Rabu, 11 Februari 2015

Wahabi Ngotot menghapus Bidah Hasanah

Al-kisah sambungan dari postingan saya tempo hari Wahabi Ngotot Meniadakan Bidah Hasanah,katakanlah debat disini berawal dari Ust Wahabi kepanasan dengan terbitnya sebuah buku yang di tulis oleh Ust Sunni yang mana isi buku tersebut menurut akal pikirannya sendiri banyak menyimpang.Yach…memang sudah menjadi tabiat para Wahabi bilamana berbeda dengan pahamnya maka siap-siap di labeli menyimpang,sesat,neraka,blaa..blaaa…blaaa…

Langsung saja disimak akhi-akhi dan Ukhty-ukhty format dialog berikut ini yang penuh dengan cahaya sunah sebagai penerang jejak generasi Ulama Salafusshalih pecinta bidah hasanah yang saya kutip dari website Ust Idrus Ramli

 
JAWABAN TERHADAP MAJALAH WAHABI AL-FURQON (Bagian 2)
WAHABI: “Di antara contoh lain dari ketidakpahaman penulis terhadap pengertian “sunnah dan bid’ah” bahwa dia banyak menyatakan bahwa sunnah-sunnah Khulafaur Rasyiidin adalah bid’ah, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan setiap muslim agar berpegang teguh dengan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan “sunnah Khulafaur Rasyidin”, sebagaimana dalam sabda beliau.
Di antara sunnah-sunnah Khulafaur Rasyidin yang dianggap bid’ah oleh penulis dalam Membedah Bid’ah dan Tradisi, adalah penghimpunan al-Qur’an di dalam Mushhaf pada zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dan adzan ketiga pada hari Jum’at di Pasar Madinah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.”
SUNNI: “Sebenarnya yang tidak mengerti perbedaan Sunnah dan Bid’ah itu Anda, sehingga tulisan Anda kacau balau, tidak jelas yang dituju, kecuali tujuan agar terbangun kesan bahwa ada Ustadz Wahabi seperti Anda yang telah membantah buku saya.
Nah, berikut ini akan saya terangkan makna bid’ah, kemudian pandangan para ulama tentang Sunnah Khulafaur Rasyidin yang sebenarnya bid’ah hasanah.
Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

(الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، ۲/١٧۲)

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).

Definisi bid’ah di atas, sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَإِياَّكمُ ْوَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan awaslah kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Dalam hadits di atas, jelas sekali, bahwa bid’ah adalah setiap perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Berdasarkan hadits ini, definisi al-Imam Izzuddin di atas lebih kuat dan dipilih oleh para ulama daripada definisi al-Syathibi dalam al-I’tisham.
Oleh karena itu, para ulama yang mengakui adanya bid’ah hasanah, menganggap penghimpunan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah yang wajib.
Kaum Wahabi seperti penulis bantahan terhadap buku saya, enggan menyebutnya bid’ah, karena tidak tahu teks asli hadits al-Bukhari tentang penghimpunan al-Qur’an.
Teks tersebut berbunyi begini:

جَاءَ سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه إِلَى سَيِّدِنَا أَبِيْ بَكْرٍ رضي الله عنه يَقُوْلُ لَهُ: يَا خَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللهِ  أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِي الْقُرَّاءِ فَلَوْ جَمَعْتَ الْقُرْآنَ فِي مُصْحَفٍ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ: كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ: إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إِلَى زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه فَيَقُوْلاَنِ لَهُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: كَيْفَ تَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ : إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ فَلاَ يَزَالاَنِ بِهِ حَتَّى شَرَحَ  اللهُ صَدْرَهُ كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. رواه البخاري. 

“Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu mendatangi Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Wahai Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal al-Qur’an, bagaimana kalau Anda menghimpun al-Qur’an dalam satu Mushhaf?” Khalifah menjawab: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam?” Umar berkata: “Demi Allah, ini baik”. Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam?” Keduanya menjawab: “Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam rencana ini”. (HR. al-Bukhari).

Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa penghimpunan al-Qur’an belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti bid’ah. Kemudian, Abu Bakar, Umar dan Zaid  radhiyallahu ‘anhum sepakat menganggapnya baik, berarti hasanah. Lalu apa yang mereka lakukan, disepakati oleh seluruh para sahabat, berarti ijma’. Dengan demikian, bid’ah hasanah sebenarnya telah disepakati keberadaannya oleh para sahabat . Dalam hadits di atas, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak menyebut tindakan mereka sebagai Sunnah, dan justru menyebutnya, belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti bid’ah hasanah. Bukankah begitu??

Demikian pula, penambahan adzan menjelang shalat Jum’at, pada masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, termasuk bid’ah hasanah.

Perlu diketahui, bahwa si Wahabi penulis bantahan tersebut, tidak menyebut tentang Shalat Taraweh pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu, dalam bantahannya terhadap buku saya. Padahal dalam buku tersebut, saya memasukkan shalat taraweh sebagai salah satu bid’ah hasanah pada masa sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu. Mengapa demikian??? Jelas, si penulis Wahabi tersebut, kebingungan dengan pernyataan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu, yang menyebut shalat taraweh sebagai sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah), alias bid’ah paling hasanah. Karenanya ia memilih tidak membahasnya.Dengan demikian, Sunnah Khulafaur Rasyidin di atas, bisa kita katakan sebagai bid’ah hasanah, berdasarkan hadits di atas (kullu muhdatsatin bid’ah). Atau bisa juga kita katakan sebagai sunnah hasanah. Bukankah dalam hadits Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عن جرير بن عبد الله -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «مَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِها بعْدَهُ كُتِب لَه مثْلُ أَجْر من عَمِلَ بِهَا وَلا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، ومَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وزر من عَمِلَ بِهَا ولا يَنْقُصُ من أَوْزَارهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم.

“Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan yang jelek dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).

Jadi, perkara-perkara baru pada masa sahabat bisa dikatakan bid’ah, karena termasuk muhdatsat, juga bisa dikatakan Sunnah, karena ada dasarnya. Dan tidak ada persoalan dalam perbedaan istilah, selama substansinya sama.
WAHABI: “Penulis menyatakan bolehnya tradisi-tradisi seperti mitoni, tingkepan (pelet kandung), dan yang lainnya dengan mengatakan (hal. 39):
Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama”. (Kemudian, Ustadz Arif, membahas maksud kaedah fiqih, al-‘adah muhakkamatun, sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum).
SUNNI: “Anda sepertinya kurang dapat memahami kutipan saya tentang tradisi dan adat istiadat dalam Islam. Dan Anda sebenarnya tidak perlu membahas kaedah fiqih yang berbunyi al-‘adah muhakkamatun (sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum), karena kami menganjurkan mengikuti tradisi selama tidak diharamkan oleh agama, tidak didasarkan pada kaedah tersebut. Kaedah tersebut tidak ada kaitannya dengan bahasan dalam buku kami.Dalam buku kami, telah dijelaskan dasar kami, yaitu pernyataakn al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧) 

“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).

Perlu Anda ketahui, bahwa Ibnu Muflih, bermadzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Sauri Arabia, dan kitab al-Adab al-Syar’iyyah tersebut juga diterbitkan oleh lembaga resmi pemerintahan Saudi Arabia. Coba Anda perhatikan, dasar mengikuti tradisi masyarakat di atas, adalah hadits Shahih Bukhari dan Muslim, lalu kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, lalu sikap pribadi al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Dasarnya sangat terang dan kuat.Harusnya, kalau Anda faham, kutipan dari Ibnu Muflih di atas Anda bahas dalam bantahan Anda, bukan dasar yang tidak kami tulis dalam buku. Agar bantahan Anda benar-benar ilmiah. Bukankah begitu??

WAHABI: “BERARGUMEN DENGAN HADITS LEMAH DAN PALSU.

Penulis di dalam hlm. 29 membawakan hadits Walid bin Surai’ bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak shalat Sunnah sebelum dalm sesudah ‘Id.  Hadits ini dilemahkan oleh al-Imam al-Haitsami (Majma’ Zawaid 4/438)”
SUNNI: “Hadits Abi bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tersebut disebutkan oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam bab, shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Dalam bab tersebut al-Haitsami menyebutkan tujuh hadits. Sebagian shahih, dan sebagian tidak shahih. Antara yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Yang sanadnya dha’if, bisa menjadi hasan lighairihi. Bukankah begitu dalam ilmu hadits???
Anda juga harus faham, bahwa hadits Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, di atas, kami kutip dalam rangka mendalili bid’ah hasanah pada masa shahabat. Dalam Majma’ Zawaid, sebagian salaf melakukan shalat Sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id, sebagian yang lain tidak. Bukankah itu bid’ah hasanah???”
WAHABI: “Penulis di dalam hlm 45 membawakan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan: “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La ilaha illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”Hadits ini termasuk hadits yang palsu. Ibnu Adi menyatakan bahwa hadits ini termasuk kemungkaran Ibrahim bin Abi Humaid.”
SUNNI: “Maaf, Anda sepertinya kurang mengerti ilmu mushthalah hadits. Hadits munkar itu bukan hadits palsu. Bukankah begitu dalam ilmu hadits???
Oleh karena itu, hadits tersebut dijadikan dalil oleh al-Hafizh al-Zaila’i dalam kitabnya, Nashb al-Rayah li-Ahadits al-Hidayah, juz 2 hal. 292, dengan mengatakan bahwa: “Ibnu Adi menganggap hadits ini termasuk kemungkaran Ibrahim bin Abi Humaid, kemudian Ibnu Adi menyebutkan lagi hadits ini, dalam biografi Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar, dan mendha’ifkannya dengan kedha’ifan yang ringan.”Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam kitabnya al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, juz 1 hal. 238, mengatakan, bahwa hadits ini hanya didha’ifkan saja oleh Ibnu Adi. (Tidak dinilai palsu, seperti keputusan Anda yang tidak mengerti ilmu hadits).”Walhasil, hadits di atas, adalah hadits dha’if yang ringan, dan tidak sangat dha’if. Bukankah begitu??? Anda yang menilai palsu, terlalu gegabah.”
WAHABI: “Penulis di dalam hlm. 46 membawakan hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang saudara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya … (Hadits tentang pembacaan talqin setelah pemakaman).Hadits ini adalah hadits yang lemah, dilemahkan oleh para ulama seperti al-Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 5/304, Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/145, dan al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ 4/216.”
SUNNI: “Hadits tentang pembacaan Talqin tersebut memang dha’if, akan tetapi para ulama fuqaha dari madzahib al-arba’ah mensunnahkan pembacaan Talqin. Mereka antara lain, al-Imam al-Nawawi (yang Anda kutip), dalam kitab al-Adzkar, beliau berkata:

وَأَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلىَ ذَلِكَ اْلقَاضِيْ حُسَيْنٌ وَالْمَقْدِسِيُّ وَالرَّافِعِيُّ.

“Adapun mentalqin mayit setelah dimakamkan, maka jamaah yang banyak dari ulama kami Syafi’iyah berpendapat kesunnahannya. Di antara yang menegaskan demikan adalah al-Qadhi Husain, al-Maqdisi dan al-Rafi’i.” (Hal. 123).

Bahkan Ibnu Qayyimil Jauziyyah, yang melemahkan hadits Talqin dalam kitabnya Zadul Ma’ad (seperti yang Anda kutip), juga mengakui kebenaran ajaran Talqin dan menganjurkannya dalam kitabnya, al-Ruh. Ibnul Qayyim berkata:

وَيَدُلُّ عَلىَ هَذَا أَيْضًا مَا جَرىَ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ قَدِيْمًا وَإِلىَ اْلآَن ، مِنْ تَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ فِيْ قَبْرِهِ وَلَوْلاَ أَنَّهُ يَسْمَعُ ذَلِكَ وَيَنْتَفِعُ بِهِ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَائِدَةٌ ، وَكَانَ عَبَثًا . وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ ، فَاسْتَحْسَنَهُ وَاحْتَجَّ عَلَيْهِ بِالْعَمَلِ .وَيُرْوَى فِيْهِ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ : ذَكَرَ الطَّبَرَانِيُّ فِيْ مُعْجَمِهِ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ أُمَامَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم  إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَسَوَّيْتُمْ عَلَيْهِ التُّرَابَ ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلىَ رَأْسِ قَبْرِهِ ، فَيَقُوْلُ : يَا فُلاَن بن فلانة ” ، الحديث . وفيه : ” اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة ألا إله إلا الله ، وأن محمدا رسول الله ، وأنك رضيت بالله ربا ، وبالإسلام دينا ، وبمحمد نبيا ، وبالقرآن إماما ” ، الحديث . ثم قال ابن القيم : فَهَذَا الْحَدِيْثُ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ ، فَاتِّصَالُ الْعَمَلِ بِهِ فِيْ سَائِرِ اْلأَمْصَارِ وَالأَعْصَارِ مِنْ غَيْرِ إِنْكَارٍ كَافٍ فِي الْعَمَلِ بِهِ.

“Hal ini juga dituntukkan oleh pengamalam manusia, pada masa silam dan sampai sekarang, berupa talqin mayit di kuburannya. Seandainya ia tidak mendengar hal tersebut dan dapat mengambil manfaat dengannya, tentu talqin tersebut tidak ada faedahnya dan hanya main-main saja. Al-Imam Ahmad rahimahullah telah ditanya tentang talqin, lalu beliau menganggapnya baik dan beliau berhujjah dengan pengamalan (tradisi) masyarakat.Telah diriwayatkan hadits dha’if tentang talqin. Al-Thabarani menyebutkan dalam Mu’jam nya dari hadits Abu Umamah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang saudara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya … (dan seterusnya).”Hadits ini meskipun tidak shahih, maka kesinambungan pengamalan dengan hadits tersebut, dalam setiap negeri dan semua masa tanpa ada ulama yang mengingkari, cukup dalam mengamalkan dengan hadits tersebut.” (Ibnul Qayyim, al-Ruh hal. 14).

Dalam paparan di atas, Ibnu Qayyimil Jauziyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah, dan ulama panutan kaum Wahabi, ternyata menganjurkan talqin, sesuai dengan ijtihad al-Imam al-Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, yang menganjurkan talqin, dengan hujjah, bahwa masyarakat telah menjadikannya sebagai tradisi atau pengamalan.
Dengan demikian, Ustadz Arif atau Wahabi yang lain, jika tidak mau dengan talqin, silahkan ikuti pendapat Anda. Dalam masalah ini, kami mengikuti umat Islam sejak masa silam yang mengamalkan talqin, dan dianggap baik oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam an-Nawawi, Ibnu Qayyimil Jauziyyah dan lain-lain rahimahumullah.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar