Sabtu, 14 Februari 2015

Bid'ah hasanah & Kerancuan Wahabi

TULISAN INI SEBAGAI TANGGAPANTERHADAP TEORI ANTI BID’AH HASANAH YANG DITULIS OLEH SYAIKH IBNU ‘UTSAIMIN(WAHABI) DALAM KEDUA KITABNYA, SYARH AL-‘AQIDAH AL-WASITHIYYAH DAN AL-IBDA’ FIKAMAL AL-SYAR’I WA KHATHAR AL-IBTIDA’.ARTIKEL INI SENGAJA KAMI TULIS DALAM FORMAT DIALOG AGAR MUDAH DIFAHAMI.

SEBAGIAN TULISAN JUGA BAGIAN DARI DIALOG KAMIDENGAN SALAH SEORANG USTADZ WAHABI DI MASJID AL-HIDAYAH MAASING MANADO,SULAWESI UTARA PADA 26 MARET 2013 YANG LALU.

SUNNI: “Membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanahdan bid’ah sayyi’ah, merupakan keniscayaan dari pembacaan terhadap sekianbanyak teks al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kami, Ahlussunnah Wal-Jama’ahmembagi bid’ah menjadi dua, dan bahkan membagi bid’ah sebanyak hukum-hukumsyar’i yang lima (wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh), karena berangkatdari sekian banyak dalil.

Para ulama mendefinisikan bid’ah sebagai berikut.Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M), ulamaterkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’idal-Ahkam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمامعزالدينبنعبدالسلام،قواعدالأحكام،۲/١٧۲).


“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidakpernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW”. (Qawa’id al-Ahkam fiMashalih al-Anam, 2/172).

Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-ImamMuhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M),hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata:

هِيَ إِحْدَاثُ مَالَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.(الإمام النووي،تهذيب الأسماء واللغات،٣/۲۲).


“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yangbelum ada pada masa Rasulullah SAW”. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,3/22 ).

Pembagian bid’ah menjadi dua, berangkat darihadits-hadits berikut ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلىالله عليه وسلم: إِنَّ خَيْرَالْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّاْلأُمُوْرِمُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ.(رواهمسلم).


“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAWbersabda: “Sebaik-baik upcapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalahpetunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiapbid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itukesesatan. Kemudian jangkauan hukum hadits tersebut dibatasi oleh sekian banyakdalil, antara lain hadits berikut:

عَنْ جَرِيْرِبْنِ عَبْدِاللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلىالله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِأَنْيَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِأَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواهمسلم


“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, RasulullahSAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka iaakan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnyatanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulaiperbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orangyang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR.Muslim).

Dalam hadits pertama, Rasulullah SAW menegaskan,bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah SAWmenegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam,maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannyasesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan maknahadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam haditskedua, Nabi SAW menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatanyang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkandan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah dicontohkan dan belumpernah ada pada masa Nabi SAW.”

WAHABI: “Maaf, kami tetap menolak pembagian bid’ahmenjadi berapapun berdasarkan hujjah sebagai berikut. Syaikh Ibnu ‘Utsaiminberkata:

قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) كُلِّيَّةٌ،عَامَّةٌ،شَامِلَةٌ،مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ(كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ،أَوْ إِلَى أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًاهَذَا لاَ يَصِحُّ.


“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifatgeneral, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull(seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akanpernah benar.”
(Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khatharal-Ibtida’, hal. 13, dan Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 315, cet.5 Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh 1419 H).

SUNNI: “Owh, jadi Anda menolak pembagian bid’ahhasanah menjadi dua, dan lima, dengan mengambil hujjah dari pernyataan SyaikhIbnu Utsaimin, bahwa dalam hadits kullu bid’atin dhalalah terdapat lafal kullu,yang bermakna keseluruhan bid’ah itu tersesat tanpa terkecuali, sehingga haditsberikutnya, yang kami sampaikan di atas, menurut Anda tidak membatasi terhadaphadits kullu bid’atin dhalalah. Bagus kalau begitu. Sekarang di sini kami akanmenolak hujjah Anda dengan pernyataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga dalam kitabyang sama, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah.

Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau limabagian berdasarkan logika di atas, harus dipertimbangkan. Karena tidak semuakosa kata “kullu” dalam al-Qur’an dan hadits, bermakna menyeluruh tanpamemiliki pengecualian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnyaberkata:

أَنَّ مِثْلَ هَذَا التَّعْبِيْرِ(كُلُّ شَيْءٍ)عَامٌّ قَدْ يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ، مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالىَ عَنْ مَلِكَةِ سَبَأٍ:(وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ)، وَقَدْ خَرَجَ شَيْءٌ كَثِيْرٌلَمْ يَدْخُلْ فِيْ مُلْكِهَا مِنْهُ شَيْءٌ مِثْلُ مُلْكِ سُلَيْمَانَ.


“Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)”adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna yang terbatas,seperti firman Allah SAW tentang Ratu Saba’: “Ia dikarunia segala sesuatu”.(QS. al-Naml : 23). Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalamkekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman AS.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarhal-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 1 hal. 430).

Dalam pernyataan di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaiminjelas sekali, bahwa kalimat kullu dalam ayat al-Qur’an yang dibawakan olehbeliau, tidak bermakna keseluruhan, akan tetapi bermakna sebagian. Nah, mengapaketika menghadapi hadits kullu bid’atin dhalalah, beliau tidak konsisten dengankaedah yang digunakan tersebut???? Apa bedanya hadits dengan al-Qur’an??? Jadi,kalau Anda menolak bid’ah hasanah dengan alasan lafal kullu, Anda juga tertolakdengan lafal kullu versi Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga.

Nah, sekarang Anda harus menjelaskan makna haditsman sanna sunnatan seperti yang dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi, sebagaipen-takhshish (yang membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah.”

WAHHABI: “hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali,tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelasmembicarakan sunnah Rasul SAW. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna filIslaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latarbelakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang adatuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Anda jadikan dalilbid’ah hasanah tidak proporsional.”

SUNNI: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullahal-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harustahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnahsecara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqahmardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatanyang diridai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisadimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiySAW min qaulin au fi’lin au taqrir (segala apa yang datang dari Nabi SAW, baikberupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologisahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya,Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkandengan Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian haditstersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks haditstersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatanhasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatansayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kitamaksudkan pada Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akanmelahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul SAW itu ada yang hasanah (baik)dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Olehkarena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits mansanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullubid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perludisangsikan.

Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadilatar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuransedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu ushul fiqihtelah kita kenal kaedah, al-‘ibrah bi’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab,(peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukanmelihat pada konteksnya yang khusus).”

WAHABI: “Bagaimanapun kami tidak menerima bid’ahhasanah. Hadits kullu bid’atin dhalalah masih diperkuat oleh hadits lain yangberbunyi:

قال رسول الله صلىالله عليه وسلم: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم


“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yangmengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk daribagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.

Allah SWT juga menegaskan, bahwa Islam telahsempurna, sehingga tidak perlu ditambah-tambahi lagi. Dalam surat al-Maidah,ayat 3 disebutkan:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ.


“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu danaku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna.Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwaIslam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ahhasanah.”

SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda tidak menjawabhujjah kami, dan berarti Anda lemah secara logika agama. Anda tidak punyadalil. Sedangkan hadits yang Anda ajukan barusan, justru memperkuat pandangankami, bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.Hadits tersebut berbunyi begini:

قال رسول الله صلىالله عليه وسلم: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم


“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yangmengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk daribagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.

Hadits ini jelas memperkuat bid’ah hasanah. Karenadalam hadits tersebut dinyatakan secara tekstual, “mengada-ada dalam urusankami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelastertolak”. Di sini, sangat jelas bahwa yang ditolak adalah sesuatu yangdiada-ada dan bukan bagian dari agama. Berarti secara mafhum (pemahaman),sesuatu yang diada-ada di dalam agama, tetapi termasuk bagian dari agama, makasesuatu tersebut tidak ditolak. Bukankah begitu??? Bukankah ini yang namanyabid’ah hasanah???

Sedangkan ayat 3 al-Maidah yang Anda sampaikan,tidak bisa dijadikan dalil anti bid’ah hasanah. Karena yang dimaksudkesempurnaan agama dalam ayat tersebut, bukan penolakan bid’ah hasanah.Silahkan Anda baca penafsiran ayat tersebut dalam al-Durr al-Mantsur, karyaal-Imam Jalaluddin al-Suyuthi yang menghimpun semua penafsiran ulama salaf.Sebagian ada yang menafsirkan kesempurnaan agama, dengan sempurnanyadalil-dalil halal dan haram. Sebagian ada juga yang menafsirkan denganpenaklukan kota Makkah. Oleh karena itu, apabila ayat 3 al-Maidah tersebutdipaksakan sebagai penolak bid’ah hasanah, justru malah sebaliknya, adanyabid’ah hasanah termasuk bagian dari kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnyadiambil dari ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.”

WAHABI: “Anda mengada-ada. Di dalam al-Qur’an tidakada dalil bid’ah hasanah.”

SUNNI: “Dalam al-Qur’an ada isyarat yangmembenarkan bid’ah hasanah. Dalam al-Mu’jam al-Ausath karya al-Imamal-Thabarani disebutkan:

عن أبي أمامة الباهلي قال: سمعت رسولالله صلى الله عليه وسلم يقول: إن الله فرض عليكم صوم رمضان ولم يفرض عليكم قيامه وإنما قيامه شيء أحدثتموه فدومواعليه فإن ناسا من بني إسرائيل ابتدعوا بدعة فعابهم الله بتركها فقال: { رهبانية ابتدعوها وماكتبناهاعليهم إلاابتغاء رضوان الله} إلى آخرالآية


“Abu Umamah al-Bahili berkata: “Aku mendengarRasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu puasaRamadhan, dan tidak mewajibkan qiyam (ibadah sunnah pada malam harinya) padakamu. Qiyam tersebut hanyalah sesuatu yang kamu ada-adakan, maka teruslah melakukannya. Karena sekelompok manusia dari kaum Bani Israil membuat-buat bid’ah, lalu Allah mencela mereka sebab meninggalkannya. Allah berfirman: “dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaanAllah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.”.
(HR al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath [7450]. Al-Hafizh al-Haitsami berkatadalam Majma’ al-Zawaid, dalam sanad nya terdapat Zakariya bin Abi Maryam, yangdidha’ifkan oleh al-Nasa’i dan lainnya.).

Hadits di atas, meskipun sanadnya dha’if, lemah,akan tetapi maknanya benar. Ayat al-Qur’an tersebut memberikan isyarat terhadapotoritas bid’ah hasanah. Karena Allah mencela kaum Bani Israil bukan karenamereka mengada-adakan rahbaniyyah, akan tetapi mencela mereka karena tidakistiqomah dan meninggalkan rahbaniyyah yang mereka ada-adakan. Ayat tersebutjuga menjadi dalil, bahwa seseorang yang telah melakukan bid’ah hasanah, makahendaklah, istiqomah melakukan bid’ah hasanah tersebut selamanya.”

WAHABI: “Kami tetap menolak pembagian bid’ahmenjadi dua, karena hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, di atas bukanpen-takhshih (membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah. SyaikhIbnu ‘Utsaimin berkata, bahwa yang dimaksud man sunnatan hasanatan adalahal-mubadaratu bifi’liha (segera melakukan), bukan yang pertama kali melakukan.(Lihat, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal.319)”

SUNNI: “Kalau begitu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin perludipertanyakan. Mengapa? Karena dalam kitab-kitab kamus, tidak ada yangmengartikan sanna sunnatan dengan al-mubadartu bifi’liha. Justru yang adaadalah sebagai berikut:

سنّ فُلَان السّنة وَضعهَا وكل من ابْتَدَأَ أمرا عمل بِهِ قوم من بعده فَهُوَالَّذِي سنه


“Si fulan men-sunnahkan suatu sunnah (perbuatan),maksudnya membuatnya. Setiap orang yang memulai suatu perkara, yang diamalkan oleh orang sesudahnya, maka dialah yang memulainya.” (al-Mu’jam al-Wasithi,hal. 455).

WAHABI: “Syaikh Ibnu ‘Utsaimin itu seorang ulama, danjelas lebih alim dari pada Anda. Kutipan dari kitab Kamus yang Anda kemukakantentu tidak ada dasar haditsnya.”

SUNNI: “Maaf, Syaikh Ibnu Utsaimin memang alim,akan tetapi para ulama yang kami bela, dan menetapkan bid’ah hasanah, justruulama salaf dan jauh lebih alim dari pada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Mereka yangmenetapkan adanya bid’ah hasanah mulai dari Khulafaur Rasyidin, Sayyidina AbuBakar, Sayyidina Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Kemudian Imamal-Syafi’i dan lain-lain. Sedangkan kutipan dari kitab Kamus, itu tidak perluada dasar dari hadits. Karena makna suatu bahasa, itu sudah tradisi. Justrumakna ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang belum kita fahami harus kita cari dikamus. Sedangkan bahwa lafal sanna sunnatan itu bermakna memulai perbuatanpertama kali, justru sangat banyak dasar haditsnya. Misalnya dalam kasus, tatacara makmum masbuq dalam shalat berjama’ah, orang yang pertama kali melakukannya adalah Sayyidina Mu’adz bin Jabal, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari NabiSAW. Lalu Nabi SAW bersabda tentang perbuatan Mu’adz tersebut:

قد سن لكم معاذ وهكذا فاصنعوا


“Mu’adz telah memulai cara baru dalam shalat untukkalian. Dan demikianlah seharunya kamu lakukan.” (HR. Ahmad, al-Thabarani danlain-lain.”

Nah, dalam hadits ini, jelas sekali, sannadisabdakan oleh Nabi SAW untuk tatacara makmum masbuq yang dibuat pertama kalioleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dan tentu saja masih adahadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa kalimat sanna sunnatan bermaknamemulai suatu perbuatan, dari tidak ada menjadi ada.”

WAHABI: “Maaf, mungkin maksud pernyataan KhalifahUmar, itu tentang shalat tarawih, beliau berkata, ini sebaik-baik bid’ah. Nah,itu Anda berarti tidak tahu bro. Itu maksudnya bid’ah lughawiyah, bid’ah secarabahasa.”

SUNNI: “Maaf, Anda beralih dari persoalan tadi.Berarti Anda mengaku kalah dan takluk dengan hujjah kami. Sekarang sayabertanya, apakah Anda sebagai juru bicara Sayyidina Umar?

WAHABI: “Ya tentu saja bukan.”

SUNNI: “Yang mengakatan, bahwa maksud bid’ah dalamperkataan Khalifah Umar, sebagai bid’ah secara bahasa, apakah Khalifah Umarsendiri atau justru dari Anda?”

WAHABI: “Ya itu penafsiran dari golongan kami yangAnda katakan Wahabi itu lah, bukan beliau Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.”

SUNNI: “Nah itu letak kesalahan Anda. Yang jelas,Khalifah Umar menyampaikan pernyataannya, bukan dalam kapasitas sebagai dosenbahasa di perguruan tinggi. Akan tetapi dalam kapasitas sebagai Khalifah syar’iyang Rasyid. Oleh karena itu, pernyataan beliau harus diartikan secara syar’i,bukan lughawi. Lagi pula Rasulullah SAW bersabda tentang Khalifah Umar:

عن ابن عمرقال قال رسول الله صلىالله عليه وسلم: إن الله جعل الحق على لسان عمروقلبه


“Ibnu Umar berkata: “Rasulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran melalui lidah Umar dan hatinya.” (HRAhmad dan al-Tirmidzi, hadits hasan shahih).

Seandainya pernyataan Khalifah Umar tentang shalattaraweh di atas kita artikan dengan bid’ah lughawi, tentu sabda Nabi SAW diatas akan tersia-sia. Karena Anda akan berkata, bahwa kebenaran yang dijadikanAllah melalui lidah Umar dan hatinya adalah kebenaran secara bahasa/lughawi,bukan secara syar’i. Apakah begitu???”

WAHABI: “Sebagian ulama mendefinisikan bid’ah,tidak seperti definisi yang dikutip oleh Anda. Tetapi ada definisi bid’ah versiyang lain. Dalam hal ini al-Imam Asy-Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwabid’ah adalah :

عِبَارَةٌعَنْطَرِيْقَةٍفِيالدِّيْنِمُخْتَرَعَةٍتُضَاهِيالشَّرْعِيَّةَيُقْصَدُبِالسُّلُوْكِعَلَيْهَاالمُبَالَغَةُفِيالتَّعَبُدِللهِسُبْحَانَهُ


“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yangdibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yangdimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadahkepada Allah Ta’ala.”

SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda beralih ke persoalanlain, dan membuktikan bahwa Anda kehabisan hujjah. Bukti bahwa pendapat kaumWahabi yang Anda ikuti sangat lemah dan rapuh sekali.
Justru menurut saya, definisi versi al-Syathibiyang Anda kutip, termasuk definisi bid’ah versi bid’ah, bukan definisi bid’ahversi sunnah. Mengapa begitu??? Dalam hadits shahih, Nabi SAW telahmendefinisikan bid’ah sebagai berikut:

كل محدثة بدعة


“Setiap perkara baru adalah bid’ah.” (HR. Muslim).

Nah, dalam hadits di atas, Nabi SAW mendefinisikanbid’ah dengan, “Setiap perkara baru”, secara mutlak. Definisi bid’ah versial-Syathibi, ternyata banyak tambahan terhadap definisi bid’ah versi haditsshahih, karena itu sangat tidak tepat untuk diikuti.”

WAHABI: “Maaf, kami tidak setuju bid’ah hasanah, karena sahabat Ibnu Umar berkata:

أَعَنِ ابْنِ عُمَرَ،قَالَ:" كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً"


“Ibnu ‘Umar, berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].

WAHABI: “Ada tiga jawaban terhadap pernyataan Anda.Pertama, dalil bid’ah hasanah adalah ayat al-Qur’an dan hadits shahih, sebagaimanaAnda tidak bisa menjawabnya tadi. Kalau sudah ada dalil ayat al-Qur’an danhadits shahih, mengapa harus mengutip Ibnu Umar???

Kedua, maksud pernyataan Ibnu Umar tersebut, adalahbid’ah yang bertentangan dengan dalil-dalil syar’i (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Qiyas). Jadi bukan semua bid’ah. Mengapa harus kita artikan demikian?Karena Ibnu Umar sendiri termasuk pengamal bid’ah hasanah. Ada fakta yang tidakbisa Anda tolak, bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa doa talbiyah yangdibaca oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَلاَشَرِيْكَلَكَلَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لكَ.


Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doatalbiyah tersebut dengan kalimat:

لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.


Hadits tentang doa talbiyah Nabi SAW dan tambahanIbnu Umar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud(1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar juga melakukan tambahandengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkandalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaantalbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:

لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَاالنَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.


Ketiga, pernyataan Ibnu Umar juga harus dipadukandengan pernyataan para sahabat Nabi SAW yang lain, misalnya Sayyidina Abdullahbin Mas’ud yang menetapkan bid’ah hasanah berdasarkan perkataan beliau:

مَارَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَعِنْدَاللهِ حَسَنٌ وَمَارَأَوْاسَيِّئًا فَهُوَعِنْدَاللهِ سَيِّئٌ


“Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal itu baik menurut Allah. Dan apa saja yang dianggap buruk oleh umat Islam,maka menurut Allah juga buruk.” (HR Ahmad dalam al-Musnad [3600], dengan sanadhasan.”

WAHABI: “Maaf, sebagian ustadz-ustadz kami yangpakar hadits dan punya situs di internet, berpendapat bahwa pernyataan paraulama seperti al-Imam Izzuddin bin Abdussalam, al-Imam an-Nawawi dan lain-lainyang membagi bid’ah menjadi dua dan lima, itu bid’ah secara bahasa/lughawi,bukan bid’ah secara syar’iy. Bagaimana jawaban Anda?”

SUNNI: “Itu sudah kami jawab dalam postingsebelumnya. Saya pikir ustadz-ustadz Anda yang Wahabi itu sedang di alam mimpi,bukan di alam sadar. Beliau mungkin sedang bermimpi bahwa Imam ‘Izzuddin danImam an-Nawawi berbicara bid’ah dalam kapasitas sebagai dosen bahasa diuniversitas wahabi. Itu namanya ya alam mimpi. Perlu Anda sadari (janganbermimpi), bahwa beliau berdua menjelaskan bid’ah dalam kapasitas sebagai ulamafiqih atau syari’at, dan dalam kitab fiqih dan syari’at, bukan kitab kamus.Karena itu pembagian bid’ah oleh mereka, jelas bid’ah secara syari’at, bukanbahasa. Jadi kalau kuliah jangan tidur terus.”

WAHABI: “Apakah Anda seorang pakar hadits?”

SUNNI: “Saya hanyalah seorang santri dan pencariilmu, bukan pakar hadits seperti seperti ustadz-ustadz Wahabi yang kalianbanggakan. Maaf, mulai tadi Anda selalu beralih dari persoalan inti, dan buktikalau hujjah Anda lemah semua, alias tidak kuat. Bukti ajaran Wahabi itu lemahdan batil.”

WAHABI: “Saya memang meragukan kebenaran ajaranWahabi. Tapi kenapa ya, hujjah kaum kami selalu lemah menghadapi kelompok Anda,padahal ustadz-ustadz kami selalu mengaku pakar hadits?”

SUNNI: “Itu karena aliran Anda Wahabi, dan merekaCuma ngaku saja sebagai pakar hadits. Kenyataannya ya, saya tidak tahu. Mungkinjuga ngakunya karena mereka telah bermimpi diwisuda oleh Syaikh al-Albani sebagaipakar hadits. Sedangkan kami adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang selalu diberipertolongan oleh Allah SWT, karena ajaran kami benar, mengikuti ajaran kaumsalaf.”

WAHABI: “Kalau begitu, kami akan ikut AhlussunnahWal-Jama’ah saja, keluar dari Wahabi.”

SUNNI: “Ya itu yang lebih bagus, semoga Andasemakin rajin mencari ilmu. Amin.”

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli

Sumber :
https://www.facebook.com/notes/10151364417371082/?pnref=story

Tidak ada komentar:

Posting Komentar