Selasa, 10 Februari 2015

Allah SWT ada tanpa tempat dan tak berarah

بسم الله الرحمن الر حيم

‎ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TAK BERARAH

بسم الله الرحمن الر حيم

Pendapat Ulama' Salaf : " Allah Wujud Tanpa Bertempat "

Imam Ahlussunnah; Imam Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H), dalam Kitab at-Tauhid; Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah 
Beliau dalam karyanya, Kitab at-Tauhid menuliskan:

"إن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأمكنة وبقاؤه على ما كان، فهو على ما كان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغير والزوال والاستحالة"

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Tampat adalah makhluk memiliki permulaan dan bisa diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat Dia sebagaimana sifat-Nya yang Azali; ada tanpa tempat. Dia maha suci (artinya mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau berpindah dari satu keadaan kepada keadaan lain” (Kitab at-Tauhid, hal. 69)

Al-Imam Muhammad ibn Muhammad yg dikenal dengan nama Abu Manshur al-Maturidi adalah salah seorang salaf terkemuka di kalangan Ahlussunnah, bahkan merupakan pimpinan bagi kaum ini. Dikenal sebagai seorang yg teguh membela akidah Rasulullah, beliau adalah salah seorang ulama Salaf yg telah memberikan kontribusi besar dalam membukukan akidah Ahlussunnah. Dalam metode penjelasan akidah tersebut beliau atukan antara dalil2 naqliy (al-Qur’an dan hadits) dengan argumen2 rasional. Ditambah dengan bantahan2 terhadap berbagai kesesatan dari kelompok2 di luar Ahlussunnah, seperti Mu’tazilah, Musyabbihah, Khwarij dan lainnya. Kegigihan beliau dalam membela akidah Ahlussunnah dan menghidupkan syari’at menjadikan beliau sebagai kampium hingga digelari dengan Imam Ahlussunnah.

Masih dalam kitab karyanya di atas, al-Imam Abu Manshur al-Maturidi juga menuliskan sebagai berikut:

"فإن قيل: كيف يرى؟ قيل: بلا كيف، إذ الكيفية تكون لذي صورة، بل يرى بلا وصف قيام وقعود واتكاء وتعلق، واتصال وانفصال، ومقابلة ومدابرة، وقصير وطويل، ونور وظلمة، وساكن ومتحرك، ومماس ومباين، وخارج وداخل، ولا معنى يـأخذه الوهم أو يقدره العقل لتعاليه عن ذلك "

“Jika ada yang berkata: Bagaimanakah Allah nanti dilihat? Jawab: Dia dilihat dengan tanpa sifat2 benda (Kayfiyyah). Karena Kayfiyyah itu hanya terjadi pada sesuatu yg memiliki bentuk. Allah dilihat bukan dalam sifat berdiri, duduk, bersandar atau bergantung. Tanpa adanya sifat menempel, terpisah, berhadap2an, atau membelakangi. Tanpa pada sifat pendek, panjang, sinar, gelap, diam, gerak, dekat, jauh, di luar atau di dalam. Hal ini tidak boleh dikhayalkan dengan prakiraan-prakiraan atau dipikirkan oleh akal, karena Allah maha suci dari itu semua” (Kitab at-Tauhid, hal. 85)

Tulisan al-Imam al-Maturidi ini sangat jelas dalam mensucikan Allah dari arah dan tempat. Perkataan beliau ini sekaligus dapat kita jadikan bantahan terhadap kaum Mujassimah, termasuk kaum Wahhabiyyah sekarang yg mengatakan bahwa para ulama Salaf telah menetapkan adanya arah bagi Allah. Kita katakan: al-Maturidi adalah salah seorang ulama Salaf, ia dengan sangat jelas telah menafikan apa yg kalian yakini.

Masih dalam Kitab at-Tauhid, al-Imam al-Maturidi menuliskan sebagai berikut:

"وأما رفع الأيدي إلى السماء فعلى العبادة، ولله أن يتعبد عباده بما شاء، ويوجههم إلى حيث شاء، وإن ظن من يظن أن رفع الأبصار إلى السماء لأن الله من ذلك الوجه إنما هو كظن من يزعم أنه إلى جهة أسفل الأرض بما يضع عليها وجهه متوجها في الصلاة ونحوها، وكظن من يزعم أنه في شرق الأرض وغربها بما يتوجه إلى ذلك في الصلاة، أو نحو مكة لخروجه إلى الحج، جل الله عن ذلك"

“Adapun mengangkat tangan ke arah langit dalam berdo’a maka hal itu sebagai salah satu bentuk ibadah kepada-Nya (bukan berarti Allah di dalam langit). Allah berhak memilih cara apapun untuk dijadikan praktek ibadah para hamba kepada-Nya, juga Allah berhak menyuruh mereka untuk menghadap ke arah manapun sebagai praktek ibadah mereka kepada-Nya. Jika seseorang menyangka atau berkeyakinan bahwa mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit karena Allah berada di arah sana, maka ia sama saja dengan orang yg berkeyakinan bahwa Allah berada di arah bawah karena di dalam di dalam shalat wajah seseorang dihadapkan ke arah bumi untuk menyembah Allah, atau sama saja dengan orang yg berkeyakinan bahwa Allah ada di arah barat atau di arah timur sesuai arah kiblatnya masing2 dalam shalat saat beribadah Allah, atau juga sama saja orang tersebut dengan yg berkeyakinan bahwa Allah berada di arah Mekah, karena orang2 dari berbagai penjuru yg handak melaksanakan haji untuk beribadah kepada-Nya menuju arah Mekah tersebut. Allah maha suci dari pada keyakinan semacam ini semua” (Kitab at-Tauhid, hal. 75-76).

Lisanul Arab; Kamus Besar Bahasa Arab, Karya al Allamah al Lughawiy; Ibnu Manzhur (w 711 H); Menuliskan; ALLAH ADA TANPA TEMPAT

Salah seorang ulama bahasa terkemuka al-‘Allamah Muhammad ibn Mukarram al-Ifriqi al-Mishri (w 711 H) yg lebih dikenal dengan sebutan Ibn Manzhur dalam karya fenomenalnya berjudul Lisan al-‘Arab menuliskan sebagai berikut:

"وفي الحديث: "من تقرب إليّ شبرا تقربت إليه ذراعًا" المراد بقرب العبد من الله عز وجل: القرب بالذكر والعمل الصالح لا قرب الذات والمكان لأن ذلك من صفات الأجسام، والله يتعالى عن ذلك ويتقدس"

“Dalam sebuah hadits disebutkan “Man Taqarraba Ilayya Syibran Taqarrabtu Ilayhi Dzira’an...”, makna yang dimaksud oleh hadits ini ialah bahwa “dekat”-nya seorang hamba kepada Allah adalah dalam pengertian banyak mengingat-Nya dan banyak melaksanakan amal saleh. “Dekat” di sini bukan dalam pengertian tempat atau jarak yang dekat dengan-Nya, karena sifat seperti demikian itu adalah khusus bagi benda, sementara Allah maha suci dari pada itu semua”
( Lisan al-‘Arab, juz. 1, hal. 663-664 )

Al-Imam Ja’far as-Shadiq (w 148 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Aqidah Keluarga Rasulullah) 

Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 148 H) berkata:

"مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ، أوْ مِنْ شَىءٍ، أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ. إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً، وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا، وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ محدَثًا (أي مَخْلُوْقًا)"

“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu (makhluk)”
( al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal. 6 )
Al Imam Ja’far ash Shadiq adalah imam terkemuka dalam fiqih, ilmu, dan keutamaan. Lihat ats Tsiqat, Ibn Hibban, juz. 6, hal. 131

al-Imam Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad yang dikenal dengan nama ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT 

al-Imam Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad yg dikenal dengan nama ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H), salah seorang ulama pakar bahasa yg sangat mashur dengan karyanya berjudul al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

"... وقرب الله تعالى من العبد هو بالإفضال عليه والفيض لا بالمكان"
“Makna al-Qurb (yang secara harfiyah berarti dekat) pada hak Allah terhadap hamba-Nya adalah dalam pengertian bahwa Dia Maha Pemberi karunia dan berbagai nikmat, bukan dalam dekat dalam pengertian jarak atau tempat”
( al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an., hal. 399 )

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT 

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H), salah seorang guru terkemuka al-Imam al-Ghazali, dalam kitab karyanya berjudul al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah menuliskan sebagai berikut:

"البارىء سبحانه وتعالى قائم بنفسه، متعال عن الافتقار إلى محل يحله أو مكان يقله"
“Ketahuilah bahwa di antara sifat Allah adalah Qiyâmuh Bi Nafsih; artinya Allah tidak membutuhkan kepada suatu apapun dari makhluk-Nya. Karenanya Dia Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat untuk Ia tempatinya”. ( al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah, hal. 53 )

Pada halaman lain dalam kitab yang sama Imam al-Haramain menuliskan:

"مذهب أهل الحق قاطبة أن الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيز والتخصص بالجهات"
“Madzhab seluruh Ahl al-Haq telah menetapkan bahwa Allah maha suci dari tempat dan maha suci dari berada pada arah”. ( Ibid, hal. 58 )

Dalam karya lain berjudul as-Syamil Fi Ushul ad-Din, beliau menuliskan sebagai berikut:

"واعلموا أن مذهب أهل الحق: أن الرب سبحانه وتعالى يتقدس عن شغل حيز، وبتنزه عن الاختصاص بجهة وذهبت المشبهة إلى أنه مختص بجهة فوق، ثم افترقت ءاراؤهم بعد الاتفاق منهم على إثبات الجهة، فصار غلاة المشبهة إلى أن الرب تعالى مماس للصفحة العليا من العرش وهو مماشه، وجوزوا عليه التحول والانتقال وتبدل الجهات والحركات والسكنات، وقد حكينا جملا من فضائح مذهبهم فيما تقدم"
“Ketahuilah bahwa madzhab Ahl al-Haq menetapkan bahwa Allah suci dari berada pada tempat dan suci dari berada pada arah. Sementara kaum Musyabbihah berpendapat bahwa Allah berada di arah atas. Kaum Musyabbihah tersebut sepakat bahwa Allah berada di arah atas, namun demikain mereka kemudian saliang berselisih pendapat. Di antara mereka yang sangat ekstrim berpendapat bahwa Allah menempel pada arsy dari arah atasnya. Mereka juga membolehkan atas Allah adanya perubahan-perubahan, berpindah-pindah arah, bergerak dan diam. Beberapa di antara kerusakan keyakinan mereka telah kita bongkar pada penjelasan yang telah lalu” ( as-Syamil Fi Ushul ad-Din hal. 551 )

al-Imam Abu Ishaq asy-Syirazi asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 476 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT 

Ahli fiqih terkemuka; al-Imam Abu Ishaq asy-Syirazi asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 476 H) dalam akidah yg beliau tuliskan berkata:

"وإن استواءه ليس باستقرار ولا ملاصقة لأن الاستقرار والملاصقة صفة الأجسام المخلوقة، والرب عز وجل قديم أزلي، فدل على أنه كان ولا مكان ثم خلق المكان وهو على ما عليه كان"
“Dan sesungguhnya istiwa’ Allah bukan dalam pengertian bertempat (bersemayam) menempel, karena bertempat dan menempel adalah sifat segala benda yg merupakan makhluk, sementara Allah maha Qadim dan Azaliy (tidak bermula), dengan demikian itu menunjukan bahwa Allah ada pada azal tanpa tempat, dan setelah Dia menciptakan tempat maka Dia sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat (karena Allah tidak berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain)”. 
( ‘Aqidah asy-Syirazi dalam Muqaddimah Kitab Syarh al-Luma’, juz. 1, hal. 101 )

Ibn Hazm al-Andalusi (w 456 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT 

Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad yang dikenal dengan nama Ibn Hazm al-Andalusi (w 456 H), dalam karyanya berjudul Kitab ‘Ilm al-Kalam, dalam pembahasan penafian tempat dari Allah menuliskan sebagai berikut:

"وأنه تعالى لا في مكان ولا في زمان، بل هو تعالى خالق الأزمنة والأمكنة، قال تعالى: (وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيراً)(سورة الفرقان/2)، وقال (قَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا)(سورة الفرقان/59)، والزمان والمكان هما مخلوقان، قد كان تعالى دونهما، والمكان إنما هو للأجسام
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat dan tanpa waktu. Dialah yang menciptakan segala tempat dan waktu. Allah berfirman: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan menentukannya akan ketentuan”. (QS al-Furqan: 2). Dan berfirman: “Dia Pencipta semua langit dan bumi dan segala apa yang di antara keduanya”. (QS. al-Furqan: 59). Tempat dan arah adalah makhluk Allah. Dia ada sebelum menciptakan keduanya. Tempat itu hanya berlaku bagi segala benda”.
( Kitab ‘Ilm al-Kalam, hal. 65 )

Ahli hadits terkemuka di daratan Maroko, al-Muhaddits al-Ghumari (w 1413 H), dalam Qashash al-Anbiya'; ALLAH ADA TANPAT 

Ahli hadits terkemuka di daratan Maroko, asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits Abdullah ibn Muhammad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1413 H) dalam karyanya berjudul Qashash al-Anbiya’ menuliskan sebagai berikut:

"كان الله ولم يكن شىء غيره، فلم يكن زمان ولا مكان ولا قطر ولا أوان، ولا عرش ولا ملك، ولا كوكب ولا فلك، ثم اوجد العالم من غير احتياج إليه، ولو شاء ما أوجده. فهذا العالم كله بما فيه من جواهر وأعراض حادث عن عدم، ليس فيه شائبة من قِدم، حسبما اقتضته قضايا العقول، وأيدته دلائل النقول، وأجمع عليه المِلِّيُّوْن قاطبة إلا شُذاذا من الفلاسفة قالوا بقدم العالم، وهم كفار بلا نزاع"

“Allah ada tanpa permulaan dan tidak ada suatu apapun selain-Nya, tidak ada waktu, tidak ada tempat, tidak ada arah, tidak ada zaman, tidak ada arsy, tidak ada Malaikat, tidak ada bintang-bintang, dan tidak ada cakrawala. Kemudian Allah menciptakan alam ini tanpa sedikitpun Dia membutuhkan kepadanya. Jika Allah berkehendak untuk tidak menciptakannya maka alam ini tidak akan pernah ada. Dengan demikian alam ini dengan segala sesuatu yang ada padanya dari segala benda dan sifat benda adalah makhluk Allah, semua itu baharu; ada dari tidak ada. Tidak ada sedikitpun dari bagian alam tersebut memiliki sifat Qidam (tidak bermula) sebagaimana perkara ini telah ditetapkan oleh oleh argumen2 akal sehat dan dalil2 syara’ yang kuat. Kecuali kelompok kecil saja yaitu kaum filsafat yang mengatakan bahwa alam ini qadim; tidak memiliki permulaan. Dan mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang kafir sebagimana telah disepakati di kalangan ulama haq tanpa ada perbedaan pendapat sedikitpun di antara mereka” (Qashash al-Anbiya’, hal. 11).

Ahli hadits terkemuka daratan Maroko, asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits Abdullah ibn Muhammad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1413 H), dalam kitab karyanya berjudul ‘Aqidah Ahl al-Islam Fi Nuzul ‘Isa, asy-Syaikh, menuliskan:

"قال النيسابوري في تفسيره: "أما قوله : وَرَافِعُكَ إِلَيَّ " فالمشبهة تمسكوا بمثله في إثبات المكان لله وأنه في السماء، لكن الدلائل القاطعة دلّت على أنه متعال عن الحيز والجهة، فوجب حمل هذا الظاهر على التأويل بأن المراد إلي محل كرامتي"

“an-Naisaburi dalam menafsirkan firman Allah: “Wa Rafi’uka Ilayya” (QS. Ali ‘Imran: 55) mengatakan bahwa kaum Musyabbihah telah berpegang tegung kepada zahir ayat-ayat semacam ini untuk menetapkan adanya tempat bagi Allah, yaitu menurut mereka adalah arah atas. Namun demikian dalil-dalil yang sangat kuat dan pasti telah menunjukan bahwa Allah maha suci dari tampat dan arah. Dengan demikian maka wajib memahami ayat semacam ini tidak dalam makna zhahirnya, tapi dengan metode takwil. Dan makna ayat tersebut di atas ialah bahwa Allah telah mengangkat Nabi Isa ke langit, ke tampat yang dimuliakan oleh Allah” (‘Aqidah Ahl al-Islam Fi Nuzul ‘Isa, hal. 29).

al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam Al-Asma’ Wa ash-Shifat; Allah Ada Tanpa Tempat al-Imam al-Hafizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi (w 458 H) penulis as-Sunan al-Kubra menuliskan sebagai berikut:

"والذي روي في ءاخر هذا الحديث [أي حديث :"والذي نفسُ محمد بيده لو أنكم دليتم أحدكم بحبل إلى الأرض السابعة لهبط على الله تبارك وتعالى" وهو حديث ضعيف] إشارة إلى نفي المكان عن الله تعالى، وأن العبد أينما كان فهو في القرب والبعد من الله تعالى سواء، وأنه الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة، الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان. واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه وسلم: "أنت الظاهر فليس فوقك شىء، وأنت الباطن فليس دونك شىء"، وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان"

“Dan apa yg diriwayatkan dalam akhir hadits ini (Wa al-Ladzi Nafs Muhammad….. ) merupakan isyarat kepada peniadaan tempat bagi Allah, dan sesungguhnya para hamba pada dekat dan jauhnya bagi Allah sama saja, Dia Allah az-Zhahir; artinya bahwa adanya Allah dapat diketahui dengan adanya bukti-bukti, dan Dia Allah al-Bathin; artinya bahwa Allah tidak benar dapat diraih dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Sebagian sahabat kami dalam meniadakan tempat dari Allah mengambil dalil dengan sabda Rasulullah: “Engkau Ya Allah az-Zhahir tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau Ya Allah al-Bathin yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu”, ketika disebutkan bahwa tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya itu artinya bahwa Allah ada tanpa tempat” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, hal. 400).

Masih dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, al-Imam al-Bayhaqi juga menuliskan sebagai berikut:

"قال أبو سليمان الخطابي: وليس معنى قول المسلمين: إن الله استوى على العرش هو أنه مماس له أو متمكن فيه أو متحيز في جهة من جهاته، لكنه بائن من جميع خلقه، هـانما هو خبر جاء به التوقيف فقلنا به ونفينا عنه التكييف، إذ _ليس كمثله شيء"

“Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: Sesungguhnya perkataan orang-orang Islam “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy” bukan dalam pengertian bahwa Allah menempel atau bersemayam di sana, atau bahwa Allah berada di arah atas. Sesungguhnya Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Dan sesungguhnya istawâ yang datang dalam al-Qur’an tentang sifat Allah adalah berita yang tidak perlu diperdebatkan, namun demikian kita harus menafikan makna sifat-sifat benda dari sifat Allah tersebut, karena seperti yang telah difirmankannya: “Dia Allah tidak menyerupai segala apapun, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. As-Syura: 11) (al-Asma’ Wa ash-Shifat, hal. 396-397). 

Dari Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam Kitab "Musykil al-Hadits"; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH 
Al-Immm Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan al-Asy’ari yang dikenal dengan Ibn Furak (w 406 H), salah seorag teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam Musykil al-Hadîts, hal. 57, menuliskan sebagai berikut:

"لا يجوز على الله تعالى الحلول في الأماكن لاستحالة كونه محدودا ومتناهيا وذلك لاستحالة كونه محدثا"

“Tidak boleh dikatakan bahwa Allah menyatu di seluruh tempat, karena mustahil Allah sebagai benda yang memiliki batasan, ukuran dan penghabisan. Hal itu karena Allah bukan sesuatu yang baharu seperti makhluk”.

Pada halaman 64 dalam kitab yang sama Al-Imam Ibn Furak juga mengatakan:

"واعلم أنا إذا قلنا إن الله عز وجل فوق ما خلق لم يرجع به إلى فوقية المكان والارتفاع على الأمكنة بالمسافة والإشراف عليها بالمماسة لشىء منها"

“Ketahuilah bahwa jika kita katakan Allah berada di atas segala sesuatu, pengertian “di atas” dalam hal ini bukan dalam pengertian arah dan tempat dengan adanya jarak antara para makhluk dengan-Nya, atau bahwa Dia menempel di arah atas dengan makhluk-Nya tersebut. (Namun yang dimaksud adalah ketinggian derajat dan keagungan-Nya)”.

Dari Imam al-Qusyairi (w 456 H), dalam Kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH 
Seorang teolog terkemuka dan ahli fiqih yg sangat mashur, al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 471 H) telah menuliskan sebuah kitab yang sangat penting berjudul at-Tabshîr Fî ad-Dîn. Sebuah karya dalam pembahasan firqah-firqah dalam Islam, termasuk di dalamnya pembahasan akidah Ahlussunnah dengan cukup detail. Di antara yang beliau tulis dalam penjelasan akidah Ahlussunnah sebagai berikut:

"الباب الخامس عشر في بيان اعتقاد أهل السنة والجماعة: وأن تعلم أن كل ما دل على حدوث شىء من الحد، والنهاية، والمكان، والجهة، والسكون، والحركة، فهو مستحيل عليه سبحانه وتعالى، لأن ما لا يكون محدثا لا يجوز عليه ما هو دليل على الحدوث"

“Bab ke lima belas tentang penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang menunjukan kebaharuan, memiliki ukuran, memiliki penghabisan, memiliki tempat dan arah, diam, dan bergerak, maka hal-hal semacam itu semua mustahil atas Allah. Karena Allah bukan makhluk baharu, maka mustahil atas-Nya segala sesuatu yang menunjukkan kebaharuan” (at-Tabshir Fiddin, hal. 161)

Dari Imam al-Baqillani (w 403 H) Dalam Kitab "al-Inshaf" ; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH 

Al-Imam al-Qadli Abu Bakar Muhammad al-Baqillani al-Maliki al-Asy’ari (w 403 H), seorang ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah yang sangat giat menegakan akidah Asy’ariyyah dan memerangi akidah sesat, dalam kitab al-Inshaf Fima Yajib I’tiqâduh Wa Lâ Yajûz al-Jahl Bih, h. 65, menuliskan sebagai berikut:

"ولا نقول إن العرش له- أي الله- قرار ولا مكان، لأن الله تعالى كان ولا مكان، فلما خلق المكان لم يتغير عما كان"

“Kita tidak mengatakan bahwa arsy adalah tempat bersemayam Allah. Karena Allah Azaliy; ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah Dia menciptakan tempat ia tidak berubah (karena perubahan adalah tanpa makhluk)”.

Dan pada halaman 64 dalam kitab yang sama, al-Baqillani menuliskan berikut:

"ويجب أن يعلم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرب تعالى يتقدس عنه، فمن ذلك: أنه تعالى متقدس عن الاختصاص بالجهات، والاتصاف بصفات المحدثات، وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال، ولا القيام ولا القعود، ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث، والله تعالى يتقدس عن ذلك"

“Wajib diketahui bahwa segala apapun yang menunjukan kepada kebaharuan atau tanda-tanda kekurangan maka Allah maha suci dari pada itu semua. Di antara hal itu ialah bahwa Allah Maha Suci dari berada pada arah atau tempat. Dia tidak boleh disifat dengan sifat-sifat makhluk yang baharu. Demikian pula tidak boleh disifati dengan berubah dan pindah (bergerak), berdiri dan duduk, karena sifat-sifat tersebut menunjukan kebaharuan, dan Allah Maha Suci dari itu”.

Catatan tambahan;
Supaya anda kenal Siapa al-Baqillani dan Supaya anda Cinta kepada Ulama Ahlussunnah, Sesungguhnya :

Al-Imam al-Hafizh al-Mu’arrikh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, Biografi al-Baqillani, hal. 221, mengutip dari Abu Abdillah al-Husain ibn Muhammad ad-Damighani, berkata:

"وكان أبو الحسن التميمي الحنبلي يقول لأصحابه: تمسكوا بهذا الرجل ـ أي بالباقلاني ـ فليس للسنة عنه غنى أبدًا. قال: وسمعت الشيخ أبا الفضل التميمي الحنبلي رحمه الله وهو عبد الواحد بن أبي الحسن بن عبد العزيز بن الحارث يقول: اجتمع رأسي ورأس القاضي أبي بكر محمد ابن الطيب ـ يعني الباقلاني ـ على مخدة واحدة سبع سنين. قال الشيخ أبو عبد الله: وحضر الشيخ أبو الفضل التميمي يوم وفاته العزاء حافيًا مع إخوته وأصحابه وأمر أن ينادى بين يدي جنازته :"هذا ناصر السنة والدين، هذا إمام المسلمين، هذا الذي كان يذب عن الشريعة ألسنة المخالفين، هذا الذي صنف سبعين ألف ورقة ردًّا على الملحدين"، وقعد للعزاء مع أصحابه ثلاثة أيام فلم يبرح، وكان يزور تربته كل يوم جمعة في الدار"

“Abu al-Hasan at-Tamimi al-Hanbali berkata kepada para sahabatnya: Berpeganglah kalian dengan orang ini (yang dimaksud adalah Abu Bakr al-Baqillani), oleh karena sunnah itu selamanya telah tercukupi oleh dirinya”. Berkata: “Dan aku telah mendengar Syekh Abu al-Fadl at-Tamimi al-Hanbali; dan dia itu adalah Abdul Wahid ibn Abi al-Hasan ibn Abdil ‘Aziz ibn al-Harits, bahwa ia berkata: “Kepalaku dan kepala Abu Bakr Muhammad ibn at-Thayyib (maksudnya al-Baqillani) selama tujuh tahun berada pada satu bantal (bila tidur)”. Syekh Abu Abdillah berkata: “Syekh Abu al-Fadl at-Tamimi datang pada hari wafatnya al-Baqillani tanpa memakai alas kaki, ia datang bersama saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya, lalu ia memerintah seseorang untuk mengungumkan di hadapan banyak orang di depan jenazah al-Baqillani: “Orang ini adalah pembela sunnah dan agama, orang ini adalah imam bagi orang2 Islam, orang ini adalah yang telah memperjuangkan kesucian syari’at dari lidah orang-orang sesat, orang inilah yang telah menulis 70.000 lembar sebagai bantahan terhadap orang2 mulhid”. Saat itu Syekh Abu al-Fadl at-Tamimi bersama para sahabatnya selama tiga hari ta’ziyah berturut-turut tidak meninggalkan tempat, dan di setiap hari jum’at ia selalu mendatangi makam al-Baqillani”. 

Imam Ibnu Hibban (w 354 H) berkeyakinan ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Menohok Ajaran Sesat Wahabi) 
Al-Hafizh al-Imam Muhammad ibn Hibban (w 354 H), penulis kitab hadits yang sangat mashur; Shahih Ibn Hibbân, dalam pembukaan salah satu kitab karyanya; at-Tsiqat, menuliskan sebagai berikut:

"الحمد لله الذي ليس له حد محدود فيحتوى، ولا له أجل معدود فيفنى، ولا يحيط به جوامع المكان ولا يشتمل عليه تواتر الزمان"

“Segala puji bagi Allah, Dzat yang bukan merupakan benda yang memiliki ukuran. Dia tidak terikat oleh hitungan waktu maka Dia tidak punah. Dia tidak diliputi oleh semua arah dan tempat. Dan Dia tidak terikat oleh perubahan zaman” (at-Tsiqat, juz. 1, hal. 1).

Dalam kitab yg lain Ibn Hibban menuliskan:

"كان- الله- ولا زمان ولا مكان"

“Allah ada tanpa permulaan, Allah ada sebelum ada tempat dan waktu” (Shahîh Ibn Hibban, juz. 8, hal. 4).

Juga berkata:

"كذلك ينزل- يعني الله- بلا ءالة ولا تحرك ولا انتقال من مكان إلى مكان "

“Sifat Nuzûl Allah bukan dengan alat, tidak dengan bergerak, dan bukan dalam pengertian berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain” (Shahih Ibn Hibban, juz. 2, hal. 136).

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H), dalam Kitab al-Irsyad; ALLAH ADA TANPA TEMPAT 

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H), salah seorang guru terkemuka al-Imâm al-Ghazali, dalam kitab karyanya berjudul al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah menuliskan sebagai berikut:

"البارىء سبحانه وتعالى قائم بنفسه، متعال عن الافتقار إلى محل يحله أو مكان يقله"

“Ketahuilah bahwa di antara sifat Allah adalah Qiyâmuh Bi Nafsih; artinya Allah tidak membutuhkan kepada suatu apapun dari makhluk-Nya. Karenanya Dia Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat untuk Ia tempatinya” (al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah, hal. 53)

Pada halaman lain dalam kitab yg sama Imam al-Haramain menuliskan:

"مذهب أهل الحق قاطبة أن الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيز والتخصص بالجهات"

“Madzhab seluruh Ahl al-Haq telah menetapkan bahwa Allah maha suci dari tempat dan maha suci dari berada pada arah” (al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah, hal. 58)

Dalam karya lain berjudul as-Syamil Fi Ushul ad-din, beliau menuliskan sebagai berikut:

"واعلموا أن مذهب أهل الحق: أن الرب سبحانه وتعالى يتقدس عن شغل حيز، وبتنزه عن الاختصاص بجهة وذهبت المشبهة إلى أنه مختص بجهة فوق، ثم افترقت ءاراؤهم بعد الاتفاق منهم على إثبات الجهة، فصار غلاة المشبهة إلى أن الرب تعالى مماس للصفحة العليا من العرش وهو مماشه، وجوزوا عليه التحول والانتقال وتبدل الجهات والحركات والسكنات، وقد حكينا جملا من فضائح مذهبهم فيما تقدم"

“Ketahuilah bahwa madzhab Ahl al-Haq menetapkan bahwa Allah suci dari berada pada tempat dan suci dari berada pada arah. Sementara kaum Musyabbihah berpendapat bahwa Allah berada di arah atas. Kaum Musyabbihah tersebut sepakat bahwa Allah berada di arah atas, namun demikian mereka kemudian saliang berselisih pendapat. Di antara mereka yang sangat ekstrim berpendapat bahwa Allah menempel pada arsy dari arah atasnya. Mereka juga membolehkan atas Allah adanya perubahan-perubahan, berpindah-pindah arah, bergerak dan diam. Beberapa di antara kerusakan keyakinan mereka telah kita bongkar pada penjelasan yang telah lalu” (as-Syamil Fi Ushul ad-din, hal. 511)

 PENGUMUMAN , KEPADA MEREKA YG MEMANDAI-MANDAI BAWA PERKATAAN IMAM ABU HASAN AL ASHARI DLM MAQOOLAT ISLAMIYYIN YG MENGATAKAN ” AKIDAH TUHAN TIDAK BERTEMPAT ADALAH AKIDAH MUKTAZILAH ” MAKA RENUNG-RENUNGKAN LAH PULA YANG INI: 

- وقال إمام أهل السنة أبو الحسن الأشعري (324 هـ) رضي الله عنه ما نصه : ” كان الله ولا مكان فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان، وهو بعد خلق المكان كما كان قبل خلقه ” اهـ أي بلا مكان ومن غير احتياج إلى العرش والكرسي. نقل ذلك عنه الحافظ ابن عساكر نقلا عن القاضي أبي المعالي الجويني. – تبيين كذب المفتري , ص/ 150

Berkata Imam Ahlusunnah Abu Hasan Al-Ashaari ( wafat 324 h.) r.a bermula nasnya: “Ada Allah. Tiada bertempat. Maka Dia mencipta Arasy dan Kursi , tiada pula Ia berhajat kepada TEMPAT , padahal selepas Ia menciptakan TEMPAT , adalah keadaanNya sama seperti sebelum menciptakannya”
- Tanpa bertempat dan tiada berhajat kepada Arasy dan Kursi. Telah menukil sedemikian dari pada Imam Abu Hasan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir akan nukilan daripada al Qodhi Abi Ma’ali al Juwaini- Tabyyin Kazibi al- Muftari m.s. 150-.

 
 

 NB : Orang2 Wahabi akan berkata: "Mana dalil al-Qur'an dan Hadits menunjukan Allah ada tanpa tempat"?? Inilah omongan orang yg tidak punya "modal", akibat ga mau mengkaji karya para ulama. Anda katakan kepada orang tersebut: "Siapa yg lebih paham terhadap al-Qur'an dan Hadits; Imam al-Haramain atau ente...??? Ente kira Imam terkemuka sekelas beliau mengatakan "ALLAH ADA TANPA TEMPAT" bukan dengan dasar al-Qur'an dan Hadits??".

Benar, orang2 Wahabi hanya akan menerima perkataan Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim, Ibn Ba's, Utsaimin, dan orang2 yg sepaham dengan mereka, seper firanda dkk. Inilah contoh cara beragama yg "se-enak perut".‎

Pendapat Ulama' Salaf : " Allah Wujud Tanpa Bertempat "
Imam Ahlussunnah; Imam Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H), dalam Kitab at-Tauhid; Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah
Beliau dalam karyanya, Kitab at-Tauhid menuliskan:

"إن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأمكنة وبقاؤه على ما كان، فهو على ما كان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغير والزوال والاستحالة"

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Tampat adalah makhluk memiliki permulaan dan bisa diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat Dia sebagaimana sifat-Nya yang Azali; ada tanpa tempat. Dia maha suci (artinya mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau berpindah dari satu keadaan kepada keadaan lain” (Kitab at-Tauhid, hal. 69)
Al-Imam Muhammad ibn Muhammad yg dikenal dengan nama Abu Manshur al-Maturidi adalah salah seorang salaf terkemuka di kalangan Ahlussunnah, bahkan merupakan pimpinan bagi kaum ini. Dikenal sebagai seorang yg teguh membela akidah Rasulullah, beliau adalah salah seorang ulama Salaf yg telah memberikan kontribusi besar dalam membukukan akidah Ahlussunnah. Dalam metode penjelasan akidah tersebut beliau atukan antara dalil2 naqliy (al-Qur’an dan hadits) dengan argumen2 rasional. Ditambah dengan bantahan2 terhadap berbagai kesesatan dari kelompok2 di luar Ahlussunnah, seperti Mu’tazilah, Musyabbihah, Khwarij dan lainnya. Kegigihan beliau dalam membela akidah Ahlussunnah dan menghidupkan syari’at menjadikan beliau sebagai kampium hingga digelari dengan Imam Ahlussunnah.
Masih dalam kitab karyanya di atas, al-Imam Abu Manshur al-Maturidi juga menuliskan sebagai berikut:

"فإن قيل: كيف يرى؟ قيل: بلا كيف، إذ الكيفية تكون لذي صورة، بل يرى بلا وصف قيام وقعود واتكاء وتعلق، واتصال وانفصال، ومقابلة ومدابرة، وقصير وطويل، ونور وظلمة، وساكن ومتحرك، ومماس ومباين، وخارج وداخل، ولا معنى يـأخذه الوهم أو يقدره العقل لتعاليه عن ذلك "

“Jika ada yang berkata: Bagaimanakah Allah nanti dilihat? Jawab: Dia dilihat dengan tanpa sifat2 benda (Kayfiyyah). Karena Kayfiyyah itu hanya terjadi pada sesuatu yg memiliki bentuk. Allah dilihat bukan dalam sifat berdiri, duduk, bersandar atau bergantung. Tanpa adanya sifat menempel, terpisah, berhadap2an, atau membelakangi. Tanpa pada sifat pendek, panjang, sinar, gelap, diam, gerak, dekat, jauh, di luar atau di dalam. Hal ini tidak boleh dikhayalkan dengan prakiraan-prakiraan atau dipikirkan oleh akal, karena Allah maha suci dari itu semua” (Kitab at-Tauhid, hal. 85)
Tulisan al-Imam al-Maturidi ini sangat jelas dalam mensucikan Allah dari arah dan tempat. Perkataan beliau ini sekaligus dapat kita jadikan bantahan terhadap kaum Mujassimah, termasuk kaum Wahhabiyyah sekarang yg mengatakan bahwa para ulama Salaf telah menetapkan adanya arah bagi Allah. Kita katakan: al-Maturidi adalah salah seorang ulama Salaf, ia dengan sangat jelas telah menafikan apa yg kalian yakini.
Masih dalam Kitab at-Tauhid, al-Imam al-Maturidi menuliskan sebagai berikut:

"وأما رفع الأيدي إلى السماء فعلى العبادة، ولله أن يتعبد عباده بما شاء، ويوجههم إلى حيث شاء، وإن ظن من يظن أن رفع الأبصار إلى السماء لأن الله من ذلك الوجه إنما هو كظن من يزعم أنه إلى جهة أسفل الأرض بما يضع عليها وجهه متوجها في الصلاة ونحوها، وكظن من يزعم أنه في شرق الأرض وغربها بما يتوجه إلى ذلك في الصلاة، أو نحو مكة لخروجه إلى الحج، جل الله عن ذلك"

“Adapun mengangkat tangan ke arah langit dalam berdo’a maka hal itu sebagai salah satu bentuk ibadah kepada-Nya (bukan berarti Allah di dalam langit). Allah berhak memilih cara apapun untuk dijadikan praktek ibadah para hamba kepada-Nya, juga Allah berhak menyuruh mereka untuk menghadap ke arah manapun sebagai praktek ibadah mereka kepada-Nya. Jika seseorang menyangka atau berkeyakinan bahwa mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit karena Allah berada di arah sana, maka ia sama saja dengan orang yg berkeyakinan bahwa Allah berada di arah bawah karena di dalam di dalam shalat wajah seseorang dihadapkan ke arah bumi untuk menyembah Allah, atau sama saja dengan orang yg berkeyakinan bahwa Allah ada di arah barat atau di arah timur sesuai arah kiblatnya masing2 dalam shalat saat beribadah Allah, atau juga sama saja orang tersebut dengan yg berkeyakinan bahwa Allah berada di arah Mekah, karena orang2 dari berbagai penjuru yg handak melaksanakan haji untuk beribadah kepada-Nya menuju arah Mekah tersebut. Allah maha suci dari pada keyakinan semacam ini semua” (Kitab at-Tauhid, hal. 75-76).
Lisanul Arab; Kamus Besar Bahasa Arab, Karya al Allamah al Lughawiy; Ibnu Manzhur (w 711 H); Menuliskan; ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Salah seorang ulama bahasa terkemuka al-‘Allamah Muhammad ibn Mukarram al-Ifriqi al-Mishri (w 711 H) yg lebih dikenal dengan sebutan Ibn Manzhur dalam karya fenomenalnya berjudul Lisan al-‘Arab menuliskan sebagai berikut:

"وفي الحديث: "من تقرب إليّ شبرا تقربت إليه ذراعًا" المراد بقرب العبد من الله عز وجل: القرب بالذكر والعمل الصالح لا قرب الذات والمكان لأن ذلك من صفات الأجسام، والله يتعالى عن ذلك ويتقدس"

“Dalam sebuah hadits disebutkan “Man Taqarraba Ilayya Syibran Taqarrabtu Ilayhi Dzira’an...”, makna yang dimaksud oleh hadits ini ialah bahwa “dekat”-nya seorang hamba kepada Allah adalah dalam pengertian banyak mengingat-Nya dan banyak melaksanakan amal saleh. “Dekat” di sini bukan dalam pengertian tempat atau jarak yang dekat dengan-Nya, karena sifat seperti demikian itu adalah khusus bagi benda, sementara Allah maha suci dari pada itu semua”
( Lisan al-‘Arab, juz. 1, hal. 663-664 )
Al-Imam Ja’far as-Shadiq (w 148 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Aqidah Keluarga Rasulullah)
Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 148 H) berkata:

"مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ، أوْ مِنْ شَىءٍ، أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ. إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً، وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا، وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ محدَثًا (أي مَخْلُوْقًا)"

“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu (makhluk)”
( al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal. 6 )
Al Imam Ja’far ash Shadiq adalah imam terkemuka dalam fiqih, ilmu, dan keutamaan. Lihat ats Tsiqat, Ibn Hibban, juz. 6, hal. 131
al-Imam Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad yang dikenal dengan nama ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT
al-Imam Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad yg dikenal dengan nama ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H), salah seorang ulama pakar bahasa yg sangat mashur dengan karyanya berjudul al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

"... وقرب الله تعالى من العبد هو بالإفضال عليه والفيض لا بالمكان"

“Makna al-Qurb (yang secara harfiyah berarti dekat) pada hak Allah terhadap hamba-Nya adalah dalam pengertian bahwa Dia Maha Pemberi karunia dan berbagai nikmat, bukan dalam dekat dalam pengertian jarak atau tempat”
( al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an., hal. 399 )
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H);

ALLAH ADA TANPA TEMPAT

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H), salah seorang guru terkemuka al-Imam al-Ghazali, dalam kitab karyanya berjudul al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah menuliskan sebagai berikut:

"البارىء سبحانه وتعالى قائم بنفسه، متعال عن الافتقار إلى محل يحله أو مكان يقله"

“Ketahuilah bahwa di antara sifat Allah adalah Qiyâmuh Bi Nafsih; artinya Allah tidak membutuhkan kepada suatu apapun dari makhluk-Nya. Karenanya Dia Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat untuk Ia tempatinya”. ( al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah, hal. 53 )
Pada halaman lain dalam kitab yang sama Imam al-Haramain menuliskan:

"مذهب أهل الحق قاطبة أن الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيز والتخصص بالجهات"

“Madzhab seluruh Ahl al-Haq telah menetapkan bahwa Allah maha suci dari tempat dan maha suci dari berada pada arah”. ( Ibid, hal. 58 )

Dalam karya lain berjudul as-Syamil Fi Ushul ad-Din, beliau menuliskan sebagai berikut:

"واعلموا أن مذهب أهل الحق: أن الرب سبحانه وتعالى يتقدس عن شغل حيز، وبتنزه عن الاختصاص بجهة وذهبت المشبهة إلى أنه مختص بجهة فوق، ثم افترقت ءاراؤهم بعد الاتفاق منهم على إثبات الجهة، فصار غلاة المشبهة إلى أن الرب تعالى مماس للصفحة العليا من العرش وهو مماشه، وجوزوا عليه التحول والانتقال وتبدل الجهات والحركات والسكنات، وقد حكينا جملا من فضائح مذهبهم فيما تقدم"

“Ketahuilah bahwa madzhab Ahl al-Haq menetapkan bahwa Allah suci dari berada pada tempat dan suci dari berada pada arah. Sementara kaum Musyabbihah berpendapat bahwa Allah berada di arah atas. Kaum Musyabbihah tersebut sepakat bahwa Allah berada di arah atas, namun demikain mereka kemudian saliang berselisih pendapat. Di antara mereka yang sangat ekstrim berpendapat bahwa Allah menempel pada arsy dari arah atasnya. Mereka juga membolehkan atas Allah adanya perubahan-perubahan, berpindah-pindah arah, bergerak dan diam. Beberapa di antara kerusakan keyakinan mereka telah kita bongkar pada penjelasan yang telah lalu” ( as-Syamil Fi Ushul ad-Din hal. 551 )
al-Imam Abu Ishaq asy-Syirazi asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 476 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Ahli fiqih terkemuka; al-Imam Abu Ishaq asy-Syirazi asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 476 H) dalam akidah yg beliau tuliskan berkata:

"وإن استواءه ليس باستقرار ولا ملاصقة لأن الاستقرار والملاصقة صفة الأجسام المخلوقة، والرب عز وجل قديم أزلي، فدل على أنه كان ولا مكان ثم خلق المكان وهو على ما عليه كان"

“Dan sesungguhnya istiwa’ Allah bukan dalam pengertian bertempat (bersemayam) menempel, karena bertempat dan menempel adalah sifat segala benda yg merupakan makhluk, sementara Allah maha Qadim dan Azaliy (tidak bermula), dengan demikian itu menunjukan bahwa Allah ada pada azal tanpa tempat, dan setelah Dia menciptakan tempat maka Dia sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat (karena Allah tidak berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain)”.
( ‘Aqidah asy-Syirazi dalam Muqaddimah Kitab Syarh al-Luma’, juz. 1, hal. 101 )
Ibn Hazm al-Andalusi (w 456 H); ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad yang dikenal dengan nama Ibn Hazm al-Andalusi (w 456 H), dalam karyanya berjudul Kitab ‘Ilm al-Kalam, dalam pembahasan penafian tempat dari Allah menuliskan sebagai berikut:

"وأنه تعالى لا في مكان ولا في زمان، بل هو تعالى خالق الأزمنة والأمكنة، قال تعالى: (وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيراً)(سورة الفرقان/2)، وقال (قَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا)(سورة الفرقان/59)، والزمان والمكان هما مخلوقان، قد كان تعالى دونهما، والمكان إنما هو للأجسام

“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat dan tanpa waktu. Dialah yang menciptakan segala tempat dan waktu. Allah berfirman: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan menentukannya akan ketentuan”. (QS al-Furqan: 2). Dan berfirman: “Dia Pencipta semua langit dan bumi dan segala apa yang di antara keduanya”. (QS. al-Furqan: 59). Tempat dan arah adalah makhluk Allah. Dia ada sebelum menciptakan keduanya. Tempat itu hanya berlaku bagi segala benda”.
( Kitab ‘Ilm al-Kalam, hal. 65 )
Ahli hadits terkemuka di daratan Maroko, al-Muhaddits al-Ghumari (w 1413 H), dalam Qashash al-Anbiya'; ALLAH ADA TANPAT
Ahli hadits terkemuka di daratan Maroko, asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits Abdullah ibn Muhammad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1413 H) dalam karyanya berjudul Qashash al-Anbiya’ menuliskan sebagai berikut:

"كان الله ولم يكن شىء غيره، فلم يكن زمان ولا مكان ولا قطر ولا أوان، ولا عرش ولا ملك، ولا كوكب ولا فلك، ثم اوجد العالم من غير احتياج إليه، ولو شاء ما أوجده. فهذا العالم كله بما فيه من جواهر وأعراض حادث عن عدم، ليس فيه شائبة من قِدم، حسبما اقتضته قضايا العقول، وأيدته دلائل النقول، وأجمع عليه المِلِّيُّوْن قاطبة إلا شُذاذا من الفلاسفة قالوا بقدم العالم، وهم كفار بلا نزاع"

“Allah ada tanpa permulaan dan tidak ada suatu apapun selain-Nya, tidak ada waktu, tidak ada tempat, tidak ada arah, tidak ada zaman, tidak ada arsy, tidak ada Malaikat, tidak ada bintang-bintang, dan tidak ada cakrawala. Kemudian Allah menciptakan alam ini tanpa sedikitpun Dia membutuhkan kepadanya. Jika Allah berkehendak untuk tidak menciptakannya maka alam ini tidak akan pernah ada. Dengan demikian alam ini dengan segala sesuatu yang ada padanya dari segala benda dan sifat benda adalah makhluk Allah, semua itu baharu; ada dari tidak ada. Tidak ada sedikitpun dari bagian alam tersebut memiliki sifat Qidam (tidak bermula) sebagaimana perkara ini telah ditetapkan oleh oleh argumen2 akal sehat dan dalil2 syara’ yang kuat. Kecuali kelompok kecil saja yaitu kaum filsafat yang mengatakan bahwa alam ini qadim; tidak memiliki permulaan. Dan mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang kafir sebagimana telah disepakati di kalangan ulama haq tanpa ada perbedaan pendapat sedikitpun di antara mereka” (Qashash al-Anbiya’, hal. 11).
Ahli hadits terkemuka daratan Maroko, asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits Abdullah ibn Muhammad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1413 H), dalam kitab karyanya berjudul ‘Aqidah Ahl al-Islam Fi Nuzul ‘Isa, asy-Syaikh, menuliskan:

"قال النيسابوري في تفسيره: "أما قوله : وَرَافِعُكَ إِلَيَّ " فالمشبهة تمسكوا بمثله في إثبات المكان لله وأنه في السماء، لكن الدلائل القاطعة دلّت على أنه متعال عن الحيز والجهة، فوجب حمل هذا الظاهر على التأويل بأن المراد إلي محل كرامتي"

“an-Naisaburi dalam menafsirkan firman Allah: “Wa Rafi’uka Ilayya” (QS. Ali ‘Imran: 55) mengatakan bahwa kaum Musyabbihah telah berpegang tegung kepada zahir ayat-ayat semacam ini untuk menetapkan adanya tempat bagi Allah, yaitu menurut mereka adalah arah atas. Namun demikian dalil-dalil yang sangat kuat dan pasti telah menunjukan bahwa Allah maha suci dari tampat dan arah. Dengan demikian maka wajib memahami ayat semacam ini tidak dalam makna zhahirnya, tapi dengan metode takwil. Dan makna ayat tersebut di atas ialah bahwa Allah telah mengangkat Nabi Isa ke langit, ke tampat yang dimuliakan oleh Allah” (‘Aqidah Ahl al-Islam Fi Nuzul ‘Isa, hal. 29).
al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam Al-Asma’ Wa ash-Shifat; Allah Ada Tanpa Tempat al-Imam al-Hafizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi (w 458 H) penulis as-Sunan al-Kubra menuliskan sebagai berikut:

"والذي روي في ءاخر هذا الحديث [أي حديث :"والذي نفسُ محمد بيده لو أنكم دليتم أحدكم بحبل إلى الأرض السابعة لهبط على الله تبارك وتعالى" وهو حديث ضعيف] إشارة إلى نفي المكان عن الله تعالى، وأن العبد أينما كان فهو في القرب والبعد من الله تعالى سواء، وأنه الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة، الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان. واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه وسلم: "أنت الظاهر فليس فوقك شىء، وأنت الباطن فليس دونك شىء"، وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان"

“Dan apa yg diriwayatkan dalam akhir hadits ini (Wa al-Ladzi Nafs Muhammad….. ) merupakan isyarat kepada peniadaan tempat bagi Allah, dan sesungguhnya para hamba pada dekat dan jauhnya bagi Allah sama saja, Dia Allah az-Zhahir; artinya bahwa adanya Allah dapat diketahui dengan adanya bukti-bukti, dan Dia Allah al-Bathin; artinya bahwa Allah tidak benar dapat diraih dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Sebagian sahabat kami dalam meniadakan tempat dari Allah mengambil dalil dengan sabda Rasulullah: “Engkau Ya Allah az-Zhahir tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau Ya Allah al-Bathin yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu”, ketika disebutkan bahwa tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya itu artinya bahwa Allah ada tanpa tempat” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, hal. 400).
Masih dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, al-Imam al-Bayhaqi juga menuliskan sebagai berikut:

"قال أبو سليمان الخطابي: وليس معنى قول المسلمين: إن الله استوى على العرش هو أنه مماس له أو متمكن فيه أو متحيز في جهة من جهاته، لكنه بائن من جميع خلقه، هـانما هو خبر جاء به التوقيف فقلنا به ونفينا عنه التكييف، إذ _ليس كمثله شيء"

“Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: Sesungguhnya perkataan orang-orang Islam “Allâh Istawâ ‘Alâ al-‘Arsy” bukan dalam pengertian bahwa Allah menempel atau bersemayam di sana, atau bahwa Allah berada di arah atas. Sesungguhnya Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Dan sesungguhnya istawâ yang datang dalam al-Qur’an tentang sifat Allah adalah berita yang tidak perlu diperdebatkan, namun demikian kita harus menafikan makna sifat-sifat benda dari sifat Allah tersebut, karena seperti yang telah difirmankannya: “Dia Allah tidak menyerupai segala apapun, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. As-Syura: 11) (al-Asma’ Wa ash-Shifat, hal. 396-397).
Dari Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam Kitab "Musykil al-Hadits"; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH
Al-Immm Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan al-Asy’ari yang dikenal dengan Ibn Furak (w 406 H), salah seorag teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam Musykil al-Hadîts, hal. 57, menuliskan sebagai berikut:

"لا يجوز على الله تعالى الحلول في الأماكن لاستحالة كونه محدودا ومتناهيا وذلك لاستحالة كونه محدثا"

“Tidak boleh dikatakan bahwa Allah menyatu di seluruh tempat, karena mustahil Allah sebagai benda yang memiliki batasan, ukuran dan penghabisan. Hal itu karena Allah bukan sesuatu yang baharu seperti makhluk”.
Pada halaman 64 dalam kitab yang sama Al-Imam Ibn Furak juga mengatakan:

"واعلم أنا إذا قلنا إن الله عز وجل فوق ما خلق لم يرجع به إلى فوقية المكان والارتفاع على الأمكنة بالمسافة والإشراف عليها بالمماسة لشىء منها"

“Ketahuilah bahwa jika kita katakan Allah berada di atas segala sesuatu, pengertian “di atas” dalam hal ini bukan dalam pengertian arah dan tempat dengan adanya jarak antara para makhluk dengan-Nya, atau bahwa Dia menempel di arah atas dengan makhluk-Nya tersebut. (Namun yang dimaksud adalah ketinggian derajat dan keagungan-Nya)”.

Dari Imam al-Qusyairi (w 456 H), dalam Kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH
Seorang teolog terkemuka dan ahli fiqih yg sangat mashur, al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 471 H) telah menuliskan sebuah kitab yang sangat penting berjudul at-Tabshîr Fî ad-Dîn. Sebuah karya dalam pembahasan firqah-firqah dalam Islam, termasuk di dalamnya pembahasan akidah Ahlussunnah dengan cukup detail. Di antara yang beliau tulis dalam penjelasan akidah Ahlussunnah sebagai berikut:

"الباب الخامس عشر في بيان اعتقاد أهل السنة والجماعة: وأن تعلم أن كل ما دل على حدوث شىء من الحد، والنهاية، والمكان، والجهة، والسكون، والحركة، فهو مستحيل عليه سبحانه وتعالى، لأن ما لا يكون محدثا لا يجوز عليه ما هو دليل على الحدوث"

“Bab ke lima belas tentang penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang menunjukan kebaharuan, memiliki ukuran, memiliki penghabisan, memiliki tempat dan arah, diam, dan bergerak, maka hal-hal semacam itu semua mustahil atas Allah. Karena Allah bukan makhluk baharu, maka mustahil atas-Nya segala sesuatu yang menunjukkan kebaharuan” (at-Tabshir Fiddin, hal. 161)

Dari Imam al-Baqillani (w 403 H) Dalam Kitab "al-Inshaf" ;

ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH


Al-Imam al-Qadli Abu Bakar Muhammad al-Baqillani al-Maliki al-Asy’ari (w 403 H), seorang ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah yang sangat giat menegakan akidah Asy’ariyyah dan memerangi akidah sesat, dalam kitab al-Inshaf Fima Yajib I’tiqâduh Wa Lâ Yajûz al-Jahl Bih, h. 65, menuliskan sebagai berikut:

"ولا نقول إن العرش له- أي الله- قرار ولا مكان، لأن الله تعالى كان ولا مكان، فلما خلق المكان لم يتغير عما كان"

“Kita tidak mengatakan bahwa arsy adalah tempat bersemayam Allah. Karena Allah Azaliy; ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah Dia menciptakan tempat ia tidak berubah (karena perubahan adalah tanpa makhluk)”.
Dan pada halaman 64 dalam kitab yang sama, al-Baqillani menuliskan berikut:

"ويجب أن يعلم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرب تعالى يتقدس عنه، فمن ذلك: أنه تعالى متقدس عن الاختصاص بالجهات، والاتصاف بصفات المحدثات، وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال، ولا القيام ولا القعود، ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث، والله تعالى يتقدس عن ذلك"

“Wajib diketahui bahwa segala apapun yang menunjukan kepada kebaharuan atau tanda-tanda kekurangan maka Allah maha suci dari pada itu semua. Di antara hal itu ialah bahwa Allah Maha Suci dari berada pada arah atau tempat. Dia tidak boleh disifat dengan sifat-sifat makhluk yang baharu. Demikian pula tidak boleh disifati dengan berubah dan pindah (bergerak), berdiri dan duduk, karena sifat-sifat tersebut menunjukan kebaharuan, dan Allah Maha Suci dari itu”.
Catatan tambahan;
Supaya anda kenal Siapa al-Baqillani dan Supaya anda Cinta kepada Ulama Ahlussunnah, Sesungguhnya :
Al-Imam al-Hafizh al-Mu’arrikh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, Biografi al-Baqillani, hal. 221, mengutip dari Abu Abdillah al-Husain ibn Muhammad ad-Damighani, berkata:

"وكان أبو الحسن التميمي الحنبلي يقول لأصحابه: تمسكوا بهذا الرجل ـ أي بالباقلاني ـ فليس للسنة عنه غنى أبدًا. قال: وسمعت الشيخ أبا الفضل التميمي الحنبلي رحمه الله وهو عبد الواحد بن أبي الحسن بن عبد العزيز بن الحارث يقول: اجتمع رأسي ورأس القاضي أبي بكر محمد ابن الطيب ـ يعني الباقلاني ـ على مخدة واحدة سبع سنين. قال الشيخ أبو عبد الله: وحضر الشيخ أبو الفضل التميمي يوم وفاته العزاء حافيًا مع إخوته وأصحابه وأمر أن ينادى بين يدي جنازته :"هذا ناصر السنة والدين، هذا إمام المسلمين، هذا الذي كان يذب عن الشريعة ألسنة المخالفين، هذا الذي صنف سبعين ألف ورقة ردًّا على الملحدين"، وقعد للعزاء مع أصحابه ثلاثة أيام فلم يبرح، وكان يزور تربته كل يوم جمعة في الدار"

“Abu al-Hasan at-Tamimi al-Hanbali berkata kepada para sahabatnya: Berpeganglah kalian dengan orang ini (yang dimaksud adalah Abu Bakr al-Baqillani), oleh karena sunnah itu selamanya telah tercukupi oleh dirinya”. Berkata: “Dan aku telah mendengar Syekh Abu al-Fadl at-Tamimi al-Hanbali; dan dia itu adalah Abdul Wahid ibn Abi al-Hasan ibn Abdil ‘Aziz ibn al-Harits, bahwa ia berkata: “Kepalaku dan kepala Abu Bakr Muhammad ibn at-Thayyib (maksudnya al-Baqillani) selama tujuh tahun berada pada satu bantal (bila tidur)”. Syekh Abu Abdillah berkata: “Syekh Abu al-Fadl at-Tamimi datang pada hari wafatnya al-Baqillani tanpa memakai alas kaki, ia datang bersama saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya, lalu ia memerintah seseorang untuk mengungumkan di hadapan banyak orang di depan jenazah al-Baqillani: “Orang ini adalah pembela sunnah dan agama, orang ini adalah imam bagi orang2 Islam, orang ini adalah yang telah memperjuangkan kesucian syari’at dari lidah orang-orang sesat, orang inilah yang telah menulis 70.000 lembar sebagai bantahan terhadap orang2 mulhid”. Saat itu Syekh Abu al-Fadl at-Tamimi bersama para sahabatnya selama tiga hari ta’ziyah berturut-turut tidak meninggalkan tempat, dan di setiap hari jum’at ia selalu mendatangi makam al-Baqillani”.

Imam Ibnu Hibban (w 354 H) berkeyakinan ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Menohok Ajaran Sesat Wahabi)
Al-Hafizh al-Imam Muhammad ibn Hibban (w 354 H), penulis kitab hadits yang sangat mashur; Shahih Ibn Hibbân, dalam pembukaan salah satu kitab karyanya; at-Tsiqat, menuliskan sebagai berikut:

"الحمد لله الذي ليس له حد محدود فيحتوى، ولا له أجل معدود فيفنى، ولا يحيط به جوامع المكان ولا يشتمل عليه تواتر الزمان"

“Segala puji bagi Allah, Dzat yang bukan merupakan benda yang memiliki ukuran. Dia tidak terikat oleh hitungan waktu maka Dia tidak punah. Dia tidak diliputi oleh semua arah dan tempat. Dan Dia tidak terikat oleh perubahan zaman” (at-Tsiqat, juz. 1, hal. 1).
Dalam kitab yg lain Ibn Hibban menuliskan:

"كان- الله- ولا زمان ولا مكان"

“Allah ada tanpa permulaan, Allah ada sebelum ada tempat dan waktu” (Shahîh Ibn Hibban, juz. 8, hal. 4).
Juga berkata:

"كذلك ينزل- يعني الله- بلا ءالة ولا تحرك ولا انتقال من مكان إلى مكان "

“Sifat Nuzûl Allah bukan dengan alat, tidak dengan bergerak, dan bukan dalam pengertian berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain” (Shahih Ibn Hibban, juz. 2, hal. 136).
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H), dalam Kitab al-Irsyad; ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini (w 478 H), salah seorang guru terkemuka al-Imâm al-Ghazali, dalam kitab karyanya berjudul al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah menuliskan sebagai berikut:

"البارىء سبحانه وتعالى قائم بنفسه، متعال عن الافتقار إلى محل يحله أو مكان يقله"

“Ketahuilah bahwa di antara sifat Allah adalah Qiyâmuh Bi Nafsih; artinya Allah tidak membutuhkan kepada suatu apapun dari makhluk-Nya. Karenanya Dia Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat untuk Ia tempatinya” (al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah, hal. 53)
Pada halaman lain dalam kitab yg sama Imam al-Haramain menuliskan:
"مذهب أهل الحق قاطبة أن الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيز والتخصص بالجهات"
“Madzhab seluruh Ahl al-Haq telah menetapkan bahwa Allah maha suci dari tempat dan maha suci dari berada pada arah” (al-Irsyad Ila Qawathi’ al-Adillah, hal. 58)
Dalam karya lain berjudul as-Syamil Fi Ushul ad-din, beliau menuliskan sebagai berikut:

"واعلموا أن مذهب أهل الحق: أن الرب سبحانه وتعالى يتقدس عن شغل حيز، وبتنزه عن الاختصاص بجهة وذهبت المشبهة إلى أنه مختص بجهة فوق، ثم افترقت ءاراؤهم بعد الاتفاق منهم على إثبات الجهة، فصار غلاة المشبهة إلى أن الرب تعالى مماس للصفحة العليا من العرش وهو مماشه، وجوزوا عليه التحول والانتقال وتبدل الجهات والحركات والسكنات، وقد حكينا جملا من فضائح مذهبهم فيما تقدم"

“Ketahuilah bahwa madzhab Ahl al-Haq menetapkan bahwa Allah suci dari berada pada tempat dan suci dari berada pada arah. Sementara kaum Musyabbihah berpendapat bahwa Allah berada di arah atas. Kaum Musyabbihah tersebut sepakat bahwa Allah berada di arah atas, namun demikian mereka kemudian saliang berselisih pendapat. Di antara mereka yang sangat ekstrim berpendapat bahwa Allah menempel pada arsy dari arah atasnya. Mereka juga membolehkan atas Allah adanya perubahan-perubahan, berpindah-pindah arah, bergerak dan diam. Beberapa di antara kerusakan keyakinan mereka telah kita bongkar pada penjelasan yang telah lalu” (as-Syamil Fi Ushul ad-din, hal. 511)
PENGUMUMAN , KEPADA MEREKA YG MEMANDAI-MANDAI BAWA PERKATAAN IMAM ABU HASAN AL ASHARI DLM MAQOOLAT ISLAMIYYIN YG MENGATAKAN ” AKIDAH TUHAN TIDAK BERTEMPAT ADALAH AKIDAH MUKTAZILAH ” MAKA RENUNG-RENUNGKAN LAH PULA YANG INI:

- وقال إمام أهل السنة أبو الحسن الأشعري (324 هـ) رضي الله عنه ما نصه : ” كان الله ولا مكان فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان، وهو بعد خلق المكان كما كان قبل خلقه ” اهـ أي بلا مكان ومن غير احتياج إلى العرش والكرسي. نقل ذلك عنه الحافظ ابن عساكر نقلا عن القاضي أبي المعالي الجويني. – تبيين كذب المفتري , ص/ 150

Berkata Imam Ahlusunnah Abu Hasan Al-Ashaari ( wafat 324 h.) r.a bermula nasnya: “Ada Allah. Tiada bertempat. Maka Dia mencipta Arasy dan Kursi , tiada pula Ia berhajat kepada TEMPAT , padahal selepas Ia menciptakan TEMPAT , adalah keadaanNya sama seperti sebelum menciptakannya”
- Tanpa bertempat dan tiada berhajat kepada Arasy dan Kursi. Telah menukil sedemikian dari pada Imam Abu Hasan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir akan nukilan daripada al Qodhi Abi Ma’ali al Juwaini- Tabyyin Kazibi al- Muftari m.s. 150-.

NB : 

Orang2 Wahabi akan berkata: "Mana dalil al-Qur'an dan Hadits menunjukan Allah ada tanpa tempat"?? Inilah omongan orang yg tidak punya "modal", akibat ga mau mengkaji karya para ulama. Anda katakan kepada orang tersebut: "Siapa yg lebih paham terhadap al-Qur'an dan Hadits; Imam al-Haramain atau ente...??? Ente kira Imam terkemuka sekelas beliau mengatakan "ALLAH ADA TANPA TEMPAT" bukan dengan dasar al-Qur'an dan Hadits??".
Benar, orang2 Wahabi hanya akan menerima perkataan Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim, Ibn Ba's, Utsaimin, dan orang2 yg sepaham dengan mereka, seper firanda dkk. Inilah contoh cara beragama yg "se-enak perut".

Al Kursi

Pendapat Aswaja :

Al Kursi adalah jisim yang besar berada di atas arasy, dicipta oleh Allah tanpa berhajat kepadanya

dalilnya : “Dan kursi milik Allah itu seluas langit dan bumi”

Pendapat Wahabi :
Kata Usaimin (wahabi): "Al Kursi itu adalah tempat letak kedua kaki Allah".

dalilnya Kitabnya: Tafsir Ayat, Kursi,m/s: 19, Maktabah Ibnu Jauzi. (Arab saudi)


Makna istiwa'

Pendapat Aswaja :

Allah Ta’ala tidak disifatkan duduk di atas arasy
dalilnya : Setiap yang bersifat duduk di atas sesuatu itu sama sipat makhlukNya baik lebih besar atau kecil dari, semua itu adalah sifat-sifat jisim yang mempunyai kadar yang tertentu, sedangkan Allah Ta’ala maha suci dari perkara-Perkara tersebut. Dan tiadk mungkin sama dgn MakhlukNya . Allah berfirman “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik dari satu segi maupun dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya".(Asyura ayat:11)
Imam al-Syafi‘iyy rahimahullah yang wafat pada 204 Hijriyyah pernah berkata:
“Dalil bahawa Allah wujud tanpa tempat adalah Allah Ta’ala telah wujud dan tempat pula belum wujud, kemudian Allah mencipta tempat dan Allah tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum terciptanya tempat, maka tidak harus berlaku perubahan pada zat-Nya dan begitu juga tiada pertukaran pada sifat-Nya.”Kenyataan Imam al-Syafi‘iyy ini dinyatakan oleh Imam al-Hafiz Murtadha al-Zubaydiyy di dalam kitab beliau berjudul Ithaf al-Sadah al-Muttaqin ( نيقتملا ةداسلا فاحتإ ), juzuk kedua, mukasurat 36, cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Pendapat Wahabi : Wahabi beriktikad bahwa Allah Ta’ala duduk di atas arasy.
Rujukan mereka : Kitab mereka:Nazarot Wa Ta’aqubat Ala Ma Fi kitab Assalafiah,Karangan: Soleh Fauzan, m/s: 40 Darul Watan Riyadh


Allah Ta’ala tidak sama dengan sesuatu yang baru

Pendapat Aswaja :

Allah Ta'ala tidak menyerupai manusia kerana Dia pencipta mereka, dan pencipta itu tidak menyamai apa yang diciptakan ( makhluk), Dia bukanlah zat yang bergambar, berbentuk dan tidak mempunyai kadar yang tertentu.

Dalilnya : Firman Allah "Dia (Allah)tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik dari satu segi mahupun dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya".(Asyura ayat:11)

Pendapat Wahabi :
Wahabi mendakwa bahwa Allah mencipta manusia sama dengan rupa bentukNya.

Rujukannya : lihat asli Kitab mereka: ‘Aqidah Ahlul Iman Fi Khalq Adam Ala Suratir Rahman,Karangan: Mahmud Al Tuwaijiri,m/s: 76(Arab saudi


ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ :
"ﺇﻧﻪ ﻛﺎﺋﻦ ﻓﻴﻜﻢ ﻗﻮﻡ ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻻ ﻳﺠﺎﻭﺯ ﺗﺮﺍﻗﻴﻬﻢ ﻛﻠﻤﺎ ﻃﻠﻊ ﻣﻨﻬﻢ ﻗﺮﻥ ﻗﻄﻊ."ﺣﺘﻰ ﺫﻛﺮ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻣﺮﺓ ﻭﺯﻳﺎﺩﺓ: " ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﺁﺧﺮﻫﻢ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻊ ﺍﻟﺪﺟﺎﻝ ."ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧی.


ﻭﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ﻳﺨﺮﺝ ﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻤﺸﺮﻕ،ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻻ ﻳﺠﺎﻭﺯ ﺗﺮﺍﻗﻴﻬﻢ،ﻛﻠﻤﺎ ﻗﻄﻊ ﻗﺮﻥ ﻧﺸﺄ ﻗﺮﻥ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺑﻘﻴﺘﻬﻢ ﺍﻟﺪﺟﺎﻝ."
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ ﻭﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺣﺴﻦ

 Semoga bermanfaat
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar