNYA


Baca Juga: Bacaan Dalam Shalat Lima Waktu
Perlu diketahui, keterangan ini secara keseluruhan dinukil dari kitab Al Adzkar Imam Nawawi (631-676H)

Perlu diperhatikan, sesungguhnya qunut dalam shalat subuh hukumnya sunah. Hal ini berdasarkan hadits rasul yang shahih, dari riwayat Ibnu Abbas ra:

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَمْ يَقْنُتْ فِي الصُّبْحِ حَتّٰى فَارَقَ الدُّنْيَا.

Sesungguhnya Rosulullah Saw tidak melakukan qunut dalam shalat subuh, kecuali beliau terpisah dengan dunia.

Hadits ini diriwayatkan Imam Hakim Abu Abdullah dalam kitab Al Arba’in, dan beliau mengomentari, ini adalah hadits yang shahih.
            Perlu diketahui bagi kami (Syafi’iyah), qunut disyari’atkan dalam shalat subuh , dan hukumnya adalah sunah muakat (kesunahan yang disepakati), jika ditinggalkan tidak batal shalatnya, akan tetapi sunah melakukan sujud syahwi. Hal ini hukumnya sama, baik ditinggalkan dengan disengaja atau karena lupa.
Sedangkan dalam shalat fardlu selain shalat subuh, apakah disunahkan qunut atau tidak?, dalam permasalah ini nas penetapan Imam Syafi’i terdapat tiga qoul (pendapat), sedangkan qoul (pendapat) yang  ashah (paling benar) dan masyhur (populer) adalah “jika orang-orang muslim tertimpa musibah, maka melakukan qunut nazilah dalam shalat fardlu selain shalat subuh, jika tidak ada musibah maka tidak melakukan qunut”. Qoul (pendapat) yang kedua  “mutlak melakukan qunut, dan qoul (pendapat) yang ke-tiga “mutlak tidak melakukan qunut pada shalat fardlu selain shalat subuh”. Wallaahu a’lam..

Pendapat kami, juga dianjurkan melakukan qunut pada pertengahan akhir dari bulan ramadhan dalam rakaat akhir shalat witir. Para ulama syafi’iyah juga ada yang berpendapat melakukan qunut pada semua shalat witir pada bulan ramadhan. Sedangkan pendapat yang ketiga, melakukan qunut pada shalat witir dalam setahun (semua shalat witir), yaitu pendapat Abu Hanifah rahimahullah. Dari perbedaan pendapat ini, pendapat yang ma’ruf (banyak diketahui) dalam madhab kami (syafi’iyah) adalah pendapat yang pertama. Wallaahu a’lam..

            Perlu diperhatikan, menurut pendapat kami waktu melakukan qunut dalam shalat subuh adalah setelah mengangkat kepala dari ruku’ pada rakaat yang kedua. Pendapat Imam Malik rahimahullah, qunut pada shalat subuh dilakasanakan sebelum ruku’. Dalam hal ini para Ulama Syafi’iyah berkata “Jika seseorang yang bermadzhab syafi’iyah melakukan qunut sebelum ruku’, maka tidak terhitung qunut-nya”, hal ini berdasarkan pendapat yang ashah (paling benar), ada juga pendapat yang mengatakan “tetap terhitung qunut-nya”. Jika mengikuti pendapat yang ashah (paling benar), maka setelah melakukan ruku’ mengulangi qunut-nya, dan disunahkan melakukan sujud syahwi, ada juga yang berpendapat tidak melakukan sujud syahwi.

Adapun lafadz qunut, berdasarkan riwayat hadits shahih dengan sanad yang shahih  yang kami riwayatkan dalam kitab Sunan Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Al Baihaqi dan kitab-kitab yang lain, dari riwayat Al Hasan bin Ali Ra dia berkata bahwa RosulullahSaw mengajariku beberapa kalimat yang aku baca pada shalat witir, yaitu:

اَللّٰهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَا يُقْضٰى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.

Allaahummah dinii fii man hadaits, wa ‘aafinii fii man ‘aafaits, wa tawallanii fii man tawallaits, wa baarik lii fii maa a’thaits, wa qi nii syarra maa qadlaits, fa innaka taqdli wa laa yuqdlaa ‘alaik, wa innahuu laa yadzillu maw waalaits, tabaarakta rabbanaa wa ta’aalits.
Ya Alloh, berilah aku petunjuk diantara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, berilah kesejahteraan kepadaku diantara orang-orang yang Engkau beri kesejahteraan, tolonglah aku diantara orang-orang yang kau beri pertolongan, berikanlah keberkahan kepadaku pada apa-apa yang Engkau berikan kepadaku, dan peliharalah aku dari keburukan yang Engkau putuskan, karena sesungguhnya Engkau Memutuskan dan tidak diputuskan atasMu,  dan tiada kehinaan kepada orang yang telah Engkau tolong, Maha Suci Engkau wahai tuhan kami, lagi Maha Tinggi.

Imam At Tirmidzi mengatakan, ini adalah hadits yang shahih dan kami tidak mengetahui hadits nabi tentang qunut yang lebih baik dari hadits ini. Dalam riwayat lain, yang diceritakan oleh Al Baihaqi Ra, Muhammad bin Al Hanifah putra Ali Ra berkata bahwa Sesungguhnya doa ini, yang bacakan oleh bapakku ketika qunut dalam shalat subuh.

Kemudian disunahkan setelah membaca doa qunut ini, dengan menambahkan membaca:

اَللّٰهُمَّ صَلِ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى ٱلِ مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ.

Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad wa sallim.
Ya Alloh, semoga kesejahteraan atas nabi Muhammad  dan keluarga nabi Muhammad dan juga keselamatan.

Redaksi riwayat Al Baihaqi dengan sanad yang hasan dengan lafadz:

وَصَلَّى اللهُ عَلَى النَّبِيِّ

Wa shallal laahu ‘alan nabiyy.
Semoga kesejahteraan atas nabi Muhammad.

Para ulama syafi’iyah mengatakan, jika menggunakan doa qunut dari riwayat Umar Radliallahu ‘anh, maka sangatlah baik. Dia mengerjakan doa qunut dalam shalat Subuh setelah ruku’ dengan melafalkan:

اَللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَوَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اَللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُد،وَإِلَيْكَ نَسْعٰى وَنحْفِدُ، نَرْجُوْا رَحْمَتَكَ وَنَخْشٰى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحَقٌ، اَللَّهُمَّ عَذِّبِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْ نَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ، ويُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ، اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِناتِ وَالْمُسْلِمِيَن وَالْمُسْلِماتِ، وَأَصْلِح ذَاتَ بَيْنَهِمْ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِيْ قُلُوبِهِمُ الْإِيْمَانَ وَالحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ عَلٰى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَوْزِعْهُمْ أَنْ يُوْفُوْا بِعَهْدِكَ الَّذِيْ عَاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ عَلٰى عَدُّوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ إِلٰهَ الْحَقِّ وَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ.

Allaahumma innaa nasta’iinuka wa nastaghfiruka wa laa nakfuruk, wa nu’minu bika wa na’lakhla’au man yafjuruk, allaahumma iyyaaka na’budu wa laka nushallii wa nasjud, wa ilaika nas’aa wa nahfud, narjuu rahmataka wa nakhsyaa ‘adzaabak, inna ‘adzaabakal jidda bil kuffari mulhaq, allaahumma ‘adz-dzibil kafaratal ladziina ‘an sabiilik, wa yukadz-dzibuuna rusulak, wa yuqattiluuna awliyaa-ak, allaahummagh fir lil mu’miniina wal mu’minaati wal muslimiina wal muslimaat, wa ashlih dzaata bainihim, wa allif baina quluubihim, waj ‘al fii quluubihimul iimaana wal hikmah, wa tsabbitshum ‘alaa millati rasuulil laahi shallal laahu ‘alaihi wa sallam, wa awzi’hum ay yuufuu bi ‘ahdikal ladzii ‘aahadtahum ‘alaihih, wan shurhum ‘alaa ‘aduwwika wa ‘aduwwihim ilaahal haqqi waj ‘alnaa min hum.
“Ya Alloh, kami memohon perlindunganMu, kami memohon ampunanMu, dan kami tidak ingkar kepadamu. Kami beriman kepadaMu dan berlepasdiri dari orang-orang yang  kafir kepadaMu. Ya Alloh, hanya kepadamu kami beribadah, dan hanya kepadaMu kami shalat dan sujud, hanya kepadaMu kami berusaha dan bergegas, kami mengharap rahmatMu dan takut akan siksaMu, sesungguhnya siksaMu diperuntukkan kepada orang-orang kafir. Ya Alloh, siksalah orang-orang kafir  yang menghalangi jalanMu, dan mendustakan utusan-utusanMu, dan memerangi kekasih-kekasihMu. Ya Alloh, ampunilah kaum mukmin laki-laki dan perempuan, kaum muslimin laki-laki dan perempuan, dan perbaikilah hubungan mereka, lembutkanlah hati mereka, dan jadikanlah dalam hatinya keimanan dan hikmah, teguhkanlah mereka dalam meniti agama rasulullah saw, bantulah mereka dalam memenuhi janji-janjiMu yang Engkau janjikan, tolonglah mereka atas musuh-musuhMu dan musuh-musuh mereka. Wahai Tuhan Yang Haq, jadikanlah kami termasuk golongan mereka”.

            Perlu diketahui, bahwa doa qunut dari riwayat Umar Radliallahu ‘anh diatas, dengan menggunakan lafadz “‘Adz-dzaba kafarat ahlal kitaab” semoga Alloh memberikan adzabNya kepada orang-orang kafir ahli kitab, karena memerangi ahli kitab dilakukan  pada zamannya, sedangkan untuk sekarang, maka lebih sesuai memilih dengan kalimat “Adz-dzabal kafarata” semoga Engkau memberikan adzab kepada orang-orang kafir, karena yang demikian itu lebih umum. Makna penafsiran lafadz “Nakhlu”: kami meninggalkan, lafadz “Yafjuru”: menafikan sifat-sifatMu (Alloh), lafadz“Nakhfidu”: dengan harakat kasrah pada huruf mim, artinya segera, lafadz “Al Jidda” : dengan harakat kasrah pada huruf jim, artinya ; sebenar-benarnya. Lafadz “Mulhiqun”: dengan dibaca kasrah pada huruf ha, ada pendapat yang mengatakan dengan harakat fatah, ini sebagaimana pendapat Ibnu Qutaibah, lafadz “Dzata bainihim” maksudnya perkara-perkara mereka, atau perkara yang sampai pada mereka, lafadz “Al hikmata” setiap perkara yang mencegah dari keburukan, lafadz “Awzi’hum” anugrahkanlah mereka ilhamMu, lafadz “Waj ‘alna min hum”semoga Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang memiliki sifat demikian.

Para ulama Syafi’iyah berpendapat: disunahkan menggunakan shighat (bentuk kalimat) jama’ ketika mengamalkan doa qunut Umar Ra, dan doa-doa qunut lain yang sudah saya sebutkan. Jika menghendaki menggunakan semua doa qunut yang sudah saya sebutkan,  pedapat yang benar adalah meng-akhirkan doa qunut Umar ra, dan jika menghendaki doa yang sedikit maka membaca doa qunut yang awal selain doa qunut Umar Ra. Dalam membaca doa qunut ini disunahkan membaca semua doa qunut baik doa qunut umar dan doa qunut yang awal, baik seseorang yang shalat dengan sendirian atau imam yang memungkian makmum lebih suka membaca bacaan-bacaan yang panjang, Wallaahu a’lam..

Perlu diperhatikan,  sesungguhnya berdasarkan pendapat yang mukhtar (terpilih) doa qunut tidak ditentukan  secara eksplisit dengan doa tertentu, doa apapun yang dibaca ketika qunut maka menjadi doa qunut,  bahkan andaisaja seseorang melakukan doa qunut dengan ayat qur’an maka bacaan qunut sudah mencukupi. Akan tetapi lebih utama dengan menggunakan doa yang ditetapkan dalam hadits rasul, ada beberapa Ulama dari kalangan Syafi’iyah yang menentukan doa qunut secara eksplisit dan tidak membolehkan dengan bacaan doa yang lain.

Ketahuilah, jika mushalli (orang yang shalat), sebagai imam ketika membaca “Allahummah dina” dan seterusnya disunahkan dengan menggunakan shighat (bentuk kalimat) jama’. Jika imam tersebut menggunakan lafadz “Ihdinii” tetap sah qunutnya akan tetapi  hukumnya makruh, alasannya karena bagi imam dimakruhkan mengkhususkan dirinya sendiri dalam berdoa.
Telah kami riwayatkan dalam kitab Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dari Tsauban Radliallahu ‘anh dia berkata, bahwa Rosulullah S.a.w bersabda:

لَا يَؤُمُّ عَبْدٌ قَوْمًا فَيَخُصَّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُوْنَهُمْ، فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ.

Seorang hamba yang tidak mennjadi imam kaum, yang meng-khususkan dirinya sendiri dalam doanya. Jika dia melakukannya sunggguh dia telah menghianati mereka”.
At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan kedudukannya.

            Para Ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam permasalahan mengangkat tangan dan mengusapkan wajah dengan kedua tangan dalam doa qunut, dalam hal ini pendapat mereka menjadi tiga pendapat, pendapat yang shahih (benar) adalah, mengangkat kedua tangan dan tidak mengusapkan kedua tangan pada wajah. Pendapat yang kedua adalah mengangkat kedua tangan dan juga mengusap wajah, dan pendapat yang ketiga adalah tidak mengangkat tangan dan juga tidak mengusap wajah, dan mereka sepakat tidak mengusapkan tangan pada selain wajah, seperti mengusapkan kedua tangan pada dada dan lain sebagainya, mereka berkata: mengusapakan kedua tangan pada selain wajah adalah makruh.

            Dalam permasalahan dibaca keras atau lirih, para Ulama Syafi’iyah berpendapat: Jika mushalli (orang yang shalat) dengan shalat munfarid (sendirian) maka doa qunut dibaca dengan lirih, sedangkan bagi imam dibaca dengan keras. adapun bagi makmum, jika imam tidak membaca doa qunut dengan keras, maka membaca doa qunut dengan lirih, sebagaimana bacaan doa lainnya, karena dia bersamaan dengan imam dalam bacaan lirih-nya. Dan jika imam membaca doa qunut dengan keras dan makmum mendengarkan bacaan imam, maka bagi makmum cukup meng-amin-kan doa imam, kemudian setelah itu dianjurkan memuji keharibaan Alloh S.w.t pada penutupannya. Sedangkan jika makmum tidak mendengar bacaan doa qunut imam, maka makmum membaca doa qunut dengan lirih, ada juga yang mengatakan cukup meng-amin-kan doa imam, dan ada lagi pendapat yang mengatakan, tetap berusaha mendengarkan bacaan doa imam. Sedangkan pendapat yang mukhtar (terpilih) adalah pendapat yang pertama.

Doa qunut yang dibaca pada shalat fardlu selain shalat subuh, dibaca keras pada shalat Maghrib dan Isya’, sebagaimana doa qunut dalam shalat subuh yang sudah jelaskan sebelumnya.
Hadits shahih yang menerangkan qunut Rasululllah Saw, dalam mendoakan mereka yang memerangi ahli qur’an dilembah Mu’awwanah menunjukkan kejelasan membaca keras pada semua qunut Rasulullah S.a.w. Dalam kitab Shahih Bukhari ketika membahas tafsir Surah Ali Imran ayat: 127 disana disebutkan sebuah riwayat hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu ‘anh, sesungguhnya Nabi Muhammad saw membaca qunut Nazilah dengan bacaan yang keras.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar