Rabu, 11 Februari 2015

Modus Pengharaman Perkara yang Tidak Dicontohkan Nabi Muhammad

Ini Dia Rahasia Singkong Jadi Obat Ajaib Kanker

Kejahatan di Balik Pengharaman Perkara yang Tidak Dicontohkan Nabi Muhammad
mengharamkan yang tidak haram itu kejahatan terbesar

Nabi Muhammad Saw dalam shahih Bukhari pernah memperingatkan kaum muslimin bahwa termasuk kejahatan terbesar adalah perbuatan mengharamkan perkara yang tidak diharamkan. Para penuntut ilmu yang pernah mengkaji ilmu Ushul Fiqih tentunya mengetahui bahwa perkara-perkara yang tidak dicontohkan Nabi Muhammad Saw itu tidak otomatis menjadi haram.

Jika sudah mengetahui ilmunya, tetapi kemudian masih bersikap keras kepala mengharamkan setiap perkara yang tidak dilakukan / tidak dicontohkan Nabi Muhammad Saw,  maka mereka adalah termasuk para penjahat yang melakukan kejahatan terbesar, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw :

قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

(صحيح البخاري)

Sabda Rasulullah saw :
“Sebesar – besar kejahatan muslimin (pada muslim lainnya) adalah yang mempermasalahkan suatu hal yang tidakdiharamkan, namun menjadi haram sebab ia mempermasalahkannya (Shahih Bukhari)

Pada artikel-artikel  kajian sebelumnya sudah kami ketengahkan bukti-bukti yang jelas bahwa perkara-perkara amaliah ubudiyah yang tidak dilakukan atau tidakdicontohkan Nabi Muhammad atau ditinggalkannya, itu bukan berarti bahwa suatu perkara otomatis menunjukkan hukum makruh apalagi haram.

Sedang terhadap mereka yang menolak kaedah ini, dan menyatakan ini tidak ada dalam kaedah ushul fiqih, berikut kami sampaikan bukti-buktinya:

1.       Dalam Ushul Fiqih, dalil yang menunjukkan larangan ditunjukkan dengan tiga hal:

a.       Shighot Nahi, (bentuk kalimat larangan) seperti :

ولا تقربوا الزنا 

: Dan Janganlah kalian mendekati zina

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل 

: Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.

Larangan dengan sighot Nahi tsb berindikasi Haram namun terkadang bisa berindikasi Makruh.

b.      Lafadz Tahrim, (lafazh yang menunjukkan keharaman ) seperti :

حرّمت عليكم الميتة   

: diharamkan atas kalian bangkai

c.       Dzammul Fi’li (adanya cela-an atas perkara tsb, atau adanya ancaman siksa bagi pelakunya), contoh :

من غش فليس منا

: Barang siapa memalsukan maka ia bukan termauk golonganku .

Dari tiga hal di atas tidak kita dapati At Tark sebagai salah satunya.

2.       Firman Allah SWT dalam al qur’an :

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا


“ Apa yang diberikan Rasul bagimu terimalah, Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (QS, Al Hasyr : 7)

Dari ayat diatas, perkara yang harus kita jahui adalah perkara yang dilarang Rasulullah, dan bukan perkara yang ditinggalkan Rasulullah, karena Allah tidak menyatakan  وما تركه فانتهوا “ dan apa yang ditinggalkan Rosul maka tinggalkanlah “. Maka At Tark tidak berindikasi terlarang (haram).

3.       Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bersabda :

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“Apa-apa yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian “ (HR. Bukhori Muslim)

Sebagaimana ayat di atas (pada point 2) dalam hadits diatas Rasulullah Saw tidak mengatakan : وما تركته فاجتنبوه dan apa-apa yang aku tinggalkan maka jauhilah. Lantas dari mana At Tark dijadikan kaedah larangan?

4.       Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang berbunyi :

فَمَا أَحَلَّ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ


“Dan apa yang telah dihalalkan Allah Swt maka dia adalah halal, dan apa yang telah diharamkan Allah maka dia adalah haram, sedang apa yang Allah diam darinya (tidak membicarakannya) maka dia adalah boleh” (HR, Abu Dawud, Al Baihaqi)

5.       Para Ulama’ Ushul mendefisikan Sunnah adalah : Perkataan, Perbuatan, dan atau Ketetapan Rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Dan  mereka tidak mengatakan At Tark (apa yang ditinggalkan Nabi) termasuk Sunnah. Karena At Tark tidak menunjukan apa-apa kecuali kebolehan tidak melakukan perkara yang ditinggalkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

6.       Sumber hukum dalam Islam yang disepakati adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedang Jumhur menambahkannya dengan Ijma’ dan Qiyas. Lantas apakah At Tark adalah salah satu dari sumber hukum Islam untuk menetapkan keharaman atau kemakruhan sesuatu? Tentu tidak.

7.       Sebagaimana yang telah kami sampaikan pada artikel sebelumnya diatas, bahwa ditinggalkannya sebuah perkara oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para sahabat memiliki banyak kemungkinan sebagai penyebabnya. Boleh jadi para sahabat (sepeninggal Rasululloh) meninggalkan atau tidak mengerjakan sesuatu karena memang sebuah Ijma’, atau karena kesepakatan bahwa hal tersebut tidak boleh, atau karena mereka menganggap ada hal lain yang lebih baik, atau ada sebab-sebab lain. Lantas apakah perkara yang memiliki banyak kemungkinan (at tark) dapat dijadikan dalil untuk menetapkan kemakruhan atau keharaman? Fa Taammal !

8.       At Tark adalah ashal, karena asal dari sesuatu adalah tidak ada. Maka At Tark tidak dapat membuktikan (dijadikan dalil) terlarangnya sesuatu.

Catatan : Penulis tidak mengingkari orang yang meninggalkan perkara yang tidak pernah dilakukan Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dengan alasan Ittiba’, bahkan hal tersebut merupakan kebaikan. Namun mengharamkan atas nama syri’at apa-apa yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Rasulullah dan Salaf as Shalih tanpa adanya dalil yang melarang adalah tindakan yang mengada-ada (bid’ah), dan termasuk kejahatan terbesar menurut Nabi Muhammad Saw sebagaimana sabdanya dalam Shahih Bukhari yang telah kami sebutkan di awal artikel kajian ini.

Selanjutnya, segala kebaikan yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Rosululloh shollallohu alaihi wasallam sampai wafatnya beliau, secara garis besar Ulama membagi dalam dua macam :

§  Perkara yang ditinggalkan Rasululloh shallallahu alaihi wasallam karena tidak ada hal yang mendorong untuk melakukannya, namun setelah wafatnya Rasulullah didapati pendorong/penyebab yang menghendaki untuk melakukannya. Hal semacam ini pada dasarnya boleh selama tidak menyalahi dalil-dalil nash. Contoh : Penghimpunan Mushaf pada masa Kholifah Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu, Penambahan adzan jum’ah pada masa Kholifah Utsman rodhiyallohu ‘anhu, dan yang lain.

§  Perkara yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam padahal ada faktor yang mendorong untuk melakukannya, dalam hal ini ada dua sebab:

    Tidak adanya kemaslahatan syar’i dalam perkara tersebut. Maka dalam hal yang demikian hukumnya terlarang.

    Adanya madhorot yang lebih besar dari pada kemaslahatannya, seperti jamaah solat tarowih, namun ketika madhorot-nya (yakni khawatir diwajibkan) hilang sehingga hanya tinggal manfaatnya, hal tersebut dapat dilakukan.

Sebelum kita sampai pada kesimpulan tentang At Tark berikut kami kutipkan sebuah kisah dari Abdullah bin Al Mubarok yang dituturkan oleh Sayyid Abdullah Al Ghimmari dalam kitabnya (Husnut Tafahhumi Wad Darki Li Mas-alatit Tarki)

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَك: أَخْبَرَنَا سَلاَمُ بْنِ أَبِي مُطِيْعٍ عَنْ اِبْنِ أَبِي دَخِيْلَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ اِبْنِ عُمَرَ فَقَالَ: “نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الزَّبِيْبِ وَالتَّمْرِ يَعْنِي أَنْ يُخْلَطَا”.فَقَالَ لِي رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي مَا قَالَ؟ فَقُلْتُ: “حَرَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّمْرَ وَالزَّبِيْبَ” فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: “كَذَبْتَ”! فَقُلْتُ: “أَلَمْ تَقُلْ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ؟ فَهُوَ حَرَامٌ” فَقَالَ: “أَنْتَ تَشْهَدُ بِذَلِكَ؟” قَالَ سَلاَمٌ كَأَنَّهُ يَقُوْلُ: مَا نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ أَدَبٌ


Abdullah bin Al Mubarok berkata : Telah menceritakan kepadaku Salam bin Abi Muthi’ dari Ibnu Abi Dakhilah dari ayahnya, ia berkata : “ Aku berada disisi Abdullah bin Umar, maka ia (Ibnu Umar) berkata : “ Rasulullah melarang korma dan kismis yakni mencampur keduanya “.

Kemudian seorang lelaki dibelakangku bertanya : “ Apa yang telah disampaikan Ibnu Umar ?”

”Rasululloh shallallohu alaihi wasallam mengharamkan mencampur korma dengan kismis “. Jawabku.

Abdullah bin Umar berkata: “Kamu berdusta!”

“Bukankah anda mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang mencampur korma dengan kismis? Maka itu berarti haram” tanyaku.

Ibnu Umar berkata : “Apa engkau bersaksi akan hal itu ?”

Salam berkata: “Seakan-akan Abdullah bin Umar berkata bahwa apa yang dilarang Nabi shollallohu alaihi wasallam adalah adab (makruh).

Coba perhatikan sikap Abdullah bin Umar –rodhiyallohu anhu- salah satu Fuqoha-us Shohabah, dimana beliau menganggap dusta orang yang menafsirkan Nahi dengan Haram, padahal dalam ushul fiqih asal dari Nahi adalah Haram meskipun tidak shorih, namun terkadang Nahi juga bisa berindikasi Makruh.

Kesimpulan Tentang At Tark :

1). Perkara yang ditinggalkan Rasululloh shallallahu alaihi wasallam maupun para sahabat tidak otomatis menunjukkan perkara tersebut makruh atau haram, kecuali ada dalil yang menetapkan kemakruhan atau keharamannya.

2). At Tark yakni ditinggalkan dan atau tidak dilakukannya sebuah perkara, bukanlah landasan hukum untuk memakruhkan atau mengharamkan perkara tersebut.

3). Terhadap perkara baru, tidak langsung dapat divonis sesat atau haram sebelum diuji dengan dalil-dalil yang menjadi landasan agama yakni: Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

Ungkapan : “jika suatu perkara memang baik adanya pasti para sahabat dan salaf as sholih telah mendahului kita untuk melakukannya” bukanlah sumber hukum bukan pula kaedah ushul untuk menetapkan kemakruhan atau keharaman suatu perkara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar