Rabu, 11 Februari 2015

Bid’ah Oleh para Sahabat Setelah Nabi Muhammad Wafat

bid'ah zaman Sahabt
Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا


Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Bid’ah Oleh Sahabat Setelah Nabi Muhammad Wafat

bid'ah zaman Sahabt
Bid’ah Setelah Rasulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – wafat

Bid’ah menurut Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam.  (Al Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam dalam Qowa’idul Ahkam, vol. 2, hlm. 172). Pada zaman kehidupan para Sahabat setelah Rasulullah Saw wafat, ada beberapa kasus terkenal tentang perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw.

Kami akan ketengahkan di hadapan anda bagaimana kasus perbuatan bid’ah terjadi di masa itu, dan kasus bid’ah ini sudah sangat masyhur di seantero duimia Islam. Ketika itu ada semacam pertentangan di kalangan para Sahabat Nabi tentang sesuatu perbuatan bid’ah, dan itu memang benar-benar bid’ah, tentu para sahabat tahu akan hal itu. Akan tetapi kemudian perbuatan bid’ah tersebut akhirnya disepakati untuk dilakukan oleh mereka bersma-sama karena perbuatan bid’ah yang mereka lakukan benar-benar mengandung nilai-nilai kebaikan yang sangat banyak. Dalam perjalanan sejarah pemikiran ilmu Fiqh, di kemudian hari bid’ah bernilai kebaikan itu oleh para Ulama dan kaum muslimin disebut Bid’ah Hasanah.

Berikut ini contoh-cintoh bid’ah hasanah yang terjadi pada masa kehidupan Sahabat nabi Saw:

1.            Penghimpunan al qur’an :


أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللهُ صَدْرِي لِذَلِكَ وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هُوَ وَاللهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ


“Bahwa Sungguh Zaid bin Tsabit ra berkata : Abubakar – rodhiyallohu ‘anhu- mengutusku Ketika terjadi pembunuhan besar – besaran atas para sahabat (Ahlul Yamaamah), dan bersamanya Umar bin Khotthob – rodhiyallohu ‘anhu -, berkata Abubakar : “Sungguh Umar telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas Ahlul Yamaamah, dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul Qur’an, lalu ia menyarankan agar Aku mengumpulkan dan menulis Al Qur’an, aku berkata : “Bagaimana engkau berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rosululloh..??, maka Umar berkata padaku bahwa “Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (Zaid) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Al Qur’an..!” berkata Zayd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung – gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam??”, maka Abubakar ra mengatakan bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur’an”. (Shohih Bukhori hadits No.4402 dan 6768).

Coba kita perhatikan sikap awal Kholifah Abubakar As Shiddiq –rodhiyallohu ‘anhu- ketika menerima usulan dari sahabat Umar –rodhiyallohu ‘anhu-, dan juga sikap sahabat Zaid ibn Tsabit ketika menerima perintah dari beliau berdua untuk menghimpun al Qur’an, dimana beliau berdua menolak untuk menghimpun al Qur’an karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasululloh saw, hal ini tercermin dari ucapan beliau berdua : “Bagaimana engkau berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rosululloh..? Bukankah ini indikasi kuat bahwa beliau berdua memandang penghimpunan al Qur’an adalah bid’ah?  Namun apakah setiap bid’ah pasti sesat?  Tentu tidak, sebagaimana tercermin dalam pernyataan beliau berdua : “bahwa hal itu adalah kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju”.

2.            Penghimpunan jama’ah tarowih :


عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ


Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Romadhon aku pergi ke masjid bersama Umar bin Khotthob. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar rodhiyallohu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Khotthob, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan shalat tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhori [2010]).

               Perhatikan pernyataan Amirul Mu’minin Umar ibn Khotthob dalam hadits diatas: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Apapun maksud beliau, yang pasti pernyataan beliau dengan tegas mengisyaratkan adanya bid’ah yang tidak sesat.

3.            Penambahan adzan jum’ah hingga tiga kali :


عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ . قَالَ أَبُو عَبْد اللهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ 

( رواه البخاري ) 


As Sa’ib bin Yazid rodhiyallohu anhu berkata: “Pada masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan Umar, adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zauro’, yaitu sebuah tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhori [916])

4.            Sholat Dhuha Dalam Pandangan Abdulloh Ibnu Umar :


عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا جَالِسٌ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى قَالَ فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ فَقَالَ بِدْعَةٌ

Dari Mujahid, ia berkata: “Aku dan ‘Urwah masuk kedalam masjid, ternyata saat itu ada Abdulloh Ibnu Umar sedang duduk menghadap kamar ‘Aisyah, dan orang-orang sedang mengerjakan shalat dhuha. Maka kami bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat yang mereka kerjakan, ia menjawab : (shalat dhuha adalah) bid’ah” (HR. al-Bukhori)

وَرَوَى بْنُ أَبِي شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ عَنِ الْأَعْرَجِ قَالَ سَأَلْتُ إِبْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى فَقَالَ بِدْعَةٌ وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Hakam bin A’roj, dari Al A’roj, ia berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat dhuha, maka ia menjawab : (shalat dhuha adalah) bid’ah dan sebaik-baik bid’ah” (Fathul Bari, vol. III, hlm. 52)

Dan juga banyak riwayat-riwayat lain yang kalau kita cermati kesemua-nya terjadi setelah Alloh menyatakan kesempurnaan agama-Nya :

أَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.”
(QS. al-Maidah : 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar