Rabu, 11 Februari 2015

Wahabi Membolehkan Suguhan Makanan Ta’ziyah

Mufti Wahabi Membolehkan Suguhan Makanan Ta’ziyah
Ana Bukannya mau bahas soal makanan tapi yang ana mau bahas disini adalah soal mufti wahabi sendiri yang membolehkan memakan makanan ta’ziyah,Nachhhh…Muftinya aja ngebolehin! Napa wahabi lokal(indonesia) malah ngelarang orang memakan makanan ta’ziyah?!

Terkadang ana suka berpikir,Muftinya bilang ‘A’ terkadang wahabi lokal bilang ‘B’.Ini yang BAHLUL wahabi lokal apa Muftinya?(ngga perlu dijawab bro..)

Dari pada bicara ngalor-ngidul mendingan langsung aja disimak format dialog antara Wahabi(W) dengan Mantan Wahabi(MW) yang ana kutip dari Web Ust.Idrus Ramli

Sahdan…Suatu ketika, seorang mantan wahabi (MW) berduka cita karena salah seorang keluarganya meninggal dunia. Lalu teman lamanya yang masih wahabi (W) datang berta’ziyah. Akhirnya si mantan wahabi yang menjadi Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini menyuguhkan makanan bagi teman akrabnya tersebut. Ternyata, teman akrab tersebut menolaknya dan tidak mau menyantap makanan tersebut. Akhirnya terjadilah dialog seperti ini :

MW: “Mengapa Anda tidak mau makan wahai kawan?”

W: “Saya ini Wahabi. Makanan seperti ini menurut kelompok saya termasuk bid’ah dan tidak boleh dimakan.”

MW: “Bukankah Anda ke sini sebagai tamu?”

W: “Ya, betul.”

MW: “Bukankah memuliakan tamu dengan menyuguhkan makanan termasuk bagian dari sunnah dan tanda keimanan seseorang?”

W: “Ya betul. Tapi kalau sedang berduka cita atau ada keluarganya meninggal, maka bid’ah memberi makanan kepada tamu?”

MW: “Loh kok bid’ah. Bukankah sebagian ulama telah memfatwakan bahwa suguhan tamu itu hukumnya sunnah walaupun sedang berduka cita?”

W: “Itu kan fatwa ulama ahli bid’ah.”

MW: “Anda masih ingat Syaikh Ibnu Baz?”

W: “Ya tentu. Beliau panutan kami kaum wahabi.”

MW: “Syaikh Ibnu Baz telah berfatwa bolehnya keluarga duka cita membuat makanan untuk tamu”.

W: “Di mana fatwa beliau?”

MW: “Coba kamu perhatikan ini”, sambil mengambil kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Ibnu Baz, yang dihimpun oleh muridnya Dr Muhammad bin Sa’ad al-Syuwai’ir, lalu membuka juz 7 halaman 431 dan juz 9 halaman 318, dan menyodorkan kepada tamunya yang masih Wahabi itu.Si wahabi kebingungan. Akhirnya dia makan dengan lahap sekali. Selesai makan, ia membacakan pernyataan Syaikh Ibnu Baz dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah:




أَمَّا إِذَا صَنَعُوْا ذَلِكَ فَلاَ بَأْسَ لأَنْفُسِهِمْ أَوْ لِضُيُوْفٍ نَزَلُوْا بِهِمْ فَلاَ بَأْسَ


Adapun apabila mereka (keluarga si mati) membuat makanan untuk diri mereka, atau untuk tamu mereka yang singgah, maka hukumnya tidak apa-apa (tidak haram, tidak bid’ah dan tidak makruh). (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, juz 7 hal. 431).



وَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِمْ (اَيْ أَهْلِ الْمَيِّتِ) أَنْ يَصْنَعُوْا لأَنْفُسِهِمْ الطَّعَامَ الْعَادِيَ لأَكْلِهِمْ وَحَاجَاتِهِمْ وَهَكَذَا إِذَا نَزَلَ بِهِمْ ضَيْفٌ لاَ حَرَجَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَصْنَعُوْا لَهُ طَعَامًا يُنَاسِبُهُ لِعُمُوْمِ اْلأَدِلَّةِ فِيْ ذَلِكَ


Dan tidak ada kesulitan (tidak ada larangan) bagi keluarga si mati untuk membuat makanan sehari-hari bagi makan dan keperluan mereka. Demikian pula apabila ada tamu yang singgah kepada mereka, tidak ada larangan bagi mereka membuat makanan yang layak bagi tamunya, karena keumuman dalil-dalil dalam hal tersebut. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, juz 9 hal. 319).

W: “Owh, ternyata jama’ah kalian dalam menyuguhkan makanan ketika sedang berduka cita kepada para tamu yang datang berta’ziyah hukumnya boleh dan tidak bid’ah ya. Astaghfirllahal ‘azhim, selama ini saya telah berburuk sangka kepada umat Islam Indonesia yang mayoritas mengamalkan sunnah menyuguhkan makanan kepada para tamu yang berta’ziyah.

”MW: “Memang begitu. Umat Islam Indonesia memang baik sama tamu. Mereka rajin selamatan karena tujuan sedekah. Syaikh Ibnu Baz juga membolehkan hal itu. Syaikh Ibnu Baz hanya melarang, apabila keluarga duka cita membuat makanan untuk selamatan dan mengumpulkan orang. Tapi kalau orang datang sendiri bertamu, beliau tidak melarang memberi makanan buat mereka. Anda tahu, orang yang datang tahlilan ke sini, itu tidak diundang, tapi datang sendiri sebagai tamu?”

W: “Owh, saya kira mereka diundang. Astaghfirullahal ‘azhim. Saya salah lagi. Tapi apakah mereka tidak bid’ah, makan makanan orang yang sedang berduka cita?”

MW: “Mereka juga melakukan sunnah kok. Karena di jamaah kami, setiap ada orang mati, tamu yang datang membawa beras dan uang untuk keluarga si mati. Jadi pada dasarnya mereka juga telah melakukan sunnah dalam meringankan beban keluarga duka cita.”

W: “Jadi mereka datang membawa beras dan uang ya? Astaghfirullahal ‘azhim. Saya telah berburuk sangka lagi. Kalau kaum kami, para wahabi, tidak membawa apa-apa untuk berta’ziyah. Tapi maaf, saya bertanya, bagaimana jika tetangga itu tiap malam datang ke sini untuk tahlilan, apakah masih diberi makanan?”

MW: “Apakah mereka yang datang ke sini masih dikatakan tamu?”

W: “Ya tentu, mereka tamu.”

MW: “Nah, selama mereka masih dikatakan tamu, kita tetap dianjurkan memuliakan tamu dengan memberi minum atau makanan semampunya. Bukankah dalil-dalil tentang memuliakan tamu itu bersifat umum kata Syaikh Ibnu Baz?”

W: “Owh, iya ya. Saya baru sadar.”

Akhirnya si wahabi tadi keluar dari wahabi dan mengikuti Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ia pun rajin berta’ziyah jika ada tetangganya mati. Karena pulang pasti dalam keadaan kenyang. Lebih-lebih jika yang mati dari keluarga kaya, pasti diberi makanan sate dan aneka menu makanan yang istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar