Sabtu, 14 Februari 2015

Kata "Bid'ah" digunakan untuk memecah belah Ummat oleh Wahabi

Ada sebagian kelompok yang sengaja memecah belah umat Islam dengan cara membesar-besarkan istilah bid’ah yang dituduhkan kepada kelompok yang lain
Pembaca yang budiman, kita sangat prihatin dengan perpecahan umat Islam karena tafsir bid’ah, padahal persoalan umat Islam sangat banyak yang belum terselesaikan. Perpecahan ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama para ulama, kiai, ustad, pemuka agama, karena dari lidah merekalah sumber timbulnya permasalahan. Sebaliknya dari lidah beliau juga umat memperoleh ketenangan, kedamaian bila lidah beliau bijaksana.
Perpecahan umat karena tafsir bid’ah ini sangat jelas terjadi di masyarakat kita. Ada sebagian kelompok yang sengaja memecah belah umat Islam dengan cara membesar-besarkan istilah bid’ah yang dituduhkan kepada kelompok yang lain. Kelompok yang dituduh melakukan bid’ah tidak bisa menerima karena istilah bid’ah itu dosa besar yang hukumannya adalah neraka.
Mereka yang dituduh bid’ah itu adalah para ulama, ustad, kiai, orang saleh, orang baik, tidak syirik, tidak kafir, tidak munafik, tidak fasik, tidak berbuat kejahatan, tidak menyakiti orang, hatinya bersih, amalnya banyak, mengurus anak yatim, mengurus fakir miskin, menyayangi manusia dan setumpuk kebaikan lainnya. Boleh jadi dihadapan Allah yang menuduh bid’ah (masuk neraka) itu tidak sebaik mereka yang dituduh.
Sebagai manusia normal, yang dituduh bersalah karena bid’ah (masuk neraka) tentu tidak bisa menerima. Bila keadaan ini dibiarkan terus kemungkinan akan menimbulkan kesalahfahaman yang bisa membahayakan persatuan, menebar kebencian, merusak benih-benih persaudaraan diantara sesama umat Islam. Hal ini akan dimanfaat oleh kelompok yang tidak suka dengan persatuan umat Islam. Mereka yang tidak suka dengan persatuan Islam ini bisa dari kalangan umat Islam sendiri apalagi di luar Islam.
Sebenarnya istilah bid’ah tidak ada dalam Al Qur’an, istilah ini ada di dalam hadist. Para ulama berbeda pandangan dalam menafsirkan istilah bid’ah ini. Yang menjadi pertanyaan kita mengapa istilah bid’ah ini menjadi prioritas untuk menyudutkan kelompok Islam lain dengan memvonis masuk neraka? Padahal tidak ada satu orangpun yang mengetahui yang siapa yang masuk neraka atau surga.
Yang sangat ironi terjadi di masyarakat, ada sebagian orang takut belajar membaca Al Qur’an, sangat membenci bila ada orang yang membaca Al Qur’an. Ketakutan dan kebencian ini tumbuh karena pemahaman istilah bid’ah yang keliru yang ditanamkan oleh sebagian ustadz.
Lebih jauh dari itu, ada yang takut bersalaman, takut membaca istighfar, takut membaca tasbih, takut membaca tahlil, takut melaksanakan shalat karena dianggap tidak ada hadisnya. Mereka tidak mau datang bila diundang muslim lain untuk membaca Al Qur’an, bagi mereka lebih baik menghadiri undangan non muslim untuk makan-makan atau pesta.
Yang lebih ironi lagi saat seorang muslim tertimpa musibah, kemudian keluarganya berdo’a dan membaca Al Qur’an, sebagian muslim yang ada di sekitarnya ketakutan dan membenci hadir di tempat yang terkena musibah. Sedangkan yang non muslim datang menghadiri dan turut serta pada acara pembacaan Al Qur’an itu. Ketakutan dan kebencian tersebut disebabkan kesalah fahaman tentang tafsir bid’ah. Sehingga mengorbankan persatuan dan persaudaraan sesama muslim.
Sebagian besar umat Islam sangat patuh kepada ustadZ atau ulamanya, hal ini sering kali menimbulkan ketaatan berlebihan dan militansi buta. Akal pikir yang sehat sering kali terbelenggu karena ketaatan buta ini. Dalam benak seorang muslim istilah bid’ah hukumannya adalah neraka, karena itu muslim yang awam akan sangat ketakutan dan trauma mendengar istilah ini.
Ketakutan dan trauma Bid’ah ini bisa dipergunakan untuk memecah belah umat Islam. Inilah kesalahfahaman yang terjadi dikakangan umat Islam. Istilah bid’ah yang multi tafsir itu dapat menyebabkan umat Islam semakin terpuruk.
Padahal seharusnya umat Islam memperjuangkan perintah Allah dalam Al Qur’an bukan membesar-besarkan istilah bid’ah yang tidak ada dalam Al Qur’an. Perintah Al Qur’an itu ialah membangun persatuan dan persaudaraan umat Islam sebagaimana frimanNya :
“Dan berpeganglah kamu semua pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada diteapi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. “ QS. 3 (Ali Imran): 103
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua Saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat“ QS 49 (Al Hujuraat): 10
Bila kita merenungkan ayat ini dengan hati yang jernih maka kita akan memahami bahwa: Orang-orang memperjuangkan persatuan dan persaudaraan sesama muslim, mereka itulah orang yang benar imannya sebaliknya orang merusak persatuan dan persaudaraan sesama muslim perlu dipertanyakan keimanannya.
Membangun persaudaraan sesama muslim adalah perintah Allah yang wajib diwujudkan, sedangkan istilah bid’ah tidak ada dalam Al Qur’an, istilah ini bisa memecah belah umat Islam bila keliru pemahamannya.
Para ulama panutan kita yaitu Imam Sayafii, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi, mereka sering berbeda pandangan mengenai berbagai hal. Tetapi mereka tidak pernah menuduh salah satunya berbuat bid’ah (masuk neraka). Mengapa kita saling menyerang dengan istilah bid’ah padahal ilmu kita tidak sehebat beliau.
Yang perlu kita pahami, didunia ini terdapat ribuan ulama yang memiliki ilmu agama yang luar biasa tetapi diantara mereka memiliki perbedaan dalam menafsirkan istilah bid’ah ini. Karena itu tidak wajar kiranya bila kita hanya mengikuti satu atau dua ulama saja yang kebenarannya tidak seperti kebenaran Al Qur’an.
Semua ulama harus kita hargai pandangannya mungkin ada hal-hal yang baik didalamnya. Inilah yang disebut perbedaan adalah rakhmat. Kita tidak bisa berpedoman pada satu atau dua ulama saja sebagai kebenaran mutlak, karena ulama bukan nabi. Perbedaan penafsiran ulama sangat wajar karena mereka memiliki pengetahuan yang tidak sama, ada yang kurang ada yang lebih, ada ulama yang bersih hatinya, ada juga yang kotor hatinya.
Yang menjadi masalah yaitu ulama atau ustadz yang kurang ilmunya mengajarkan tafsir bid’ah yang keliru kepada masyarakat awam. Kemudian masyarakat awam tadi berusaha sekuat tenaga mencari pengikut dan menuduh bid’ah (masuk neraka) kepada orang lain. Tuduhan ini sangat menyinggung perasaan karena istilah bid’ah itu adalah kesesatan yang hukumannya neraka. Tuduhan bid’ah dan masuk neraka inilah yang akan memecah belah umat Islam.
Kita semua memahami bahwa umat Islam wajib berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist Rasulullah. Kita juga perlu memahami tingkatan, kedudukan dan perbedaan keduanya. Kedudukan tertinggi dan utama adalah Al Qur’an dan yang kedua adalah Hadis. Al Qur’an menjadi rujukan utama, bila ada yang tidak jelas maka diperlukan penjelasan hadis. Bila ada hadis yang bertentangan dengan isi Al Qur’an maka yang dijadikan rujukan utama adalah Al Qur’an. Kedudukan hadist yang bertentangan dengan Al Qur’an perlu dikaji ulang kebenarannya. Kedudukan hadist tidak sejajar dengan Al Qur’an. Bila kedudukan hadist disejajarkan dengan Al Qur’an maka orang bisa berpegang kepada hadist saja tanpa Al Qur’an sekalipun hadist tadi bertentangan dengan Al Qur’an. Bila hal ini terjadi maka akan menimbulkan permasalahan baru yang berakibat pada perpecahan umat Islam.
Contohnya adalah tafsir bid’ah. Istilah ini berasal dari hadist bukan Al Qur’an. Kemudian istilah bid’ah ini bisa ditafsirkan beraneka ragam oleh para ulama. Sebagai umat Islam tentu menghargai dan menjujung tinggi pandangan para ulama, karena melalui merekalah kita belajar, memperoleh ilmu, kita wajib menghormati para ulama dan mendo’akannya, kita wajib mendukung sepenuhnya. Sebagai umat Islam yang berpedoman kepada Al Qur’an dan hadist kita harus bisa menempatkan kedudukan Al Qur’an, Al Hadist, tafsir ulama, dan pandangan lainnya secara tepat. Bila tidak tepat menempatkan kedudukannya maka akan menimbulkan masalah bagi umat.
Keberpihakan yang berlebihan dan melampaui batas kepada ulama tertentu dan merendahkan, mengolok-olok ulama atau muslim yang lainnya bisa membahayakan persatuan dan persaudaraan umat Islam. Karena itu Al Qur’an mengingatkan agar kita tidak merendahkan orang lain, boleh jadi mereka yang direndahkan lebih baik dari yang merendahkan, sebagaimana firmanNya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk “ QS. An Nahl ( 16 ) : 125
“Hai orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) …”
“Hai orang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain …. “ QS. Al Hujuraat ( 49 ) : 11 – 12
“….Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar“ QS. Al Anfaal ( 8 ): 46
Bila diantara umat Islam saling munuduh bid’ah, membenci, menghina, memvonis masuk neraka, maka tunggulah kehancurannya, umat lain akan bergembira dan menjadikan tafsir bid’ah sebagai alat memecah belah umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar