Selasa, 10 Februari 2015

FIRANDA AL-KADZAAB (Pembohong)



Saya teringat ucapan guru saya, KH. Thoifur Mawardi saat beliau menukil ucapan gurunya, Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki. Kata beliau: “Seseorang akan memusuhi apa yang tidak ia ketahui.”
Hal ini dapat kita buktikan kebenarannya jika kita melihat artikel-artikel wahabi pada umumnya dan artikel DR. Firanda pada hususnya dalam menilai tahlilan. Silahkan cek di sini
 http://firanda.com/…/a…/bantahan/423-dalil-bolehnya-tahlilan

Hampir dalam setiap membahas tahlilan mereka hanya membahas soal makan dan minum di rumah duka. Maka jangan heran jika kemudian para member wahabi menyebut tahlilan sebagai pesta kematian. Mereka mengira bahwa tahlilan hanya dilakukan pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 setelah kematian. Silahkan cek di sini http://kaahil.wordpress.com/…/bagus-teks-doa-cara-bacaan-t…/

Tanggapan saya:
Tolong jika anda menilai sesuatu, lakukanlah penilaian secara proposional dengan niat mencari kebenaran. Bukan menggunakan hayalan dengan niat menyalahkan. Sebab, jika menilai sesuatu menggunakan hayalan dengan niat menyalahkan, maka dapat dipastikan hasil penilaian salah dan terkesan lucu.
Kesalahan mendasar bagi orang wahabi dan yang sejenisnya, yang hobi membid’ahkan tahlilan adalah pada kenyataannya mereka sendiri tidak tahu menahu tentang apa itu tahlilan dan apa saja yang dibaca saat tahlilan. Mereka secara diam-diam berhayal dan membuat suatu tebakan bahwa tahlilan adalah merupakan perayaan kematian dengan mendatangi rumah kematian untuk menyantap makanan dan minuman. Inilah alasan mereka membid’ahkan tahlilan.

Sebagian yang lain ada yang telah mengetahui apa itu tahlilan dan apa saja yang dibaca saat tahlilan. Mereka mengakui bahwa bacaan yang dibaca saat tahlilan tidaklah bid’ah. Mereka tidaklah membid’ahkan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh) yang ditutup dengan do’a. Mereka secara diam-diam melakukan analisa secara parsial (juziyah/sebagian) kemudian menjadikan hasil analisa tersebut untuk menghukumi tahlilan secara universal (kuliyah/menyeluruh).
Namun di suatu daerah, mereka melihat bahwa orang yang mengamalkan tahlilan menghususkan waktunya pada hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian. Kemudian mereka menebak bahwa ini merupakan penghususan waktu pelaksanaan tahlilan. Penghususan inilah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk membid’ahkan tahlilan.

Sebagian yang lain ada yang telah mengetahui bahwa waktu pelaksanaan tahlilan tidak dihususkan. Hal ini telah mereka buktikan bahwa pelaksanaannya tidak hanya pada hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian. Di daerah lain, tahlilan juga dilaksanakan pada selain hari-hari tersebut.
Namun mereka melihat bahwa pahala bacaan tahlilan dikirimkan untuk orang-orang yang telah mati. Menurut mereka, pengiriman pahala semacam ini tidak ada dalilnya dan tidak bermanfaat. Oleh karena itu mereka membid’ahkan tahlilan.

Jika kita berdialog dengan orang wahabi dan yang sejenisnya, maka alasan mereka membid’ahkan tahlilan tidak akan lepas dari tiga alasan tersebut. Pertama-tama, mereka akan mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah secara mutlak sebab tidak ada dalilnya.
Jika anda menemui orang yang seperti itu, maka yang perlu anda lakukan adalah menunjukan teks bacaan yang dibaca saat tahlilan. Kemudian, tanyakan kepada mereka, dari teks tersebut, bacaan mana yang bid’ah?

Jika hal itu anda lakukan, maka wahabi akan mengelak dan mengatakan bahwa yang mereka bid’ahkan bukan bacaannya, melainkan penghususan waktunya. Dalam hayalan wahabi, waku pelaksanaan tahlilan itu dihususkan hanya pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian. Bagi mereka penghususan waktu pelaksanaan suatu ibadah harus dari syari’at.
Jika anda menemui wahabi yang seperti ini, maka yang harus anda lakukan adalah menunjukan waktu pelaksanaan tahlilan disetiap daerah untuk membuktikan bahwa waktu pelaksanaan tahlilan tidak dihususkan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian.

Jika anda melakukan hal itu, maka wahabi akan mengelak dan mengatakan bahwa yang mereka bid’ahkan adalah pengiriman pahala bacaan dan do’a kepada orang mati. Mereka akan mengajukan berbagai dalil bahwa hal itu tidak bermanfaat.
Mengenai pengiriman pahala untuk mayyit, apakah sampai atau tidak, maka dalam hal ini semua ulama sepakat bahwa pengiriman itu sampai sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Qoyyim dan Ibn Taimiyyah.

Pendapat Syaikh Ibn Qoyyim.

فَأَفْضَلُ مَايُهْدَى إِلَى اْلمَيِّتِ الْعِتْقُ وَالصَّدَقَةُ وَالَإِسْتِغْفَارُلَهُ وَالدُّعَاءُ لَهُ وَاْلحَجُّ عَنْهُ وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْاَنِ وَإِهْدَاءُ هَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْـحَجِّ (اَلْرُوْحُ: 142)

Artinya: “Sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara suka rela (tanpa mengambil upah) yang dihadiahkan kepada mayit, juga sampai padanya. Sebagaimana pahala puasa dan haji” (Al-Ruh, 142)
Pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah.

وَسُئِلَ: عَمَّنْ "هَلَّلَ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ النَّارِ" حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ وَاَهْدَاهُ إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ: إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ أَعْلَمُ. (مجموع فتاوى ابن تيمية, 24/323).

Artinya: “Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil 70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit, agar diselamatkan oleh Allah dari siksa api neraka, apakah hal itu berdasarkan hadits shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah pahalanya sampai atau tidak?”
Beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil 70.000 kali baik lebih atau kurang, lalu pahalanya dihadiahkan kepada mayit, maka hal tersebut bermanfaat bagi mayit, dan ini bukan hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, juz 24, hal. 323).
Kemudian Imam Qurthubi dengan tegas bekata:

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُصُوْلِ ثَوَابِ الصَّدَقَةِ لِلأَمْوَاتِ فَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالدُّعَاءِ وَالْإِسْتِغْفَارِ إِذْ كُلٌّ صَدَقَةٌ بِدَلِيْلِ قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِي وَالْمُسْلِم) فَلَمْ يُخَصَّ الصَّدَقَةُ بِالْمَالِ (مختصر تذكرة القرطبي: 25)

Artinya; Para Ulama telah sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-qur’an, doa dan istighfar, karena semua itu adalah sedekah. Sebagaimana sabda Rasulullah “setiap kebaikan adalah sedekah”(HR. Bukhari dan Muslim) Nabi tidak mengkhususkan sedekah itu hanya berupa harta benda saja (namun juga bisa berupa bacaan al-quran, doa, dan istighfar dan lain sebagainya”). (Mukhtashar Tadzkirah Al-Qurthubi, 25)
Biasanya orang wahabi akan mengatakan bahwa dalil di atas bertentangan dengan Surat An-Najm; 39 yang menyatakan bahwa manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakan. Jadi pahala tahlil tidak bermanfaat bagi mayyit.
Ucapan wahabi tersebut telah dibantah oleh Dr. Muhammad Bakar Ismail dengan menukil penjelasan Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (Panutan Wahabi), sebagai berikut:

وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِي سُوْرَةِ النَّجْمِ: ﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى﴾. فَاِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ, فَلَوْلَا اَنَّهُ كَانَ بَارًا بِـهِمْ فِي حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّـمُوا عَلَيْهِ وَلاَ تَطَوَّعُوا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِي الْـحَقِيْقَة ثَـمْرَةٌ مِنِ ثِـمَارِ بِرّهِ وَاِحْسَانِهِ

Artinya: “Dalil-dalil tersebut tidak bertentangan dengan ayat yang artinya: Bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. Al-Najm, 39) “Sesungguhnya hadiah pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri karena seandainya jika ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu, sejatinya apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (al-Fiqh al-Wadlih, juz 1, hal. 449).

Meskipun dalil-dalil sampainya pahala yang dikirimkan kepada mayyit begitu jelas dan telah menjadi kesepakan ulama, namun para ahli bid’ah menolak dalil dan kesepakan tersebut sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Ibnu Qoyyim. Katanya:


وَذَهَبَ أَهْلُ اْلبِدَعِ مِنْ أَهْلِ اْلكَلَامِ أَنَّهُ لَايَصِلُ إِلَى اْلمَيْتِ شَىءٌ اَلْبَتَّةَ لَا دُعَاءٌ وَلَا غَيْرُهُ (اَلْرُوْحُ: 117)

“Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa menghadiahkan pahala baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia ” (Al-Ruh, 117)
Dapat disimpulkan bahwa Tahlilan Itu Bid'ah menurut ahli bid'ah. Wallohu a'lam.
Oleh: Ibnu Qosim Aly https://plus.google.com/115121577207723835955

4 komentar:

  1. maaf atas kebodohan saya yang tidak tahu banyak tentang islam, dari artikel ini saya tangkap bahwa orang yg menyebut tahlilan adalah bid'ah atau yang tidak melakukan tahlilan anda sebut wahabi, berati Nabi Muhammad dan para sahabat adalah wahabi?

    karena setau saya nabi Muhammad tidak pernah melakukan tahlilan seperti yang anda maksud.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar 2 pengikut wahabi itu bodoh kelihatan dari cara komentar

      Logika anda itu gimana brow 2
      Jika bodoh belajarlah pada ulama
      Sehingga tidak jadi korban doktrin sekte wahabi
      Ahli bid'ah aqidah yg muncul 1115 H

      Hapus
  2. yah betul ini, manusia zaman sekarang menganggap dirinya lebih pintar dan lebih lurus dari Nabi dan para sahabat dalam masalah ibadah. sebenarnya ga perlu aneh2, apa2 yang sudah diajarkan nabi saja belum tentu kita bisa melaksanakan semuanya, ini malah berkreasi

    BalasHapus