Selasa, 24 Februari 2015

Pembagian Hadis

Pembagian Hadits dari segi jumlah perawi




Para ulama membagi hadits kepada beberapa jenis. Pembagian tersebut akan berbeda menurut arah tinjauan yang berbeda. Yang akan kami bahas dalam postingan ini adalah pembagian hadits dari segi kuantitas sanad; yaitu pembagian hadits dari sisi jumlah perawinya.

1. Mutawatir

Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dalam jumlah yang banyak pada setiap tingkatan sanatnya, yang menurut akal biasanya tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkannya pada suatu yang dapat diketahui dengan indra seperti pendengarannya dan semacamnya.

Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa sebuah hadits baru disebut mutawatir harus memiliki empat syarat,
pertama, diriwayatkan oleh jumlah perawi yang banyak.
Kedua, jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.  
Ketiga, menurut logika jumlah mereka kebiasaan tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
Keempat, sandaran hadits mereka dengan menggunakan indra seperti perkataan mereka kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau lainnya. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.

Menurut pendapat kuat, tidak disyaratkan jumlah tertentu pada perawi mutawatir, tetapi yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran bahwa hadits itu bersumber dari rasulullah. Namun demikian, diantara ulama ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut, seperti empat orang, lima orang, dua belas orang, empat puluh orang, tujuh puluh orang, dan bahkan ada yang berpendapat jumlahnya harus ada tiga ratus lebih. Meskipun tidak mengsyaratkan jumlah tertentu, namun menurut as-sayuthi, sebagaimana yang dikutip oleh az-zarkani bahwa jumlah perawi mutawatir minimal harus ada sepuluh orang.

Dalam hal keotentikannya, hadits mutawatir disejajarkan dengan al-quran, karena keduanya merupakan sesuatu yang pasti adanya (qath’i al-wurud). Menurut pendapat kuat, pengetahuan yang didapatkan melalui hadits mutawatir merupakan pengetahuan yang berada pada pendapat yakin (qath'i), bukan bersifat dugaan (dhanni). Itulah para ulama sepakat bahwa hadits mutawatir wajib diamalkan.
Hadits mutawatir terbagi dua bagian, yaitu pertama, mutawatir pada lafazh dan makna. Kedua, mutawatir pada makna saja sedangkan pada lafazhnya berbeda-beda pada redaksi.[1]

2. Ahad

Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, atau dua, ataupun tiga orang perawi, selama tidak sampai jumlah mereka pada tingkat mutawatir. Hadits ahad terbagi tiga bahagian:
  1. Masyhur
    Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan sanatnya, selama tidak sampai kepada jumlah perawi mutawatir.
    Dari defenisi ini dapat dipahami bahwa tiga orang merupakan persyaratan minimal untuk disebut sebagai hadits masyhur.
  2. Aziz
    Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada setiap tingkatan sanadnya.
  3. Gharib
    Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi pada setiap tingkatan sanadnya.
Mengenai keotentikannya, jika setelah ditelusuri dan diteliti ternyata sebuah hadits ahad memenuhi persyaratan standar hadits yang diterima (maqbul), maka hadits ahad dihukum sebagai hadits shahih. Jika sebaliknya, maka hadits ahad divonis sebagai hadits dha’if. Meskipun demikian, kebiasaan yang terjadi pada hadits gharib adalah tidak shahih. Karenanya, sebahagian ulama malah membenci penusuran terhadap hadits-hadits yang tergolong gharib.[2]

Kebenaran berita yang terkandung dalam hadits ahad adalah bersifat dugaan (Zhanni), tetapi wajib juga diamalkan. Hal ini berbeda dengan berita yang dibawa oleh hadits mutawatir, dimana beritanya dihukum pasti dan menyakinkan (qath’i). [3]
----------------------------------------------------------------
  1. Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal lathif..., h 94-95
  2. Al-Zarqani, Syarh Manzhumah al-Bayquniah.., h 59
  3. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Taudhih al-nazhr.., h 55-57 
  4. Abdul Majid khon, Ulumul Hadits.., 81-82

Sumber; Hadits dan Ilmu Hadits, Makalah Tgk. H. Helmi Imran pada acara PKU MPU Aceh angkatan ke XXII tahun 2014

Pembagian Ilmu Hadits; Riwayah dan Dirayah 

 

Ilmu Hadits terbagi kepada dua, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.

1.Ilmu Hadits Riwayah

Para ulama hadits memberikan pengertian yang beragam terhadap hadits riwayah, tetapi mereka mempunyai maksud yang sama. Dari beberapa redaksi yang berbeda dapat ditarik pemahaman bahwa ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas tentang periwayatan secara teliti dan hati-hati terhadap apa saja yang di sandarkan kepada nabi, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifatnya. Dengan kata lain, ilmu ini merupakan ilmu mengenai periwayatan hadits. Ilmu ini diperkenalkan dan dibukukan pertama kali oleh Muhammad Ibnu Syihab al-Zuhri (w.124 h) pada masa kekalifahan ‘Umar ibnu ‘Abdul Aziz.[1]

Objek pembahasannya adalah diri Nabi SAW dari segi perkataannya, perbuatannya, persetujuannya, sifatnya, dengan tanpa membicarakan nilai shahih atau tidaknya. Fokus pembicaraan ilmu ini hanya menyangkut periwayatan empat aspek tersebut dari Nabi. Ilmu ini tidak menyinggung tentang kualitas perawi atau kejanggalan matan yang diriwayatkan. Adapun faedah ilmu mempelajarinya adalah memelihara hadits Nabi secara berhati-hati dari kesalahan dalam periwayatan, menjaga kemurnian syari’at, menyebar luaskan sunnah Nabi dan meneladani beliau dalam segala aspek.[2] Karena tidak membicarakan tentang kualitas dan kesahihan sebuah hadits yang diriwayatkan, maka hampir semua literatur ilmu hadits tidak membahas secara panjang lebar tentang hal-hal yang terkait dengan ilmu ini.

2.Ilmu Hadits Dirayah

Dari beberapa redaksi ulama dalam mendefenisikan, dapat ditarik pemahaman bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanat dan matan hadits serta menentukan keshahihannya.[3] Objek pembasannya adalah sanat dan matan dari segi apakah dapat diterima atau harus di tolak, dengan mengukur dan menimbang dengan kaedah-kaedah yang telah ditentukan. Oleh karenanya, secara lebih rinci, ilmu juga membahas tentang cara-cara yang dipakai dalam menerima dan memberikan hadits, sifat-sifat perawi, ketersambungan sanat, dan keteputusannya, kesesuaian matan dan kejanggalannya, dan lain-lain sampai hal-hal yang terkait dengan periwayatan secara makna.
Ilmu ini diperkenalkan dan dibukukan pertama kali oleh Al-Qadhi Abu Muhammad Ibnu ‘Abdurrahman al-Khalad al-Rahurmuzi (w. 360 h) . Ia merupakan orang pertama yang menulis ilmu ini dal;am kitab yang diberi nama al-Muhaddits al-Fadhil. Adapun faedah mempelajarinya adalah dapat mengetahui kualitas sebuah hadits apakah dapat diterima ataupun ditolak setelah mengaplikasikan kaidah-kaidah yang ditetapkan.[4] Disamping namanya ilmu hadits dirayah, ilmu ini juga dinamakan dengan ilmu mushthalah al-hadits, ilmu ushul al-hadits, ilmu musthalhah al-atsar,ilmu ushul riwayat al-hadits , ulum al-hadits, dan qawa’it al-tahdits.[5]

Pembahasan ilmu ini adalah tentang kaidah-kaidah yang dipakai untuk mengukur keshahihannya sebuah hadits. Kaidah-kaidah tersebut sangat sangatlah banyak dengan melihat kepada berbagai aspek yang menyangkut dengan sanat dan matan. Oleh karenanya, dalam berbagai literatur ilmu hadits, hampir sembilan puluh persenpembicaraannya dipusatkan pada ilmu ini, dan hanya menyisakan sepuluh persen saja untuk ilmu hadits riwayah. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila membaca berbagai karya ilmu hadits, maka yang didapatkan hampir seluruhnya adalah kaidah-kaidah tersebut.

Secara teori, ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah merupakan dua bagian yang berbeda. Tetapi pada hakikatnya dua bagian ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena setiap periwayatan hadits tentu memerlukan kepada kaidah yang mengukur shahih atau tidaknya, dan diterima atau ditolak hadits tersebut. Oleh karena itu, masing-masing ilmu tersebut tidak mungkin berdiri sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

  1. Abdul majid khon, ulumul hadits...,h. 69-71
  2. Muhammadibn ‘alawi al-maliki, al-minhal lathif..,h 40 dan abdul majid khon, ulumul hadits.., h 70-71
  3. Muhammadibn ‘alawi al-maliki, al-minhal lathif...,h 41
  4. Hafizh Hasan al-mas’udi, minhat al-mughits.., h 3
  5. Muhammad ibn ‘alawi al-maliki, al-minhal lathif..., h 41
Sumber; Hadits dan Ilmu Hadits, Makalah Tgk. H. Helmi Imran pada acara PKU MPU Aceh angkatan ke XXII tahun 2014

Artikel Terkait:

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar