Rabu, 11 Februari 2015

Wahabi ‘MALU-MALU KUCING’ mengakui adanya bidah hasanah

Berikut format dialog antara Wahabi dengan Mantan Wahabi perihal sikap Mufti Wahabi ‘MALU-MALU KUCING’ mengakui adanya bidah hasanah.Entah apa maksudnya Syech Bazz berfatwa mengandung jelas sekali muatan bidah hasanah namun secara bersamaan dia dan juga kaumnya menolak keras apa yang namanya bidah hasanah tersebut.Welehhhhh…welehhhhhhh…,dari pada ikut-ikutan ling-lung seperti Bazz (ulama wahabi) mending langsung disimak aj format dialog sederhana ini bro… :)

W (Wahabi): “Tadi malam, Anda mengatakan bahwa ulama wahabi secara diam-diam melegalkan bid’ah hasanah. Padahal secara tegas mereka sangat keras menolak bid’ah hasanah. Coba Ente jelaskan bro.”
MW (Mantan Wahabi): “Memang secara eksplisit ulama wahabi sangat keras menolak bid’ah hasanah. Tapi secara implicit mereka menerima bid’ah hasanah dan menganjurkan atau melegalkna, Cuma mereka tidak mau menyebutnya bid’ah hasanah.”
W: “Ente ngawur bro. Di mana ulama wahabi melegalkan amalan bid’ah hasanah?”
MW: “Coba ente perhatikan bro, bagaimana ulama wahabi melegalkan acara tahunan yang disebut dengan Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), tanpa ada dalil secara khusus. Kalau kami kaum Ahlussunnah menamakan hal semacam ini termasuk bid’ah hasanah bro.”
W: “Apa ente pernah membaca fatwa Syaikh Ibnu Baz yang secara implicit melegalkan bid’ah hasanah bro?”
MW: “Ya banyak bro, fatwa-fatwa beliau yang membolehkan sesuatu karena sudah melekat dengan tradisi kaum wahabi di Najd, tanpa ada dalil secara khusus.”
W: “Contohnya bro?”
Lalu MW mengambilkan juz 13 dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, kitab setebal 30 jilid, yang berisi himpunan fatwa-fatwa Syaikh Ibnu Baz, yang dihimpun oleh muridnya Dr Muhammad bin Sa’ad al-Syuwai’ir. Lalu MW membuka halaman 25, tentang ucapan selamat hari raya.
MW: “Coba baca ini bro”



W membaca dengan bagus dan cepat, karena ia pernah sama-sama di LIPIA, lembaga pendidikan ajaran Islam Wahabi di Jakarta. Kemudian W menerjemahkannya: “UCAPAN SELAMAT HARI RAYATIDAK ADA LARANGAN SEORANG MUSLIM BERKATA KEPADA SAUDARANYA PADA WAKTU HARI RAYA ATAU LAINNYA, “SEMOGA ALLAH MENERIMA AMAL SHALEH DARI KAMI DAN DARI ANDA”. AKU TIDAK MENGETAHI SESUATU YANG DITETAPKAN BERDASARKAN NASH MENGENAI HAL INI. SEORANG MUKMIN HANYALAH MENDOAKAN SAUDAANYA DENGAN DOA-DOA YANG BAIK, KARENA DALIL-DALIL YANG BANYAK YANG DATANG MENGENAI HAL TERSEBUT.”
Bro, menurut ente, apanya yang bid’ah hasanah? Syaikh tidak menjelaskan hal ini bid’ah hasanah.”
MW: “Coba ente perhatikan bro, Syaikh Ibnu Baz membolehkan doa ucapan selamat hari raya dengan kalimat “semoga Allah menerima amal shaleh dari kami dan dari Anda”. Padahal kata beliau, beliau tidak mengetahui ada dalil nash mengenai hal tersebut. Cuma karena isinya doa-doa baik untuk sesama mukmin, Syaikh Ibnu Baz membolehkan berdasarkan ijtihad beliau. Kalau tidak ada dalil nash, lalu menganggap baik, bukankah ini berarti bid’ah hasanah dalam istilah kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah, meskipun kalian enggan menerima istilah tersebut?”
W: “Iya juga ya. Padahal saudara-saudara kami kaum Wahabi sering mengejek warga nahdliyyin karena mengikuti pendapat ulama, tanpa ada dalil nash secara khusus. Ternyata Syaikh Ibnu Baz juga berfatwa tanpa ada dalil nash secara khusus, kecuali dalil-dalil umum, yang kekuatannya sama dengan dalil-dalil tahlilan. Aneh juga ya bro.”
MW: “Begitulah para ulama wahabi bro. Mereka mudah memvonis bid’ah amaliah orang lain yang tidak menjadi tradisi mereka. Tetapi mereka mudah sekali mencari pembenaran amalan mereka yang tidak memiliki dalil nash secara khusus, seperti acara Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dan acara hari nasional berdirinya kerajaan Saudi Arabia. Para ulama wahabi mencari-cari dalil untuk membenarkan hal tersebut.”
W: “Ada nggak bro, contoh lain bid’ah hasanah secara implicit dalam fatwa Syaikh Ibnu Baz?”
MW: “Baca sendiri aja kitab itu. Ente sendiri kan punya juga kitabnya.”
W: “Malas bro yang mau baca.”
MW: “Coba ente buka kitab itu juz 13 halaman 340 tentang doa bersama di kuburan.”


W: “Ana baca bro: HUKUM DOA BERSAMA DI KUBURANTIDAK ADA DALIL YANG MELARANG DOA BERSAMA DI KUBURAN. APABILA SESEORANG BERDOA, LALU ORANG-ORANG YANG MENDENGARNYA MEMBACA AMIN, MAKA HUKUMNYA BOLEH, APABILA HAL ITU TIDAK DIRENCANAKAN. MEREKA HANYA MENDENGAR SEBAGIAN BERDOA, LALU MEREKA MENGAMINI. HAL SEPERTI INI TIDAK DINAMAKAN DOA BERSAMA KARENA TIDAK DIRENCANAKAN.”

Bro apanya yang bid’ah hasanah di sini?”
MW: “Coba ente pikir bro, Syaikh Ibnu Baz membolehkan dia bersama di kuburan, alasannya karena tidak ada dalil yang melarang. Alasan seperti ini kan bisa digunakan oleh kami, boleh tahlilan, dzikir bersama, Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan lain-lain karena tidak ada dalil yang melarang. Bukankah seperti ini yang kami namakan bid’ah hasanah bro?”
W: “Bro, masalah ini berbeda dengan amalan-amalan kaum ente seperti tahlilan, haul, maulidan dan lain-lain. Syaikh Ibnu Baz kan sudah menjelaskan, doa seperti di atas boleh apabila tidak direncanakan.”
MW: “Loh, justru ini yang menjadi pertanyaan kami. Kalau acara doa bersama di kuburan direncanakan, ada nggak dalil khusus yang melarangnya? Kan tidak ada juga. Kalau tidak ada larangan, kenapa Syaikh Ibnu Baz melarangnya? Bukankah berarti Syaikh Ibnu Baz mengada-ada dalam memberikan batasan boleh tidak nya suatu amalan. Apakah ini bukan bid’ah yang tercela bro?”
W; “Betul juga bro. Jadi bingung dengan fatwa Syaikh Ibnu Baz ini.
Ust.Idrus Ramli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar