Senin, 16 Februari 2015

Tahlil bukan tradisi Hindu

Dalam tradisi kaum Muslim Nusantara, ketika ada seorang Muslim meninggal dunia, maka pihak keluarga almarhum mengadakan selamatan atau kenduri. Biasanya dihadiri oleh keluarga, tetangga dan handai taulan untuk membacakan al-Qur’an, Tahlilan dan mendoakan jenazah bersama-sama. Kemudian diakhiri dengan makan bersama, dari makanan yang disiapkan oleh keluarga almarhum.

Tradisi itu berlangusng sejak dulu hingga sekarang. Dan selama itu pula banyak yang memperdebatkan bahkan menghujat tradisi tersebut. Sebagian menyebut bid’ah karena tidak pernah diajarkan Rasulullah. Sebagian lagi menyebutnya sebagai warisan tradisi Hindu yang mengandung unsur syirik dan ada juga yang meyakini itu perbuatan sia-sia karena pahalanya tidak akan sampai kepada jenazah.

Persoalan ini memang tidak pernah habis diperdebatkan. Selalu saja ada yang menyuarakannya di mana-mana. Tapi itu ada baiknya, agar semakin banyak yang tahu kebenarannya dan semakin mantab mengamalkannya. Mudah-mudahan menghilangkan pahala sedekah yang dilakukan.

Menyikapi tradisi kenduri kematian, mayoritas umat Islam Nusantara memilih untuk melestarikannya sebagai kultur dan budaya bangsa. Namun akhir-akhir ini, sebagian kelompok umat Islam, yang sangat keras menyikapinya dan berupaya menghapusnya sampai ke akar-akarnya dengan alasan tradisi tersebut melanggar hukum Islam, tidak sesuai dengan sunnah Rasul SAW dan tradisi kaum salaf yang shaleh. Oleh karena itu, uraian tentang hukum kenduri kematian dari berbagai perspektif menjadi penting untuk dikaji. Baru kemudian bisa menyimpulkan bagaimana hukumnya, termasuk apakah berasal dari tradisi Hindu atau tidak.

Berkaitan dengan tradisi kenduri kematian ini, ada beberapa pendapat di kalangan para ulama yang perlu kita jadikan renungan, agar tidak gegabah
dan radikal dalam menyikapinya.

Pertama, menurut mayoritas ulama kenduri kematian hukumnya makruh, tetapi kemakruhan ini tidak sampai menghilangkan pahala sedekah yang dilakukan. Jadi dilihat dari proses pelaksanaanya, dihukumi makruh, tetapi dilihat dari esensi sedekahnya tetap mendatangkan pahala. Akan tetapi hukum makruh ini akan meningkat volumenya menjadi  ukum haram, apabila makanan tersebut diambilkan dari harta ahli waris yang mahjur (tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim dan belum dewasa), atau dapat menimbulkan madarat bagi keluarga jenazah.

Dan hukum makruh ini akan menjadi hilang, apabila makanan yang dihidangkan merupakan hasil dari sumbangan dan kontribusi tetangga seperti yang seringkali terjadi dalam budaya nusantara.

Kedua, riwayat dari Khalifah Umarbin al-Khatthab yang berwasiat agardisediakan makanan bagi orang-orangyang datang melayat. Al-Imam Ahmadbin Mani’ meriwayatkan:

“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Setelah Khalifah Umar ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya.” (HR. Ibnu Mani’).

Ketiga, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

 عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ، فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ، تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ»

“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar asulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim).

Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada  orang-orang yang berta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.

Keempat, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban jenazah. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al- Zuhd:

“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”

Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

Kelima, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita tarik garis merahnya bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnah. Di kalangan  lama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.

Dari sini jelas bahwa tradisi tersebut bukan berasal dari warisan Hindu. Jika dalam tradisi Hindu ada tradisi yang sama, tentu umat Islam tidak menirunya, melainkan meniru tradisi dari kaum salaf generasi sahabat.

Sedangkan tradisi kenduri pada hari ke 40, 100, 1000 dan lain-lain, adalah boleh dan hal tersebut hanya sematamata tradisi yang berkembang. (Syaikh Nawawi Banten, Nihayah al-Zain, hal. 281). Hal ini didasarkan pada hadits berikut ini:

“Dari Ibnu Umar RA, beliau berkata: “Nabi SAW selalu mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar RA juga sering melakukannya.”

Mengomentari hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathal-Bari: “Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda-beda, mengandung petunjuk atas bolehnya menentukan sebagian hari-hari tertentu dengan sebagian amal shaleh dan melakukannya secara terus menerus.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hal. 69).

Kesimpulannya, tidak benar bahwa tradisi kenduri kematian itu tidak memiliki dasar, apalagi dinilai mewarisi
tradisi agama Hindu. (Wallahu a’lam).

Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar